Anda di halaman 1dari 13

HUKUM AGRARIA

KETENTUAN TANAH ULAYAT DIKAITKAN DENGAN TANAH


TERLANTAR
Dosen Pengajar:
Prof. Dr. Hj. Yulia Mirwati, SH., CN., MH

Disusun Oleh:
ALFIKHI ABDUL RAHMAN
1520123063
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ANDALAS
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
2015

KETENTUAN TANAH ULAYAT DIKAITKAN DENGAN TANAH


TERLANTAR
Pengertian Tanah Ulayat/Hak Ulayat
Dalam buku Undang-Undang Agraria dan Implikasinya
karangan Siti Zumrokhatun dan Darda Syahrizal disebutkan
bahwa, Hak Ulayat adalah seperangkat wewenang dan kewajiban
suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah
yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. Hak Ulayat memiliki
dua unsur, yakni unsur kepunyaan yang termasuk kewajibankewajiban

hukum

kewenangan

untuk

perdata

di

mengatur

dalamnya
penguasaan

dan
dan

unsur-unsur
memimpin

penggunaan tanah bersama yang termasuk dibidang hukum.


Unsur tugas kewenangan yang termasuk bidang hukum publik
tersebut pelaksanaannya dilimpahkan kepada kepala adat sendiri
atau bersama-sama dengan ketua adat masyarakat hukum yang
bersangkutan. Hak ulayat dalam lingkungan masyarakat hukum
adat yang bersangkutan merupakan hak penguasaan atas tanah
yang tertinggi.
Hak-hak perseorangan atas sebagian tanah-tanah tersebut
secara langsung atau tidak langsung bersumber padanya. 1 Lain
halnya menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
1 Siti Zumrokhatun & Darda Syahrizal, Undang-Undang Agraria &
Aplikasinya, Dunia Cerdas, Jakarta, 2014, hlm.75.

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria selanjutnya disebut dengan


UUPA mengenai Hak Ulayat sendiri tidak dijelaskan defenisinya.
Hak Ulayat disebut dalam pasal 3 UUPA bahwa pelaksaan hak
ulayat dan hak-hak yang serupa dengan itu dari masyarakatmasyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya
masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan

nasional

dan

negara,

yang

berdasarkan

atas

persatuan dan kesatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan


dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih
tinggi.2 Akan tetapi defenisi hukum adat sendiri disebutkan
menurut Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN (Badan
Pertanahan Nasional) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman
Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Pasal
1 ayat (1): Hak Ulayat dan yang serupa dengan itu dari
masyarakat hukum adat (untuk selanjutnya disebut hak ulayat)
adalah kewenangan yang menurut hukum adat tertentu atas
wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup warganya
untuk mengambil manfaat dari sumber alam, termasuk tanah,
dalam

wilayah

tertentu,

bagi

kelangsungan

hidup

dan

kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan

2 Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H, Politik Hukum Agraria, Konpress, Jakarta,
2013, hlm.258-259.

bathiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat


hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
Dalam Pasal 2 menyebutkan tentang masyarakat hukum
adat yang masih ada apabila sekelompok orang yang masih
merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga
bersama suatu persekutuan hukum tertentu, terdapat tanah
ulayat

yang

menjadi

lingkungan

hidupnya

dan

tempat

mengambil keperluan hidupnya, dan terdapat tatanan hukum


adat tentang tanah ulayat yang masih berlaku. Penentuan
tentang masih adanya hak ulayat diatur dalam Pasal 5 yakni
dilakukan oleh pemerintah daerah dengan mengikutsertakan
para pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di
daerah yang bersangkutan, lembaga swadaya masyarakat dan
instansi-instansi yang mengelola sumber daya alam.

Bahwa

kedudukan hak ulayat sudah terkandung dalam pasal 18B ayat


(2) UUD 1945 yang manyatakan bahwa; negara mengakui dan
menghormati

kesatuan-kesatuan

masyarakat

hukum

adat

beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan


sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan

Republik

Indonesia,

yang

diatur

dalam Undang-

Undang.3

3 Ibid, hlm.259-260.

Dalam sejarahnya manusia sebagai makhluk sosial hidup


secara

nomaden

dengan

berpindah-pindah

dalam

suatu

kawasan tertentu secara melingkar. Mereka mengembara secara


berkelompok, tergantung pada ketersediaan bahan makanan.
Bila bahan makanan di utara habis, mereka bergerak ke timur,
terus ke selatan dan barat. Bila di utara telah berbuah lagi
mereka kembali ke utara. Pada setiap tempat yang dilalui,
mereka selalu memberi tanda dan mengawasi wilayah itu,
sehingga orang atau kelompok lain tidak diperkenankan lagi
memasuki wilayah itu tanpa izin kelompok mereka.
Pada saat mereka masih mengembara itu, baru ada dan
terjalin hubungan yang bersifat religio-magis antara kelompok
dengan tanah-tanah dalam wilayah pengembaraan. Masingmasing anggota kelompok merasa berhak secara bersama
dengan warga kelompoknya yang lain terhadap semua bidang
tanah dalam wilayah itu. Saat itu belum ada hak perseorangan
dari anggota tertentu terhadap bidang tanah tertentu, yang ada
hanya hak kelompok/persekutuan.
Menurut Surojo Wignjodipuro, hak persekutuan atas tanah
ini disebut hak pertuanan. Hak ini oleh Van Vollenhoven disebut
beschikkingsrecht.

Istilah

ini

dalam

bahasa

Indonesia

merupakan suatu pengertain yang baru, satu dan lain karena


dalam bahasa Indonesia (juga dalam bahasa daerah-daerah)

istilah yang dipergunakan pengertiannya adalah lingkungan


kekuasaan, sedangkan beschickkingsrecht itu menggambarkan
tentang hubungan antara persekutuan dan tanah itu sendiri. Kini
lazimnya

dipergunakan

istilah

hak

ulayat

sebagai

terjemahannya beschikkingsrecht.4
Selanjutnya Tanah Ulayat merupakan suatu bidang tanah
yang padanya melengket hak ulayat dari suatu persekutuan
hukum adat. Dengan demikian untuk menentukan apakah suatu
bidang tanah tertentu adalah tanah ulayat atau bukan, pertamatama kita harus memperhatikan apakah ada persekutuan hukum
adat yang berkuasa atas tanah itu. Persekutuan hukum adat
sering pula disebut orang sebagai masyarakat hukum adat,
namun persekutuan hukum adat bukanlah sekedar sekelompok
orang yang berkumpul saja. Persekutuan hukum adat adalah
sekelompok orang (lelaki, perempuan, besar, kecil, tua, muda,
termasuk yang akan lahir) yang merasa sebagai suatu kesatuan
yang utuh, baik karena faktor genealogis, teritorial maupun
kepentingan,

mempunyai

struktur

organisasi

yang

jelas,

4 Uni Marni Malay, Konsekuensi Yuridis Logis UUPA Terhadap Tanah


Ulayat Minangkabau di Sumatra Barat, diakses dari
http://www.kompasiana.com, Tanggal 18 September 2015, Pukul 23.12
WIB.

mempunyai

pimpinan,

mempunyai

harta

kekekayaan

yang

disendirikan, baik berwujud maupun yang tak berwujud.5


Pengertian Tanah Terlantar
Defenisi dari tanah terlantar ini dapat kita lihat pada Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1998 tentang
Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, akan tetapi
Peraturan ini telah diganti dengan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia

Nomor

11

tahun

2010

tentang Penertiban

dan

Pendayagunaan Tanah Terlantar (selanjutnya disebut dengan PP


No.11 tahun 2010). Dalam PP No.11 tersebut tidak kita temukan
defenisi mengenai Tanah Terlantar, pada PP tersebut lebih
menekankan

penetapan

dan

objek

tanah

terlantar

oleh

Pemerintah. Jika merujuk kembali kepada PP No.36 tahun 1998,


pasal 1 angka (5) menyebutkan bahwa, tanah terlantar adalah
tanah yang diterlantarkan oleh pemegang hak atas tanah,
pemegang hak pengelolaan atau pihak yang telah memperoleh
dasar penguasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak atas
tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Defenisi lain dari tanah terlantar dapat kita lihat juga
kepada Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Penertiban
Tanah Terlantar (selanjutnya disebut PKBPN) Pasal 1 angka (5 dan
5 Ibid.

6) menyebutkan bahwa, (angka 5) Tanah yang diindikasi


terlantar adalah tanah yang diduga tidak diusahakan, tidak
dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan
atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya
yang belum dilakukan identifikasi dan penelitian. (angka 6)
tanah terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh
negara berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan,
hak pakai dan hak pengelolaan atau dasar penguasaan atas
tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak
dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan
pemberian hak atau dasar penguasaannya.
Dalam PP No.11 tahun 2010 pasal 2 juga menyebutkan
mengenai

objek

dari

tanah

terlantar

itu

sendiri

yang

menyebutkan bahwa, objek penertiban tanah terlantar meliputi


tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa hak milik,
hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan hak
pengelolaan atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak
diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai
dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau
dasar penguasaannya. Namun Pasal 3 menyebutkan, yang
tidak termasuk objek penertiban tanah terlantar sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 adalah:

a. Tanah hak milik atau hak guna bangunan atas nama


perseorangan

yang

secara

tidak

sengaja

tidak

dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan


pemberian haknya; dan
b. Tanah yang dikuasai pemerintah baik secara langsung
maupun tidak langsung dan sudah berstatus maupun
belum berstatus barang milik negara/daerah yang tidak
sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau
sifat dan tujuan pemberian haknya.
Dalam PP No.11 tahun 2010 lebih menjelaskan lagi
mengenai Identifikasi dan Penelitian pada Bab III, Peringatan
pada

Bab

IV,

Penetapan

Tanah

Terlantar

pada

Bab

V,

Pendayagunaan Tanah Negara Bekas Tanah Terlantar pada Bab


VI, dan Bab selanjutnya.
Kaitan Tanah Ulayat/Hak Ulayat dengan Tanah Terlantar
Diawali dari defenisi diatas mengenai tanah ulayat/hak
ulayat dan tanah terlantar sangat berbeda. Jika dikaitkan kedua
hal ini maka dapat dikatakan tanah ulayat bukanlah tanah
terlantar sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan pasal
18B ayat (2) UUD 1945 mengakui hal tersebut seperti yang telah
dibunyikan diatas. Dengan demikian, tanah ulayat tidak dapat
dialihkan menjadi tanah hak milik apabila tanah ulayat tesebut

menurut kenyataan masih ada, misalnya dibuktikan dengan


adanya masyarakat hukum adat bersangkutan atau kepala adat
bersangkutan. Sebaliknya, tanah ulayat dapat dialihkan menjadi
tanah

hak

milik

apabila

tanah

ulayat

tersebut

menurut

kenyataannya tidak ada atau statusnya sudah berubah menjadi


bekas tanah ulayat.
Status tanah ulayat dapat dijadikan sebagai hak milik
apabila status tanah ulayat tersebut sudah menjadi tanah
negara. Tanah bekas ulayat merupakan tanah yang tidak dihuni
lagi oleh masyarakat hukum adat, untuk itu berdasarkan UUPA
tanah tersebut secara otomatis dikuasai langsung oleh negara.
Dalam praktik administrasi digunakan sebutan tanah negara.
Tanah negara itulah yang dapat dialihkan menjadi hak milik, hak
guna

usaha,

hak

guna

bangunan,

hak

pakai

dan

hak

pengelolaan.
Tata cara peralihan hak atas tanah negara menjadi hak
milik diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan

Pertanahan

Nasional

Nomor

Tahun

1999

(Permenag/KBPN No.9/1999). Menurut pasal 9 ayat (1) jo pasal


11 Permenag/KBPN No.9/1999 menyebutkan bahwa, Permohonan
Hak Milik atas tanah negara diajukan secara tertulis kepada
Menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya

meliputi letak tanah yang bersangkutan. Permohonan tersebut


memuat (pasal 9 ayat (2) Permenag/KBPN No.9 Tahun 1999);
1. Keterangan mengenai pemohon;
a. Apabila perorangan: nama, umur, kewarganegaraan,
tempat tinggal dan pekerjaannya serta keterangan
mengenai istri/suami dan anaknya yang masih
menjadi tanggungannya;
b. Apabila badan hukum: nama, tempat kedudukan,
akta atau peraturan pendiriannya, tanggal dan
nomor surat keputusan pengesahan oleh Pejabat
yang berwenang tentang penunjukannya sebagai
badan hukum yang dapat mempunyai hak milik
berdasarkan

ketentuan

peraturan

perundang-

undangan yang berlaku.

2. Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis


dan data fisik;

10

a. Dasar penguasaan atau alas haknya, dalam hal ini


bisa berupa girik atau surat-surat bukti perolehan
tanah lainnya;
b. Letak, batas-batas dan luasnya;
c. Jenis tanah (pertanian/non pertanian);
d. Rencana penggunaan tanah;
e. Status tanahnya, dalam hal ini adalah Tanah Negara.
3. Lain-lain:
a. Keterangan mengenai jumlah bidang, luas dan
status tanah-tanah yang dimiliki oleh pemohon,
termasuk bidang tanah yang dimohon;
b. Keterangan lain yang dianggap perlu.
Selain itu, permohonan hak milik tersebut juga diikuti
dengan lampiran sesuai pasal 10 Permenag/KBPN No.9 Tahun
1999 yakni sebagai berikut:
Peraturan Pemerintah. Nomor 38 Tahun 1998, untuk tanah
terlantar hanya mengatur tanah Hak Milik, Hak Guna

11

Bangunan,

Hak

Pakai,

Hak

Guna

Usaha

dan

Hak

Pengelolaan.

12

Anda mungkin juga menyukai