Anda di halaman 1dari 23

ALIRAN POSITIVISME HUKUM ( LEGAL POSITIVISM )

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Hukum

Dosen Pengampu Indra Rahmatullah, S.H.I, M.H.

Disusun Oleh Kelompok 3 :

Miftah Nurhadi 11180480000027

Isnu Groho Dwi Prasetyo 11180880000046

Maya Amanda 11180480000093

Muhammad Fadhil 11180480000121

Andradito Muhammad Wisnu 11180480000126

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2021 / 1442 H
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
penulisan makalah yang berjudul “Filsafat Hukum Pancasila” dengan baik.

Makalah ini telah kami susun dengan sebaik mungkin. Namun, terlepas dari
semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Kami berharap makalah ini dapat memberikan
manfaat maupun inspirasi dan juga ilmu yang bermanfaat terhadap pembaca. Akhir
kata, dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah ini.

Jakarta, 09 Maret 2021

Penulis

1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................................... 1
DAFTAR ISI ................................................................................................................... 2
BAB I ............................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN ........................................................................................................... 3
A. LATAR BELAKANG ......................................................................................... 3
B. RUMUSAN MASALAH ..................................................................................... 4
C. TUJUAN MASALAH ......................................................................................... 5
BAB II .............................................................................................................................. 6
PEMBAHASAN .............................................................................................................. 6
A. Pandangan John Austin, Hans Kelsen, dan H.L.A. Hart Mengenai Filsafat
Hukum Aliran Positivisme ......................................................................................... 6
a) John Austin ....................................................................................................... 6
b) Hans Kelsen ...................................................................................................... 8
c) H.L.A. Hart....................................................................................................... 9
B. Pandangan Aliran Positivisme Terhadap Filsafat Aliran Naturalis ( Hukum
Alam ) ......................................................................................................................... 13
a) Hans Kelsen .................................................................................................... 13
b) H.L.A. Hart..................................................................................................... 13
C. Contoh-Contoh Dalam Kehidupan Bernegara Yang Dapat Dikaitkan
Dengan Aliran Positivisme ....................................................................................... 14
1. Kriminalisasi Akibat UU ITE ....................................................................... 14
2. Pengundangan Undang-Undang Cipta Kerja yang Kontroversi .............. 15
3. Kepastian Hukum dalam Kegiatan Ekonomi ............................................. 16
4. Mantan Koruptor Berpartisipasi lagi dalam Pilkada ................................ 17
BAB III .......................................................................................................................... 20
KESIMPULAN ............................................................................................................. 20
KESIMPULAN ......................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 21

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Ilmu hukum terus mengalami perkembangan dari masa ke masa. Ilmu hukum
yang dikembangkan oleh aliran filsafat positivisme menunjukan, bahwa hukum itu
bersifat konkret, bebas nilai, imparsial, impersonal dan obyektif.1 Ilmu hukum menurut
aliran filsafat positivisme akan melahirkan konsep hukum positif, yakni seperangkat
ketentun hukum tertulis yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang dan
mengadung perintah. Selain itu, hukum juga dikonsepsikan sebagai peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan oleh pengusa atau Negara, yang berwujud
perintah yang harus ditaati karena mengandung sanksi. Hukum positif mengandung
nilai-nilai yang telah ditetapkan berdasarkan kesepakatan, kemudian diintegrasikan
dalam norma yang tertuang dalam hukum positif.2 Jadi dalam aliran hukum positivisme,
konsep hukum juga mengadung nilai-nilai (values) yang terdapat dalam hukum positif
(perundang-undangan), hanya nilai itu telah dibahas dan ditetapkan ketika proses
pembuatan hukum positif. Ilmu hukum tidak membahas apakah hukum positif itu baik
atau buruk, dan tidak pula membahas soal efektivitas hukum dalam masyarakat.3

Positivisne adalah suatu aliran dalam filsafat hukum yang beranggapan bahwa
teori hukum itu dikonsepsikan sebagai ius yang telah mengalami positifisasi sebagai
lege atau lex, guna menjamin kepastian antara yang terbilang hukum atau tidak. Filsafat
hukum positivisme muncul pada abad 18-19 dan berkembang di Eropa Kontinental,
khususnya Prancis.4 Dalam aliran positivisme sangatlah mengagungkan hukum yang
tertulis. Hal inilah yang menjadi pembeda dari aliran hukum sebelumnya yang tidak
memprioritaskan hukum dalam keadaan tertulis. Pandangan ini biasanya digunakan oleh
negara untuk mengatur rakyatnya dalam kehidupan bermasyarakat melalui suatu
pertaturan perundang-undangan. Penganut aliran ini berpandangan jika hukum telah
dibukukan atau dituliskan, maka pemaksaan dalam pemberlakuannya bisa dilaksanakan
1
Adji Samekto, Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009,
hal. 48
2
Theo Huijbers, Filsafat Hukum. Yogyakarta, PT. Kanisius, 2009, hal. 33
3
Adji Samekto, Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009,
hal. 42
4
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 267.
3
meskipun begitu, dalam hukum tertulis tentunya tidaklah dapat dijadikan sebagaI
hukum yang paling bagus dan paling sempurna. Tentu ada beberapa hal yang menjadi
kelemahan sekaligus kelebihan dari hukum tertulis dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.

Aliran filsafat hukum positivisme berpendapat bahwa hukum adalah positivisme


yuridis dalam arti yang mutlak dan memisahkan antara hukum yang berlaku dan hukum
yang seharusnya, antara das sein dan das sollen. Bahkan tidak sedikit pembicaraan
terhadap positivisme hukum sampai pada kesimpulan, bahwa dalam kacamata
positivisme tiada hukum lain kecuali perintah penguasa (law is command from the
lawgivers), hukum itu identik dengan undang-undang. Keberadaan UU telah menjamin
kepastian hukum, sehingga penerapannya lebih mudah, dan di luar UU tidak ada
hukum.5 Masuknya arus utama positivisme hukum ke bumi Indonesia selain memang
karena dampak kolonialisasi Belanda, juga tidak dapat dilepaskan dari peranan
academic jurists Belanda yang mengawali tonggak pengajaran. Paradigma positivisme
hukum diajarkan di bangku-bangku fakultas hukum di Indonesia sebagai satu-satunya
pendekatan paling absah dalam mempelajari hukum. Sebagai Negara yang mewarisi
tradisi civil law, perkembangan ilmu hukum di Indonesia memang sangat ditentukan
oleh kaum academic jurists; dalam peta filsafat hukum modern, dokrin positivisme
memperoleh akar akedemis modern pada pemikiran John Auntin, Hans Kelsen, dan
H.L.A. Hart.6

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Pandangan John Austin, Hans Kelsen, dan H.L.A. Hart
Mengenai Filsafat Hukum Aliran Positivisme?
2. Bagaimana Pandangan Aliran Positivisme Terhadap Filsafat Aliran
Naturalis?
3. Apa Saja Contoh-Contoh Dalam Kehidupan Bernegara Yang Dapat
Dikaitkan Dengan Aliran Positivisme?

5
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika , Jakarta, 1993, hal.87
6
Irianto, Sulistyowati dan Shidarta, 2009, Metode Penelitian Hukum : Konstelasi dan Refleksi, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, hal.13
4
C. TUJUAN MASALAH
1. Untuk Mengetahui dan Memahami Bagaimana Pandangan John Austin,
Hans Kelsen, dan H.L.A. Hart Mengenai Filsafat Hukum Aliran Positivisme
2. Untuk Mengetahui dan Memahami Bagaimana Pandangan Aliran
Positivisme Terhadap Filsafat Aliran Naturalis
3. Untuk Mengetahui dan Memahami Contoh-Contoh Dalam Kehidupan
Bernegara Yang Dapat Dikaitkan Dengan Aliran Positivisme

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pandangan John Austin, Hans Kelsen, dan H.L.A. Hart Mengenai Filsafat
Hukum Aliran Positivisme

a) John Austin
John Austin (1790-1859) merupakan salah satu pemikir positivisme
hukum yang ditempatkan sebagai “the founding father of legal positivisme”.
John Austin mendefinisikan hukum positif sebagai “the concepts of sovereignty,
subjection, and independent political community”.7 Hakekat positivisme hukum
menurut Austin adalah ”Law is a command set, either directly or circuitously, by
a sovereign individual or body, to a member or members of some independent
political society in which his auhority is supreme.” Jadi hukum adalah
seperangkat perintah, baik langsung ataupun tidak langsung, dari pihak yang
berkuasa kepada warga masyarakatnya yang merupakan masyarakat politik yang
independen, dimana otoritasnya (pihak yang berkuasa) merupakan otoritas yang
tertinggi.8 Austin memiliki pendapat yang dikenal dengan istilah analytical
jurisprudence yang bermakna bahwa hukum adalah perintah dari penguasa yang
dituangkan dalam bentuk perundang-undangan, sehingga unsur terpenting dalam
pendapat Austin adalah “perintah” (command).9 Perintah yang dimaksud dalam
pendapat Austin adalah perintah umum dari entitas politik yang memiliki
kedaulatan, yaitu otoritas politik tertinggi (the supreme political authority) yang
berfungsi untuk mengatur perilaku masyarakat. Kedaulatan tersebut dapat
dimiliki oleh individu ataupun kelompok dengan syarat:

a. Individu atau kelompok individu merupakan orang atau sekelompok orang


yang dipatuhi oleh segenap anggota masyarakat.

7
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence):Termasuk
Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2012, Cet.
Keempat), h. 56.
8
Ibid.
9
Islamiyati, “Kritik Filsafat Hukum Positivisme sebagai Upaya Mewujudkan Hukum yang Berkeadilan”,
Law & Justice Journal, I, 1 (November, 2018), h. 87.
6
b. Individu atau kelompok individu yang berdaulat ini tidak patuh pada
siapapun juga di atasnya

Adapun sumber hukum menurut Austin adalah penguasa tertinggi yang


secara de facto dipatuhi oleh anggota masyarakat, sementara ia sendiri tidak
tunduk pada siapapun.10 Austin juga menegaskan, bahwa hukum bukanlah
setumpuk peraturan atau nasihat moral, melainkan sebagai perintah yang
memuat dua elemen dasar, yaitu hukum sebagai keinginan penguasa yang harus
ditaati dan hukum memiliki kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang tidak
menyenangkan atau membahayakan subjek yang melanggarnya. Sehingga
individu yang mendapat perintah memiliki keharusan untuk menaatinya dan
ketika gagal dalam memenuhi tuntutan perintah, maka akan mendapat sanksi
hukum.

Dalam alirannya Austin juga mengemukakan ada dua pembedaan besar


yang berkaitan dengan hukum, yaitu:11

a. Hukum Tuhan

Hukum Tuhan adalah hukum yang diciptakan Tuhan untuk mahluk


Ciptaan-Nya sebagai suatu moral hidup manusia dalam arti sejati.

b. Hukum manusia

Hukum manusia adalah hukum yang dibuat oleh manusia untuk


manusia. Hukum manusia terbagi menjadi dua, yakni : (1) Hukum yang
sebenarnya (properly so called) bermakna bahwa hukum sebagai superior
politik dalam melaksanakan hak-hak yang diberikan oleh otoritas publik. (2)
Hukum yang sebenarnya bukan hukum (improperly so called) yang meliputi
hukum-hukum yang ada karena analogi.

Hubungan antara hukum dengan politik memiliki perdebatan dengan


akar sejarah yang panjang dalam ilmu hukum. Bagi penganut aliran
positivisme hukum seperti John Austin menyatakan, bahwa hukum tidak

10
Bernard L. Tanya, Ed. All, Teori Hukum, (Yogyakarta : Genta Publishing, 2010), h. 120.
11
Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: PT. Kanisius, 2009), h. 41.
7
lain adalah produk politik atau kekuasaan. Hukum menurut Austin harus
dipahami dalam arti perintah karena hukum seharusnya tidak memberi
ruang untuk memilih (apakah mematuhi atau tidak mematuhi). Austin
menegaskan bahwa hukum bukan setumpuk peraturan atau nasihat moral,
namun hukum sebagai perintah, yang memuat dua elemen dasar yaitu
hukum sebagai keinginan penguasa harus ditaati, dan hukum memiliki
kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang tidak menyenangkan atau
bahkan membahayakan subjek yang melanggarnya. Individu yang terkena
perintah, ada keharusan untuk mentaatinya. Kegagalan memenuhi tuntutan
perintah, akan mendapat sanksi hukum. Pemikiran John Austin ini tentu
masih terwujud dalam pembangunan hukum di Indonesia saat ini. Hal
tersebut dapat dilihat dalam peraturan perundang-undangan khususnya
undang-undang yang merupakan produk politik dari Pemerintah (eksekutif)
dengan Parlemen (legislatif). Terlihat bahwa dalam proses pembentukan
hukum di Indonesia terdapat suatu ruang bagi masuknya proses politik
melalui wadah institusi politik untuk membentu suatu produk hukum.

b) Hans Kelsen
Hans kelsen merupakan salah satu tokoh hukum yang memperkenalkan
ajarannya yang dikenal dengan Stufenbeautheorie sebagai sebuah teori hukum.
Dalam paparan seorang Hans Kelsen dalam Stufenbeautheorie bertujuan untuk
menjelaskan bagaimana sesungguhnya hukum itu berasal, hingga muncul
dalam peraturan hukum positif. Pemikiran Hans Kelsen tentang hukum dalam
Stufenbeautheorie merupakan puncak dari pemikirannya bahwa hukum
sesungguhnya merupakan peraturan-peraturan yang berlaku untuk mengatur
masyarakat, tetapi berlandaskan pada nilai-nilai yang disepakati bersama oleh
masyarakat.12

Hans Kelsen yang juga merupakan tokoh positivisme hukum


menjelaskan bahwa Hukum merupakan sistem norma, sebuah sistem yang

12
FX Adji Samekto, “Menelusuri Akar Pemikiran Hans Kelsen Tentang Stufenbeautheorie Dalam
Pendekatan Normatif-Filosofis”. Jurnal Hukum Progresif. Vol. 7, No. 1, April 2019, hal. 1.
8
didasarkan pada keharusan-keharusan (apa yang seharusnya atau das sollen)13.
norma merupakan bentuk pemikiran manusia yang bersifat deliberatif yang di
mana menjadi sebuah norma kalau memang dikehendaki menjadi norma yang
ditentukan dengan berlandaskan pada moralitas dan nilai-nilai baik di
masyarakat. Norma hukum bagi Hans Kelsen selalu diciptakan melalui
kehendak. Norma-norma tersebut akan menjadi mengikat masyarakat apabila
norma tersebut dikehendaki menjadi hukum dan harus dibentuk secara tertulis
dengan dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang dan memuat suatu perintah.
Teori yang dikeluarkan oleh Hans Kelsen dengan nama Teori Hukum Murni,
dikatakan bahwa “Hukum ditaati bukan karena dinilai baik atau adil, tetapi
karena hukum itu telah ditulis dan disahkan penguasa”.

Pandangan Hans Kelsen mengenai Positivisme Hukum bertolak


belakang dengan dari cara berpikir dari seorang Immanuel Khant. Immanuel
Khant mengenai kehidupan membagi menjadi dua bidang: Pertama, Bidang
Fakta dan Kedua, Bidang Seharusnya (ideal). Bidang Fakta (alam raya)
memuat hubungan sebab-akibat yang terjadi begitu saja dan akan terjadi seperti
itu. Bidang Seharusnya (ideal) berasal dari pemikiran yang berbasis dari nilai-
nilai atau ajaran-ajaran. Makna dari kata “Seharusnya” mengartikan bahwa
semua tergantung oleh kehendak. Menurut Hans Kelsen, kehendak di sini
adalah kehendak yang netral, objektif, dan menurut akal sehat dengan dapat
dilandasi pertimbangan yang umum. Inilah yang membuat Hans kelsen
berpendapat kalau hal itu harus dikembalikan pada ajaran yang lebih tinggi,
hingga norma yang mendasar.

c) H.L.A. Hart
Hart membangun tesisnya tentang positivisme lebih kompleks daripada
Austin. Hart membagi peraturan menjadi dua macam, yakni peraturan primer
(primary rules) dan peraturan sekunder (secondary rules). Peraturan primer
berisi hak dan kewajiban, yakni tentang apa yang dilarang dan boleh dilakukan
oleh individu-individu. Dalam sistem masyarakat yang sederhana hanya

13
Putero Astomo, “Perbandingan Pemikiran Hans Kelsen Tentang Hukum Dengan Gagasan Satjipto
Rahardjo Tentang Hukum Progresif Berbasis Teori Hukum” Yustisia, Edisi 90 September - Desember
2014, hal. 5.
9
mempunyai peraturan primer itu. Mereka sudah merasa cukup memiliki
peraturan primer karena semua orang terikat dan patuh menjalankannya.
Namun dalam masyarakat yang demikian tidak dapat dikatakan mempunyai
“hukum” sebagaimana yang disyaratkan oleh penganut positivisme hukum
klasik, karena jika hukum bergantung pada penerimaan masyarakat maka
ketidakpastian hukum akan terjadi. Untuk mengatasinya, Hart kemudian
menekankan perlunya peraturan sekunder yang berhubungan dengan
pembuatan, penafsiran, penerapan, dan perubahan peraturan-peraturan primer,
misalnya aturan yang harus diikuti oleh pembentuk undang-undang,
pengadilan, dan administrasi pada saat menerapkan aturan primer.14
Hart menegaskan bahwa dalam kombinasi dua tipe aturan ini terletak
apa yang dengan keliru diklaim Austin ditemukan dalam gagasan perintah yang
ditopang sanksi sebagai kunci ilmu yurisprudensi.15 Dengan kata lain, Hart
mengklaim kombinasi dua aturan ini sebagai kunci dalam memahami hukum.
Maksud Hart adalah bahwa melalui dua tipe aturan ini banyak gagasan yang
membangun kerangka pemikiran hukum seperti gagasan tentang kewajiban dan
validitas hukum dapat dijelaskan. Karena alasan ini, Hart tidak ragu lagi
menyebut aturan primer dan sekunder ini sebagai esensi dari hukum.16
Meskipun sesama positivisme hukum, Hart menolak teori Austin
tentang perintah dan sanksi dengan membedakan antara “a valid law” dan “the
orders of a gunman”. Kelemahan dasar pemikiran Austin tentang “perintah”
dan “sanksi”: “karena takut masyarakat mematuhi perintah gerombolan
penjahat bersenjata karena ancaman sanksi bila tidak memetuhi perintahnya”.
Apakah “perintah” dan “sanksi” gerombolan penjahat bersenjata dapat
dikategorikan hukum? Dengan demikian, koreksi Hart menyelamatkan
fundamen positivisme dari kekeliruan Austin. Tetapi sebagai positivis,

14
Ronald Dworkin, Taking Right Seriously, (Cambridge: Harvard University Press, 1978),
hlm.19
15
H. L. A. Hart, The Concept of Law, (Oxford: Oxford University Press, 1972), hlm. 81, 155.
16
Petrus C.K.L. Bello, Hubungan Hukum dan Moralitas Menurut H. L. A. Hart, Jurnal hukum
dan Pembangunan Tahun ke-43, No. 3, Juli-September 2013, hlm. 351.
10
sebagaimana Austin dan Kelsen, Hart tidak percaya hukum dapat diturunkan
dari moral.17
Dalam pandangan Hart penegasan bahwa diantara hukum dan moralitas
ada suatu hubungan yang perlu atau mutlak memiliki banyak ragam
pemahaman yang penting namun tidak semua hubungan itu terlihat jelas. Hart
mengakui bahwa hukum, keadilan, dan moral memiliki hubungan yang sangat
dekat. Bahkan salah satu aspek keadilan, yaitu keadilan administratif, dan
dalam hukum kodrat minimum, hukum dan moralitas berhubungan secara
“mutlak”. Keadilan administratif yang dimaksud di sini tidak lain keadilan
dalam penerapan hukum. Penerapan hukuman terhadap seseorang hanya
didasarkan pada karakteristik yang disebutkan dalam hukum. Keadilan dalam
penerapan hukum ini menurut Hart memiliki hubungan yang mutlak dengan
hukum. Namun, hubungan mutlak ini hanya menyangkut administrasi hukum
dan keadilan jenis ini bisa juga dapat terjadi dalam sebuah sistem hukum yang
di dalamnya penuh dengan hukum yang tidak adil.
Selain dalam administrasi hukum, Hart juga mengakui hubungan
penting antara hukum dan moralitas dalam hukum kodrat minimum. Hukum
kodrat minimum tidak lain pandangan Hart sendiri mengenai kodrat manusia
yang berbeda dengan hukum kodrat klasik, menurutnya kodrat manusia yang
paling dasar adalah bertahan hidup, sebab dengan bertahan hidup manusia
dapat memenuhi tujuan hidup lainnya. Untuk dapat bertahan hidup, disamping
memerlukan ketersediaan bahan konsumsi, manusia juga memerlukan aturan
yang dapat menjaga kehidupan bersama mereka. Di sinilah moralitas dan
hukum bertemu, kedua aturan ini, meski berbeda, sama-sama menuntut hal
yang sama, yaitu terpeliharanya kehidupan bersama manusia.18
H. L. A. Hart mengatakan oleh karena hukum harus konkret maka harus
ada pihak yang menuliskan. Pengertian “yang menuliskan” itu menunjuk
pengertian bahwa hukum harus dikeluarkan oleh suatu pribadi (subjek) yang
memang mempunyai otoritas untuk menerbitkan dan menuliskannya. Otoritas
tersebut adalah negara. Otoritas negara ditunjukkan dengan adanya atribut

17
M. D. A. Freeman, Llyod’s Introdukction to Jurisprudence, (London: Steven & Sons, Fifth
Edition, 1985), hlm. 338.
18
Serlika Aprita dan Rio Aditya, Filsafat Hukum, (Depok: Rajawali Press, 2020), hlm. 230.
11
negara, berupa kedaulatan negara. Berdasarkan kedaulatannya, secara internal
negara berwenang untuk mengeluarkan dan memberlakukan apa yang disebut
sebagai hukum positif. Selanjutnya H. L. A. Hart menyatakan:19 (1) hukum
(yang sudah dikonkretisasi dalam bentuk hukum positif) harus mengandung
perintah; (2) tidak selalu harus ada kaitan antara hukum dengan moral dan
dibedakan dengan hukum yang seharusnya diciptakan (there is no necessary
connection between law and morals or law as it is and law as it ought to be).
Dalam The Concept of Law, Hart menjelaskan lebih jauh kekurangan
pandangan yang mengidentikkan hukum dengan moralitas dan menunjukkan
keunggulan dari konsep hukumnya sendiri yang memasukkan semua hukum,
termasuk hukum yang berlawanan dengan moralitas. Hart menyebut
pandangan yang hanya menerima hukum yang sejalan dengan moralitas
sebagai konsop hukum yang lebih sempit sementara hukum Hart dan positivis
lainnya ia sebut sebagai konsep hukum yang lebih luas. Argumentasi Hart
mengenai pemisahan hukum dan moralitas, salah satunya didasarkan pada
uraiannya mengenai kekurangan penggunaan konsep hukum yang lebih sempit
ini. Menurut Hart isu paling penting terkait pemisahan hukum dan moralitas
berangkali adalah soal kritik terhadap hukum itu sendiri. Mengikuti pandangan
Bentham dan Austin, Hart berpandangan identifikasi antara moral dan hukum
akan mengarah pada dua kemungkinan yaitu konservatisme dan anarkisme.
Dari uraian mengenai hubungan hubungan hukum dan moralitas di atas
kiranya kita dapat meringkas beberapa hal penting. Pertama, Hart tidak
menolak adanya hubungan hukum dan moralitas. Kedua, bahwa yang
ditegaskan Hart mengenai keterpisahan hukum dan moralitas sebenarnya
adalah upaya menunjukkan hubungan keduanya tidak bersifat mutlak atau
perlu, definisi hukum tidak perlu mengacu pada moralitas. Ketiga,
mengidentikkan hukum dengan moralitas menurut Hart akan meyebabkan
kekaburan upaya memecahkan masalah hukum dan moralitas itu sendiri. Selain
itu, menyamakan hukum dengan moralitas secara praktis pada dua sikap yang
membahayakan, yaitu konservatisme dan anarkisme. Para konservatif akan
memahami perintah hukum, apa pun isi perintah itu, adalah perintah moral.
19
Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 97-99.
12
Karena itu, hukum menjadi tertutup, tidak bisa dikritik. Sementara para anarkis
akan berbuat sekehendak hatinya pada hukum. Jika hkum itu tidak sejalan
dengan pandangan moralnya maka ia akan menentang meskipun untuk itu ia
harus mengorbankan kepentingan masyarakat umum. Ringkasnya, desakan
Hart untuk memisahkan hukum dan moralitas justru dimaksudkan untuk
membuat hukum itu sendiri terbuka pada kritik moral.20

B. Pandangan Aliran Positivisme Terhadap Filsafat Aliran Naturalis ( Hukum


Alam )

a) Hans Kelsen
Hans Kelsen sebagai penganut Positivisme Hukum, Hans Kelsen
mengatakan bahwa Norma yang mendasar tidak identik dengan hukum alam
(natural law) dan ia menolak hukum alam. Hukum alam adalah hubungan
sebab-akibat yang pasti, jadi hukum alam adalah hukum yang ada pada sistem
itu sendiri. Sedangkan Bidang Seharusnya merupakan di luar dari sistem itu atau
dapat dikatakan di luar hubungan sebab-akibat. Sifat dari kata “Seharusnya” itu
akan menjadi sebuah norma jika itu dikehendaki secara bersama sebagai norma
yang akan ditaati oleh masyarakat yang kemudian dituliskan dalam wujud
peraturan hukum yang mengikat (hukum positif). Bagi Hans Kelsen, satu-
satunya hukum yang benar adalah hukum positif, bukan hukum alam.21

b) H.L.A. Hart
Teori Herbert Lionel Adolphus Hart (1907-1992) dinamakan Teori
Positivisme Hukum dengan Isi Minimum dari Hukum Alam (the minimum
content of natural law). Hart mengkaji tradisi Wittgenstein dan Austin yang
menempatkan hukum sebagai suatu fusi dua perangkat kaidah. Pertama kaidah
yang menetapkan kewajiban, dan kedua yang menyangkut pengakuan dan
penyesuaian kaidah pertama. Walaupun Hart termasuk penganut positivisme

20
Serlika Aprita dan Rio Aditya, Filsafat Hukum, (Depok: Rajawali Press, 2020), hlm. 236-237.
21
Putero Astomo, “Perbandingan Pemikiran Hans Kelsen Tentang Hukum Dengan Gagasan Satjipto
Rahardjo Tentang Hukum Progresif Berbasis Teori Hukum” Yustisia, Edisi 90 September - Desember
2014, hal. 8.

13
hukum tetapi Hart menerima adanya bagian tertentu dari Hukum Alam,
walaupun hanya secara minimum. Sehingga ada yang mengatakan bahwa teori
Hart juga merupakan kebangkitan kembali dari Teori Hukum Alam.22 Sama
seperti Austin, Hart berpendapat bahwa undang-undang merupakan perintah
manusia yang memiliki kuasa, karena itu wajib dituruti. Hart menuliskan, “The
most prominent sgeneral feature of law at all times and places is that its
existence means that certain kinds of human conduct are no langer optional, but
in some sense obligatory”23
Terkait dengan realitas objektif, apakah benar kajian hukum positif bisa
dipisahkan dari nilai-nilai tertentu seperti moral? Bukankah hukum positif dibuat
dalam tatanan yang terikat pada ruang dan waktu, sehingga ada nilai-nilai
tertentu yang akan mempengaruhinya? Bukankah nilai-nilai tertentu bahkan
kepentingan-kepentingan tertentu dapat mengikat pembuat hukum maupun
adressat hukum, sehingga harus dikatakan bahwa hukum positif pun terbit
sebagai produk nilai-nilai tertentu.24

C. Contoh-Contoh Dalam Kehidupan Bernegara Yang Dapat Dikaitkan


Dengan Aliran Positivisme

1. Kriminalisasi Akibat UU ITE


Relevansi aliran positivisme hukum terhadap perkembangan peraturan
perundang-undangan khususnya di Indonesia saat ini dapat kita lihat pada
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 sebagaimana perubahan atas Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE). UU ITE yang seharusnya dapat mengatur perbuatan seseorang di
ranah digital, kerap kali menelan banyak korban karena pasal-pasalnya yang
multitafsir. Hal ini dirasakan dalam kasus Baiq Nuril yang merekam percakapan
antara dirinya dengan Muslim sebagai upaya pembelaan diri terhadap pelecehan
seksual secara verbal yang dilakukan oleh Muslim melalui telepon. Nuril harus

22
Telly Sumbu, Ralfie Pinasang, dan Frans Maramis, Buku Ajar Filsafat Hukum, (Manado:
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Universitas Sam Ratulangi, 2016), hlm. 24.
23
H. L. A. Hart, The Concept of Law, (Oxford: Oxford University Press, 1972).
24
Asep Bambang Hermanto, Ajaran Positivisme Hukum di Indonesia: Kritik dan Alternatif
Solusinya, Selisik, Vol. 2, Nomor 4, Desember 2016, hlm. 112.
14
menerima putusan pada tingkat kasasi dengan vonis 6 bulan penjara dan denda
Rp. 500.000.000,00 subsidair 3 bulan kurungan atas pelanggaran terhadap Pasal
27 ayat (1) UU ITE.

Tidak hanya pada kasus Baiq Nuril, Amnesty Internasional setidaknya


mencatat sepanjang tahun 2020 terdapat 119 kasus dugaan pelanggaran hak atas
kebebasan berekspresi menggunakan UU ITE, diantaranya terdapat aktivis dan
jurnalis yang menjadi tersangka. Hal ini menandakan produk hukum yang
dibuat oleh pemerintah dan legislatif tidak dapat mengakomodir hak-hak
masyarakat dalam hal kebebasan berekspresi dan berpendapat, namun justru
mengkriminalisasi pihak-pihak yang secara kronologis banyak menerima
kerugian, bahkan menjadi korban. Maka apabila kita melihat kasus
kriminalisasi UU ITE ini dengan kacamata positivisme hukum yang lebih
mengutamakan kepastian hukum dan berbasis pada hukum positif dapat
menyebabkan adanya pengabaian terhadap keadilan hukum. Keberadaan UU
ITE dengan pasal-pasalnya yang multitafsir sering kali mengkriminalisasi
banyak korban akibat penerapan positivisme hukum yang hanya mengutamakan
kepastian hukum di atas segalanya, termasuk menyampingkan unsur keadilan
hukum. Padahal kepastian hukum seharusnya dapat berkolerasi secara positif
dengan keadilan hukum.

2. Pengundangan Undang-Undang Cipta Kerja yang Kontroversi


Kalau dilihat dari penjelasan seorang Hans Kelsen sebagai salah satu
tokoh dari Positivisme Hukum, Bahwa Pengundangan Undang-Undang Cipta
Kerja yang dilakukan oleh Pemerintah, ini relevan dengan yang dikatakan oleh
Hans Kelsen dalam teori yang dikeluarkan yaitu Teori Hukum Murni yang
mengatakan bahwa “Hukum ditaati bukan karena dinilai baik atau adil, tetapi
karena hukum itu telah ditulis dan disahkan penguasa”. Walaupun kontroversial
dan ditentang oleh banyak pihak karena tidak berpihak terhadap pekerja, ini
relevan karena setiap hukum yang dibuat itu berasal dari norma yang
dikehendaki secara bersama,namun dilihat dari hakikat hukum dari pandangan
aliran Positivisme Hukum, hukum tetap dibuat secara tertulis oleh pemerintah
yang memuat perintah yang akan ditaati oleh masyarakat.

15
3. Kepastian Hukum dalam Kegiatan Ekonomi
Dalam kehidupan bernegara, pemerintah sebagai pemegang kekuasaan
haruslah dapat berperan dalam menciptakan masyarakat yang sejahtera.
Indonesia yang merupakan negara hukum, mengindikasikan bahwa pemerintah
melalui produk hukum yang dibuat dapat mengatur segala aspek dalam
kehiduapan warga negaranya, termasuk pada aspek ekonomi. Peranan hukum
dalam pembangunan ekonomi suatu bangsa merupakan sesuatu yang tidak
dapat diabaikan keberadaannya. Sehingga sangat jelas, jika kondisi hukum
suatu bangsa itu efektif, maka pembangunan ekonomi pun akan mudah untuk
dilaksanakan. Namun, sebaliknya jika hukum tidak mampu berperan secara
efektif, maka dapat dipastikan akan berdampak buruk terhadap pembangunan
ekonomi.25 Kondisi ini tentu berlaku pula bagi Indonesia sebagai sebuah negara
yang sedang giat-giatnya melakukan pembangunan ekonomi. Apalagi, tatkala
Indonesia menyatakan diri dalam konstitusinya sebagai negara hukum
(rechtstaat). Dari sini tersirat pula bahwa Indonesia menghendaki dua hal;
Pertama, hukum diharapkan dapat berfungsi; dan Kedua, dengan hukum dapat
berfungsi, maka pembangunan ekonomi pun akan mudah untuk direalisasikan.
Kepastian hukum tentunya sangat berdampak pada roda ekonomi
Indonesia. Di Indonesia, suatu aspek perlu diatur melalui hukum untuk
menjadikannya sah dan legal, atau dengan kata lain suatu hal tersebut tidak
melanggar hukum. Dalam rangka agar hukum mampu memainkan peranannya
untuk memberikan kepastian hukum pada pelaku ekonomi, maka pemerintah
bertanggungjawab menjadikan hukum berwibawa dengan jalan merespon dan
menindaklanjuti pendapat dan keinginan pakar-pakar ekonomi. Sehingga
kedepan diharapkan hukum mampu memainkan peranannya sebagai faktor
pemandu, pembimbing, dan menciptakan iklim kondusif pada bidang
ekonomi.26
Lalu kepastian hukum dalam kegiatan ekonomi sudah tentu berjalan
segaris dengan teori positivisme. Dalam teori tersebut, menghendaki bahwa

25
Zulfi Diane Zaini, Perspektif Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi di Indonesia
(Sebuah Pendekatan Filsafat), Jurnal Hukum, Vol. XXVIII, No. 2, Desember 2012, hlm. 931.
26
Krismiaji, Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi di Indonesia, Wahana, Vol. 14, No.
2, Agustus 2011, hlm. 94.
16
suatu negara yang dikuasai oleh suatu pemimpin yang dalam hal ini
pemerintah, harus mampu menciptakan produk hukum untuk kemudian hadir
sebagai pedoman dalam pelaksanaan segala aspek kehidupan bernegara. Sektor
ekonomi yang merupakan salah satu sektor yang paling berpengaruh, sangat
memerlukan kehadiran hukum. Perkembangan ekonomi yang berjalan pesat
seiring dengan perkembangan teknologi, harus juga diiringi dengan peraturan
maupun regulasi yang adaptif dan mengikuti perkembangan ekonomi. Suatu
produk hukum yang diciptakan oleh penguasa sangat diperlukan, terlebih lagi
jika produk tersebut dapat mengatur masa depan sektor ekonomi. Tanpa adanya
positivisme hukum, maka “pedoman” dalam menjalankan ekonomi akan
tersendat karena minimnya hukum yang mengatur dan yang akan membukakan
jalan kedepannya bagi sektor ekonomi. Jika suatu produk hukum telah hadir
dan mampu memecahkan segala permasalahan, maka roda ekonomi suatu
negara akan berjalan secara optimal. Namun, dalam menciptakan produk
hukum tersebut juga harus memperhatikan aspek-aspek lain sehingga tidak ada
pihak yang merasa dirugikan.

4. Mantan Koruptor Berpartisipasi lagi dalam Pilkada


Dalam rangka menghadapi pemilu serentak tahun 2019, KPU sebagai
penyelenggara pemilu mulai berperan aktif melakukan berbagai upaya guna
memuwujudkan pemilu berintegritas dengan harapan tersedianya calon
anggota legislatif. Untuk mencapai tujuan itu, komisioner KPU mencoba
melawan arus dengan mengeluarkan gagasan berupa rancangan PKPU terkait
syarat yang harus dipenuhi oleh calon anggota legislatif dengan materi
muatannya adalah larangan terhadap mantan terpidana Bandar narkoba,
kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi untuk menjadi calon anggota
legislatif.
Komisioner KPU Hasyim Asy’ari berpandangan bahwa mantan
narapidana korupsi tidak layak menduduki jabatan publik atau jabatan
kenegaraan. Dan menegaskan bahwa calon anggota legislatitf harus memiliki
reputasi dan rekam jejak yang baik, sehingga KPU harus mengambil sebuah
peran dalam mengatur syarat pencalonan anggota legislatif yang akan
17
berdampak pada disuguhkanya kepada masyarakat calon anggota legislatif
dengan track record yang baik dan tidak bermasalah.
Pada faktanya, hanya tiga partai politik yang mendukung gagasan
tersebut, yaitu, PKB, PKS, dan Hanura. Sedangkan partai lain seperti Nasdem,
Demokrat, PDIP, Golkar PPP, PAN, dan Gerindra menolak gagasan tersebut
untuk dimasukan dalam rancangan PKPU sebab dinialai akan melanggar Hak
Asasai Manusia sebab beralasan bahwa pembatasan hak politik seseorang
hanya dapat dilakukan oleh pengadilan berdasarkan putusan pengadilan, dan
korupsi bisa dilakukan oleh siapa saja dan mereka yang pernah tersangkut
korupsi belum tentu melakukannya lagi.
Akan tetapi sebagai Negara hukum dimana paham positivisme hukum
tumbuh kuat dan mengakar dalam pemahaman bahwa hukum secara tegas
dipisahkan dari moral, keadilan, dan tidak didasarkan atas pertimbangan atau
penilaian baik-buruk.
Substansi rancangan PKPU yang dibentuk oleh KPU terkait larangan
mantan terpidana korupsi untuk ikut dalam pencalonan anggota legislatif
meskipun memiliki tujuan yang baik dan oleh banyak pihak sudah seharusnya
dilakukan. Akan tetapi berdasarkan UU pemilu keikutsertaan mantan terpidana
korupsi masih diperbolehkan. Dalam hierarki peraturan perundang-undangan
peraturan KPU memiliki hierarki yang lebih rendah dari UU terkait yaitu: UU
Pemilu. Sehingga substansi dari rancangan peraturan tersebut tidak boleh
bertentangan dengan UU Pemilu.
Melihat persyaratan yang diatur dalam UU Pemilu terhadap Capres dan
Cawapres yang dapat dikatakan memiliki perlakuan yang berbeda dengan
persyaratan calon anggota legislatif dalam hal dapat tidaknya mantan terpidana
korupsi untuk menduduki jabaktan tersebut tidak terlepas dari pengaruh
dinamika politik dalam pembahasan dan pembentukan UU tersebut. Menurut
Mahfud MD, kegiatan Legislatif (pembuatan UU) dalam kenyataanya memang
lebih banyak membuat keputusan-keputusan politik dibandingkan dengan
menjalakan hukum yang sesungguhnya, lebih-lebih jika pekerjaan hukum itu
ddikaitkan dengan masalah prosedur. Tampak jelas bahwa lembaga legislatif (
yang menetapkan produk hukum) sebernya lebih dekat dengan politik daripada

18
dengn hukum itu sendiri. Seyogyana jika UU pemilu masih memperbolehkan
keikutsertaan mantan terpidan korupsi dalam pemilu legislatif maka seharusnya
UU pemilu juga tidak memberi batasan dalam persyatratan bagi Capres dan
Cawapres mantan terpidan korupsi untuk ikut serta dalam pemilihan presiden
dan wakil presiden. Akan tetapi hal tersebut merupakan hal yang telah di atur
oleh undang-undang dan harus dilaksanakan sebagai hukum yang sudah
ditetapkan.
Akan tetapi sebagai Negara hukum dimana paham positivisme hukum
tumbuh kuat dan mengakar dalam pemahaman bahwa hukum secara tegas
dipisahkan dari moral, keadilan, dan tidak didasarkan atas pertimbangan atau
penilaian baik-buruk. Hukum merupakan apa yang tertulis dalam berbagai
peraturan yang ada. Karena yang dipersoalkan bukanlah ‘bagaimana hukum itu
seharusnya’ melainkan ‘apa hukumnya’.
Pemahaman hukum di Indonesia pada umumnya bersifat normatif, segala
tindakan yang hendak dilakukan harus didasarkan pada aturan tertulis dan
kelaziman atau prinsip yang berlaku universal.
Jika dicermati upaya yang dilakukan KPU tersebut adalah suatu langkah
progresif bagi upaya pemberantas korupsi dalam rangka menciptakan
pemerintah yang bersih melalui pemilu legilatif, dengan mengharuskan calon
anggota legislatif memiliki rekam jejak yang bersih (bukan mantan terpidana)
terutama tindak pidana korupsi. Akan tetapi sebagai Negara hukum yang
demokratis dimana setiap tindakan pemerintahan harus berdasarkan hukum
maka niat baik tersebut dinilai bertentangan dengan peraturan yang ada
diatasnya.

19
BAB III

KESIMPULAN

KESIMPULAN
Hakekat positivisme hukum menurut Austin adalah ”Law is a command set,
either directly or circuitously, by a sovereign individual or body, to a member or
members of some independent political society in which his auhority is supreme.” Jadi
hukum adalah seperangkat perintah, baik langsung ataupun tidak langsung, dari pihak
yang berkuasa kepada warga masyarakatnya yang merupakan masyarakat politik yang
independen, dimana otoritasnya (pihak yang berkuasa) merupakan otoritas yang
tertinggi.

Norma hukum bagi Hans Kelsen selalu diciptakan melalui kehendak. Norma-
norma tersebut akan menjadi mengikat masyarakat apabila norma tersebut dikehendaki
menjadi hukum dan harus dibentuk secara tertulis dengan dikeluarkan oleh lembaga
yang berwenang dan memuat suatu perintah. Teori yang dikeluarkan oleh Hans Kelsen
dengan nama Teori Hukum Murni, dikatakan bahwa “Hukum ditaati bukan karena
dinilai baik atau adil, tetapi karena hukum itu telah ditulis dan disahkan penguasa”.

Dalam pandangan Hart penegasan bahwa diantara hukum dan moralitas ada
suatu hubungan yang perlu atau mutlak memiliki banyak ragam pemahaman yang
penting namun tidak semua hubungan itu terlihat jelas. Hart mengakui bahwa hukum,
keadilan, dan moral memiliki hubungan yang sangat dekat. Bahkan salah satu aspek
keadilan, yaitu keadilan administratif, dan dalam hukum kodrat minimum, hukum dan
moralitas berhubungan secara “mutlak”.

Hans Kelsen sebagai penganut Positivisme Hukum, Hans Kelsen mengatakan


bahwa Norma yang mendasar tidak identik dengan hukum alam (natural law) dan ia
menolak hukum alam.

Hart termasuk penganut positivisme hukum tetapi Hart menerima adanya bagian
tertentu dari Hukum Alam, walaupun hanya secara minimum. Sehingga ada yang
mengatakan bahwa teori Hart juga merupakan kebangkitan kembali dari Teori Hukum
Alam. Sama seperti Austin, Hart berpendapat bahwa undang-undang merupakan
perintah manusia yang memiliki kuasa, karena itu wajib dituruti.

20
DAFTAR PUSTAKA
BUKU

Samekto, Adji, 2009, Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional, Bandung:


P.T. Citra Aditya Bakti

Huijbers, Theo, 2009, Filsafat Hukum, Yogyakarta: PT. Kanisius

Rahardjo, Satjipto, 1995, Ilmu Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti

Soeroso, R, 1993, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika

Irianto, Sulistyowati dan Shidarta, 2009, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi


dan Refleksi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Ali, Achmad, 2012, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence):Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Jakarta :
Kencana Prenada Media Group, Cet. Keempat

Bernard L. Tanya, Ed. All, 2010, Teori Hukum, Yogyakarta: Genta Publishing

Dworkin, Ronald, 1978, Taking Right Seriously, Cambridge: Harvard


University Press
Hart, H. L. A, 1972, The Concept of Law, Oxford: Oxford University Press
Freeman, M. D. A, 1985, Llyod’s Introdukction to Jurisprudence, London:
Steven & Sons, Fifth Edition
Serlika Aprita dan Rio Aditya, 2020, Filsafat Hukum, Depok: Rajawali Press
Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, 2007, Ilmu Hukum dan Filsafat
Hukum, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Astomo, Putero, 2014, “Perbandingan Pemikiran Hans Kelsen Tentang Hukum
Dengan Gagasan Satjipto Rahardjo Tentang Hukum Progresif Berbasis Teori Hukum”
Yustisia, Edisi 90
Telly Sumbu, Ralfie Pinasang, dan Frans Maramis, 2016, Buku Ajar Filsafat
Hukum, Manado: Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Universitas
Sam Ratulangi

21
JURNAL

Islamiyati, 2018, “Kritik Filsafat Hukum Positivisme sebagai Upaya


Mewujudkan Hukum yang Berkeadilan”, Law & Justice Journal

Adji Samekto, FX, 2019 “Menelusuri Akar Pemikiran Hans Kelsen Tentang
Stufenbeautheorie Dalam Pendekatan Normatif-Filosofis”. Jurnal Hukum Progresif.
Vol. 7, No. 1

Petrus C.K.L. Bello, 2013, Hubungan Hukum dan Moralitas Menurut H. L. A.


Hart, Jurnal hukum dan Pembangunan Tahun ke-43, No. 3

Hermanto, Asep Bambang, 2016, Ajaran Positivisme Hukum di Indonesia:


Kritik dan Alternatif Solusinya, Selisik, Vol. 2, Nomor 4

Zaini, Zulfi Diane, 2012, Perspektif Hukum Sebagai Landasan Pembangunan


Ekonomi di Indonesia (Sebuah Pendekatan Filsafat), Jurnal Hukum, Vol. XXVIII, No. 2

Krismiaji, 2011, Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi di Indonesia,


Wahana, Vol. 14, No. 2

22

Anda mungkin juga menyukai