2021 / 1442 H
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
penulisan makalah yang berjudul “Filsafat Hukum Pancasila” dengan baik.
Makalah ini telah kami susun dengan sebaik mungkin. Namun, terlepas dari
semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Kami berharap makalah ini dapat memberikan
manfaat maupun inspirasi dan juga ilmu yang bermanfaat terhadap pembaca. Akhir
kata, dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah ini.
Penulis
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................................... 1
DAFTAR ISI ................................................................................................................... 2
BAB I ............................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN ........................................................................................................... 3
A. LATAR BELAKANG ......................................................................................... 3
B. RUMUSAN MASALAH ..................................................................................... 4
C. TUJUAN MASALAH ......................................................................................... 5
BAB II .............................................................................................................................. 6
PEMBAHASAN .............................................................................................................. 6
A. Pandangan John Austin, Hans Kelsen, dan H.L.A. Hart Mengenai Filsafat
Hukum Aliran Positivisme ......................................................................................... 6
a) John Austin ....................................................................................................... 6
b) Hans Kelsen ...................................................................................................... 8
c) H.L.A. Hart....................................................................................................... 9
B. Pandangan Aliran Positivisme Terhadap Filsafat Aliran Naturalis ( Hukum
Alam ) ......................................................................................................................... 13
a) Hans Kelsen .................................................................................................... 13
b) H.L.A. Hart..................................................................................................... 13
C. Contoh-Contoh Dalam Kehidupan Bernegara Yang Dapat Dikaitkan
Dengan Aliran Positivisme ....................................................................................... 14
1. Kriminalisasi Akibat UU ITE ....................................................................... 14
2. Pengundangan Undang-Undang Cipta Kerja yang Kontroversi .............. 15
3. Kepastian Hukum dalam Kegiatan Ekonomi ............................................. 16
4. Mantan Koruptor Berpartisipasi lagi dalam Pilkada ................................ 17
BAB III .......................................................................................................................... 20
KESIMPULAN ............................................................................................................. 20
KESIMPULAN ......................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 21
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Ilmu hukum terus mengalami perkembangan dari masa ke masa. Ilmu hukum
yang dikembangkan oleh aliran filsafat positivisme menunjukan, bahwa hukum itu
bersifat konkret, bebas nilai, imparsial, impersonal dan obyektif.1 Ilmu hukum menurut
aliran filsafat positivisme akan melahirkan konsep hukum positif, yakni seperangkat
ketentun hukum tertulis yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang dan
mengadung perintah. Selain itu, hukum juga dikonsepsikan sebagai peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan oleh pengusa atau Negara, yang berwujud
perintah yang harus ditaati karena mengandung sanksi. Hukum positif mengandung
nilai-nilai yang telah ditetapkan berdasarkan kesepakatan, kemudian diintegrasikan
dalam norma yang tertuang dalam hukum positif.2 Jadi dalam aliran hukum positivisme,
konsep hukum juga mengadung nilai-nilai (values) yang terdapat dalam hukum positif
(perundang-undangan), hanya nilai itu telah dibahas dan ditetapkan ketika proses
pembuatan hukum positif. Ilmu hukum tidak membahas apakah hukum positif itu baik
atau buruk, dan tidak pula membahas soal efektivitas hukum dalam masyarakat.3
Positivisne adalah suatu aliran dalam filsafat hukum yang beranggapan bahwa
teori hukum itu dikonsepsikan sebagai ius yang telah mengalami positifisasi sebagai
lege atau lex, guna menjamin kepastian antara yang terbilang hukum atau tidak. Filsafat
hukum positivisme muncul pada abad 18-19 dan berkembang di Eropa Kontinental,
khususnya Prancis.4 Dalam aliran positivisme sangatlah mengagungkan hukum yang
tertulis. Hal inilah yang menjadi pembeda dari aliran hukum sebelumnya yang tidak
memprioritaskan hukum dalam keadaan tertulis. Pandangan ini biasanya digunakan oleh
negara untuk mengatur rakyatnya dalam kehidupan bermasyarakat melalui suatu
pertaturan perundang-undangan. Penganut aliran ini berpandangan jika hukum telah
dibukukan atau dituliskan, maka pemaksaan dalam pemberlakuannya bisa dilaksanakan
1
Adji Samekto, Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009,
hal. 48
2
Theo Huijbers, Filsafat Hukum. Yogyakarta, PT. Kanisius, 2009, hal. 33
3
Adji Samekto, Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009,
hal. 42
4
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 267.
3
meskipun begitu, dalam hukum tertulis tentunya tidaklah dapat dijadikan sebagaI
hukum yang paling bagus dan paling sempurna. Tentu ada beberapa hal yang menjadi
kelemahan sekaligus kelebihan dari hukum tertulis dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Pandangan John Austin, Hans Kelsen, dan H.L.A. Hart
Mengenai Filsafat Hukum Aliran Positivisme?
2. Bagaimana Pandangan Aliran Positivisme Terhadap Filsafat Aliran
Naturalis?
3. Apa Saja Contoh-Contoh Dalam Kehidupan Bernegara Yang Dapat
Dikaitkan Dengan Aliran Positivisme?
5
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika , Jakarta, 1993, hal.87
6
Irianto, Sulistyowati dan Shidarta, 2009, Metode Penelitian Hukum : Konstelasi dan Refleksi, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, hal.13
4
C. TUJUAN MASALAH
1. Untuk Mengetahui dan Memahami Bagaimana Pandangan John Austin,
Hans Kelsen, dan H.L.A. Hart Mengenai Filsafat Hukum Aliran Positivisme
2. Untuk Mengetahui dan Memahami Bagaimana Pandangan Aliran
Positivisme Terhadap Filsafat Aliran Naturalis
3. Untuk Mengetahui dan Memahami Contoh-Contoh Dalam Kehidupan
Bernegara Yang Dapat Dikaitkan Dengan Aliran Positivisme
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pandangan John Austin, Hans Kelsen, dan H.L.A. Hart Mengenai Filsafat
Hukum Aliran Positivisme
a) John Austin
John Austin (1790-1859) merupakan salah satu pemikir positivisme
hukum yang ditempatkan sebagai “the founding father of legal positivisme”.
John Austin mendefinisikan hukum positif sebagai “the concepts of sovereignty,
subjection, and independent political community”.7 Hakekat positivisme hukum
menurut Austin adalah ”Law is a command set, either directly or circuitously, by
a sovereign individual or body, to a member or members of some independent
political society in which his auhority is supreme.” Jadi hukum adalah
seperangkat perintah, baik langsung ataupun tidak langsung, dari pihak yang
berkuasa kepada warga masyarakatnya yang merupakan masyarakat politik yang
independen, dimana otoritasnya (pihak yang berkuasa) merupakan otoritas yang
tertinggi.8 Austin memiliki pendapat yang dikenal dengan istilah analytical
jurisprudence yang bermakna bahwa hukum adalah perintah dari penguasa yang
dituangkan dalam bentuk perundang-undangan, sehingga unsur terpenting dalam
pendapat Austin adalah “perintah” (command).9 Perintah yang dimaksud dalam
pendapat Austin adalah perintah umum dari entitas politik yang memiliki
kedaulatan, yaitu otoritas politik tertinggi (the supreme political authority) yang
berfungsi untuk mengatur perilaku masyarakat. Kedaulatan tersebut dapat
dimiliki oleh individu ataupun kelompok dengan syarat:
7
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence):Termasuk
Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2012, Cet.
Keempat), h. 56.
8
Ibid.
9
Islamiyati, “Kritik Filsafat Hukum Positivisme sebagai Upaya Mewujudkan Hukum yang Berkeadilan”,
Law & Justice Journal, I, 1 (November, 2018), h. 87.
6
b. Individu atau kelompok individu yang berdaulat ini tidak patuh pada
siapapun juga di atasnya
a. Hukum Tuhan
b. Hukum manusia
10
Bernard L. Tanya, Ed. All, Teori Hukum, (Yogyakarta : Genta Publishing, 2010), h. 120.
11
Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: PT. Kanisius, 2009), h. 41.
7
lain adalah produk politik atau kekuasaan. Hukum menurut Austin harus
dipahami dalam arti perintah karena hukum seharusnya tidak memberi
ruang untuk memilih (apakah mematuhi atau tidak mematuhi). Austin
menegaskan bahwa hukum bukan setumpuk peraturan atau nasihat moral,
namun hukum sebagai perintah, yang memuat dua elemen dasar yaitu
hukum sebagai keinginan penguasa harus ditaati, dan hukum memiliki
kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang tidak menyenangkan atau
bahkan membahayakan subjek yang melanggarnya. Individu yang terkena
perintah, ada keharusan untuk mentaatinya. Kegagalan memenuhi tuntutan
perintah, akan mendapat sanksi hukum. Pemikiran John Austin ini tentu
masih terwujud dalam pembangunan hukum di Indonesia saat ini. Hal
tersebut dapat dilihat dalam peraturan perundang-undangan khususnya
undang-undang yang merupakan produk politik dari Pemerintah (eksekutif)
dengan Parlemen (legislatif). Terlihat bahwa dalam proses pembentukan
hukum di Indonesia terdapat suatu ruang bagi masuknya proses politik
melalui wadah institusi politik untuk membentu suatu produk hukum.
b) Hans Kelsen
Hans kelsen merupakan salah satu tokoh hukum yang memperkenalkan
ajarannya yang dikenal dengan Stufenbeautheorie sebagai sebuah teori hukum.
Dalam paparan seorang Hans Kelsen dalam Stufenbeautheorie bertujuan untuk
menjelaskan bagaimana sesungguhnya hukum itu berasal, hingga muncul
dalam peraturan hukum positif. Pemikiran Hans Kelsen tentang hukum dalam
Stufenbeautheorie merupakan puncak dari pemikirannya bahwa hukum
sesungguhnya merupakan peraturan-peraturan yang berlaku untuk mengatur
masyarakat, tetapi berlandaskan pada nilai-nilai yang disepakati bersama oleh
masyarakat.12
12
FX Adji Samekto, “Menelusuri Akar Pemikiran Hans Kelsen Tentang Stufenbeautheorie Dalam
Pendekatan Normatif-Filosofis”. Jurnal Hukum Progresif. Vol. 7, No. 1, April 2019, hal. 1.
8
didasarkan pada keharusan-keharusan (apa yang seharusnya atau das sollen)13.
norma merupakan bentuk pemikiran manusia yang bersifat deliberatif yang di
mana menjadi sebuah norma kalau memang dikehendaki menjadi norma yang
ditentukan dengan berlandaskan pada moralitas dan nilai-nilai baik di
masyarakat. Norma hukum bagi Hans Kelsen selalu diciptakan melalui
kehendak. Norma-norma tersebut akan menjadi mengikat masyarakat apabila
norma tersebut dikehendaki menjadi hukum dan harus dibentuk secara tertulis
dengan dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang dan memuat suatu perintah.
Teori yang dikeluarkan oleh Hans Kelsen dengan nama Teori Hukum Murni,
dikatakan bahwa “Hukum ditaati bukan karena dinilai baik atau adil, tetapi
karena hukum itu telah ditulis dan disahkan penguasa”.
c) H.L.A. Hart
Hart membangun tesisnya tentang positivisme lebih kompleks daripada
Austin. Hart membagi peraturan menjadi dua macam, yakni peraturan primer
(primary rules) dan peraturan sekunder (secondary rules). Peraturan primer
berisi hak dan kewajiban, yakni tentang apa yang dilarang dan boleh dilakukan
oleh individu-individu. Dalam sistem masyarakat yang sederhana hanya
13
Putero Astomo, “Perbandingan Pemikiran Hans Kelsen Tentang Hukum Dengan Gagasan Satjipto
Rahardjo Tentang Hukum Progresif Berbasis Teori Hukum” Yustisia, Edisi 90 September - Desember
2014, hal. 5.
9
mempunyai peraturan primer itu. Mereka sudah merasa cukup memiliki
peraturan primer karena semua orang terikat dan patuh menjalankannya.
Namun dalam masyarakat yang demikian tidak dapat dikatakan mempunyai
“hukum” sebagaimana yang disyaratkan oleh penganut positivisme hukum
klasik, karena jika hukum bergantung pada penerimaan masyarakat maka
ketidakpastian hukum akan terjadi. Untuk mengatasinya, Hart kemudian
menekankan perlunya peraturan sekunder yang berhubungan dengan
pembuatan, penafsiran, penerapan, dan perubahan peraturan-peraturan primer,
misalnya aturan yang harus diikuti oleh pembentuk undang-undang,
pengadilan, dan administrasi pada saat menerapkan aturan primer.14
Hart menegaskan bahwa dalam kombinasi dua tipe aturan ini terletak
apa yang dengan keliru diklaim Austin ditemukan dalam gagasan perintah yang
ditopang sanksi sebagai kunci ilmu yurisprudensi.15 Dengan kata lain, Hart
mengklaim kombinasi dua aturan ini sebagai kunci dalam memahami hukum.
Maksud Hart adalah bahwa melalui dua tipe aturan ini banyak gagasan yang
membangun kerangka pemikiran hukum seperti gagasan tentang kewajiban dan
validitas hukum dapat dijelaskan. Karena alasan ini, Hart tidak ragu lagi
menyebut aturan primer dan sekunder ini sebagai esensi dari hukum.16
Meskipun sesama positivisme hukum, Hart menolak teori Austin
tentang perintah dan sanksi dengan membedakan antara “a valid law” dan “the
orders of a gunman”. Kelemahan dasar pemikiran Austin tentang “perintah”
dan “sanksi”: “karena takut masyarakat mematuhi perintah gerombolan
penjahat bersenjata karena ancaman sanksi bila tidak memetuhi perintahnya”.
Apakah “perintah” dan “sanksi” gerombolan penjahat bersenjata dapat
dikategorikan hukum? Dengan demikian, koreksi Hart menyelamatkan
fundamen positivisme dari kekeliruan Austin. Tetapi sebagai positivis,
14
Ronald Dworkin, Taking Right Seriously, (Cambridge: Harvard University Press, 1978),
hlm.19
15
H. L. A. Hart, The Concept of Law, (Oxford: Oxford University Press, 1972), hlm. 81, 155.
16
Petrus C.K.L. Bello, Hubungan Hukum dan Moralitas Menurut H. L. A. Hart, Jurnal hukum
dan Pembangunan Tahun ke-43, No. 3, Juli-September 2013, hlm. 351.
10
sebagaimana Austin dan Kelsen, Hart tidak percaya hukum dapat diturunkan
dari moral.17
Dalam pandangan Hart penegasan bahwa diantara hukum dan moralitas
ada suatu hubungan yang perlu atau mutlak memiliki banyak ragam
pemahaman yang penting namun tidak semua hubungan itu terlihat jelas. Hart
mengakui bahwa hukum, keadilan, dan moral memiliki hubungan yang sangat
dekat. Bahkan salah satu aspek keadilan, yaitu keadilan administratif, dan
dalam hukum kodrat minimum, hukum dan moralitas berhubungan secara
“mutlak”. Keadilan administratif yang dimaksud di sini tidak lain keadilan
dalam penerapan hukum. Penerapan hukuman terhadap seseorang hanya
didasarkan pada karakteristik yang disebutkan dalam hukum. Keadilan dalam
penerapan hukum ini menurut Hart memiliki hubungan yang mutlak dengan
hukum. Namun, hubungan mutlak ini hanya menyangkut administrasi hukum
dan keadilan jenis ini bisa juga dapat terjadi dalam sebuah sistem hukum yang
di dalamnya penuh dengan hukum yang tidak adil.
Selain dalam administrasi hukum, Hart juga mengakui hubungan
penting antara hukum dan moralitas dalam hukum kodrat minimum. Hukum
kodrat minimum tidak lain pandangan Hart sendiri mengenai kodrat manusia
yang berbeda dengan hukum kodrat klasik, menurutnya kodrat manusia yang
paling dasar adalah bertahan hidup, sebab dengan bertahan hidup manusia
dapat memenuhi tujuan hidup lainnya. Untuk dapat bertahan hidup, disamping
memerlukan ketersediaan bahan konsumsi, manusia juga memerlukan aturan
yang dapat menjaga kehidupan bersama mereka. Di sinilah moralitas dan
hukum bertemu, kedua aturan ini, meski berbeda, sama-sama menuntut hal
yang sama, yaitu terpeliharanya kehidupan bersama manusia.18
H. L. A. Hart mengatakan oleh karena hukum harus konkret maka harus
ada pihak yang menuliskan. Pengertian “yang menuliskan” itu menunjuk
pengertian bahwa hukum harus dikeluarkan oleh suatu pribadi (subjek) yang
memang mempunyai otoritas untuk menerbitkan dan menuliskannya. Otoritas
tersebut adalah negara. Otoritas negara ditunjukkan dengan adanya atribut
17
M. D. A. Freeman, Llyod’s Introdukction to Jurisprudence, (London: Steven & Sons, Fifth
Edition, 1985), hlm. 338.
18
Serlika Aprita dan Rio Aditya, Filsafat Hukum, (Depok: Rajawali Press, 2020), hlm. 230.
11
negara, berupa kedaulatan negara. Berdasarkan kedaulatannya, secara internal
negara berwenang untuk mengeluarkan dan memberlakukan apa yang disebut
sebagai hukum positif. Selanjutnya H. L. A. Hart menyatakan:19 (1) hukum
(yang sudah dikonkretisasi dalam bentuk hukum positif) harus mengandung
perintah; (2) tidak selalu harus ada kaitan antara hukum dengan moral dan
dibedakan dengan hukum yang seharusnya diciptakan (there is no necessary
connection between law and morals or law as it is and law as it ought to be).
Dalam The Concept of Law, Hart menjelaskan lebih jauh kekurangan
pandangan yang mengidentikkan hukum dengan moralitas dan menunjukkan
keunggulan dari konsep hukumnya sendiri yang memasukkan semua hukum,
termasuk hukum yang berlawanan dengan moralitas. Hart menyebut
pandangan yang hanya menerima hukum yang sejalan dengan moralitas
sebagai konsop hukum yang lebih sempit sementara hukum Hart dan positivis
lainnya ia sebut sebagai konsep hukum yang lebih luas. Argumentasi Hart
mengenai pemisahan hukum dan moralitas, salah satunya didasarkan pada
uraiannya mengenai kekurangan penggunaan konsep hukum yang lebih sempit
ini. Menurut Hart isu paling penting terkait pemisahan hukum dan moralitas
berangkali adalah soal kritik terhadap hukum itu sendiri. Mengikuti pandangan
Bentham dan Austin, Hart berpandangan identifikasi antara moral dan hukum
akan mengarah pada dua kemungkinan yaitu konservatisme dan anarkisme.
Dari uraian mengenai hubungan hubungan hukum dan moralitas di atas
kiranya kita dapat meringkas beberapa hal penting. Pertama, Hart tidak
menolak adanya hubungan hukum dan moralitas. Kedua, bahwa yang
ditegaskan Hart mengenai keterpisahan hukum dan moralitas sebenarnya
adalah upaya menunjukkan hubungan keduanya tidak bersifat mutlak atau
perlu, definisi hukum tidak perlu mengacu pada moralitas. Ketiga,
mengidentikkan hukum dengan moralitas menurut Hart akan meyebabkan
kekaburan upaya memecahkan masalah hukum dan moralitas itu sendiri. Selain
itu, menyamakan hukum dengan moralitas secara praktis pada dua sikap yang
membahayakan, yaitu konservatisme dan anarkisme. Para konservatif akan
memahami perintah hukum, apa pun isi perintah itu, adalah perintah moral.
19
Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 97-99.
12
Karena itu, hukum menjadi tertutup, tidak bisa dikritik. Sementara para anarkis
akan berbuat sekehendak hatinya pada hukum. Jika hkum itu tidak sejalan
dengan pandangan moralnya maka ia akan menentang meskipun untuk itu ia
harus mengorbankan kepentingan masyarakat umum. Ringkasnya, desakan
Hart untuk memisahkan hukum dan moralitas justru dimaksudkan untuk
membuat hukum itu sendiri terbuka pada kritik moral.20
a) Hans Kelsen
Hans Kelsen sebagai penganut Positivisme Hukum, Hans Kelsen
mengatakan bahwa Norma yang mendasar tidak identik dengan hukum alam
(natural law) dan ia menolak hukum alam. Hukum alam adalah hubungan
sebab-akibat yang pasti, jadi hukum alam adalah hukum yang ada pada sistem
itu sendiri. Sedangkan Bidang Seharusnya merupakan di luar dari sistem itu atau
dapat dikatakan di luar hubungan sebab-akibat. Sifat dari kata “Seharusnya” itu
akan menjadi sebuah norma jika itu dikehendaki secara bersama sebagai norma
yang akan ditaati oleh masyarakat yang kemudian dituliskan dalam wujud
peraturan hukum yang mengikat (hukum positif). Bagi Hans Kelsen, satu-
satunya hukum yang benar adalah hukum positif, bukan hukum alam.21
b) H.L.A. Hart
Teori Herbert Lionel Adolphus Hart (1907-1992) dinamakan Teori
Positivisme Hukum dengan Isi Minimum dari Hukum Alam (the minimum
content of natural law). Hart mengkaji tradisi Wittgenstein dan Austin yang
menempatkan hukum sebagai suatu fusi dua perangkat kaidah. Pertama kaidah
yang menetapkan kewajiban, dan kedua yang menyangkut pengakuan dan
penyesuaian kaidah pertama. Walaupun Hart termasuk penganut positivisme
20
Serlika Aprita dan Rio Aditya, Filsafat Hukum, (Depok: Rajawali Press, 2020), hlm. 236-237.
21
Putero Astomo, “Perbandingan Pemikiran Hans Kelsen Tentang Hukum Dengan Gagasan Satjipto
Rahardjo Tentang Hukum Progresif Berbasis Teori Hukum” Yustisia, Edisi 90 September - Desember
2014, hal. 8.
13
hukum tetapi Hart menerima adanya bagian tertentu dari Hukum Alam,
walaupun hanya secara minimum. Sehingga ada yang mengatakan bahwa teori
Hart juga merupakan kebangkitan kembali dari Teori Hukum Alam.22 Sama
seperti Austin, Hart berpendapat bahwa undang-undang merupakan perintah
manusia yang memiliki kuasa, karena itu wajib dituruti. Hart menuliskan, “The
most prominent sgeneral feature of law at all times and places is that its
existence means that certain kinds of human conduct are no langer optional, but
in some sense obligatory”23
Terkait dengan realitas objektif, apakah benar kajian hukum positif bisa
dipisahkan dari nilai-nilai tertentu seperti moral? Bukankah hukum positif dibuat
dalam tatanan yang terikat pada ruang dan waktu, sehingga ada nilai-nilai
tertentu yang akan mempengaruhinya? Bukankah nilai-nilai tertentu bahkan
kepentingan-kepentingan tertentu dapat mengikat pembuat hukum maupun
adressat hukum, sehingga harus dikatakan bahwa hukum positif pun terbit
sebagai produk nilai-nilai tertentu.24
22
Telly Sumbu, Ralfie Pinasang, dan Frans Maramis, Buku Ajar Filsafat Hukum, (Manado:
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Universitas Sam Ratulangi, 2016), hlm. 24.
23
H. L. A. Hart, The Concept of Law, (Oxford: Oxford University Press, 1972).
24
Asep Bambang Hermanto, Ajaran Positivisme Hukum di Indonesia: Kritik dan Alternatif
Solusinya, Selisik, Vol. 2, Nomor 4, Desember 2016, hlm. 112.
14
menerima putusan pada tingkat kasasi dengan vonis 6 bulan penjara dan denda
Rp. 500.000.000,00 subsidair 3 bulan kurungan atas pelanggaran terhadap Pasal
27 ayat (1) UU ITE.
15
3. Kepastian Hukum dalam Kegiatan Ekonomi
Dalam kehidupan bernegara, pemerintah sebagai pemegang kekuasaan
haruslah dapat berperan dalam menciptakan masyarakat yang sejahtera.
Indonesia yang merupakan negara hukum, mengindikasikan bahwa pemerintah
melalui produk hukum yang dibuat dapat mengatur segala aspek dalam
kehiduapan warga negaranya, termasuk pada aspek ekonomi. Peranan hukum
dalam pembangunan ekonomi suatu bangsa merupakan sesuatu yang tidak
dapat diabaikan keberadaannya. Sehingga sangat jelas, jika kondisi hukum
suatu bangsa itu efektif, maka pembangunan ekonomi pun akan mudah untuk
dilaksanakan. Namun, sebaliknya jika hukum tidak mampu berperan secara
efektif, maka dapat dipastikan akan berdampak buruk terhadap pembangunan
ekonomi.25 Kondisi ini tentu berlaku pula bagi Indonesia sebagai sebuah negara
yang sedang giat-giatnya melakukan pembangunan ekonomi. Apalagi, tatkala
Indonesia menyatakan diri dalam konstitusinya sebagai negara hukum
(rechtstaat). Dari sini tersirat pula bahwa Indonesia menghendaki dua hal;
Pertama, hukum diharapkan dapat berfungsi; dan Kedua, dengan hukum dapat
berfungsi, maka pembangunan ekonomi pun akan mudah untuk direalisasikan.
Kepastian hukum tentunya sangat berdampak pada roda ekonomi
Indonesia. Di Indonesia, suatu aspek perlu diatur melalui hukum untuk
menjadikannya sah dan legal, atau dengan kata lain suatu hal tersebut tidak
melanggar hukum. Dalam rangka agar hukum mampu memainkan peranannya
untuk memberikan kepastian hukum pada pelaku ekonomi, maka pemerintah
bertanggungjawab menjadikan hukum berwibawa dengan jalan merespon dan
menindaklanjuti pendapat dan keinginan pakar-pakar ekonomi. Sehingga
kedepan diharapkan hukum mampu memainkan peranannya sebagai faktor
pemandu, pembimbing, dan menciptakan iklim kondusif pada bidang
ekonomi.26
Lalu kepastian hukum dalam kegiatan ekonomi sudah tentu berjalan
segaris dengan teori positivisme. Dalam teori tersebut, menghendaki bahwa
25
Zulfi Diane Zaini, Perspektif Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi di Indonesia
(Sebuah Pendekatan Filsafat), Jurnal Hukum, Vol. XXVIII, No. 2, Desember 2012, hlm. 931.
26
Krismiaji, Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi di Indonesia, Wahana, Vol. 14, No.
2, Agustus 2011, hlm. 94.
16
suatu negara yang dikuasai oleh suatu pemimpin yang dalam hal ini
pemerintah, harus mampu menciptakan produk hukum untuk kemudian hadir
sebagai pedoman dalam pelaksanaan segala aspek kehidupan bernegara. Sektor
ekonomi yang merupakan salah satu sektor yang paling berpengaruh, sangat
memerlukan kehadiran hukum. Perkembangan ekonomi yang berjalan pesat
seiring dengan perkembangan teknologi, harus juga diiringi dengan peraturan
maupun regulasi yang adaptif dan mengikuti perkembangan ekonomi. Suatu
produk hukum yang diciptakan oleh penguasa sangat diperlukan, terlebih lagi
jika produk tersebut dapat mengatur masa depan sektor ekonomi. Tanpa adanya
positivisme hukum, maka “pedoman” dalam menjalankan ekonomi akan
tersendat karena minimnya hukum yang mengatur dan yang akan membukakan
jalan kedepannya bagi sektor ekonomi. Jika suatu produk hukum telah hadir
dan mampu memecahkan segala permasalahan, maka roda ekonomi suatu
negara akan berjalan secara optimal. Namun, dalam menciptakan produk
hukum tersebut juga harus memperhatikan aspek-aspek lain sehingga tidak ada
pihak yang merasa dirugikan.
18
dengn hukum itu sendiri. Seyogyana jika UU pemilu masih memperbolehkan
keikutsertaan mantan terpidan korupsi dalam pemilu legislatif maka seharusnya
UU pemilu juga tidak memberi batasan dalam persyatratan bagi Capres dan
Cawapres mantan terpidan korupsi untuk ikut serta dalam pemilihan presiden
dan wakil presiden. Akan tetapi hal tersebut merupakan hal yang telah di atur
oleh undang-undang dan harus dilaksanakan sebagai hukum yang sudah
ditetapkan.
Akan tetapi sebagai Negara hukum dimana paham positivisme hukum
tumbuh kuat dan mengakar dalam pemahaman bahwa hukum secara tegas
dipisahkan dari moral, keadilan, dan tidak didasarkan atas pertimbangan atau
penilaian baik-buruk. Hukum merupakan apa yang tertulis dalam berbagai
peraturan yang ada. Karena yang dipersoalkan bukanlah ‘bagaimana hukum itu
seharusnya’ melainkan ‘apa hukumnya’.
Pemahaman hukum di Indonesia pada umumnya bersifat normatif, segala
tindakan yang hendak dilakukan harus didasarkan pada aturan tertulis dan
kelaziman atau prinsip yang berlaku universal.
Jika dicermati upaya yang dilakukan KPU tersebut adalah suatu langkah
progresif bagi upaya pemberantas korupsi dalam rangka menciptakan
pemerintah yang bersih melalui pemilu legilatif, dengan mengharuskan calon
anggota legislatif memiliki rekam jejak yang bersih (bukan mantan terpidana)
terutama tindak pidana korupsi. Akan tetapi sebagai Negara hukum yang
demokratis dimana setiap tindakan pemerintahan harus berdasarkan hukum
maka niat baik tersebut dinilai bertentangan dengan peraturan yang ada
diatasnya.
19
BAB III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
Hakekat positivisme hukum menurut Austin adalah ”Law is a command set,
either directly or circuitously, by a sovereign individual or body, to a member or
members of some independent political society in which his auhority is supreme.” Jadi
hukum adalah seperangkat perintah, baik langsung ataupun tidak langsung, dari pihak
yang berkuasa kepada warga masyarakatnya yang merupakan masyarakat politik yang
independen, dimana otoritasnya (pihak yang berkuasa) merupakan otoritas yang
tertinggi.
Norma hukum bagi Hans Kelsen selalu diciptakan melalui kehendak. Norma-
norma tersebut akan menjadi mengikat masyarakat apabila norma tersebut dikehendaki
menjadi hukum dan harus dibentuk secara tertulis dengan dikeluarkan oleh lembaga
yang berwenang dan memuat suatu perintah. Teori yang dikeluarkan oleh Hans Kelsen
dengan nama Teori Hukum Murni, dikatakan bahwa “Hukum ditaati bukan karena
dinilai baik atau adil, tetapi karena hukum itu telah ditulis dan disahkan penguasa”.
Dalam pandangan Hart penegasan bahwa diantara hukum dan moralitas ada
suatu hubungan yang perlu atau mutlak memiliki banyak ragam pemahaman yang
penting namun tidak semua hubungan itu terlihat jelas. Hart mengakui bahwa hukum,
keadilan, dan moral memiliki hubungan yang sangat dekat. Bahkan salah satu aspek
keadilan, yaitu keadilan administratif, dan dalam hukum kodrat minimum, hukum dan
moralitas berhubungan secara “mutlak”.
Hart termasuk penganut positivisme hukum tetapi Hart menerima adanya bagian
tertentu dari Hukum Alam, walaupun hanya secara minimum. Sehingga ada yang
mengatakan bahwa teori Hart juga merupakan kebangkitan kembali dari Teori Hukum
Alam. Sama seperti Austin, Hart berpendapat bahwa undang-undang merupakan
perintah manusia yang memiliki kuasa, karena itu wajib dituruti.
20
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Ali, Achmad, 2012, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence):Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Jakarta :
Kencana Prenada Media Group, Cet. Keempat
Bernard L. Tanya, Ed. All, 2010, Teori Hukum, Yogyakarta: Genta Publishing
21
JURNAL
Adji Samekto, FX, 2019 “Menelusuri Akar Pemikiran Hans Kelsen Tentang
Stufenbeautheorie Dalam Pendekatan Normatif-Filosofis”. Jurnal Hukum Progresif.
Vol. 7, No. 1
22