Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pajak

2.1.1 Pengertian pajak

Sebelum membicarakan perpajakan, perlu diketahui lebih dahulu

pengertian pajak.terhadap berbagai macam mengenai definisi pajak. diantaranya

memberikan pengertian pajak sebagai berikut:

1. Undang-Undang Ketentuan umum dan Tata Cara Perpajakan Tahun 2013,

Pasal 1 menyatakan:

“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang

pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang,

dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk

keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”

2. Soemahamidjaja (1993) menyatakan:

“pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh

penguasa berdasarkan norma hukum, guna menutup biaya produksi

barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan

umum.”

3. Soemitro (1994) menyatakan:

“pajak adalah iuran kepada kas Negara berdasarkan Undang-Undang (yang

dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbale balik

(kontraprestasi), yang langsung dapat ditujukan dan digunakan untuk

membayar pengeluaran umum.”

9
10

Unsur-unsur yang melekat dalam definisi pajak (Mardiasmo, 2013) yaitu:

1. Iuran dari rakyat kepada negara.

Yang berhak memungut pajak hanyalah negara dan iuran tersebut berupa

uang (bukan barang)

2. Berdasarkan Undang-undang

Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta

aturan pelaksanaannya

3. Tanpa jasa timbale atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung

dapat ditunjuk. Pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya

kontraprestasi individual oleh pemerintah.

4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-

pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

2.1.2 Fungsi Pajak

Sebagaimana telah diketahui ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak

dari berbagai definisi, terlihat adanya dua fungsi pajak yaitu fungsi budgeter dan

fungsi regulerend, namun dalam perkembangannya, fungsi pajak tersebut dapat

dikembangkan dan daitambah dua fungsi lagi, yaitu fungsi demokrasi dan fungsi

retribusi (Ilyas, 2010) sebagai berikut:

1. Fungsi Penerimaan (Budgeter)

pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan

pengeluaran-pengeluaran pemerintahan. Contoh, dimasukkannya pajak

dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri.


11

2. Fungsi mengatur (Regulerend)

pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan

dibidang sosial dan ekonomi. Contoh, pajak yang tinggi dikenakan

terhadap minuman keras untuk mengurangi konsumsi minuman keras,

demikian juga terhadap barang mewah, dan tariff pajak untuk ekspor

sebesar 0% untuk mendorong ekspor produk Indonesia di pasaran dunia.

3. Fungsi demokrasi

suatu fungsi yang merupakan salah satu penjelmaan atau wujud sistem

gotong royong, termasuk kegiatan pemerintah dan pembangunan demi

keselamatan manusia. Contoh, apabila seorang telah melakukan kewajiban

membayar pajak kepada negara sesuai dengan ketentuan yang berlaku,

maka ia mempunyai hak pula untuk mendapatkan pelayanan yang baik

dari pemerintah.

4. Fungsi Redistribusi

fungsi yang lebih menekankan pada unsure pemerataan dan keadilan

dalam masyarakat. Contoh, adanya tariff progresif yang mengenakan pajak

lebih besar kepada masyarakat yang mempunyai penghasilan besar dan

pajak yang lebih kecil kepada masyarakat yang mempunyai penghasilan

lebih sedikit (kecil).

2.1.3 Pengelompokan Pajak

Pengelompokan pajak dibedakan menjadi beberapa macam yaitu (Mardiasmo,

2013) :
12

a. Menurut Golongannya

1. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak

dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.

Contoh: Pajak Penghasilan (PPh)

2. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan

atau dilimpahkan kepada orang lain.

Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

b. Menurut Sifatnya

1. Pajak subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada

subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak.

Contoh: Pajak Penghasilan (PPh)

2. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa

memperhatikan keadaan diri wajib pajak.

Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang

Mewah (PPNBM)

c. Menurut Lembaga Pemungutnya

1. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan

digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.

Contoh: Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan

Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPNBM)

2. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan

digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.


13

Contoh: Pajak Propinsi, contoh: pajak kendaraan bermotor dan pajak bahan

bakar kendaraan bermotor.

Pajak Kabupaten/Kota, contoh: Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan

Pajak Hiburan.

2.1.4 Syarat Pemungutan Pajak

Pemungutan pajak harus memenuhi beberapa syarat, agar dalam

pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan. Syarat-syarat

adalah sebagai berikut:

1. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan)

Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai syarat keadilan, undang-

undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-

undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta

sesuai dengan kemampuan masing-masing, adil dalam melaksanakan

yakni dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan

keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada

majelis pertimbangan pajak.

2. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (Syarat Yuridis)

Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2, hal ini

memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara

maupun warganya.
14

3. Tidak mengganggu perekonomian ( Syarat Ekonomis)

Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi

maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan

perekonomian masyarakat.

4. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansiil)

Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus bias ditekan

sehingga lebih rendah dari hasil pemungutan.

5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana

Sistem pemungutan pajak yang sederhana akan memudahkan dan

mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Syarat ini

telah dipenuhi oleh undang-undang perpajakan yang baru.

2.2 Sistem Perpajakan

Sistem pemungutan pajak (Ilyas, 2010) dibagi menjadi empat macam, yaitu:

1. Official Assessment System

Sistem pemungutan pajak yang member wewenang kepada pemungut

pajak (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar (pajak

yang terutang) oleh seseorang. Sistem ini wajib pajak (WP) bersifat pasif

dan menunggu dikeluarkannya suatu ketetapan pajak oleh fiskus. Besarnya

utang pajak seseorang baru diketahui setelah adanya surat ketetapan pajak.

2. Semiself Assessment System

Suatu sistem pemungutan pajak yang member wewenang kepada fiskus

dan wajib pajak untuk menentukan besarnya pajak seseorang yang

terutang. Sistem ini setiap awal tahun pajak WP menentukan sendiri


15

besarnya pajak yang terutang untuk tahun berjalan yang merupakan

angsuran bagi WP yang harus disetor sendiri, baru kemudian pada akhir

tahun pajak fiskus menentukan besarnya utang pajak yang sesungguhnya

berdasarkan data yang dilaporkan oleh WP.

3. Self assessment System

Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang penuh kepada

WP untuk menghitung, memperhitungkan, menhyetorkan, dan melaporkan

sendiri besarnya utang pajak.sistem ini WP yang aktif sedangkan fiskus

tidak turut campur dalam penentuan besarnya pajak yang terutang

seseorang, kecuali WP melanggar ketentuan yang berlaku.

4. Withholding System

Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang member wewenang kepada

pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang akan bersangkutan)

untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-

cirinya adalah wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada

pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan wajib pajak.

2.3 Sanksi Perpajakan

Sanksi merupakan hukuman negatif kepada orang yang melanggar

peraturan, sehingga dapat dikatakan bahwa sanksi perpajakan adalah hukuman

kepada orang yang melanggar peraturan perpajakan. Sanksi perpajakan

merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan

(norma perpajakan) akan dituruti/ditaati/dipatuhi, atau dengan kata lain sanksi


16

perpajakan merupakan alat pencegah agar wajib pajak tidak melanggar norma

perpajakan (Mardiasmo, 2013).

Undang-undang perpajakan mengenalkan dua macam sanksi, yaitu sanksi

admisnistrasi dan sanksi pidana. Ancaman terhadap pelanggaran suatu norma ada

yang diancam dengan sanksi administrasi saja, ada yang hanya diancam sanksi

dengan pidana saja, dan ada juga yang diancam dengan sanksi administrasi dan

sanksi pidana. Perbedaan sanksi administrasi dan sanksi pidana menurut undang-

undang perpajakan adalah sebagai berikut:

a. Sanksi Administrasi

Sanksi administrasi merupakan pembayaran kerugian kepada negara. Sanksi

administrasi dapat dijatuhkan apabila wajib pajak melakukan pelanggaran,

terutama atas kewajiban yang ditentukan dalam Undang-Undang Ketentuan

Umum dan Tata Cara Perpajakan 2013 dapat berupa:

1) Sanksi Administrasi berupa Denda

Sanksi denda adalah jenis sanksi yang palign banyak ditemukan dalam UU

perpajakan. Terkait besarnya denda dapat ditetapkan sebesar jumlah

tertentu, presentase dari jumlah tertentu, atau suatu angka perkalian dari

jumlah tertentu, pada sejumlah tertentu, pada sejumlah pelanggaran sanksi

denda akan ditambah sanksi pidana.

2) Sanksi Administrasi berupa Bunga

Sanksi administrasi berupa bunga dikenakan atas pelanggaran yang

menyebabkan utang pajak menjadi lebih besar.Jumlah bunga dihitung


17

berdasarkan presentase tertentu dari suatu jumlah, mulai dari saat bunga itu

menjadi hak/kewajiban sampai dengan saat diterima dibayarkan.

3) Sanksi Administrasi berupa Kenaikan

Sanksi administrasi berupa kenaikan adalah sanksi yang paliing ditakuti

oleh wajib pajak, hal ini karena bila dikenakan sanksi tersebut, jumlah pajak

yang harus dibayar bias menjadi berlipat ganda. Sanksi berupa kenaikan

pada dasarnya dihitung dengan angka presentase tertentu dari jumlah pajak

yang tidak kurang dibayar.Sanksi kenaikan biasanya dikenakan karena

wajib pajak tidak memberikan informasi-informasi yang dibutuhkan dalam

menghitung jumlah pajak terutang.

b. Sanksi Pidana

Undang-undang perpajakan menyatakan jika pada dasarnya pengenaan sanksi

pidana merupakan upaya trakir untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak.

Hukum pidana diterapkan karena adanya tindakan pelanggaran, seperti

tindakan kejahatan dibidang perpajakan, tindak pelanggaran disebut kealpaan,

yaitu tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati.Atau kurang mengindahkan kewajiban

pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara,

sedangkan tindak kejahatan adalah tindakan dengan sengaja tidak

mengindahkan kewajiban pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada

pedapatan negara. Menurut ketentuan dalam undang-undang perpajakan ada

tiga macam sanksi pidana (Mardiasmo, 2013), yaitu:


18

1) Denda Pidana

Berbeda dengan sanksi berupa denda administrasi yang hanya diancam/

dikenakan kepada Wajib Pajak (WP) yang melanggar ketentuan peraturan

perpajakan, sanksi berupa denda pidana selain dikenakan kepada WP ada

juga yang diancam kepada pejabat pajak atau kepada pihak ketiga yang

melanggar norma. Denda pidana dikenakan kepada tindak pidana yang

bersifat pelanggaran maupun bersifat kejahatan.

2) Pidana Kurungan

Pidana kurungan hanya diancamkan kepada tindak pidana yang bersifat

pelanggaran, dapat ditunjukkan kepada WP, dan pihak ketiga. Pidana

kurungan diancamkan kepada si pelanggar norma itu ketentuan sama

dengan yang diancamkan dengan denda pidana, maka masalahnya hanya

ketentuan mengenai denda pidana sekian itu diganti dengan pidana

kurungan selama-lamanya.

3) Pidana Penjara

Pidana penjara seperti halnya pidana kurungan, merupakan hukuman

perampasan kemerdekaan.Pidana penjara diancamkan terhadap

kejahatan.Ancaman pidana penjara tidak ada yang ditunjukan kepada pihak

ketiga, adanya kepada pejabat dan kepada wajib pajak.

2.4 Pajak Penghasilan

Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas

penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak (Mardiasmo,

2013).Undang-undang Pajak penghasilan mengatur pajak atas penghasilan (laba)


19

yang diterima atau diperoleh orang pribadi maupun badan. Undang-undang

tersebut mengatur subjek pajak, objek pajak, serta cara menghitung dan cara

melunasi pajak terutang. Selain itu, undang –undang tersebut juga memberikan

fasilitas kemudahan dan kerunganan bagi wajib pajak dalam melaksanakan

kewajiban perpajakan. Undang-undang pajak penghasilan telah beberapa kali

mengalami perubahan dan terakhir kali diubah dengan undang-undang Nomor 36

Tahun 2008 (Mardiasmo, 2013)

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) adalah pengurangan terhadap

kewajiban pajak penghasilan yang harus dibayar wajib pajak di Indonesia. Sejak

diatur pertama kali dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983, besaran

nilai PTKP telah beberapa kali berubah sampai yang terakhir diatur pada Undang-

Undang Nomor 36 tahun 2008 sebesar:

a. Rp. 24.300.000 untuk diri wajib pajak orang pribadi

b. Rp 2.025.000 tambahan untuk wajib pajak kawin

c. Rp 2.025.000 tambahan untuk seorang instri yang penghasilannya digabung

dengan penghasilan suami.

d. Rp 2.025.000 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga

semenda dalam garis keturunan lurus satu derajad serta anak angka yang

menjadi tanggungan sepenuhnya (maksimal 3 orang).

2.5 Kualitas Pelayanan

Pelayanan sebagai tindakan tau perbuatan yang ditawarkan suatu pihak

kepada pihak lain, yang dapat menciptakan nilai dan memberikan manfaat kepada

pelanggan pada waktu dan tempat tertentu dengan menimbulkan perubahan


20

keingin tahuan kepentingan penerima layanan. Menurut Zhaithamal, Parasuraman

& Berry (1996) yang dikutip oleh Simamora (2006) mengemukanan dimensi

pelayanan, yaitu:

a. Jaminan (Assurance)

Yaitu pengetahuan, keramahan, dan kemampuan para karyawan dalam

melaksanakan tugas secara spontan yang menjamin kinerja yang baik

sehingga menimbulkan kepercayaan dan keyakinan masyarakat.

b. Wujud Fisik ( Tangibility)

Perusahaan harus bisa memberikan bukti awal kualitas pelayanan yang

tercermin dari fasilitas fisik yang dapat diandalkan.

c. Keandalan ( Reliability)

Keandalan merupakan kemampuan untuk memberikan pelayanan yang

sesuai janji yang ditawarkan.

d. Empati ( Empathy)

Berusaha memahami keinginan pelanggan dengan memberikan

perhatian/sentuhan secara iklas kepada setiap pelanggan.

e. Ketanggapan ( Responsiveness)

Daya tanggapan merupakan respon atau kesigapan karyawan dalam

membantu pelanggan dan memberikan pelayanan yang cepat dan tanggap.

2.6 Kepatuhan Wajib Pajak

Kepatuhan merupakan motivasi seseorang, kelompok, atau organisasi

untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu sesuai dengan aturan yang telah

ditetapkan.Perilaku patuh seseorang merupakan interaksi antara perilaku individu


21

kelompok dan organisasi (Gibson et al. dalam Suranto dalam Ari Wibowo,

2008).Motivasi yang dimiliki seseorang dapatterpengaruh oleh faktor

lingkungannya. Baik ini faktor internal maupun eksternal.

Kepatuhan adalah perilaku untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan

aktivitas tertentu sesuai dengan kaidah dan aturan yang berlaku (Suranto dalam

Ari Wibowo, 2008). Dari difinisi tersebut dapat diartikan bahwa kepatuhan wajib

pajak adalah perbuatan atau perilaku wajib pajak dalam memenuhi kewajiban

perpajakannya sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Jika masyarakat wajib pajak telah mampu memahami peraturan-peraturan

perpajakn serta mengetahui akan arti dan fungsi pajak, maka masyrakat akan

menjadi insyaf dan sadar akan pajak. hasrat keiklasan untuk membayar pajak akan

terealisasi dengan perbuatan aktif, yaitu membayar pajak akan terealisasi dengan

perbuatan aktif, yaitu membayar pajak pada waktunya dan pada jumlah yang

terutang ( tax disxiplinary).

Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 192/PMK/.03/2007,

wajib pajak dapat ditetapkan sebagai wajib pajak patuh apabila memenuhi syarat

sebagai berikut:

2.1 Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT)

dalam 3 (tiga) tahun terakhir.

2.2 Penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Masa yang terlambat dalam

tahun terakhir untuk masa pajak Januari sampai dengan November tidak

lebih dari 3 ( tiga) masa pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-

turut.
22

2.3 Surat Pemberitahuanan (SPT) Masa yang yang terlambat telah

disampaikan tidak lewat dari batas penyampaian Surat Pemberitahuan

(SPT) Masa Pajak berikutnya.

2.4 Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah

memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak,

meliputi keadaan pada tanggal 31 Desember tahun sebelum penetapan

sebagai wajib pajak Patuh dan tidak termasuk urang pajak yang belum

melewati batas akhir pelunasan.

2.5 Laporan Keuangan diaudit oleh akuntan publik atau lembaga pengawasan

keuangan pemerintah dengan mendapat wajar tanpa pengecualian selama

tiga tahun berturut – turut dengan ketentuan:

Laporan audit harus:

1. Disusun dalam bentuk panjang (long form report) dan menyajikan

rekonsilisasi laba rugi komersial dan fiscal bagi wajib pajak yang wajib

menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.

2. Pendapat akuntan atas laporan keuangan yang diaudit ditandatangani

oleh akuntan public yang tidak sedang dalam pembinaan lembaga

pemerintah pengawas akuntan public.

f. Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang

perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan

hukum tetap dalam jangka waktu 5 ( lima ) tahun terakhir.


23

2.7 Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dilakukan oleh Sari (2013) mengenai pengaruh kualitas

pelayanan pajak terhadap kepatuhan wajib pajak.ini adalah studi kasus yang

terjadi di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Surakarta. Dalam studi ini

konsep kualitas kantor pelayanan pajak dan kepuasan wajib pajak berdasarkan

pada segi bukti fisik yang baik akan membuat kesan yang baik pula di mata wajib

pajak, sehingga akan menimbulkan kepatuhan wajib pajak. Semua keseluruhan

dimensi kualitas pelayanan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak.

Muliari dan Putu Ery (2011) melakukan penelitian yang bertujuan untuk

menganalisis pengaruh persepsi tentang sanksi perpajakan dan kesadaran wajib

pajak pada kepatuhan pelaporan wajib pajak orang pribadi. Metode pengumpulan

data dalam penelitian ini adalah simple random sampling dengan responden

melibatkan 100 wajib pajak.Persepsi wajib pajak tentang sanksi perpajakan secara

parsial berpengaruh positif dan signifikan pada kepatuhan pelaporan wajib pajak

orang pribadi.

Fasmi dan Mizra (2012) melakukan penelitian pengaruh modernisasi

sistem administrasi perpajakan terhadap tingkat kepatuhan pengusaha kena pajak

di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Padang. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa sistem perpajakan berpengaruh positif terhadap tingkat

kepatuhan wajib pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama padang

Astari,dkk (2012) melakukan penelitian pengaruh tingkat kepuasan

pelayanan, pemahaman perpajakan, keadilan perpajakan dan kesadaran

perpajakan terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi di KPP Provinsi
24

Kepulauan Riau Tanjung Pinang. Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat

kepuasan pelayanan, keadilan perpajakan dan perpajakan kesadaran tidak

berpengaruh pada tingkat kepatuhan pajak, sedangkan pemahaman perpajakan

berpengaruh positif terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi di KPP

Provinsi Kepulauan Riau Tanjung Pinang.

2.8 Hipotesis dan Kerangka Teoritis

Sesuai dengan landasan teori dan penelitian terdahulu maka hipotesis

alternative dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Sistem perpajakan di Indonesia adalah Self Asessment System yang

dimana wajib pajak diberi kebebasan untuk menghitung dan melaporkan pajaknya

sendiri ke kantor pajak. Kepuasan wajib pajak sebagai pelanggan dapat

ditingkatkan melalui kualitas dan kuantitas pelayanan. Jika sistem perpajakan di

Indonesia mempunyai kualitas kurang baik akan dapat mengakibatkan kurangnya

kepatuhan wajib pajak dalam membayar atau melaporkan pajak, sedangkan jika

sistem perpajakan di Indonesia mempunyai kualitas dan kuantitas yang baik akan

dapat mempengaruhi kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajaknya dengan

tepat waktu, tetapi jika sistem pelayanan pajak kurang baik maka akan dapat

mempengaruhi kepatuhan wajab pajak dalam melaporkan atau membayar

pajaknya.

H1 : Sistem perpajakan berpengaruh positif terhadap Kepatuhan Wajib pajak

Pelayanan yang berkualitas adalah pelayanan yang dapat memberikan

kepuasan kepada pelanggan dan tetap dalam batas memenuhi standar pelayanan

yang dapat dipertangungjawabkan serta harus dilakukan secara terus-menerus.


25

Pelayanan yang berkualitas harus dapat memberikan 4K, yaitu keamanan,

kenyamanan, kelancaran, dan kepastian hukum. Kualitas pelayanan dapat diukur

dengan kemampuan memberikan pelayanan yang memuaskan, dapat memberikan

pelayanan dengan tanggapan, kemampuan, kesopanan, dan sikap dapat dipercaya

yang dimiliki oleh aparat pajak. Di samping itu, juga kemudahan dalam

melakukan hubungan komunikasi yang baik memahami kebutuhan wajib pajak,

tersedianya fasilitas fisik termasuk sarana komunikasi yang memadai, dan

pegawai yang cakap dalam tugasnya. Kualitas pelayanan pajak dapat

mempengaruhi wajib pajak, jika aparat pajak memberikan kualitas pelayanan

yang baik maka wajib pajak tentunya akan senang dalam melaporkan pajaknya.

Sebaliknya, jika aparat pajak tidak memberikan pelayanan yang terbaik maka

dapat mempengaruhi kepatuhan wajib pajak dalam membayar atau melaporkan

pajaknya.

H2 : Kualitas pelayanan pajak berpengaruh positif terhadap Kepatuhan Wajib

Pajak

Sanksi pajak dibuat dengan tujuan agar wajib pajak takut untuk melanggar

Undang-undang Perpajakan. Wajib pajak akan mematuhi pembayaran pajaknya

bila memandang bahwa sanksi akan lebih banyak merugikannya (Jatmiko, 2006).

Sanksi pajak merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan (norma perpajakan) akan dituruti/ditaati/dipatuhi, dengan kata lain

sanksi perpajakan merupakan alat pencegah agar wajib pajak tidak melanggar

norma perpajakan (Mardiasmo,2013). Sanksi yang kurang tegas dapat disepelekan

oleh wajib pajak, sehingga dapat mengakibatkan banyaknya pelanggaran yang


26

dilakukan wajib pajak. wajib pajak akan selalu tepat membayar pajak jika sanksi

yang diperlakukan sangat tegas bagi pihak fiskus.

H3 : Pengenaan sanksi berpengaruh positif terhadap Kepatuhan Wajib Pajak

Sistem Perpajakan

(H1)

Kualitas Pelayanan Kepatuhan Wajib Pajak


Pajak
(H2)

Pengenaan Sanksi

(H3)

Gambar II.1

Kerangka Pemikiran

Keterangan:

Variabel Independen: Sistem Perpajakan (H1)

Kualitas Pelayanan Pajak (H2)

Pengenaan Sanksi (H3)

Variabel Dependen: Kepatuhan Wajib Pajak

: Pengaruh parsial (masing-masing)


27

Variabel sistem perpajakan, kualitas pelayanan pajak, dan pengenaan sanksi

berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak baik masing-masing variabel

(parsial) maupun bersama-sama (simultan).

Anda mungkin juga menyukai