Anda di halaman 1dari 18

Tugas

Ringkasan Materi
AK.PERPAJAKAN

FAHRIA AZHAR

02320190111
C2 AK.PERPAJAKAN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2021
DASAR-DASAR PERPAJAKAN
DEFINISI

Definisi pajak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H Pajak adalah iuran
rakyat kepada kas negara berdasarkan undang undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak
mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan
untuk membayar pengeluaran umum

Definisi pajak menururt UU Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan:

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan undang undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

CIRI-CIRI YANG MELEKAT PADA DEFINISI PAJAK

1. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang undang serta aturan
pelaksanaannya.
2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh
pemerintah.
3. Pajak dipungut oleh negara, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran pengeluaran pemerintah, yang bila dari
pemasukannya masih terdapat surplus, digunakan untuk membiayai public investment

PUNGUTAN LAIN SELAIN PAJAK

Di samping pajak, ada beberapa pungutan lain yang serupa dengan pajak, tetapi
mempunyaperlakuan dan sifat yang berbeda dengan pajak yang dilakukan oleh negara
terhadaprakyatnya. Pungutan tersebut antara lain.

1. Bea meterai, yaitu pungutan yang dikenakan atas dokumen dengan menggunakan henda
meterai ataupun benda lain.
2. Bea manik dan bes kelute Bea manuk adalah pungutan aras barang barang yang dimasukkan
ke dalam daerah pabean berdasarkan harga/nilai barang itu atau berdasarkan tarif yang
sudah ditentukan. Bea keluar adalah pungutan yang dilakukarw atas barang yang
dikeluarkan dari daerah pahean berdasarkan tarif yang sudah ditentukan hagi masing-
masing golongan barang
3. Cukai yaitu pangutan yang dikenakan atas barang barang tertentu yang sudats ditetapkan
untuk masing masing jenis barang tertentu. Contoh: tembakau, gula bensin
4. Retribusi, ya pungutan yang dikenakan sehubungan dengan suatu jasa atau fasilitas yang
diberikan oleh pemerintah secara langsung dan nyata kepada pembayar
5. luran, yaitu pungutan yang dikenakan sehubungan dengan suatu jasa atau fasilitas yang
diberikan pemerintah secara langsung dan nyata kepada kelompok atau golongan pembayar
6. Pungutan lain yang sah/legal berupa sumbangan wajib.

FUNGSI PAJAK

Terdapat dua fungsi pajak, vaitu fungsi hudgetar (sumber keuangan negara) dan fungsi
regularend pengatur

1. Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara)

Pajak mempunyai fungsi budgetair artinya pajak merupakan salah satu sumber penerimaan
pemerintah untuk membiayai pengeluaran, baik rutin maupun pembangunan Sebagai
sumber keuangan negara pemerintah berupaya memasukkan uang sebanyak banyaknya
untuk kas negara. Upaya tersebut ditempuh dengan cara ekstensifikasi dan intensifikasi
pemungutan pajak melalui penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak, seperti Pajak
Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(PPBM). Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan sebagainya

2. Fungsi Regularend (Pengatur)

Pajak mempunyai fungsi pengatur artinya paiak sebagai alat untuk mengatur atau
melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi serta mencapai
rujuan rujuan tertentu di luar bidang keuangan.

C. ASAS-ASAS PERPAJAKAN

1. Efficiency

Pemungutan pajak harus mudah dan murah dalam penagihannya sehingga hasil
pemungutan pajak lebih besar dari biaya pemungutannya

2. Equity
Pemungutan pajak harus adil di antara satu wajib pajak dengan wajib pajak lainnya. Pajak
dikenakan kepada wajib pajak harus sebanding dengan kemampuannya untuk membayar
pajak tersebut dan manfaat yang diterimanya
3. Economic effects must be considered
Pajak yang dikumpulkan dapat memengaruhi kehidupan ekonomis wajib pajak, hal ini harus
dipertimbangkan ketika merumuskan kebijakan perpajakan. Pajak yang dikumpulkan, jangan
sampai membuat seseorang melarat atau mengganggu kelancaran produksi perusahaan.
D. JENIS PUNGUTAN LAIN SELAIN PAJAK

Selain pajak terdapat juga beberapa pungutan lain seperti retribusi dan sumbangan yang
dipungut berdasarkan undang-undang, peraturan daerah dan aturan pelaksanaannya. Pungutan
tersebut antara lain:

1. Retribusi
2. Sumbangan

E. KEDUDUKAN HUKUM PAJAK

Hukum dibagi menjadi dua, yaitu hukum perdata dan hukum publik. Hukum perdata dapat
dibagi menjadi hukum perorangan, hukum keluarga, hukum warisan dan hukum harta kekayaan.
Hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara penguasa dengan warganya. Hukum
publik terdiri dari hukum tata negara, hukum administrasi, hukum pajak dan hukum pidana. Hukum
pajak bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan antara sebagai pemungut pajak dengan
rakyat sebagai pembayar pajak, dengan kata lain hukum pajak menerangkan tentang: siapa-siapa
yang menjadi wajib pajak dan apa yang menjadi kewajiban mereka kepada pemerintah, hak-hak
pemerintah, objek-objek apa yang dikenakan pajak, timbulnya dan hapusnya utang pajak, cara
penagihan, dan cara mengajukan keberatan.

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN


Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kesederhanaan, arah
dan tujuan perubahan UndangUndang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ini
mengacu pada kebijakan pokok sebagai berikut:

1. Meningkatkan efisiensi pemungutan pajak dalam rangka mendukung penerimaan


negara,
2. Meningkatkan pelayanan, kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat guna
meningkatkan daya saing dalam bidang penanaman modal, dengan tetap mendukung
pengembangan usaha kecil dan menengah,
3. Menyelesaikan tuntutan perkembangan sosial ekonomi masyarakat serta perkembangan
di bidang teknologi informasi
4. Meningkatkan keseimbangan antara hak dan kewajiban,
5. Menyederhanakan prosedur administrasi perpajakan,
6. Meningkatkan penerapan prinsip self assessme secara akuntabel dan konsisten, dan
7. Mendukung iklim usaha ke arah yang lebih kondusif dan kompetitif

1. Stelsel Pajak

a. Stelsel Nyata
Pengenaan Pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), pemungutan dilakukan
pada akhir tahun pajak setelah penghasilan sesungguhnya diketahui. Pajak lebih realistis tapi
baru dapat dikenakan di akhir periode.
b. Stelsel Anggapan (Fictieve stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur Undang-Undang. Tanpa
menunggu akhir tahun dan tidak berdasarkan keadaan sesungguhnya.
c. Stelsel Campuran
Merupakan kombinasi antara stelsel Nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun dihitung
berdasarkan anggapan dan akhir tahun disesuaikan dengan keadaan yang sebebnarnya.

2. Asas Pemungutan Pajak


a. Asas Sumber
Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa
memperhatikan tempat tinggal wajib pajak.
b. Asas Kebangsaan
Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara.
c. Asas domisili
Negara berhak untuk mengenakan pajak atas seluruh penghasilan wajib pajak diwilayahnya
baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. asas ini berlaku bagi wajib pajak dalam
negeri.

3. Sistem Pemungutan Pajak

a. Official Assesment system adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang
kepada pemerintah (FISKUS) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib
pajak. ciri-cirinya : wewenang untuk menentukan besarya pajak terutang ada pada fiskus
wajib pajak bersifat pasif utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh
fiskus
b. Self Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. ciri-cirinya
adalah : wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri
wajib pajak aktif mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang
terutang. fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
c. With Holding System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-cirinya wewenang
menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga pihak selain fiskus dan
wajib pajak.

PAJAK PENGHASILAN

Pajak penghasilan biasa disebut dengan Pajak Penghasilan Pasal 25 atau PPh 25 adalah pajak
yang dikenakan untuk orang pribadi, perusahaan atau badan hukum lainnya atas penghasilan yang
didapat. Dasar hukum untuk pajak penghasilan adalah Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 1983.
Kemudian mengalami perubahan berturut-turut, dari mulai UU Nomor 7 & Tahun 1991, UU Nomor
10 & Tahun 1994, UU Nomor 17 & Tahun 2000, serta terakhir UU Nomor 36 & Tahun 2008.

Subjek Pajak

1. Subjek pajak pribadi, yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi yang dalam
suatu tahun pajak berada di Indonesia, dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

2. Subjek pajak harta warisan belum dibagi, yaitu warisan dari seseorang yang sudah meninggal dan
belum dibagi tetapi menghasilkan pendapatan, maka pendapatan itu dikenakan pajak.

3.Subjek pajak badan, yakni badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali
unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteri:

 Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;


 Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD);
 Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran pemerintah pusat atau pemerintah daerah;
dan
 Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan
 Bentuk usaha tetap (BUT), yaitu bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia atau berada di indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam
jangka waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan dan berkedudukan di Indonesia,
yang melakukan kegiatan di Indonesia.

Bukan Subjek Pajak

Sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2000, berikut merupakan subjek pajak:

1. Badan Perwakilan Negara Asing


2. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing dan orang-orang
yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka
dengan syarat bukan warga negara Indonesia (WNI) dan negara yang bersangkutan memberikan
perlakukan timbal balik
3. Organisasi Internasional yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat
Indonesia ikut dalam organisasi tersebut dan organisasi tesebut tidak melakukan kegiatan usaha di
Indonesia. Contoh: WTO, FAO, UNICEF.

4. Pejabat perwakilan organisasi Internasional yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan
dengan syarat bukan WNI dan tidak memperoleh penghasilan dari Indonesia.

PPH PASAL 21
PPh pasal 21 sering dibebankan kepada mereka yang memiliki penghasilan dari aktivitas
usahanya atau dari profesinya di Indonesia. Pajak ini dibebankan kepada penghasilan yang didapat
oleh karyawan pada suatu perusahaan. Hal tersebut agar setiap penghasilan yang diterima masuk ke
dalam kas negara.

Pemerintah mengatur pajak penghasilan ini dengan tujuan agar setiap wajib pajak yang
memperoleh penghasilan turut serta untuk membayar pajak. Sebagaimana telah menjadi kewajiban
setiap warga negara. Dengan demikian, mereka dapat menuntaskan kewajibannya.

Pajak bersifat mengikat dan memaksa. Oleh sebab itu, Pemerintah itu sendiri memberikan
keterikatan dalam bentuk PPh pasal 21 kepada setiap warga negara yang memiliki profesi yang
memperoleh gaji, penghasilan, tunjangan, honorarium, serta uang jasa agar negara memperoleh
pemasukan.
Dasar Hukum PPh 21
Pengenaan PPh pasal 21 berdasarkan kepada peraturan pemerintah dari Direktorat Jenderal
Pajak yang bernomor PER-32/PJ/2015 yang mengatur tentang pembebanan penghasilan kena pajak
atas semua profesi yang dilakukannya.

Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 dan Undang-Undang lainnya yang mengatur tentang
pajak penghasilan yang harus dibebankan kepada setiap warga negara Indonesia yang memiliki
penghasilan atas profesinya.

Dasar hukum yang mengatur PPh pasal 21 ini pun diperkuat dengan adanya keputusan
menteri keuangan No. 101/PMK.010/2016 dan No. 102/PMK. 010/2016 yang mengatur dasar-dasar
pengenaan hukum penghasilan yang wajib dipotong pajak.

Besaran Tarif PPh 21

Tarif PPh pasal 21 yang dibebankan kepada setiap wajib pajak dipresentasikan
berbeda-beda sesuai dengan besaran penghasilan yang diterima oleh wajib pajak tersebut.
Adapun besaran tarifnya sebagai berikut:

1. Rp50.000.000 – Rp250.000.000

Wajib Pajak yang memperoleh penghasilan tahunan di atas Rp50.000.000,- hingga mencapai
Rp250.000.000,- adalah sebesar 15% sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang
Perpajakan.

2. Rp250.000.000 – Rp500.000.000

Wajib Pajak yang memperoleh penghasilan tahunan di atas Rp250.000.000,- hingga


mencapai Rp500.000.000,- maka akan dikenakan tarif pajak sebesar 25%, sebagaimana yang
telah diatur oleh Undang-Undang perpajakan.

Cara Perhitungan PPh 21


Untuk menghitung PPh pasal 21 maka akan diberikan beberapa contoh soal agar bisa
memahaminya dengan benar, dan tidak salah dalam menentukan besaran tarif pajak yang harus
dibayar. Karena pada dasarnya metode perhitungannya terdapat 3 metode. Berikut ini adalah
contoh soal perhitungan PPh 21 yaitu:
Metode Gaji Kotor Tanpa Tunjangan Pajak (Gross)

Setiap perusahaan memiliki metode yang berbeda dalam dasar penentuan pajak, salah satunya
dengan metode gross yang diterapkan pada karyawan yang diberikan kewajiban PPh 21 dari
penghasilan yang diterimanya, dengan kata lain, harus menanggung sendiri.

Ardi dan Anto sama-sama bekerja di perusahaan Langit Biru. Mereka memiliki penghasilan yang
sama, yaitu sebesar Rp10 juta per bulan tanpa tunjangan tambahan.

Ardi dan Anto sama-sama diharuskan membayar iuran pensiun sebesar Rp500ribu per bulan yang
langsung dipotong dari gaji.

Perbedaan antara keduanya adalah Ardi sudah menikah dan memiliki dua orang anak, sementara
Anto belum menikah.

Dari penjelasan tersebut,maka perhitungan pajak Ardi dan Anto adalah sebagai berikut:

1. Anto (Belum Kawin/ TK)

Diketahui Penghasilan kotor Anto = 120 juta per tahun

Penghasilan bersih = penghasilan kotor dikurangi iuran tahunan

Maka perhitungan penghasilan bersih = 120.000.000 – (500.000 x 12 bulan) = Rp114. 000.000/


tahun

PTKP TK = Rp54 juta per tahun

Penghasilan kena pajak = penghasilan bersih – PTKP

Penghasilan kena pajak = 114. 000.000 – 54.000.000 = Rp60 juta

Tarif PPh 21 untuk penghasilan Rp63 juta adalah 15 persen, dengan rincian:

– 5%x Rp50.000.000 = Rp2,5 juta

– 15% x Rp10. 000.000 = Rp1,5 juta

Total pajak penghasilan adalah Rp2,5 juta + Rp1,95 juta = Rp4juta per tahun atau Rp333.333 per
bulan.
2. Ardi (Status Kawin dengan Dua Anak/K2)

Diketahui Penghasilan kotor Ardi= 120 juta per tahun

Penghasilan bersih = penghasilan kotor dikurangi iuran tahunan.

Perhitungan Penghasilan bersih = 120.000.000 – (500.000 x 12 bulan) = Rp114juta

PTKP K2 = Rp67,5 juta per tahun

Penghasilan kena pajak = penghasilan bersih – PTKP

Penghasilan kena pajak = 114.000.000 – 67.500.000 = Rp46,5 juta

Tarif PPh 21 untuk penghasilan Rp46,5 juta adalah 5 persen. Rinciannya:

Pajak penghasilan = penghasilan kena pajak x tarif PPh 21

Pajak penghasilan = 46.500.000 x 5% = Rp2,325.000 per tahun atau Rp193.750 per bulan.

Dari kedua contoh di atas, dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan antara besarnya pembayaran
pajak yang harus dibayar oleh Ardi dan Anto, karena mereka memiliki perbedaan status pernikahan.
Dengan demikian, cara perhitungan penghasilan kena pajak pun akan berbeda sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan.

Metode Net (Gaji Bersih dengan Pajak Ditanggung)


Masih menggunakan contoh soal dari metode 1, maka perhitungannya adalah:

1. Anto (belum kawin/ TK)

Diketahui Penghasilan kotor Anto = 120 juta per tahun

Penghasilan bersih = penghasilan kotor dikurangi iuran tahunan

Maka perhitungan penghasilan bersih = 120.000.000 – (500.000 x 12 bulan) = Rp114. 000.000/


tahun

PTKP TK = Rp54 juta per tahun

Penghasilan kena pajak = penghasilan bersih – PTKP

Penghasilan kena pajak = 114. 000.000 – 54.000.000 = Rp60 juta

Tarif PPh 21 untuk penghasilan Rp63 juta adalah 15 persen, dengan rincian:

– 5%x Rp50.000.000 = Rp2,5 juta


– 15% x Rp10. 000.000 = Rp1,5 juta

Total pajak penghasilan adalah Rp2,5 juta + Rp1,95 juta = Rp4 juta per tahun atau Rp333.333 per
bulan.

2. Ardi (status kawin dengan dua anak/ K2)

Diketahui Penghasilan kotor Ardi= 120 juta per tahun

Maka Penghasilan bersih Ardi = penghasilan kotor Ardi dikurangi iuran tahunan.

Jadi Perhitungan Penghasilan bersihnya= 120.000.000 – (500.000 x 12 bulan) = Rp114 juta

PTKP K2 = Rp67,5 juta per tahun

Penghasilan kena pajak = penghasilan bersih – PTKP

Penghasilan kena pajak = 114.000.000 – 67.500.000 = Rp 46,5 juta

Tarif PPh 21 untuk penghasilan Rp46,5 juta adalah 5 persen. Rinciannya:

Pajak penghasilan = penghasilan kena pajak x tarif PPh 21

Pajak penghasilan = 46.500.000 x 5% = Rp2.325.000per tahun atau Rp193.750 per bulan.

Gaji pokok Ardi dan Anto : Rp10.000.000/bulan atau Rp120.000.000/tahun

Total gaji bruto Ardi dan Anto : Rp20.000.000

Tarif PPh 21: 15%

Pajak yang ditanggung perusahaan untuk Ardi dan Anto : Rp4.000.000/tahun+Rp2.325.000/tahun


=Rp6.325.000/tahun Gaji bersih (take home pay): Rp 10.000.000/bulan

Metode Gross-Up yaitu Gaji Bersih dengan Tunjangan Pajak

Berdasarkan contoh soal sebelumnya

Diketahui:

Gaji bruto Ardi: Rp10.000.000


Gaji bruto Anto: Rp10.000.000

Tunjangan Pajak Ardi: Rp2. 325.000

Tunjangan Pajak Anto: Rp4. 000.000

Gaji Kotor yang diperoleh Ardi = gaji pokok ditambah tunjangan pajak= Rp10.000.000 + Rp2.325.000
= Rp12.325.000

Gaji Kotor Anto = Gaji Pokok ditambah tunjangan pajak = Rp10.000.000 + Rp4.000.000 =
Rp14.000.000

Besarnya tunjangan antara Ardi dan Anto tentunya akan berbeda karena status pernikahan mereka
pun berbeda. Sesuai dengan perhitungan yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa dasar
pengenaan pajak dari penghasilan kena pajak dengan status pernikahan tentunya akan berbeda.

PPH PASAL 22

Menurut Undang Undang Pajak Penghasilan (PPh) No.36 2008 sebagai dasar hukum PPh pasal
22 mengartikan PPh pasal 22 sebagai bukti potong atau pungutan pajak yang dikenakan kepada
wajib pajak yang berhubungan dengan aktivitas perdagangan barang. Secara umum pengenaan PPh
pasal 22 dilakukan kepada penjual maupun pembeli yang sama-sama menerima untung dari hasil
perdagangan, sehingga penjualan maupun pembelian dapat dikenakan PPh 22.

Tarif PPh Pasal 22

Ada beberapa tarif yang ditetapkan untuk semua nilai dari PPh pasal 22 yang harus dibayarkan.
 Tarif PPh Pasal 22 sebesar 2,5% dan 7,5% atas Impor

Tarif pajak penghasilan ini dikenakan atas impor barang dengan berikut rinciannya, tarif
pembebanan tunggal sebesar 10% dari nilai impor, dengan atau tanpa menggunakan API
untuk barang tertentu yang tercantum dalam Lampiran I PMK 34/2017, importir yang
menggunakan Angka Pengenal Importir (API): 2,5% dari nilai impor, importir non-API: 7,5%
dari nilai impor, importir yang tidak dikuasai: 7,5% dari harga jual lelang.

 Tarif PPh Pasal 22 sebesar 1,5% atas Pembelian


Tarif ini dikenakan atas pembelian barang tidak termasuk PPN dan juga tidak final,
pembelian ini dilakukan oleh direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPB), Kementerian
Keuangan, Bendahara Pemerintah, dan juga BUMN/BUMD (Badan Usaha Milik Daerah)

 Tarif PPh Pasal 22 atas Penjualan Hasil Produksi Tertentu

Tarif ini dikenakan atas penjualan hasil produksi yang sudah ditetapkan berdasarkan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak (KEP) yang dihitung dari aturan Dasar Pengenaan Pajak
(DPP) PPN dan bersifat tidak final, yang dikenakan tarif ini adalah Kertas: 0.1% dari DPP PPN,
Semen: 0.25% dari DPP PPN, Baja: 0.3% dari DPP PPN, Otomotif: 0.45% dari DPP PPN, dan
tarif untuk semua jenis obat: 0,3% dari DPP PPN. Harga jual, nilai ekspor/impor,
penggantian, atau nilai yang dipakai sebagai dasar dari perhitungan besarnya pajak yang
terutang disebut dengan DPP, yang merupakan nilai dasar yang digunakan untuk
menghitung pajak terutang seperti PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 4 ayat (2), dan PPN.
Dan masih banyak lainnya nilai tarif yang ditetapkan untuk barang tertentu.

Cara Menghitung PPh Pasal 22


Contoh kasus :

Tanggal 1 November 2011 PT. ABC impor barang elektronik senilai (FOB) $10,000, biaya

kirim $500, asuransi $25. Kurs dari Kemenkeu pada saat itu adalah Rp 8000/1 USD. Lantas berapakah

nilai PPh yang harus dibayarkan?

Dengan penghitungan berikut didapat lah PPh Impor (Pasal 22) = ($10,000 + 500 + 25 +

1,578.75) x 7.5% = $907.78. Jika nilai tersebut ditukar dalam rupiah maka hasilnya adalah PPh Impor

(Pasal 22) = $907.78 x Rp 8000 = Rp 7,262,250. Bisa disimpulkan bahwa nominal yang harus

dibayarkan oleh Anda sebagai pelaku wajib pajak dalam melakukan kegiatan impor ditetapkan

berdasarkan jenis barang yang diperdagangkan, hal tersebut sudah diatur dalam PPh pasal 22 di

dalam Undang-Undang Perpajakan.

PPH PASAL 23
PPh Pasal 23 merupakan salah satu pajak penghasilan yang harus wajib pajak bayar ketika
melakukan transaksi penyerahan jasa, yang tidak dipotong oleh PPh Pasal 21.

Objek PPh Pasal 23


Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan, PPh Pasal 23
adalah pajak atas penghasilan dari penyerahan jasa, modal, atau hadiah dan penghargaan selain
yang telah dipotong PPh Pasal 21. Merinci lebih lanjut, berikut ini adalah objek serta tarif pajak yang
berlaku:

1. Sebesar 15% dari jumlah bruto atas:


 Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
 Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang.
 Royalti
 Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh Pasal
21.
2. Sebesar 2% dari jumlah bruto atas:
 Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai PPh Pasal 4
ayat 2.
 Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan,
dan jasa lain selain yang telah dipotong oleh PPh Pasal 21.
 Jasa lainnya seperti yang tercantum dalam PMK No 141/PMK.03/2015

Pemotong atau Pemungut PPh 23


Pemotongan atau pemungutan PPh 23 umumnya terjadi ketika adanya transaksi antara
pihak pemberi penghasilan atau penerima jasa dengan penerima penghasilan. Pihak-pihak yang
berhak memotong atau memungut pajak penghasilan pasal 23 adalah:
 Badan Pemerintah
 Subjek pajak badan dalam negeri
 Penyelenggara kegiatan
 Bentuk Usaha Tetap (BUT)
 Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
 Wajib pajak orang pribadi dalam negeri tertentu yang ditunjuk Direktorat Jenderal Pajak
sesuai dengan KEP-50/PJ/1994.

Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 23


Seperti yang telah disebutkan di atas, masing-masing objek pajak penghasilan memiliki tarif
yang berbeda-beda. Rumusnya adalah:

Tarif pajak x jumlah bruto penghasilan

Contoh kasus penghitungan PPh 23:


PT Maju Jaya akan membagikan dividen melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan
melakukan pembayaran dividen tunai pada PT Kharisma yang melakukan penyertaan modal sebesar
10% sebesar Rp15 juta. Berapa besaran PPh 23 atas dividen tersebut?
Penghasilan jenis dividen dikenakan tarif pajak sebesar 15%. Maka, perhitungannya:
PPh Pasal 23= 15% x Rp15.000.000
PPh Pasal 23= Rp2.250.000
Besaran PPh Pasal 23 yang harus dipungut atas dividen tersebut adalah sebesar Rp2.250.000
Itulah contoh perhitungan PPh 23 atas penghasilan dividen. Tentunya, perhitungan pajak
penghasilan pasal 23 akan semakin kompleks tergantung pada besar perusahaan Anda dan jenis
transaksi yang Anda lakukan. Namun tidak perlu bingung, Anda dapat menggunakan jasa konsultan
pajak Rusdiono Consulting untuk membantu Anda dalam penghitungan pajak penghasilan pasal 23,
maupun pajak penghasilan lainnya. Serahkan penghitungan pajak penghasilan yang rumit pada
konsultan pajak profesional Rusdiono Consulting.

PPH PASAL 24
Pajak Penghasilan Pasal 24 adalah peraturan yang mengatur hak wajib pajak untuk
memanfaatkan kredit pajak mereka di luar negeri, untuk mengurangi nilai pajak terutang yang
dimiliki di Indonesia. Tercantum dalam Pasal 24 ayat 1 UU PPh bahwa pajak yang dibayar atau
terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak
dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-Undang PPh (UU
nomor 36 tahun 2008) dalam tahun pajak yang sama. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 24 ayat 2
UU PPh, besarnya kredit pajak adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar
negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang
PPh (UU nomor 36 tahun 2008 ).

Subjek & Objek PPh Pasal 24


o Yang menjadi subjek PPh Pasal 24 yaitu wajib Pajak dalam negeri yang terutang pajak
atas seluruh penghasilan, termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri.
o Yang menjadi objek PPh Pasal 24 adalah penghasilan yang berasal dari luar negeri.

Sumber penghasilan kena pajak yang dapat digunakan untuk memotong hutang pajak
Indonesia sebagai berikut:
1. Pendapatan dari saham dan surat berharga lainnya, serta keuntungan dari pengalihan saham
dan surat berharga lainnya.
2. Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa yang berkaitan dengan penggunaan harta-benda
bergerak.
3. Penghasilan berupa sewa yang berkaitan dengan penggunaan harta-benda tidak bergerak.
4. Penghasilan berupa imbalan yang berhubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan.
5. Pendapatan dari Bentuk Usaha Tetap (BUT) di luar negeri.
6. Penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda
keikutsertaan dalam pembiayaan atau pemanfaatan di sebuah perusahaan pertambangan.
7. Keuntungan dari pengalihan aset tetap.
8. Keuntungan dari pengalihan aset yang merupakan bagian dari suatu bentuk usaha tetap (BUT).

Penghitungan PPh Pasal 24:


Katakanlah PT ABC tahun 2017 memperoleh pendapatan neto di dalam negeri sebesar Rp
25.000.000.000 dan dari luar negeri sebesar Rp 10.000.000.000. Asumsi pajak di luar negeri sebesar
20%.
Total penghasilan yang tercatat adalah sebesar Rp 35.000.000.000 (Penghasilan dalam negeri +
penghasilan luar negeri)
Total PPh Terutang:
25% × Rp 35.000.000.000 = Rp 8.750.000.000
PPh Maksimum yang dapat dikreditkan:
(Penghasilan Luar Negeri/Total Penghasilan) ×Total PPh Terutang
(Rp 10.000.000.000/Rp 35.000.000.000) × Rp 8.750.000.000 = Rp 2.500.000.000
Jadi, PPh terutang yang sudah dibayarkan di luar negeri adalah sebesar Rp 2.500.000.000. Nah,
nominal ini yang akhirnya digunakan sebagai pengurang pajak dalam negeri.
Namun ingat, apabila wajib pajak hendak mengkreditkan PPh terutang yang sudah dibayarkan pada
pajak dalam negeri, terlebih dahulu Anda harus melapor kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak
(KPP) dan melaporkannya pada saat melapor SPT Tahunan.
Pelaporannya dilengkapi dengan Tax Return yang dilaporkan di luar negeri dan dokumen-dokumen
pembayaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak di luar negeri.

Penggabungan Penghasilan
Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan sebagai berikut:
 Penggabungan penghasilan dari usaha dilakukan dalam Tahun Pajak diperolehnya penghasilan
tersebut (accrual basis).
 Penggabungan penghasilan lainnya dilakukan dalam Tahun Pajak diterimanya penghasilan
tersebut (cash basis).
 Penggabungan penghasilan yang berupa dividen (Pasal 18 Ayat 2 UU PPh) dilakukan dalam
Tahun Pajak pada saat perolehan dividen tersebut ditetapkan sesuai dengan Keputusan
Menteri Keuangan.
Contoh kasus:
PT Mandiri menerima dan memperoleh penghasilan neto dari sumber luar negeri dalam tahun 2016
sebagai berikut:
1. Hasil usaha di negara Jerman dalam Tahun Pajak 2018 sebesar Rp700.000.000,00
2. Di negara Belanda, memperoleh dividen atas kepemilikan sahamnya di “ABC Com sebesar
Rpl.000.000.000,00 yaitu berasal dari keuntungan tahun 2012 yang ditetapkan RUPS tahun
2014, dan baru dibayarkan tahun 2018.
3. Di negara Inggris, memperoleh dividen atas penyertaan saham sebanyak 75% di “DEF Corp.”
Sebesar Rp2.000.000.000,00. Saham tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek. Dividen
tersebut berasal dari keuntungan saham 2017 yang berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan
ditetapkan diperoleh tahun 2018.
4. Penghasilan berupa bunga semester Il tahun 2018 sebesar Rp500.000.000,.00 dari Bangkok
Bank di Thailand. Penghasilan tersebut baru akan diterima pada bulan April 2019

Penghasilan dari sumber luar negeri yang digabungkan dengan penghasilan PT Mandiri dari
dalam negeri dalam Tahun Pajak 2018 adalah penghasilan pada angka 1, 2, dan 3 Sementara itu,
penghasilan pada angka 4 digabungkan dengan penghasilan PT Mandiri dari dalam negeri dalam
Tahun Pajak 2019.

Batas Maksimum Kredit Pajak

Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan, sumber penghasilan ditentukan
sebagai berikut:
1. Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan saham dan
sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas
tersebut didirikan atau bertempat kedudukan.
2. Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak
adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti. Sewa tersebut
bertempat kedudukan atau berada.
3. Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak bergerak adalah negara
tempat harta tersebut terletak
4. Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah ara
tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau
berada.
5. Penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.
6. Penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut serta
dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan adalah negara tempat
lokasi penambangan berada.
7. Keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap berada.
8. Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha tetap
adalah negara tempat bentuk usaha tetap berada.

Anda mungkin juga menyukai