Anda di halaman 1dari 26

PERTEMUAN 1

1. Definisi pajak
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat ( Pasal 1 UU No. 28 Th. 2007).
Pajak : a. Kontribusi wajib pada negara
b. tidak mendapat imbalan secara langsug
c. digunakan untuk keperluan negara

2. Fungsi pajak
1. Fungsi Anggaran (budgetair)
Pajak berfungsi sebagai salah satu sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaranya
2. Fungsi Mengatur (cregulerend)
Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan
pemerintah dalam bidang social dan ekonomi
Contoh: Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi
konsumsi minuman keras, Pajak yang tinggi dikenakan terhadap baarang-barang mewah
untuk mengurangi gaya hidup konsumtif

3. Perbedaan pajak dengan pungutan yang lain

4. Pengelompokan pajak
1. Menurut Golongannya
a. Pajak langsung adalah pajak yang dikenakan kepada wajib pajak setelah muncul atau
terbit Surat Pemberitahuan / SPT Pajak atau Kohir yang dikenakan berulang-ulang kali
dalam jangka waktu tertentu. Contoh dari pajak langsung adalah Pajak Penghasilan
(PPh), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Penerangan Jalan, Pajak Kendaraan
Bermotor, dan lain sebagainya.
b. Pajak tidak langsung adalah pajak yang dikenakan kepada wajib pajak pada saat
tertentu / terjadi suatu peristiwa kena pajak seperti misalnya Pajak Pertambahan Nilai
(PPN), Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), dan lain-lain.
2. Menurut Sifatnya
Pajak Subjektif pajak yang berdasarkan subjeknya. Contoh: Pajak Penghasilan
Pajak Objektif pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memerhatikan keadaan diri
wajib pajak. Contoh: PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
3. Menurut Lembaga Pemungutnya

5. Tata cara pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan 3 stelsel :

1. Stelsel Pajak 2. Asas Pemungutan Pajak

a. Stelsel Nyata a. Asas Domisili


Pengenaan Pajak didasarkan pada objek Negara berhak untuk mengenakan pajak atas
(penghasilan yang nyata), pemungutan seluruh penghasilan wajib pajak
dilakukan pada akhir tahun pajak setelah diwilayahnya baik dari dalam negeri
penghasilan sesungguhnya diketahui. Pajak maupun dari luar negeri. asas ini berlaku
lebih realistis tapi baru dapat dikenakan di bagi wajib pajak dalam negeri.
akhir periode.
b. Asas Sumber
Negara berhak mengenakan pajak atas
b. Stelsel Anggapan (Fictieve stelsel) penghasilan yang bersumber di wilayahnya
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu tanpa memperhatikan tempat tinggal wajib
anggapan yang diatur Undang-Undang. pajak.
Tanpa menunggu akhir tahun dan tidak c. Asas Kebangsaan
berdasarkan keadaan sesungguhnya. Pengenaan pajak dihubungkan dengan
kebangsaan suatu negara.

c. Stelsel Campuran 3. Sistem Pemungutan Pajak


Merupakan kombinasi antara stelsel Nyata
dan stelsel anggapan. Pada awal tahun a. Official Assesment system
dihitung berdasarkan anggapan dan akhir adalah suatu sistem pemungutan yang
tahun disesuaikan dengan keadaan yang memberi wewenang kepada pemerintah
sebebnarnya. (FISKUS) untuk menentukan besarnya pajak
yang terutang oleh wajib pajak.
ciri-cirinya :
1. wewenang untuk menentukan 2. wajib pajak aktif mulai dari
besarya pajak terutang ada pada menghitung, menyetor dan
fiskus melaporkan sendiri pajak yang
2. wajib pajak bersifat pasif terutang.
3. utang pajak timbul setelah 3. fiskus tidak ikut campur dan hanya
dikeluarkan surat ketetapan pajak mengawasi.
oleh fiskus
c. With Holding System
b. Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga
memberi wewenang kepada wajib pajak (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang
untuk menentukan sendiri besarnya pajak bersangkutan untuk menentukan besarnya
yang terutang. pajak yang terutang oleh wajib pajak.
ciri-cirinya adalah : ciri-cirinya wewenang menentukan besarnya
pajak yang terutang ada pada pihak ketiga
1. wewenang untuk menentukan pihak selain fiskus dan wajib pajak.
besarnya pajak terutang ada pada
wajib pajak sendiri

6. Timbul dan hapusnya utang pajak. Ada 2 ajaran yang mengatur timbulnya utang pajak :
1. Ajaran Formil 2. Ajaran materil
utang pajak timbul karena utang pajak timbul karena berlakunya
dikeluarkannya surat ketetapan pajak undang-undang. Seseorang dikenai pajak
oleh fiskus. Ajaran ini diterapkan pada karena suatu keadaan dan perbuatan.
officila assessment system. Ajaran ini diterapkan pada Self
Assessment System.

Hapusnya utang pajak dapat disebabkan oleh beberapa hal :


1. Pembayaran
2. Kompensasi
3. daluarsa
4. pembebasan dan penghapusan.

7. Jenis tarif pajak


 Tarif Pajak Proporsional (sebanding) : tarif pajak proporsional yaitu tarif pajak yang
menggunakan persentase yang tetap untuk setiap dasar pengenaan pajak. Contohnya :
Pajak Pertambahan Nilai.
 Tarif Pajak Degresif (menurun) : tarif pajak degresif yaitu tarif pajak dengan
menggunakan persentase yang menurun untuk setiap dasar pengenaan pajak.
 Tarif Pajak Konstan (tetap) : Tarif pajak konstan yaitu tarif pajak yang tetap untuk setiap
dasar pengenaan pajak atau besarnya pajak yang dibayarkan jumlahnya sama. Contoh :
Besarnya tarif Bea Materai untuk cek dan bilyet giro dengan nilai nominal berapa pun
adalah Rp. 3.000,00.
 Tarif Pajak Progresif (naik) : tarif pajak progresif yaitu pajak dengan persentase yang
semakin menaik atau meningkat untuk setiap dasar pengenaan pajak. Contohnya : Pajak
Penghasilan dan Pajak Kendaraan Bermotor.

PERTEMUAN 2

1. Hak dan kewajiban Wajib Pajak


Undang-undang perpajakan di indonesia menganut konsep kewajiban subjektif dan objektif
yang diterapkan untuk setiap jenis pajak. Artinya kewajiban perpajakan hanya berlaku jika
perorangan atau badan telah memenuhi kriteria subjek dan objek pajak yang dikenakan.
Dalam hal demikian, perorangan atau badan tersebut telah menjadi Wajib Pajak (WP)

2. Administrasi perpajakan

NPWP adalah nomor yang diberikan kepada WP sebagai sarana dalam administrasi
perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas WP dalam
melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
SPT adalah surat yang oleh WP digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/atau
pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Fungsi SPT: pelaporan dan
pertanggungjawaban penghitungan jumlah pajak terutang, pembayaran sendiri, pemotongan.
SSP adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan
menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat
pembayaran yang ditunjuk oleh menteri keuangan. Fungsi SSP: sebagai bukti pembayaran pajak
apabila telah disahkan oleh pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila
telah mendapatkan validasi.
SKP adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil atau Surat Ketetapan
Pajak Lebih Bayar. Fungsi SKP: Alat koreksi, sarana mengenakan sanksi, dan alat menagih
pajak.
STP merupakan surat untuk menagih pajak dan sanksi administrasi. Fungsi STP: Alat
koreksi pajak terutang, sarana mengenakan sanksi, dan alat menagih pajak.
PERTEMUAN 3
1. Pemeriksaan dan penyidikan pajak

Pemeriksaan pajak merupakan salah satu hak yang dimiliki oleh fiskus.
Landasan dari pemeriksaan pajak diatur dalam (Pasal 1 angka (25) UU KUP No. 16/2009)
sebagai berikut :
"Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan,
dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar
pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk
tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan. "
Pemeriksaan Lapangan :
Dilakukan di tempat Wajib Pajak. Jangka waktu pemeriksaan 4 bulan sejak SP2 terbit,
dan dapat diperpanjang 8 bulan.
Pemeriksaan Kantor :
Dilakukan di Kantor Direktorat Jendral Pajak. Jangka waktu pemeriksaan 3 bulan sejak
SP2 terbit, dan dapat diperpanjang 6 bulan.
SASARAN PEMERIKSAAN :
1. Interpretasi Undang-undang yang 4. Pemotongan dan pengurangan tidak
tidak benar. sesungguhnya, yang dilakukan Wajib
2. Kesalahan hitung Pajak dalam melaksanakan
3. Penggelapan secara khusus dari kewajiban perpajakannya.
penghasilan.

Tujuan pemeriksaan:
A. Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam rangka memberikan
kepastian hukum, keadilan, dan pembinaan kepada Wajib Pajak, yang dapat dilakukan
dalam hal :
1. Surat pemberitahuan menunjukkan kelebihan pembayaran pajak.
2. Surat pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan menunjukkan rugi.
3. Surat Pemberitahuan tidak disampaikan atau disampaikan tidak pada waktu yang telah
ditetapkan.
4. Surat Pemberitahuan yang memenuhi kriteria seleksi yang ditentukan oleh Direktur
Jendral Pajak.
5. Ada indikasi kewajiban perpajakan yang tidak dipenuhi.
.
B. Tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, yang dapat dilakukan dalam hal :
1. Pemberian Nomor Pokok Wajib 6. Pencocokan data dan atau alat
Pajak (NPWP) secara jabatan. keterangan.
2. Penghapusan NPWP. 7. Penentuan wajib pajak berlokasi
3. Pengukuhan / Pencabutan didaerah terpencil.
pengukuhan kena pajak. 8. Penentuan satu atau lebih tempat
4. WP mengajukan keberatan. terutang PPN.
5. Pengumpulan bahan guna
penyusunan Norma Penghitungan
Penghasilan Netto.
Menurut Undang-Undang no 28 Tahun 2007, pengertian penyidikan adalah sebagai
berikut :
“Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang
dilakukan
oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat
terang
tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya”.
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus
sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan. (Pasal 44 ayat (2) UU No. 28/2007)
Penyidik Pajak adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal
Pajak, yang diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tujuan utama dari dilakukanya proses penyidikan adalah untuk menemukan tersangka yang
melakukan tindak pidana dalam perpajakan. Dengan dilakukanya penyidikan, barang bukti
untuk menemukan tersangka diharapkan dapat ditemukan untuk kemudian segera menjadi
dasar dalam menetapkan tersangka.

(UU Nomor 28 Tahun 2007 Ps 44 jo. KEP-272/PJ/2002 Ps 9 (2))


Wewenang Penyidik adalah :
a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan
dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut menjadi
lebih lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan
tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang
perpajakan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan
tindak pidana di bidang perpajakan;
d. memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang
perpajakan;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan
dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan;
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada
saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau
dokumen yang dibawa;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
j. menghentikan penyidikan; dan/atau
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penyidik dapat menghentikan penyidikan dalam hal terjadi peristiwa berikut ini :
1. tidak terdapat cukup bukti;
2. peristiwa yang disidik bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan;
3. peristiwanya telah daluwarsa;
4. tersangkanya meninggal dunia;
5. Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung
dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama dalam
jangka
waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan, sepanjang perkara pidana tersebut
belum dilimpahkan ke pengadilan.
Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dilakukan setelah Wajib
Pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya
dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali
jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan

2. Keberatan dan banding


 PENGERTIAN
Keberatan adalah cara yang ditempuh oleh wajib Pajak jika merasa tidak/kurang puas
atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya atau atas pemotongan/pemungutan
oleh pihak ketiga. Atas keberatan tersebut Direktur Jenderal Pajak akan memberikan
keputusan paling lama dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak surat keberatan
diterima.

 MENGAJUKAN KEBERATAN DAN BANDING


Seusai dengan kententuan dalam Pasal 25 UU KUP, wajib pajak dapat mengajukan
keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu :
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar d. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN).
(SKPKB). e. Pemotongan atau pemungutan oleh
b. Surar Ketetapan Pajak Kurang Bayar pihak ketiga berdasarkan ketentuan
Tambahan (SKPKBT). peraturan perundang-undangan
c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar perpajakan.
(SKPLB).
Pengajuan keberatan yang dituangkan dalam bentuk Surat Keberatan sebagaimana dan
harus memenuhi syarat sebagai berikut :
1. Diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia.
2. Mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang
dipotong/dipungut/jumlah rugi menurut penghitungan WP dengan disertai alasan-alasan
yang menjadi dasar penghitungan.
3. Satu Surat keberatan diajukan hanya untuk satu surat ketetapan pajak, untuk satu
pemotongan pajak. Satu pemungutan pajak.
4. Wajib Pajak telah melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah
yang telah disetujui WP dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan.
5. Diajukan dalam jangka 3 bulan sejak tanggal dikirim Surat Keterangan Pajak.
6. Surat keberatan ditanda tangani oleh Wajib Pajak.
Penyelesaian Keberatan

1. Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak tanggal surat
keberatan diterima, harus memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan.
2. Apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas ) bulan telah lewat dan Direktorat Jenderal
Pajak tidak memberi suatu keputusan, maka keberatan yang diajukan tersebut dianggap
diterima. Keputusan keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian,
menolak atau menambah besarnya jumlah pajak terhutang.
Banding Apabila Wajib Pajak masih belum puas dengan Surat Keputusan Keberatan atas
keberatan yang diajukannya, maka Wajib Pajak masih dapat mengajukan banding ke
Badan Peradilan Pajak.
Tata Cara Pengajuan Banding
1. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak
atas Surat Keputusan Keberatan
2. Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan peradilan
tata usaha negara
3. Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dalam waktu 3
(tiga) bulan sejak keputusan keberatan diterima dilampiri surat Keputusan Keberatan
tersebut.
4. Apabila diminta oleh WP untuk keperluan pengajuan permohonan banding, Dirjen Pajak
wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar Surat Keputusan
Keberatan tersebut
5. Dalam hal WP mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak, atas jumlah pajak
yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan , tertangguh sampai dengan 1 bulan
sejak tanggal penerbitan Putusan Banding
6. Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan tidak
termasuk sebagai utang pajak (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat
(1a))
7. Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding belum
merupakan pajak yang terutang sampai dengan Putusan Banding diterbitkan
8. Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian , WP dikenai sanksi
administrasi berupa denda sebesar 100% dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding
dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan

3. Sanksi perpajakan
Sanksi perpajakan adalah jaminan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan ( norma perpajakan ) akan dituruti/ditaati/dipatuhi. Atau bisa dengan kata lain
sanksi perpajakan merupakan alat pencegah (preventif) agar Wajib Pajak tidak melanggar
norma Perpajakan. Dalam undang-undang perpajakan dikenal dua macam sanksi, yaitu:
Sanksi Administrasi. Merupakan pembayaran kerugian pada negara, khususnya yang
berupa bunga dan kanaikan. Menurut ketentuan dalam Undang-undang perpajakan ada 3
macam sanksi administrasi, yaitu : denda, bunga, kenaikan.
Sanksi Pidana. Merupakan siksaan atau penderitaan, atau Merupakan suatu alat terakhir atau
benteng hukum yang digunakan fiscus agar norma perpajakan dipatuhi. Menurut ketentuan
dalam Undang-undang perpajakan ada 3 macam sanksi pidana : denda pidana, kurungan,
dan penjara.
1. Denda Pidana
Berbeda dengan sanksi berupa denda 2. Pidana kurungan
administrasi yang hanya diancam atau Pidana kurungan hanya diancam kepada
dikenakan kepada wajib pajak yang tindak pidana yang bersifat pelanggaran.
melanggar ketentuan peraturan Dapat ditujukan kepada wajib pajak,
perpajakan, sanksi berupa denda pidana pihak ketiga.
selain dikenakan kepada wajib pajak ada 3. Pidana penjara
juga yang diancam kepada pejabat pajak Pidana penjara sama halnya dengan
atau kepada pihak ketiga yang Pidana kurungan, merupakan hukuman
melanggar norma. Denda pidana perampasan kemerdekaan. Pidana
dikenakan kepada tindak pidana yang penjara diancam terhadap kejahatan.
bersifat pelanggaran maupun bersifat Ancaman pidana penjara tidak ada yang
kejahatan. ditujukan kepada pihak ketiga, adanya
kepada pejabat dan kepada wajib pajak.
PERTEMUAN 4

1. Subjek Pajak vs. non-Subjek Pajak


Subjek pajak adalah orang, badan atau kesatuan lainnya yang telah memenuhi syarat-syarat
subjektif, yaitu bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia. Subjek pajak baru menjadi
wajib pajak bila telah memenuhi syarat-syarat obyektif. Adapun yang menjadi subjek pajak
sesuai undang-undang PPh No. 36 Tahun 2008 adalah: Orang Pribadi, Badan, Warisan yang
belum terbagi, Bentuk Usaha Tetap.
Subjek pajak dibedakan menjadi dua:
 Subjek Pajak Dalam Negeri

Subjek Di Indonesia Jangka Waktu


Orang Pribadi Ya
Orang Pribadi Ya >183 hari dalam
jangka waktu 12
bulan
Badan Ya
Warisan

2. Subjek Pajak Luar Negri

Subjek Di Indonesia Jangka Waktu


Orang Pribadi Tidak <183 hari dalam
jangka waktu 12
bulan
Orang Pribadi Tidak <183 hari dalam
jangka waktu 12
bulan
Badan Tidak
Badan Tidak

Tidak termasuk subjek pajak


1. Badan perwakilan negara asing
2. Pejabat diplomatik dari negara asing
3. Organisasi internasional yang ditetapkan menteri keuangan
4. Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan menteri keuangan

2. Objek Pajak vs. non-Objek Pajak


Yang  menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
Yang Termasuk Objek Pajak
1. Upah harian 10. Sewa
2. Honorarium 11. Penerimaan atau perolehan berkala
3. Gaji dan tunjangan lainnya 12. Selisih lebih karena penilaian
4. Hadiah dari undian kembali aktiva
5. laba usaha; 13. Premi asuransi
6. penerimaan kembali pembayaran 14. Tambahan kekayaan neto yang
pajak yang telah dibebankan sebagai berasal dari penghasilan yang belum
biaya dan pembayaran tambahan dikenakan pajak
pengembalian pajak 15. Penghasilan dari usaha berbasis
7. Deviden syariah
8. Bunga 16. Surplus Bank Indonesia
9. Royalti

Yang Bukan Termasuk Objek Pajak


1. Bantuan atau sumbangan 4. Iuran yang diterima atau diperoleh
2. Warisan dana pensiun
3. Deviden atau bagian laba 5. Beasiswa
6. harta hibahan a. Keuntungan karena penjualan
7. Pembayaran asuransi atau karena pengalihan harta
8. Penggantian atau imbalan b. Keuntungan karena
9. Sisa lebih yang diterima oleh badan pembebasan utang
atau lembaga nirlaba c. Keuntungan selisih kurs mata
10. Keuntungan yang terbagi menjadi uang asing

3. Deductible expense vs. non-deductible expense


Menurut Undang-Undang Perpajakan tahun 2008, pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan
Wajib Pajak dapat dibedakan menjadi :
a. Pengeluaran yang boleh dibebankan sebagai biaya disebut biaya deductibel (deductible
cost)
b. Pengeluaran yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya disebut biaya non-deduktibel
(Non-deductible cost)

Biaya-biaya yang dapat dikurangkan


• Biaya yang secara langsung atau • Biaya penelitian dan pengembangan
tidak langsung berkaitan dengan perusahaan yang dilakukan di
kegiatan usaha Indonesia
• Penyusutan atas pengeluaran untuk • Biaya beasiswa, magang, dan
memperoleh harta berwujud pelatihan
• Iuran kepada dana pensiun yang • Piutang yang nyata-nyata tidak dapat
pendiriannya telah disahkan oleh ditagih
Menteri Keuangan • Biaya pembangunan infrastruktur
• Kerugian karena penjualan atau sosial
pengalihan harta • Biaya sumbangan
• Kerugian dari selisih kurs mata uang
asing

Biaya-biaya yang tidak dapat dikurangkan


• Pembagian laba dengan nama dan saham yang mempunyai hubungan
dalam bentuk apapun istimewa sebagai imbalan
• Biaya yang dikeluarkan untuk sehubungan dengan pekerjaan yang
kepentingan pribadi pemegang dilakukan
saham, sekutu, atau anggota • Pajak Penghasilan
• Pembentukan dana cadangan kecuali • Biaya yang dikeluarkan untuk
cadangan piutang tak tertagih kepentingan pribadi Wajib Pajak
• Premi asuransi • Gaji yang dibayarkan kepada
• Penggantian atau imbalan anggota persekutuan, firma, atau
sehubungan dengan pekerjaan atau perseroan komanditer yang
jasa yang diberikan dalam bentuk modalnya tidak  terbagi atas saham
natura dan kenikmatan • Sanksi administrasi berupa bunga,
• Jumlah yang melebihi kewajaran denda, dan kenaikan serta sanksi
yang dibayarkan kepada pemegang pidana berupa denda
PERTEMUAN 5

a. Subjek Pajak dan Objek Pajak PPh Pasal 21


PPh pasal 21 merupakan pajak atas penghasilan berupa gaji, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan atau
jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri.
Subjek Pajak Objek Pajak
 Pegawai  Penghasilan yang diterima atau
 Penerima Pensiun diperoleh pegawai tetap.
 Penerima Honorarium  Penghasilan yang diterima atau di
 Penerima Upah peroleh penerima pensiun secara
teratur berupa uang pensiun.
 Penghasilan sehubungan dengan
pemutusan hubungan kerja.
 Penghasilan pegawai tidak tetap atau
pegawai tenaga kerja lepas.
 Imbalan kepada bukan pegawai
 Imbalan kepada peserta kegiatan.

b. Sistem pemungutan PPh Pasal 21


Self Assesment System
• Wajib pajak menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang
• Wajib pajak melaporkan dan membayar sendiri pajak terhutang

c. Administasi perpajakan PPh Pasal 21


1. Pelaporan Pajak Penghasilan tunjangan hari tua atau jaminan
a. SPT Masa hari tua
b. Online Pajak d. Orang pribadi yang melakkukan
c. Melalui Pos kegiatan usaha atau pekerjaan
2. Pemotongan Pajak Penghasilan bebas
a. Pemberi kerja e. Badan yang membayar
b. Bendahara atau pemegang kas honorarium, komisi atau
pemerintah pembayaran lain.
c. Badan-badan lain yang membayar
uang pensiun secara berkaladan

Tarif Penghasilan Kena Pajak


3. Tarif PPH 21 (PKP)
5% 0 – 50.000.000,00
15% Diatas 50.000.000,00 –
250.000.000,00
25% Diatas 250.000.000,00 –
500.000.000,00
35% Diatas 500.000.000,00

4. Penghasilan Tidak Kena Pajak


(PTKP)
Keterangan PTKP tahun 2006-
sekarang
Rp. Wajib Pajak
54.000.000,00 Orang Pribadi
(WPOP)
Rp. Status Kawin
4.500.000,00
Rp. Penghasilan istri
54.000.000,00 digabung dengan
suami
Rp. Anak max 3
4.500.000,00

d. Studi kasus PPh Pasal 21 pegawai tetap

1. Cara Menghitung Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Pegawai Tetap


Retto pada tahun 2016 bekerja pada perusahaan PT. Jaya Abadi dengan memperoleh gaji
sebulan Rp5.750.000,00 dan membayar  iuran  pensiun sebesar Rp200.000,00. Retto menikah
tetapi belum mempunyai anak. Pada bulan Januari penghasilan Retto dari PT Jaya Abadi
hanya dari gaji. Penghitungan PPh Pasal 21 bulan Januari adalah sebagai berikut:
Gaji Rp 5.750.000,00
Pengurangan :
- Biaya Jabatan ( 5% x Rp 5.750.000,00) Rp 287.500,00
- Iuran Pensiun Rp 200.000,00 +
Rp 487.500,00 -
Penghasilan Neto Sebulan Rp 5.262.500,00
Penghasilan neto setahun ( 12 x Rp 5.262.500,00) Rp 63.150.000,00
PTKP Setahun:
a. Untuk Wajib Pajak sendiri Rp 54.000.000,00
b. Tambahan karena menikah Rp 4.500.000,00 +
Rp 58.500.000,00 -
Penghasilan kena pajak setahun Rp 4.650.000,00
PPh Pasal 21 Terutang ( 5% x Rp 4.650.000,00) : Rp 232.500,00
PPh Pasal 21 bulan Januari : Rp 232.500,00 / 12 : Rp 19.375,00

PERTEMUAN 6
a. Studi kasus PPh Pasal 21 pegawai tidak tetap, harian, mingguan, bulanan, borongan

Upah Harian
Upah Mingguan
Upah Borongan

Upah Harian dibayar Bulanan


b. Studi kasus PPh Pasal 21 bukan pegawai

c. Studi kasus PPh Pasal 21 pensiunan


d. Studi kasus PPh Pasal 21 peserta kegiatan

PERTEMUAN 7

a. Subjek Pajak dan Objek Pajak PPh Pasal 22, 23, 26, PPh Final

Subjek Pajak PPh Pasal 22


Pajak Penghasilan Pasal 22, merupakan pembayaran pajak penghasilan dalam tahun berjalan
yang dipungut oleh:
1. Bendahara pemerintah, termasuk bendahara pada Pemerintahan Pusat, Pemerintah Daerah,
instansi atau lembaga pemerintah.
2. Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta, berkenaan dengan kegiatan
impor atau kegiatan usaha di bidang lain
3. Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembelian atas penjaulan barang
yajg tergolong sangat mewah.

Objek Pajak PPh Pasal 22


1. Kegiatan Impor dan Ekspor:

Atas impor:
 Menggunakan Angka Pengenalan Impor (API) sebesar 2,5% dari nilai impor, kecuali
nilai impor kedelai, gandum, dan tepung terigu sebesar 0,5% dari nilai impor
 Tidak menggunakan Angka Pengenalan Impor (API) sebesar 7,5% dari nilai impor
 Barang yang tidak di kuasai sebesar 7,5% dari harga jual lelang
Pemungutan PPh pasal 22
Bank Devisa dan Direktorat Jendral Bea dan Cukai
2. Pembelian bahan-bahan Industri

Dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan sebesar 0,25%
Pemungutan PPh Pasal 22
Badan usaha atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian,
peternakan, dan perikanan.
3. Penjualan emas

Atas penjualan emas batangan oleh produsen batangan, sebesar 0,45% dari harga jual emas
batangan.
Pemungutan PPh Pasal 22
Badan usaha yang memproduksi emas batangan, atas penjualan emas batangan di dalam
negeri.

Subjek Pajak PPh Pasal 23


Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal
dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh
Pasal 21.
Objek Pajak PPh Pasal 23
Besar PPh pasal 23 yang di potong:
1. Sebesar 15% dari jumlah bruto, atas:

a. Dividen
b. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang
c. Royalti, dan
d. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah di potong Pajak
Penghasilan Pasal 21

2. Sebesar 2% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN, atas:


a. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa tanah dan
bangunan
b. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa menejemen, jasa konstruksi, jasa konsultan,
dan jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.
c. Untuk yang tidak mempunyai NPWP dipotong 100% lebih tinggi dari tarif PPh Pasal 23

Subjek Pajak PPh Pasal 26


Ketentuan pasal 26 Undang-undang mengatur tentang pemotongan atas pengasilan yang
bersumber di Indonesia yang diterima dan diperoleh Wajib Pajak luar negeri (baik orang
pribadi maupun badan) selain Bentuk Usaha Tetap.
Objek Pajak PPh Pasal 26
1. Atas penghasilan berupa:
a. Dividen
b. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang
c. Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
d. Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
e. Hadiah dan penghargaan
f. Pensiun dan pembayaran berkala lainnya
g. Keuntungan karena pembebasan utang
PPh pasal 26 = penghasilan bruto x 20%
2. Atas penghasilan yang berupa:
Penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia
Premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri, di potong PPh Pasal
26 sebesar 20% dari perkiraan penghasilan netto.
PPh Pasal 26= (Penghasilan Bruto x Perkiraan Penghasilan Netto) x 20%
3. Atas penghasilan yang berupa penjualan atau pengalihan saham di potong PPh Pasal
26 sebesar 20% dari perkiraan penghasilan netto.
PPh Pasal 26 = (Penghasilan Bruto x Perkiraan Penghasilan Netto) x 20%
4. Atas Penghasilan Kena Pajak (PKP) ssudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha
tetap di Indonesia dikenakan pajak sebesar 20%.
PPh Pasal 26 = (PKP-PPh Terutang) x 20%

Objek dan Tarif Pajak PPh Final


1. Bunga deposito, Jenis-jenis tabungan, Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan diskon jasa
giro, tarif sebesar 20% sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 131 tahun
2000 dan turunannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 51/KMK.04/2001.
2. Bunga simpanan, Yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota masing-masing, dengan
tarif sebesar 10% sebagaimana diatur dalam Pasal 17 (7) dan turunannya Peraturan
Pemerintah Nomor 15 tahun 2009.
3. Bunga dari kewajiban, dengan berbagai tarif dari 0% sampai 20%. Penjelasan lebih lanjut
dapat ditemukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2009.
4. Dividen, yang diterima oleh Indonesia Wajib Pajak orang pribadi, tarif sebesar 10%
sebagaimana diatur dalam Pasal 17 (2c).
5. Hadiah lotere/undian, tarif sebesar 25% sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 132 tahun 2000.
6. Transaksi derivatif, dalam bentuk berjangka panjang yang diperdagangkan di bursa,
dengan tarif sebesar 2,5% sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun
2009.
7. Jasa konstruksi, dengan berbagai tarif dari 2% sampai 6%.
8. Sewa atas tanah dan bangunan, dengan tarif 10%.
9. Pengalihan hak atas tanah dan bangunan, dengan tarif sebesar 5%.
10. Transaksi penjualan saham, dengan tarif 0,1%.

b. Sistem pemungutan PPh Pasal 22, 23, 26, PPh Final

Sistem Pemungutan PPh Pasal 22


Sistem pemungutan menggunakan with holding tax a system Adalah sistem pemungutan pajak
dimana wewenang untuk menentukan besarya pajak yang terutang tidak terletak pada fiskus
maupun wajib pajak sendiri melainkan pada pihak ketiga yang telah ditunjuk oleh Menteri
Keuangan.

Sistem Pemungutan PPh Pasal 23


Sistem pemungutan menggunakan with holding tax a system Adalah sistem pemungutan pajak
dimana wewenang untuk menentukan besarya pajak yang terutang tidak terletak pada fiskus
mauoun wajib pajak sendiri melainkan pada pihak ketiga yang telah ditunjuk oleh Menteri
Keuangan.
Sebagai bukti atas pelunasan pajak ini biasanya berupa bukti potong atau bukti pungut. Dalam
kasus tertentu ada juga yang berupa Surat Setoran Pajak (SSP). Bukti-bukti pemotongan ini
nanti dilampiri dalam SPT Tahunan PPh atau SPT Masa PPN dari Wajib Pajak yang
bersangkutans

Sistem Pemungutan PPh Pasal 26


Sistem pemungutan menggunakan with holding tax a system Adalah sistem pemungutan pajak
dimana wewenang untuk menentukan besarya pajak yang terutang tidak terletak pada fiskus
mauoun wajib pajak sendiri melainkan pada pihak ketiga yang telah ditunjuk oleh Menteri
Keuangan.

Sistem Pemungutan PPh Final


Sistem pemungutan menggunakan with holding tax a system Adalah sistem pemungutan pajak
dimana wewenang untuk menentukan besarya pajak yang terutang tidak terletak pada fiskus
mauoun wajib pajak sendiri melainkan pada pihak ketiga yang telah ditunjuk oleh Menteri
Keuangan. Sebagai bukti atas pelunasan pajak ini biasanya berupa bukti potong atau bukti
pungut. Dalam kasus tertentu ada juga yang berupa Surat Setoran Pajak (SSP). Bukti-bukti
pemotongan ini nanti dilampiri dalam SPT Tahunan PPh atau SPT Masa PPN dari Wajib
Pajak yang bersangkutan.
c. Administasi perpajakan PPh Pasal 22, 23, 26, PPh Final
Administrasi Perpajakan adalah penatausahaan dan pelayanan terhadap kewajiban-kewajiban
dan hak-hak wajib pajak, baik penatausahaan dan pelayanan tersebut dilakukan di kantor
fiskus maupun di kantor wajib pajak. Yang termasuk dalam kegiatan penatausahaan adalah
pencatatan (recording), penggolongan (classifying) dan penyimpanan (filling).
Administasi perpajakan PPh Pasal 22
Administrasi Pasal 22
(1) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang dilaksanakan dengan cara
penyetoran oleh:
a. Importir yang bersangkutan atau
b. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
ke kas negara melalui Pos Persepsi, Bank Devisa Persepsi, atau Bank Persepsi yang ditunjuk
oleh Menteri Keuangan.
(2) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas ekspor komoditas tambang batubara, mineral
logam, dan mineral bukan logam dilaksanakan dengan cara
penyetoran oleh eksportir yang bersangkutan ke kas negara melalui Pos Persepsi, Bank Devisa
Persepsi, atau Bank Persepsi yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
(3) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d. wajib disetor oleh pemungut ke kas
negara melalui Pos Persepsi, Bank Devisa Persepsi, atau Bank Persepsi yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang telah diisi atas nama
rekanan serta ditandatangani oleh pemungut pajak dan/atau Bukti Penerimaan Negara yang
telah diisi atas nama rekanan.
(4) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (1) huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, huruf j, dan huruf k wajib
disetor oleh pemungut ke kas negara melalui Pos Persepsi, Bank Devisa Persepsi, atau Bank
Persepsi yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
(5) Terhadap bukti penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai melakukan pemeriksaan formal atas bukti penyetoran pajak terse but sebagai
dokumen pelengkap pemberitahuan pabean ekspor dan dijadikan dasar pelayanan ekspor.
(6) Pemeriksaan formal sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
dilaksanakan oleh pejabat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan/ atau sistem komputer
pelayanan.

Administasi perpajakan PPh Pasal 23


Saat Terutang, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 23
1. PPh Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran, disediakan untuk
dibayar, atau telah jatuh tempo pembayarannya, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih
dahulu.
2. PPh Pasal 23 disetor oleh Pemotong Pajak paling lambat tanggal sepuluh bulan takwim
berikutnya setelah bulan saat terutang pajak.
3. SPT Masa disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat, paling lambat 20 hari
setelah Masa Pajak berakhir.
4. Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal 23 bertepatan
dengan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, penyetoran atau pelaporan
dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

Administasi perpajakan PPh Pasal 26


a. Pemotongan PPh pasal 26 bersifat final, kecuali:
b. Pemotngan atas penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan , penjualan barang atau
pemberian jasa di indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau dilakukan BUT di
indonesia
c. Pemotongan atas penghasilan sebagaimana tersebut dalam PPh pasal 26 yang diterima
atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antar BUT dengan harta
atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
d. Pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar
negeri yang berybah status menjadi wajib pajak dalam negeri atau BUT.
e.  melakuakn administrasi juga dapat melalui online e-feeling atau online pajak lainnya

Administasi perpajakan PPh Final


 PPh Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto SBI
Pemotong PPh atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto adalah : 
- Bank Pembayar Bunga;
- Dana Pensiun yang telah disahkan Menteri Keuangan dan Bank yang menjual kembali
sertifikat Bl (SBI) kepada pihak lain yang bukan dana pensiun yang pendiriannya belum
disahkan oleh Menteri Keuangan dan bukan bank wajib memotong PPh atau diskonto SBI
tersebut.
 Pajak Penghasilan Atas Hadiah dan Penghargaan
Pemotong Pajak Penghasilan (PPh) adalah:
- penyelenggara undian;
- pemberi hadiah
 Pajak Penghasilan Atas Sewa Tanah Bangunan
Pemotong PPh atas penghasilan yang diterima dari persewaan tanah dan/atau bangunan adalah
:
1. Apabila penyewa adalah badan pemerintah, Subjek Pajak badan, dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, kerjasama operasi, perwakilian perusahaan
luar negeri lainnya dan orang pribadi yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak,
maka Pajak Penghasilan yang terutang wajib dipotong oleh penyewa dan penyewa wajib
memberikan bukti potong (formulir F.1.33.12) kepada yang menyewakan atau yang
menerima penghasilan ;
2. Apabila penyewa adalah orang pribadi atau bukan Subjek Pajak Penghasilan selain yang
tersebut pada butir 1 di atas, maka Pajak Penghasilan yang terutang wajib dibayar sendiri
oleh pihak yang menyewakan

d. Studi kasus PPh Pasal 22, 23, 26, PPh Final


Studi kasus PPh Pasal 22
PT Pasaribu Motors mengimpor barang dari Korea. PT Pasaribu Motors adalah importir mobil
yang telah memiliki Angka Pengenal Impor. PT KIA mengimpor unit 50 mobil, dengan harga
faktur $ 10.000 per unit.
Biaya asuransi dan biaya angkut yang berkaitan dengan impor mobil tersebut masing-masing
adalah 2% dan 3%. Bea masuk yang dibayar oleh PT KIA Motors sebesar 5% dari CIF dan
bea masuk tambahan sebesar 20% dari CIF.
Kurs pada saat itu ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebesar $1 = Rp 9.000. Berapa PPh
pasal 22 yang harus dibayar? Jawab:
Harga faktur : 50 unit x $10.000 = $500.000
Biaya asuransi(2%) $ 10.000
Biaya angkut(3%) $ 15.000
CIF $525.000
Bea masuk: 5% x $525.000 = $ 26.250
Bea masuk tambahan:20% x $525.000 = $105.000
Nilai Impor $ 656.250
Nilai Impor dalam rupiah:
$656.250 x Rp 9.000 = Rp 5.906.250.000,-
PPh 22 yang harus dipungut (memiliki API)
2,5% x Rp 5.906.250.000 = Rp 147.656.250,

Studi kasus PPh Pasal 23


Atas peghasilan berupa dividen akan dikenakan pemotongan PPh pasal 23 sebesar 15% dari
jumlah bruto.
Contoh:
PT. Solusindo membayar dividen kepada CV Perkasa sebesar Rp.200.000.000,00. PPh Pasal
23 dipotong PT. Solusindo adalah:
15% x Rp. 200.000.000,00 = Rp. 30.000.000,00

Studi kasus PPh Pasal 26


Mike adalah karyawan asing pada perusahaan PT. Dira Consult. Mike bertempat tinggal
kurang dari 183 hari. Mike sudah beristri dan mempunyai seorang anak. Dalam bulan April
2014, Mike memperoleh gaji USS 5.000 sebulan. Kurs yang berlaku adalah Rp. 11.500 per
USS 1.
Perhitungan PPh Pasal 26:
Penghasilan bruto berupa gaji sebulan:
5.000 x Rp. 11.500 = Rp. 57.500.000
Penerapan tarif:
20% x Rp. 57.500.000 = Rp. 11.500.000
PPh Pasal 26 atas gaji Mike bulan April 2014 adalah
Rp. 11.500.000

Studi kasus PPh Final


Pada tanggal 12 Agustus 2013, Rahmat (NPWP : 01.000.000.0-608.000) menjual rumahnya
(NOP : 35.19.061.001.001-0001.0) di Perumahan Bumi Sumekar Sumenep kepada Nasri.
NJOP atas tanah dan bangunan yang tertera dalam SPPT PBB Tahun 2013 adalah sebesar Rp
1.500.000.000. Harga transaksi yang disepakati adalah Rp 1.700.000.000. Rahmat dan Nasri
sepakat untuk melakukan penandatangan akta jual beli pada tanggal 15 Agustus 2013
dihadapan notaris PPAT Dhea Tunggadewi, S.H., M.Kn. Bagaimana kewajiban PPh atas
transaksi penjualan rumah tersebut ?
Atas penghasilan yang diterima oleh Rahmat dari pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan wajib dibayar PPh Final pasal 4 ayat (2)-nya.
 Besarnya PPh yang wajib dibayar adalah :
5% x Rp 1.700.000.000 = Rp 85.000.000
 Note : 5% dari pengalihan hak atas tanah atau bangunan

Anda mungkin juga menyukai