1. Fungsi budgetair: pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluarannya
2. Fungsi mengatur (regulasi): pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan
kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.
Contoh:
Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi konsumsi
minuman keras.
Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk mengurangi
gaya hidup konsumtif.
Tarif pajak untuk ekspor sebesar 0%, untuk mendorong ekspor produk Indonesia
di pasaran dunia.
Hukum Pajak menganut paham imperatif, yaitu pelaksanaannya tidak dapat ditunda
misalnya dalam hal pengajuan keberatan, sebelum ada keputusan dari Direktur Jenderal
Pajak bahwa keberatan tersebut diterima, maka Wajib Pajak yang mengajukan keberatan
terlebih dahulu membayar pajak, sesuai dengan yang telah ditetapkan. Berbeda dengan
hukum pidana yang menganut paham oportunitas, yaitu pelaksanaannya dapat ditunda
setelah ada keputusan lain.
Pajak Formil: memuat bentuk / tata cara untuk mewujudkan hukum pajak meteriil
menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak meteriil).
Hukum Formil memmuat antara lain:
- Tata Cara penyelenggaraan (prosedur) penetapan suatu utang pajak
- Hak-hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para WP mengenai
keadaan, perbuatan dan peristiwa yang menimbulkan utang pajak
- Kewajiban WP misalnya menyelenggarakan pembukuan/pencatatan, dan hak-hak
WP misalnya mengajukan keberatan dan banding.
contoh: Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP)
a. Pajak Langsung
Adalah pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat
dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain (contoh: PPh).
2. Menurut Sifatnya :
a. Pajak Subjektif
Yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti
memperhatikan keadaan dari WP.
Contoh: Pajak Penghasilan
b. Pajak Objektif
Yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan WP.
Contoh: PPN dan PPnBM
a. Pajak Pusat
Yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat dan digunakan untuk
membiayai rumah tangga negara.
Contoh: Pajak Penghasilan, PPN dan PPnBM, dan Bea Meterai.
b. Pajak Daerah
Yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk
membiayai rumah tangga daerah.
Pajak Daerah terdiri atas:
Pajak Provinsi, contoh: Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor.
Pajak Kabupaten/Kota, contoh: Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak
Hiburan.
c. Stelsel Campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada
awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada
akhir tahun besarnya pajak diesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Bila
besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar dari pada pajak menurut
anggapan, maka WP harus menambah, sebaliknya, jika lebih kecil kelebihannya
dapat diminta kembali.
c. Asas Kebangsaan
Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara.
3. Sistem Pemungutan
Ciri-cirinya:
1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus.
2) WP bersifat pasif.
3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan SKP oleh fiskus.
Yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada WP untuk
menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
Ciri-cirinya:
1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada WP sendiri.
2) WP aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang
terutang.
3) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
Yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga
(bukan fiskus dan bukan WP yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak
yang terutang oleh WP.
Ciri-cirinya:
Wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak
selain fiskus dan WP.
1. Tarif Sebanding/Proporsional
Tarif berupa prosentase yang tetap, terhadap beberapa jumlah yang dikenai pajak
sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang
dikenai pajak.
Contoh:
Untuk penyerahan BKP di dalam daerah pabean akan dikenakan PPN sebesar 10%.
2. Tarif Tetap
Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak
sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.
Contoh:
Besarnya tarif Bea Meterai untuk cek dan bilyet giro dengan nilai nominal berapun
adalah Rp. 3.000,-
3. Tarif Progresif
Presentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin
besar.
Contoh:
Pasal 17 UU Pajak Penghasilan untuk WPOP Dalam Negeri
4. Tarif Degresif
Presentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak semakin
besar.
2. Pajak Daerah
Sesuai dengan Undang-Undang 28 Tahun 2009, ”Tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah”, Jenis Pajak Daerah adalah :
a. Pajak Provinsi
Terdiri-dari :
1) Pajak Kendaraan Bermotor;
2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
4) Pajak Air Permukaan; dan
5) Pajak Rokok.
b. Pajak Kabupaten/Kota
1) Pajak Hotel;
2) Pajak Restoran;
3) Pajak Hiburan;
4) Pajak Reklame;
5) Pajak Penerangan Jalan;
6) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
7) Pajak Parkir;
8) Pajak Air Tanah;
9) Pajak Sarang Burung Walet;
10) Pajak Bumi dan Bangunan P2 (Perdesaan dan Perkotaan) *);
11) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan P2*).
Nomor Pokok Wajib Pajak terdiri atas 15 digit, 9 digit pertama merupakan kode wajib
pajak dan 6 digit berikutnya merupakan kode administrasi.
0 1 . 2 3 4 . 5 6 7 . 8 . 9 10 11 . 12 13 14
Persyaratan Objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau
memperoleh penghasilan atau yang diwajibkan untuk melakukan pemotongan /
pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak,
dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Wajib Pajak Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan
baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi
perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara
atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi,
koperasi, dana pension, persekutuan, perkumpulan, yayasan, oraganisasi massa,
organisasi social politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk lainnya termasuk
kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan NPWP dan/atau mengukuhkan PKP secara jabatan
apabila Wajib Pajak atau PKP tidak melaksanakan kewajibannya untuk mendaftarkan diri
pada Kantor DJP dan atau untuk dikukuhkan sebagai PKP.
SSP/SSE (Ebiling) adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan
dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Negara
melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
Apabila hasil penelitian tidak terdapat pajak yang seharusnya tidak terutang, maka
Direktur Jenderal Pajak harus memberitahu secara tertulis kepada Wajib Pajak.
Catatan
Barang dengan nilai paling banyak Rp20.000.000 tidak harus diumumkan
melalui media massa.
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal
surat permohonan pembetulan diterima, harus memberikan keputusan.
Apabila jangka waktu tersebut telah lewat tetapi Direktur Jenderal Pajak tidak
memberikan suatu keputusan, maka permohonan pembetulan yang diajukan
dianggap dikabulkan dan paling lama 1 (satu) bulan sejak berakhir jangka
waktu 6 (enam) bulan tersebut DJP wajib menerbitkan surat keputusan
pembetulan tersebut.
Permohonan Wajib Pajak dapat diajukan paling banyak 2 (dua) kali dan
permohonan kedua harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga)
bulan sejak tanggal keputusan Direktur Jenderal Pajak atas permohonan
yang pertama dikirim.
Untuk SKPKB atau SKPKBT tersebut harus yang tidak diajukan keberatan,
diajukan keberatan tetapi telah dicabut oleh Wajib Pajak atau diajukan
keberatan tetapi tidak dipertimbangkan karena tidak memenuhi
persyaratan.
Permohonan Wajib Pajak dapat diajukan paling banyak 2 (dua) kali dan
permohonan kedua harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga)
bulan sejak tanggal keputusan Direktur Jenderal Pajak atas permohonan yang
pertama dikirim, kecuali untuk permohonan pembatalan surat ketetapan
pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa penyampaian surat
pemberitahuan hasil pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil pemeriksaan
yang hanya dapat diajukan 1 (satu) kali saja.
Direktur Jenderal Pajak harus memberikan keputusan atas permohonan
Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal
diterimanya permohonan Wajib Pajak.
Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak
memberi suatu keputusan, permohonan yang diajukan oleh Wajib Pajak
dianggap dikabulkan dan harus menerbitkan keputusan sesuai dengan
permohonan yang diajukan.
Keputusan yang diterbitkan Direktur Jenderal Pajak dapat berupa
mengabulkan sebagian atau seluruhnya, atau menolak permohonan Wajib
Pajak. Wajib Pajak dapat meminta secara tertulis kepada Direktur Jenderal
Pajak mengenai alasan yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan
sebagian permohonan Wajib Pajak.
Pengertian “Keberatan”
Dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
kemungkinan terjadi bahwa Wajib Pajak (WP) merasa kurang/tidak puas
atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya atau atas
pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga. Dalam hal ini Wajib Pajak dapat
mengajukan keberatan.
PENYELESAIAN KEBERATAN
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan
sejak tanggal surat keberatan diterima, harus memberikan keputusan atas
keberatan yang diajukan. Apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas) telah
lewat dan Direktorat Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, maka
keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima dan wajib diterbitkan
Surat Keputusan Keberatan sesuai dengan keberatan Wajib Pajak.
Keputusan keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian,
menolak atau menambah besarnya jumlah pajak terhutang.
IMBALAN BUNGA
Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian dan Wajib
Pajak tidak mengajukan permohonan banding, jumlah pajak berdasarkan
keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum
mengajukan keberatan harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal
penerbitan Surat Keputusan Keberatan, dan penagihan dengan Surat Paksa
akan dilaksanakan apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang pajak tersebut. Di
samping itu, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar
50% (lima puluh persen).
Dalam hal permohonan banding Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian,
jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pajak yang telah
dibayar sebelum mengajukan keberatan harus dilunasi paling lama 1 (satu)
bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding, dan penagihan dengan Surat
Paksa akan dilaksanakan apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang pajak
tersebut. Di samping itu, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda
sebesar 100% (seratus persen).
GUGATAN
Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dapat mengajukan gugatan kepada
Peradilan Pajak terhadap:
1. Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau
Pengumuman Lelang;
2. Keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
3. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan,
selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 UU KUP; atau
4. Penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang
dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang
telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
1. PROSES PEMERIKSAAN
Dasar Hukum Tata Cara Pemeriksaan Pajak adalah Peraturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor : 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan,
sebagai perubahan ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan telah diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.03/2007 tentang Tata Cara
Pemeriksaan Pajak sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 82/PMK.03/2011.
2. PEMERIKSAAN
3. TUJUAN PEMERIKSAAN
1) Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan :
a. Pemeriksaan harus dilakukan terhadap Wajib Pajak mengajukan
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP.
b. Pemeriksaan dapat dilakukan dalam hal :
a) Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih
bayar, termasuk yang telah diberikan pengembalian pendahuluan
kelebihan pajak;
b) Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan rugi;
c) Wajib Pajak tidak menyampaikan atau menyampaikan Surat
Pemberitahuan tetapi melampaui jangka waktu yang telah ditetapkan
dalam Surat Teguran;
d) Wajib Pajak melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran,
likuidasi, pembubaran, atau akan meninggalkan Indonesia untuk
selama-lamanya; atau
e) Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan yang memenuhi
kriteria seleksi berdasarkan hasil analisis risiko (risk based selection)
mengindikasikan adanya kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang tidak
dipenuhi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
2) Tujuan Lain :
a. Pemberian NPWP secara jabatan;
b. Penghapusan NPWP;
c. Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan pencabutan PKP;
d. Wajib Pajak mengajukan keberatan;
e. Pengumpulan bahan untuk penyusunan Norma
7. RESTITUSI
1. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan
Pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
2. PKP dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan
Pajak (restitusi) pada akhir tahun buku. Bagi PKP Orang Pribadi yang
dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan, pengertian
tahun buku adalah tahun kalender.
Sales, PPN
Produksi Keluaran, PPnBM
Pembelian:
Supplier PPh 22, 23, Customer
BM, Pajak Ekspor
DN & LN 26, Final DN & LN
Badan
PPN Masukan Usaha PPh 22, 23
(Kredit Pajak)
Pinjaman
Kreditur Fungsi
Bunga
Akuntansi
Laba
Komersial
Pemegang
Saham Karyawan
Koreksi Fiskal
Laba Fiskal
Bagi Laba (Dividen)
PPh 23
SPT
Kebijakan pengampunan pajak ini juga tidak akan diberikan secara berkala, dalam
penjelasan umum UU Pengampunan Pajak, hendak diikuti dengan kebijakan lain seperti
penegakan hukum yang lebih tegas dan penyempurnaan UU KUP, UU Pajak Penghasilan,
UU PPN & PPnBM, serta kebijakan strategis lain di bidang perpajakan dan perbankan
sehingga membuat ketidak patuhan WP akan tergerus di kemudian hari melalui basis data
kuat yang dihasilkan oleh pelaksanaan UU ini.
adalah sejumlah uang yang dibayarkan ke Kas Negara untuk mendapatkan Pengampunan
Pajak
Rumus Uang Tebusan = Tarif x Dasar Pengenaan
4.4. TARIF
Repatriasi / Deklarasi DN
Periode I = 2%
Periode II = 3%
Periode III = 5%
Repatriasi / Deklarasi LN
Periode I = 4%
Periode II = 6%
Periode III = 10%
Fasilitas :
Penghapusan Pajak Terutang (PPh dan PPN dan/atau PPnBM)
Penghapusan Sanksi Administrasi atas Ketetapan Pajak yang telah diterbitkan
Tidak dilakukan Pemeriksaan Pajak, Pemeriksaan Bukti Permulaan dan Penyidikan
Tidak Pidana Perpajakan *)
Penghentian *)
Penghapusan PPh Final atas Pengalihan Harta berupa Tanah dan/atau Bangunan serta
Saham
Sanksi :
WP yang tidak memenuhi kewajiban Holding Period maka atas Harta Bersih
Tambahan diperlakukan sebagai Penghasilan pada tahun 2016 dan dikenai pajak dan
sanksi sesuai dengan peraturan berlaku bidang perpajakan;
WP telah mengikuti Program Pengampunan Pajak namun ditemukan adanya data
mengenai harta bersih yang kurang diuangkapkan, maka atas harta dimaksud
diperlakukan sebagai penghasilan pada saat ditemukan dan dikenai pajak sesuai UU
PPh dan ditambah dengan sanksi administrasi 200%;
WP yang tidak mengikuti Program Pengampunan Pajak namun ditemukan adanya data
mengenai Harta bersih yang tidak dilaporkan, maka atas Harta dimaksud diperlakukan
sebagai penghasilan pada saat ditemukan dan dikenai pajak serta sanksi administrasi
sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.
Kerahasiaan Data :
Tidak dapat diminta oleh siapapun atau diberikan kepada pihak manapun, kecuali atas
persetujuan WP sendiri;
Tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan
pidana terhadap WP;
Ancaman sanksi pidana bagi pihak yang membocorkan, menyebarluaskan, dan/atau
memberiktahukan data dan informasi.
ILUSTRASI PERHITUNGAN :
3. PENGAMPUNAN PAJAK
DJP memberikan kesempatan dan kemudahan bagi Wajib Pajak yang membetulkan SPT-nya,
sepanjang belum ditemukan oleh DJP atas kewajiban perpajakannya.
Dalam pengampunan pajak, pemeriksaan tidak dilakukan, artinya PMK diterbitkan bukan berarti
pengampunan pajak jilid 2 (tidak pengampunan pajak), pemeriksaan bisa dilakukan.
Peraturan Menteri Keuangan ini, mengatur tidak diperlukannya Surat Keterangan Bebas (SKB)
dan cukup menggunakan Surat Keterangan Pengampunan Pajak untuk memperoleh fasilitas
pembebasan PPh atas balik nama asset tanah atau bangunan yang diungkap dalam program
pengampunan pajak.
Selanjutnya Wajib Pajak dalam pengungkapan asset sukarela dengan tarif final untuk
memberikan kesempatan bagi WP yang memiliki harta yang belum dilaporkan dalam SPT tahun
2015 maupun Surat Pernyataan Harta untuk mengungkapkan sendiri asset tersebut dengan
membayar pajak penghasilan. Jika ditemukan dan belum diuangkap maka otoritas pajak (UU No.
9 tahun 2017) bisa menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2).
Keuntungannya untuk peserta program ini adalah Program ini tidak berbatas Waktu, namun
tidak ada pengenaan Sanksi Pasal 18 UU kesempatan bagi Wajib Pajak untuk
Pengampunan Pajak, yaitu: mengungkapkan sendiri adalah sebelum DJP
Sanksi 200% bagi Wajib Pajak yang ikut menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2)
Amnesti Pajak; atau
2% perbulan bagi Wajib Pajak yang tidak ikut Peraturan Menteri Keuangan Nomor:
Amnesti Pajak. 165/PMK.03/2017
Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau Kring Pajak adalah
tempat awal yang harus dituju untuk meminta penjelasan mengenai pengisian
dan pemenuhan kelengkapan dokumen yang harus dilampirkan dalam SPT
Masa PPh Final Pengungkapan Harta Bersih.
Bagaimana caranya ?
Tata cara pengungkapan Harta Bersih adalah sebagai berikut:
1. Wajib Pajak datang ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar
untuk meminta penjelasan mengenai pengisian dan pemenuhan
kelengkapan dokumen yang harus dilampirkan dalam SPT Masa PPh Final
Pengungkapan Harta Bersih, yaitu:
a. bukti pelunasan PPh Final atas Pengungkapan Harta Bersih (Kode Akun
Pajak: 411128, Kode Jenis Setoran: 422);
b. daftar rincian Harta dan Utang dalam bentuk softcopy dan hardcopy beserta dokumen-
dokumen pendukung;
c. daftar Utang serta dokumen pendukung;
d. dokumen penilaian oleh instansi terkait (Direktorat Jenderal Pajak atau Kantor Jasa Penilai
Publik) atas harta yang tidak terdapat pedoman penentuan nilainya;
2. Wajib Pajak melengkapi dokumen-dokumen yang akan digunakan untuk mengajukan PAS-
Final melalui SPT Masa PPh Final Pengungkapan Harta Bersih, termasuk membayar PPh Final
atas harta yang belum diungkap/dilapor
3. Wajib Pajak menyampaikan SPT Masa PPh Final ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib
Pajak terdaftar atau Tempat Lain yang ditentukan Menteri Keuangan.
4. Wajib Pajak akan mendapatkan tanda terima SPT Masa.
Tuan A merupakan pengusaha katering. Pada Tahun Pajak 2015, Tuan A hanya menerima
penghasilan berupa :
1. Penghasilan usaha katering sebesar Rp. 2.000.000.000 (dua miliar rupiah) yang dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final; dan
2. Penghasilan sebagai pembawa acara di televisi sebesar Rp. 500.000.000 (lima ratus juta
rupiah) yang dikenai Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final.
Apabila terhadap Tuan A diterapkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini maka
penghasilan bruto Tuan A perlu untuk diuji sebagai berikut :
Mengingat Tuan A menerima penghasilan bruto dari usaha dan/atau pekerjaan bebas pada
Tahun Pajak 2015 sebesar Rp2.500.000.000 (dua miliar lima ratus juta rupiah) maka tarif yang
berlaku bagi Tuan A sebesar 12,5% (dua belas koma lima persen).
Contoh Kasus 2:
Tuan B merupakan karyawan yang menerima gaji dari perusahaan tempat bekerja. Tuan B tidak
melakukan usaha dan/atau pekerjaan bebas. Pada Tahun Pajak 2015, Tuan B menerima
penghasilan berupa:
1. Gaji sebesar Rp. 120.000.000 (seratus dua puluh juta rupiah) yang dikenai Pajak Penghasilan
yang tidak bersifat final;
2. Bunga Deposito sebesar Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah) yang dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final; dan
3. Sewa Tanah dan Bangunan sebesar Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) yang dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final.
Apabila terhadap Tuan B diterapkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini maka
penghasilan bruto Tuan B perlu untuk diuji sebagai berikut:
Mengingat Tuan B menerima penghasilan bruto selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas pada
Tahun Pajak 2015 sebesar Rp. 175.000.000 (seratus tujuh puluh lima juta rupiah) maka tarif yang
berlaku bagi Tuan B sebesar 12,5% (dua belas koma lima persen).
Tuan C merupakan karyawan yang menerima gaji dari perusahaan tempat bekerja. Selain itu
Tuan C merupakan pengusaha jasa pencucian motor. Pada Tahun Pajak 2015, Tuan C menerima
penghasilan berupa:
1. Gaji sebesar Rp. 120.000.000 (seratus dua puluh juta rupiah) yang dikenai Pajak Penghasilan
yang tidak bersifat final;
2. Penghasilan usaha pencucian motor sebesar Rp. 1.500.000.000 (satu miliar lima ratus juta
rupiah) yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final;
3. Bunga Deposito sebesar Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah) yang dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final; dan
4. Sewa Tanah dan Bangunan sebesar Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) yang dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final.
Apabila terhadap Tuan C diterapkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini maka
penghasilan bruto Tuan C perlu untuk diuji sebagai berikut:
Penghasilan Jumlah
1. Penghasilan bruto selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas
Dikenai PPh final (a) Rp. 5.000.000
Dikenai PPh tidak final (b) Rp. 120.000.000
Dikenai PPh final (c) Rp. 50.000.000
Penghasilan bruto selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas
(d= a+b+c) Rp. 175.000.000
Mengingat Tuan C:
a. Menerima penghasilan bruto yang bersumber selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas
sebesar Rp. 175.000.000 (seratus tujuh puluh lima juta rupiah); dan
b. Memiliki jumlah penghasilan bruto dari usaha dan/atau pekerjaan bebas dan selain dari usaha
dan/atau pekerjaan bebas pada Tahun Pajak 2015 sebesar Rp. 1.675.000.000 (satu miliar
enam ratus tujuh puluh lima juta rupiah),
Maka tarif yang berlaku bagi Tuan C sebesar 12,5% (dua belas koma lima persen).
Contoh Kasus 4:
Tuan D telah memperoleh Surat Keterangan, namun Direktur Jenderal Pajak menemukan Harta
berupa mobil yang belum pernah dilaporkan dalam SPT PPh dan tidak diungkapkan dalam Surat
Pernyataan. Atas Tuan D diterapkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
Tuan D tidak menyampaikan SPT PPh Terakhir dan surat pernyataan mengenai besaran
peredaran usaha. Pada saat pemeriksaan, Tuan D membuat surat pernyataan mengenai besaran
penghasilan bruto pada Tahun Pajak Terakhir dengan komponen penghasilan bruto sebagai
berikut:
Mengingat Tuan D berdasarkan data dan/atau informasi lain yang dimiliki Direktur Jenderal
Pajak :
1. Menerima penghasilan bruto yang bersumber selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas
sebesar Rp. 650.000.000 (enam ratus lima puluh juta rupiah); dan
2. Memiliki jumlah penghasilan bruto dari usaha dan/atau pekerjaan bebas dan selain dari usaha
dan/atau pekerjaan bebas pada Tahun Pajak 2015 sebesar Rp. 1.650.000.000 (satu miliar
enam ratus lima puluh juta rupiah),
Maka tarif yang berlaku bagi Tuan D sebesar 30% (tiga puluh persen). Tarif tersebut berlaku
karena WP memiliki penghasilan bruto melebihi jumlah tertentu yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah ini.
Mengingat Tuan D berdasarkan data dan/atau informasi lain yang dimiliki Direktur Jenderal
Pajak:
1. Menerima penghasilan bruto yang bersumber selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas
sebesar Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah); dan
2. Memiliki jumlah penghasilan bruto dari usaha dan/atau pekerjaan bebas dan selain dari usaha
dan/atau pekerjaan bebas pada Tahun Pajak 2015 sebesar Rp. 260.000.000 (dua ratus enam
puluh juta rupiah),
Maka tarif yang berlaku bagi Tuan D sebesar 12,5% (dua belas koma lima persen). Tarif tersebut
berlaku karena WP memiliki penghasilan bruto dibawah jumlah tertentu yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah ini.
Wajib Pajak tidak melakukan kewajiban untuk tidak mengalihkan Harta ke luar wilayah NKRI
dan/atau tidak melaksanakan pengalihan harta dan investasi ke dalam wilayah NKRI.
1. Tuan A mengikuti Pengampunan Pajak dengan rincian Harta di dalam Surat Pernyataan
sebagai berikut:
Harta Bersih Tambahan Nilai
Berada di dalam NKRI Rp. 12.000.000.000
Berada di luar wilayah NKRI dan tidak dialihkan ke
dalam wilayah NKRI Rp. 50.000.000
Berdasarkan informasi di atas, besarnya dasar pengenaan Pajak Penghasilan dihitung sebagai
berikut:
Harta Bersih tambahan berada di dalam NKRI (a) Rp. 12.000.000.000
Harta Bersih tambahan berada di luar NKRI dan tidak
Dialihkan ke dalam wilayah NKRI (b) Rp. 50.000.000
Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan (a + b) Rp. 12.050.000.000
2. Nyonya B mengikuti Pengampunan Pajak dengan rincian Harta di dalam Surat Pernyataan
sebagai berikut :
Harta Bersih Tambahan Nilai
Berada di dalam NKRI Rp. 1.000.000.000
Berada di luar wilayah NKRI dan akan dialihkan dan
diinvestasikan ke dalam wilayah NKRI Rp. 5.000.000.000
Berdasarkan informasi di atas, besarnya dasar pengenaan Pajak Penghasilan dihitung sebagai
berikut:
Harta Bersih tambahan berada di dalam NKRI (a) Rp. 1.000.000.000
Harta Bersih tambahan berada diluar wilayah NKRI dan akan
dialihkan dan diinvestasikan ke dalam wilayah NKRI (b) Rp. 5.000.000.000
Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan (a + b) Rp. 6.000.000.000
Berdasarkan informasi di atas, besarnya dasar pengenaan Pajak Penghasilan dihitung sebagai
berikut:
Harta Bersih tambahan berada di dalam NKRI (a) Rp. 3.000.000.000
Harta Bersih tambahan berada diluar wilayah NKRI dan
akan dialihkan dan diinvestasikan ke dalam wilayah NKRI (b) Rp. 10.000.000.000
Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan (a + b) Rp .13.000.000.000
Contoh Kasus 6:
Wajib Pajak mengikuti Pengampunan Pajak namun belum atau kurang mengungkapkan Harta
Bersih dalam Surat Pernyataan.
Tuan D mengikuti Pengampunan Pajak dengan informasi sebagai berikut:
Berdasarkan nilai dari hasil penilaian Direktur Jenderal Pajak, besarnya dasar pengenaan Pajak
Penghasilan dihitung sebagai berikut:
Nilai Harta berupa tanah dan bangunan pada
tanggal 31 Desember 2015 (a) : Rp 20.000.000.000
Sisa pokok Utang terkait Harta pada tanggal 31 Des 2015 (b) : Rp 12.000.000.000
Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan (a-b) : Rp 8.000.000.000
Wajib Pajak tidak mengikuti Pengampunan Pajak namun Direktur Jenderal Pajak menemukan
data dan/atau informasi terkait dengan Harta yang belum dilaporkan dalam SPT PPh.
Tuan E tidak mengikuti Pengampunan Pajak dan diketahui informasi sebagai berikut:
31 Desember 2015 : Tuan E memiliki rekening tabungan senilai Rp. 4.000.000.000
(empat miliar rupiah) namun belum dilaporkan dalam SPT PPh.
30 April 2018 : Direktur Jenderal Pajak menemukan data dan/atau informasi mengenai
Harta berupa rekening tabungan tersebut yang pada tanggal 30 April
2018 memiliki nilai Rp. 4.500.000.000 (empat miliar lima ratus juta
rupiah).
Dasar Pengenaan
Pajak Penghasilan : Sebesar saldo tabungan pada akhir Tahun Pajak Terakhir yaitu
Rp. 4.000.000.000 (empat miliar rupiah).
Contoh Kasus 8:
Harta Bersih yang tidak mencerminkan penghasilan dari Tahun Pajak Terakhir.
PT ABC yang terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak tanggal 2 Januari 2014 melaporkan SPT PPh
Terakhir tanggal 30 Agustus 2016 dan menyampaikan Surat Pernyataan pada tanggal 1
September 2016. Surat Keterangan diterbitkan pada tanggal 9 September 2016.
Tuan F peredaran usahanya dibawah Rp. 4,8 miliar, mengikuti Pengampunan Pajak dengan
informasi di dalam Surat Pernyataan sebagai berikut:
Harta Bersih Tambahan di dalam NKRI- Mobil Rp. 300.000.000
Uang Tebusan (0,5% x Rp300.000.000) Rp. 1.500.000
Tuan B tidak mengikuti program Pengampunan Pajak. Pada tahun 2017, Direktur Jenderal Pajak
menemukan data bahwa Tuan B memiliki harta berupa rumah dengan luas tanah 400 m2 dan
luas bangunan 100 m2 yang tidak dilaporkan dalam SPT PPh Tahun 2015. Dalam SPPT PBB
Tahun 2015 atas rumah tersebut diketahui :
Objek pajak Luas (m2) NJOP per m 2 (Rp) Total NJOP (Rp
Bumi 400 1.000.000 400.000.000
Bangunan - - -
Bumi dan Bangunan 400.000.000
Mengingat luas tanah dalam SPPT PBB sama dengan luas tanah sesuai data yang ditemukan
Direktur Jenderal Pajak, maka nilai tanah mengacu pada NJOP bumi, yaitu sebesar
Rp.400.000.000. Untuk nilai bangunan ditentukan berdasarkan hasil penilaian Direktur Jenderal
Pajak karena NJOP bangunan tidak tersedia dalam SPPT PBB Tahun 2015. Setelah dilakukan
penilaian oleh Direktur Jenderal Pajak, diperoleh nilai bangunan sebesar Rp. 300.000.000.
Berdasarkan perhitungan di atas, nilai Harta berupa rumah tersebut sebesar Rp. 700.000.000.
Nilai Harta tersebut merupakan hasil penjumlahan nilai tanah dan nilai bangunan (Rp.
400.000.000 + Rp. 300.000.000 = Rp. 700.000.000).
2. Tempat Wajib Pajak terdaftar apabila bukan pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib Pajak, maka tempat Wajib Pajak terdaftar
tersebut ditetapkan oleh____________
a. Menteri Keuangan.
b. Kepala Kantor Pelayanan Pajak wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal.
c. Direktur Jenderal Pajak--
d. Direktur Peraturan Perpajakan.
7. Jangka waktu untuk membetulkan SPT yang telah disampaikan Wajib Pajak adalah_________
a. Dalam jangka waktu 2 Tahun Pajak sesudah berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak
atau Tahun Pajak dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan
pemeriksaan.--
b. Dalam jangka waktu 2 Tahun Pajak sesudah berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak
atau Tahun Pajak dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak.
c. Dalam jangka waktu 3 Tahun Pajak sesudah berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak
atau Tahun Pajak dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan
pemeriksaan.
d. Dalam jangka waktu 3 Tahun Pajak sesudah berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak
atau Tahun Pajak dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak.
8. Apabila pajak yang terutang untuk suatu Tahun Pajak ternyata lebih besar dari kredit pajak,
maka kekurangan pajak terutang harus dilunasi selambat-lambatnya ____________
a. Tanggal 25 bulan ketiga setelah Tahun Pajak berakhir, sebelum SPT Tahunan
disampaikan.--
b. Tanggal 31 bulan ketiga setelah Tahun Pajak berakhir, sebelum SPT Tahunan
disampaikan.
c. Tanggal 25 bulan ketiga setelah Tahun Pajak berakhir, setelah SPT Tahunan disampaikan.
d. Ttanggal 31 bulan ketiga setelah Tahun Pajak berakhir, setelah SPT Tahunan
disampaikan.
9. Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Surat Keputusan Keberatan,
Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus
dilunasi dalam jangka waktu __________
a. Satu bulan sejak tanggal diterbitkan.--
b. Satu bulan sejak ketetapan pajak tersebut diterima oleh Wajib Pajak.
c. Dua bulan sejak tanggal diterbitkan.
d. Dua bulan sejak ketetapan pajak tersebut diterima oleh Wajib pajak
10. Pengembalian kelebihan pembayaran pajak Pasal 17,17B, atau 17C yang dilakukan setelah
jangka waktu 1 bulan, maka Pemerintah memberikan bunga sebesar 2% atas keterlambatan
pembayaran kelebihan pajak, dihitung saat berlakunya batas waktu pengembalian sampai
saat dilakukan pembayaran kelebihan pajak, untuk paling lama ___________
a. 24 bulan.
b. 12 bulan.
c. 48 bulan.
d. Tergantung berapa bulan keterlambatannya (tidak dibatasi waktu).--
11. Walaupun jangka waktu 10 tahun setelah Masa Pajak, Bagian Tahun pajak, dan Tahun Pajak,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 48% dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal_____
a. Wajib Pajak setelah jangka waktu tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di
bidang perpaj akan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada
12. Apabila terdapat PPh Pasal 25 tidak atau kurang dibayar, maka Direktur Jenderal Pajak______
a. Menerbitkan Surat Tagihan Pajak--
b. Menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
c. Menerbitkan Surat Ketetapan Pajak.
d. Menerbitkan Surat Pengenaan Sanksi Administrasi
13. Yang bukan merupakan hak Wajib Pajak berkaitan dengan pengajuan keberatan atas Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) adalah_________
a. Meminta keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak untuk
keperluan pengajuan keberatan,
b. Menyampaikan perbaikan surat keberatan untuk memenuhi persyaratan sebelum jangka
waktu 3 bulan,
c. Mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan sebelum disampaikannya Surat
Pemberitahuan Untuk Hadir,
d. Mengajukan permohonan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak yang
masih harus dibayar dalam SKPKB yang diajukan keberatan.
14. Permohonan pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar dapat diajukan oleh Wajib Pajak
dalam hal di bawah ini, kecuali___________
a. Wajib Pajak tidak mengajukan keberatan,
b. Wajib Pajak mengajukan keberatan tetapi kemudian mencabut pengajuan keberatan
tersebut,
c. Wajib Pajak mengajukan keberatan tetapi Dirjen Pajak menolak keberatan Wajib Pajak,
d. Wajib Pajak mengajukan keberatan, tetapi tidak dipertimbangkan.
15. Pernyataan yang tidak tepat berkaitan dengan Surat Tagihan Pajak adalah___________
a. Surat Tagihan Pajak mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan
pajak,
b. Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan apabila tidak setuju dengan penerbitan Surat
Tagihan Pajak,
c. Surat Tagihan Pajak dapat diterbitkan setelah dilakukan penelitian SPT,
d. Surat Tagihan Pajak dapat diterbitkan setelah dilakukan pemeriksaan.
16. Dalam UU tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan terdapat perumusan tindak
pidana yang berupa delik aduan, yaitu menyangkut____________
a. Wajib Pajak yang menolak dilakukan pemeriksaan pajak,
b. Pejabat pajak yang melanggar rahasia jabatan,
c. Pihak ketiga yang tidak memberikan keterangan yang diminta,
d. Setiap orang yang menghalangi penyidikan.
19. Terhadap penerbitan SKPKBT yang diajukan gugatan karena diterbitkan tidak melalui
pemeriksaan, atas pajak yang masih harus dibayar dalam SKPKBT dimaksud___________
a. Tertangguh sampai satu bulan putusan gugatan terbit dan apabila ditolak Wajib Pajak
dikenai sanksi 100%,
b. Tertangguh sampai satu bulan putusan gugatan terbit dan apabila ditolak Wajib Pajak
dikenai sanksi 50%,
c. Tertangguh sampai satu bulan putusan gugatan terbit dan apabila ditolak Wajib Pajak
dikenai sanksi bunga penagihan,
d. Tetap wajib dibayar paling lambat satu bulan sejak SKPKBT diterbitkan
(Bobot 30)
2. Putusan Banding atas permohonan banding PT.Nusantara menerima seluruhnya banding
WP, sehingga KPP harus mengembalikan kelebihan pembayaran pajak sebesar Rp 20 M.
Ditjen Pajak tidak puas dengan putusan banding tersebut lalu mengajukan peninjauan
kembali ke Mahkamah Agung oleh karena itu menunggu putusan dari Mahkamah Agung.
Direktur PT. Nusantara berkonsultasi kepada saudara mengenai kasus diatas.
Analisa kasus diatas dan jawab disertai dengan dasar hukumnya.