Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PPN DAN PPH


PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

Disusun Oleh :

Kelompok 7
Eny Lisnawati NIM B.231.16.0462
Susi Kusumawardani NIM B.231.16.0496
Mutia Rosalihah NIM B.231.16.0497
Suci Rahmaeni NIM B.231.16.0605

Universitas Semarang
Tahun 2018
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Sekarang ini banyak kolektor yang berburu barang-barang mewah, seperti mobil sport
atau kendaraan bermotor dengan harga fantastis. Hal ini bisa menambah pendapatan negara
dari segi pajak terhadap pembelian barang-barang mewah tersebut. Berdasarkan UU No.42
Tahun 2009 pasal 8 ayat 1 pemerintah menetapkan pengenaan atas pajak barang mewah dengan
ketetapan tarif paling rendah 10% dan pengenaan paling tinggi 200%.

2. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian PPnBM ?
b. Bagaimana karakteristik PPnBM ?
c. Bagaimana dasar pengenaan pajak untuk PPnBM ?
d. Bagaimana tarif PPnBM ?
e. Apa saja jenis BKP yang tergolong mewah?
f. Apa saja pengecualian barang yang tidak dikenai PPnBM?
g. Bagaimana cara menghitung PPnBM?
h. Kapan saat terutang pajak?
i. Bagaimana dengan faktur pajaknya?
j. Bagaimana mekanisme penyerahan BKP pada pemungut?
k. Bagaimana tatacara pemungutan PPnBM?
l. Bagaimana cara penyampaian SPT PPn?

3. Tujuan
Untuk mengetahui tata cara serta mekanisme pemungutan PPnBM.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM)
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) merupakan pajak yang dikenakan atas
penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang
menghasilkan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah tersebut di dalam Daerah Pabean
Indonesia dalam usaha atau pekerjaannya dan impor barang yang tergolong mewah.
Dasar hukum PPnBM adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) yang
sudah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
PPnBM dan PPN diatur dalam undang-undang yang sama, karena PPnBM tidak dapat
dikenakan tersendiri tanpa pengenaan PPN. PPN merupakan pajak yang dikenakan atas setiap
pertambahan nilai dari Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dalam peredarannya dari
produsen ke konsumen. Hampir semua barang konsumsi dikenakan PPN, maka PPN ditetapkan
bertarif tunggal, 10% dari harga jual. Sedangkan PPnBM lebih spesifik lagi, dikenakan hanya
pada saat penyerahan Barang Kena Pajak yang berkategori mewah, dengan tarif beragam,
sesuai jenis barang.
Berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang PPN, Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dikenakan terhadap:
1. Penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha yang
menghasilkan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah di dalam Daerah Pabean dalam
kegiatan usaha atau pekerjaannya;
2. Impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah. Dengan demikian, PPnBM hanya
dikenakan pada saat penyerahan BKP yang Tergolong Mewah oleh pabrikan (pengusaha yang
menghasilkan) dan pada saat impor BKP yang Tergolong Mewah. PPnBM tidak dikenakan
lagi pada rantai penjualan setelah itu. Adapun pihak yang memungut PPnBM tentu saja
pabrikan BKP yang Tergolong Mewah pada saat melakukan penyerahan atau penjualan BKP
yang Tergolong Mewah. Sementara itu, PPnBM atas impor BKP yang Tergolong Mewah
dilunasi oleh importir.

2.2 Karakteristik Pengenaan PPnBM


 PPnBM merupakan pungutan tambahan disamping PPN
 Pengenaan terhadap PPnBM ini hanya satu kali yaitu pada saat penyerahan BKP yang
tergolong mewah oleh Pengusaha yang menghasilkan atau pada saat impor.
 PPnBM tidak dapat dilakukan pengkreditannya dengan PPN. (Namun demikian,
apabila Eksportir mengekspor BKP yang tergolong mewah, maka PPnBM yang telah
dibayar pada saat perolehan dapat direstitusi.)

2.3 Dasar Pengenaan Pajak (DPP)


Dasar Pengenaan Pajak adalah nilai berupa uang yang dijadikan sebagai dasar untuk
menghitung pajak yang terutang. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif pajak dengan Dasar Pengenaan Pajak. Dasar Pengenaan Pajak tersebut adalah
Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan dengan tarif pajak.
Untuk menghitung besarnya pajak PPnBM yang terutang perlu adanya Dasar Pengenaan
Pajak (DPP). Yang menjadi DPP adalah:
1. Harga jual.
2. Penggantian.
3. Nilai impor.
4. Nilai ekspor.
5. Nilai lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan BKP, tidak termasuk Pajak Pertambahan
Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang PPN 1984 dan potongan harga yang
dicantumkan dalam Faktur Pajak.
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan JKP, ekspor JKP, atau ekspor BKP
Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut
Undang-Undang PPN 1984 dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau
nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena
pemanfaatan JKP dan/atau oleh penerima manfaat BKP Tidak Berwujud karena pemanfaatan
BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk
ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan yang mengaur mengenai kepabean dan cukai untuk impor BKP, tidak
termasuk PPN dan PPnBM yang dipungut menurut Undang-Undang PPN 1984.
Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh ekspotir.
Penerapan DPP diatur dalam berbagai peraturan pelaksanaan undang-undang sebagaimana
berikut:
1. Untuk penyerahan atau penjualan BKP, yang menjadi DPP adalah jumlah harga jual.
2. Untuk penyerahan JKP, yang menjadi DPP adalah penggantian.
3. Untuk impor, yang menjadi DPP adalah nilai impor.
4. Untuk ekspor, yang menjadi DPP adalah nilai ekspor.
5. Atas kegiatan membangun sendiri bangunan permanen dengan luas 300 m2 atau lebih,
yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan tidak dalam lingkungan perusahaan atau
pekerjaannya, DPP-nya adalah 40% (empat puluh persen) dari jumlah biaya yang
dikeluarkan untuk membangun (tidak termasuk harga perolehan tanah).
6. Untuk pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian
setelah dikurangi laba kotor.
7. Untuk pemberian cuma-cuma BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian
setelah dikurangi laba kotor.
8. Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual rata-
rata.
9. Untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata perjudul film.
10. Untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran.
11. Untuk BKP berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, DPP-nya
adalah harga pasar wajar.
12. Untuk penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan BKP
antar cabang adalah harga pokok penjualan atau harga perolehan.
13. Untuk penyerahan BKP melalui pedagang perantara adalah harga yang disepakati
antara pedagang perantara dengan pembeli.
14. Untuk penyerahan BKP melalui juru lelang adalah harga lelang.
15. Untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang
ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih.
16. Untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10% (sepuluh
persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang sebenarnya ditagih.

2.4 Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM)


Menurut Penjelasan Pasal 8 ayat (1) sampai ayat () Undang-Undang nomor 42 Tahun
2009, tarif untuk Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, diatur sebagai berikut:
 Ayat (1) Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah ditetapkan paling rendah 10% (sepuluh
persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen).
 Ayat (2) Ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dikenai pajak dengan tarif 0%
(nol persen).
 Ayat (3) Ketentuan mengenai kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang
dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
 Ayat (4) Ketentuan mengenai jenis Barang yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang
Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.

2.5 Jenis barang kena pajak yang tergolong mewah

Berdasarkan PMK No.35/PMK.010/2017 jenis barang kena pajak yang tergolong mewah
adalah :
1. Pasal 1 :
Daftar jenis barang kena pajak yang tergolong mewah selain kendaraan bermotor yang
dikenai PPnBM sebesar 20% adalah :
a. Rumah dan town house dari jenis nonstrata title degan harga jual sebesar
Rp.20.000.000.000,- atau lebih.
b. Apartemen, kondominium, town house dari jenis strata title dan sejenisnya
dengan harga jual sebesar Rp.10.000.000.000,- atau lebih.
2. Pasal 2 :
Daftar jenis barang kena pajak yang tergolong mewah selain kendaraan bermotor yang
dikenai PPnBM sebesar 40% adalah :
a. Kelompok balon udara dan balon udara yang dapat dikemudikan, pesawat udara
lainnya tanpa tenaga penggerak.
b. Kelompok peluru senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan
negara (peluru dan bagiannya, tidak termasuk peluru senapan angin).
3. Pasal 3 :
Daftar jenis barang kena pajak yang tergolong mewah selain kendaraan bermotor yang
dikenai PPnBM sebesar 50% adalah :
a. Kelompok pesawat udara seperti helikopter, dan kendaraan udara lainnya yang
tidak tercantum pada lampiran pasal 2.
b. Kelompok senjata api dan senjata api lainnya (kecuali untuk keperluan negara)
seperti : senjata artileri, revolver dan pistol, dan senjata api semacam itu yang
dioperasikan dengan alat peledak.
4. Pasal 4 :
Daftar jenis barang kena pajak yang tergolong mewah selain kendaraan bermotor yang
dikenai PPnBM sebesar 75% adalah :
a. Kapal pesiar mewah, kecuali untuk keperluan negara dan angkutan umum :
1. Kapal pesiar, kapal ekskursi, dan kendaraan semacam itu terutama
dirancang untuk pengangkutan orang.
2. Yacht, kecuali untuk kepentingan negara atau angkutan umum.

Sedangkan berdasarkan peraturan pemerintah nomor 22 tahun 2014 tentang barang


kena pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor yang dikenai PPnBm adalah :
1. Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 10% (sepuluh persen), adalah:
a. kendaraan bermotor untuk pengangkutan 10 (sepuluh) orang sampai dengan 15
(lima belas) orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api atau nyala
kompresi (diesel atau semi diesel), untuk semua kapasitas isi silinder; dan
b. kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk
pengemudi selain sedan atau station wagon, dengan motor bakar cetus api atau
nyala kompresi (diesel atau semi diesel) dengan sistem 1 (satu) gardan penggerak
(4x2), dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1.500 cc.
2. Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen), adalah:
a. kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk
pengemudi selain sedan atau station wagon, dengan motor bakar cetus api atau
nyala kompresi (diesel atau semi diesel), dengan sistem 1 (satu) gardan penggerak
(4x2), dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1.500 cc sampai dengan 2.500 cc;
dan
b. kendaraan bermotor dengan kabin ganda (double cabin), dalam bentuk kendaraan
bak terbuka atau bak tertutup, dengan penumpang lebih dari 3 (tiga) orang
termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel
atau semi diesel), dengan sistem 1 (satu) gardan penggerak (4x2) atau dengan
sistem 2 (dua) gardan penggerak (4x4), untuk semua kapasitas isi silinder,
dengan massa total tidak lebih dari 5 (lima) ton.
3. Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 30% (tiga puluh persen), adalah kendaraan bermotor
untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi, berupa:
a. kendaraan bermotor sedan atau station wagon dengan motor bakar cetus api atau
nyala kompresi (diesel atau semi diesel) dengan kapasitas isi silinder sampai
dengan 1.500 cc; dan
b. kendaraan bermotor selain sedan atau station wagon dengan motor bakar cetus api
atau nyala kompresi (diesel atau semi diesel), dengan sistem 2 (dua) gardan
penggerak (4x4), dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1.500 cc.
4. Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 40% (empat puluh persen) adalah kendaraan bermotor
untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi,berupa:
a. kendaraan bermotor selain sedan atau station wagon, dengan motor bakar cetus
api, dengan sistem 1 (satu) gardan penggerak (4x2) dengan kapasitas isi silinder
lebih dari 2.500 ccsampai dengan 3.000 cc;
b. kendaraan bermotor dengan motor bakar cetus api, berupa:
1. sedan atau station wagon; dan
2. selain sedan atau station wagondengan sistem 2(dua) gardan penggerak
(4x4),dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1.500 cc sampai dengan
3.000 cc; dan kendaraan bermotor dengan motor bakar nyala kompresi
(diesel atau semi diesel).
5. Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yangdikenai Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) adalahsemua jenis kendaraan
khusus yang dibuat untuk golf.
6. Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yan dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah
dengan tarif sebesar 60% (enam puluh persen), adalah:
a. kendaraan bermotor beroda dua dengan kapasitas isi silinder lebih dari 250 cc
sampai dengan 500 cc; dan
b. kendaraan khusus yang dibuat untuk perjalanan di atas salju, di pantai, di gunung,
dan kendaraan semacam itu.
7. Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dengan tarif sebesar 125% (seratus dua puluh lima persen), adalah:
a. kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk
pengemudi, dengan motor bakar cetus api, berupa:
1. sedan atau station wagon; dan
2. selain sedan atau station wagon dengan sistem 1 (satu) gardan
penggerak (4x2) atau dengan sistem 2(dua) gardan penggerak (4x4),
dengan kapa sitas isi silinder lebih dari 3.000 cc

Dalam hal Barang Kena Pajak yang diserahkan ternyata dikembalikan (return) oleh
Pembeli, Pajak Penjualan atas Barang Mewah dari Barang Kena Pajak yang dikembalikan
tersebut dapat mengurangi Pajak Keluaran dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
terutang oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual.
Kelompok Barang Kena Pajak tergolong mewah yang dikenakan PPnBM diatur dengan
Peraturan Pemerintah (PP), sedangkan untuk jenis dan tarif barangnya, sehingga dapat
dilaksanakan pemungutan PPnBMnya, ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan
(PMK).

2.6 Pengecualian Pengenaan PPnBM


 Kendaraan bermotor yang digunakan untuk kendaraan ambulan, kendaraan jenazah,
kendaraan pamadam kebakaran, kendaraan tahanan, kendaraan angkutan umum;
 Kendaraan yang digunakan untuk tujuan Protokoler Kenegaraan
 Kendaraan bermotor angkutan orang untuk 10 (sepuluh) orang atau lebih termasuk
pengemudi dengan motor bakar nyala kompresi (diesel atau semi diesel) dengan semua
kapasitas isi silinder yang digunakan untuk kendaraan dinas TNI atau Polri
Bila kendaraan-kendaraan tersebut dalam jangka waktu lima tahun sejak impor atau
perolehannya, ternyata dipindahtangankan atau diubah peruntukannya, sehingga tidak
sesuai dengan tujuan semula, maka PPnBM yang terutang pada saat impor atau
perolehannya tersebut, wajib dibayar kembali dalam jangka waktu satu bulan sejak Barang
Kena Pajak tersebut dipindahtangankan atau diubah peruntukannya, demikian diatur dalam
ayat (2) PP 12/2006.

2.7 Cara Menghitung Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM)


Cara menghitung PPn BM adalah sebagai berikut:
PPn BM = Dasar Pengenaan Pajak x Tarif Pajak

Contoh :
PKP “ABC” sebagai pabrikan menyerahkan barang hasil produksinya dengan harga jual Rp.
10.000.000,-. Barang tersebut merupakan BKP yang Tergolong Mewah dengan tarif PPn BM
sebesar 40 %. Penghitungan pajak yang harus dipungut adalah sebagai berikut:
PPN = 10 % x Rp. 10.000.000,- = Rp. 1.000.000,-
PPn BM = 40 % x Rp. 10.000.000,- = Rp. 4.000.000,-

2.8 Saat Terutang Pajak


Pajak terutang pada saat:
1. Penyerahan BKP atau JKP;
2. Impor BKP;
3. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
4. Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean;
5. Ekspor BKP Berwujud;
6. Ekspor BKP Tidak Berwujud;
7. Ekspor JKP;
8. Pembayaran, pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP atau sebelum penyerahan
JKP atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan BKP
Tidak Berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean.
2.9 Faktur Pajak
Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan penyerahan BKP atau penyerahan JKP.
Faktur Pajak dibuat pada:
a. Saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
b. Saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
c. Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan;
atau
d. Saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan BKP dan/atau
penyerahan JKP yang paling sedikit memuat:
a. Nama, alamat, dan NPWP yang menyerahkan BKP atau JKP;
b. Nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP;
c. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
d. PPN yang dipungut;
e. PPn BM yang dipungut;
f. Kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g. Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.

2.10 Penyerahan Kepada Pemungut PPN


Sedikit menyimpang dari mekanisme yang secara umum berlaku, apabila PKP
menyerahkan BKP dan/atau JKP kepada pemungut PPN, PKP yang bersangkutan tidak
memungut PPN dan PPnBM. PPN dan PPn BM yang terutang atas penyerahan tersebut akan
dipungut dan disetorkan ke kas Negara oleh pemungut PPN.
Pengertian Pemungut PPN menurut Undang-undang PPN adalah bendaharawan
pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk
memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas
penyerahan BKP dan atau penyerahan JKP kepada bendaharawan pemerintah, badan, atau
instansi Pemerintah tersebut.
Menurut ketentuan yang berlaku saat ini, yang ditetapkan sebagai Pemungut PPN adalah:
1. Bendaharawan Pemerintah, yaitu Bendaharawan atau Pejabat yang melakukan
pembayaran yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang terdiri dari Bendaharawan Pemerintah
Pusat dan Daerah baik Provinsi, Kabupaten, atau Kota.
2. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN)
Pemungutan PPN yang melakukan pembayaran atas penyerahan BKP dan atau JKP
oleh Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah, wajib memungut, menyetor, dan melaporkan
PPN dan PPn BM yang terutang. Pemungutan PPN dan PPn BM dilakukan pada saat dilakukan
pembayaran oleh Bendaharawan Pemerintah atau KPPN kepada PKP Rekanan Pemerintah.
PPN dan PPn BM tidak dipungut dalam hal:
1. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta
rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
2. Pembayaran untuk pembebasan tanah;
3. Pembayaran atas penyerahan BKP dan/atau JKP yang menurut
ketentuan perundang- undangan yang berlaku, mendapat fasilitas PPN
tidak dipungut dan/atau dibebaskan dari pengenaan PPN;
4. Pembayaran atas penyerahan Bahan Bakar Minyak dan Bukan Bahan
Bakar Minyak oleh PT (Persero) Pertamina;
5. Pembayaran atas rekening telepon;
6. Pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan
penerbangan;
7. Pembayaran lainnya untuk penyerahan barang atau jasa yang menurut
ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak dikenakan PPN.
Catatan:
PPN dan PPn BM yang terutang sehubungan dengan pembayaran yang jumlahnya paling
banyak jumlah Rp 1.000.000,00, dipungut dan disetor oleh Pengusaha Kena Pajak rekanan
Pemerintah sesuai dengan ketentuan yang berlaku umum. Batas jumlah pembayaran sebesar
Rp 1.000.000,00 tersebut hendaknya diartikan termasuk PPN dan PPn BM.

2.11 Tata Cara Pemungutan


1. Dasar Pemungutan
Dasar pemungutan PPN dan PPnBM adalah jumlah pembayaran yang dilakukan
oleh Bendaharawan Pemerintah atau jumlah pembayaran yang dilakukan oleh KPPN
sebagaimana tersebut dalam Surat Perintah Membayar (SPM).
2. Jumlah atau PPnBM yang Dipungut
a. Dalam hal penyerahan BKP hanya terutang PPN, maka jumlah PPN yang
dipungut adalah 10/110 bagian dari jumlah pembayaran.
Contoh:
Jumlah Pembayaran Rp 11.000.000,00
Jumlah PPN : 10/110 x Rp 11.000.000,00 Rp 1.000.000,00

Sisa yang dibayarkan kepada PKP rekanan


( Rp 11.000.000,00 – Rp 1.000.000,00) Rp 10.000.000,00

b. Dalam hal penyerahan BKP yang tergolong mewah dari pengusaha yang
menghasilkan BKP yang tergolong mewah tersebut, disamping terutang PPN
juga terutang PPnBM, maka jumlah PPN dan PPnBM yang dipungut adalah
sebagai berikut:
Dalam hal terutang PPnBM sebesar 20%, maka jumlah PPN yang
dipungut sebesar 10/130 bagian dari jumlah pembayaran sedangkan jumlah PPn
BM yang dipungut sebesar 20/130 bagian dari jumlah pembayaran.
Contoh:
PPn BM dengan tarif 20%
Jumlah Pembayaran Rp 13.000.000,00
Jumlah PPN yang dipungut:
(10/130 x Rp 13.000.000,00) Rp 1.000.000,00
Jumlah PPn BM yang dipungut:
(20/130) x Rp 13.000.000,00) Rp 2.000.000,00
Sisa yang dibayarkan kepada PKP rekanan:
Rp 13.000.000,00 – ( Rp 1.000.000,00 + Rp 2.000.000,00) = Rp10.000.000,00

c. Dalam hal pembayaran berjumlah paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta


rupiah) dan tidak merupakan jumlah yang terpecah-pecah, maka PPN dan PPn
BM tidak perlu dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah. Batas jumlah
pembayaran sebesar Rp 1.000.000,00
Contoh 1:
Harga Jual Rp 900.000,00
PPN: 10% x Rp 900.000,00 Rp 90.000,00
PPn BM (Misal terutang dengan tarif 20%) Rp 180.000,00
Harga Jual termasuk PPN dan PPn BM Rp 1. 170.000,00

Meskipun Harga Jual Rp 900.000,00 tetapi karena pembayaran termasuk PPN


dan PPn BM berjumlah Rp 1.170.000,00 (di atas Rp 1.000.000,00), maka PPN
dan PPn BM yang terutang harus dipungut oleh Bendahawaran Pemerintah
atau KPPN.

3. Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran


a. PKP rekanan Pemerintah membuat Faktur Pajak dan SSP pada saat
menyampaikan tagihan kepada Bendaharawan Pemerintah atau KPPN baik
untuk sebagian maupun seluruh pembayaran.
b. SSP sebagaimana dimaksud pada huruf a diisi dengan membubuhkan NPWP
dan identitas PKP Rekanan Pemerintah yang bersangkutan, tetapi
penandatanganan SSP dilakukan oleh Bendaharawan Pemerintah atau KPKN
sebagai penyetor atas nama PKP Rekanan Pemerintah.
c. Dalam hal penyerahan BKP tersebut terutang PPn BM maka PKP rekanan
Pemerintah mencantumkan jumlah PPn BM yang terutang pada Faktur Pajak.
d. Dalam hal pemungutan oleh Bendaharawan Pemerintah, SSP sebagaimana
dimaksud pada huruf a dibuat rangkap 5 (lima). Setelah PPN dan atau PPn BM
disetor di Bank Persepsi atau Kantor Pos, lembar-lembar SSP tersebut
diperuntukkan sebagai berikut:
1. Lembar ke-1 untuk PKP Rekanan Pemerintah.
2. Lembar ke-2 untuk Kantor Pelayanan Pajak melalui KPPN.
3. Lembar ke-3 untuk PKP Rekanan Pemerintah dilampirkan pada SPT
Masa PPN.
4. Lembar ke-4 untuk Bank Persepsi atau Kantor Pos.
5. Lembar ke-5 untuk pertinggal Bendaharawan Pemerintah.
e. Dalam hal pemungutan oleh KPPN, SSP sebagaimana dimaksud pada huruf a
dibuat dalam rangkap 4 (empat) yang masing-masing diperuntukkan sebagai
berikut:
1. Lembar ke-1 untuk PKP Rekanan Pemerintah.
2. Lembar ke-2 untuk Kantor Pelayanan Pajak melalui KPPN.
3. Lembar ke-3 untuk PKP rekanan Pemerintah dilampirkan pada SPT
Masa PPN.
4. Lembar ke-4 untuk pertinggal KPPN.
f. Pada lembar Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d oleh
Bendaharawan Pemerintah yang melakukan pemungut wajib dibubuhi cap
“Disetor tanggal ………” dan ditandatangani oleh Bendaharawan Pemerintah.
g. Pada setiap lembar Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d dan SSP
sebagaimana dimaksud pada huruf f oleh KPPN yang melakukan pemungutan
dicantumkan nomor dan tanggal advis SPM.
h. SSP lembar ke-1 dan lembar ke-2 sebagaimana dimaksud pada huruf f dibubuhi
cap “TELAH DIBUKUKAN” oleh KPPN.
i. Faktur Pajak dan SSP merupakan bukti pemungutan dan penyetoran PPN dan
atau PPn BM
2.12 Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa) PPN
Surat Pemberitahuan Masa merupakan laporan bulanan yang dapat disampaikan oleh
Pengusaha Kena Pajak, mengenai penghitungan:
1. Pajak Masukan berdasarkan realisasi pembelian BKP atau realisasi
penerimaan JKP.
2. Pajak Keluaran berdasarkan realisasi pengeluaran BKP/JKP.
3. Penyetoran pajak atau kompensasi.
Bagi Pengusaha Kena Pajak penyampaian SPT:
1. PKP wajib melaporkan perhitungan pajak tersebut kepada Direktorat Jenderal Pajak (Kantor
Pelayanan Pajak).
2. Dilakukan paling lambat tanggal 30 setelah akhir masa pajak.
3. Menggunakan formulir SPT Masa.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

1. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)

Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) merupakan pajak yang dikenakan
atas penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh
pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah tersebut di
dalam Daerah Pabean Indonesia dalam usaha atau pekerjaannya dan impor barang yang
tergolong mewah.
Untuk menghitung besarnya pajak PPnBM yang terutang perlu adanya Dasar Pengenaan
Pajak (DPP).

2. Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM)


Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah dapat ditetapkan dalam beberapa
kelompok tarif, yaitu paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua
ratus persen). Ketentuan mengenai tarif kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong
Mewah yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan Peraturan
Pemerintah. Sedangkan ketentuan mengenai jenis barang yang dikenai Pajak Penjualan
atas Barang Mewah diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

3.2 Saran
Masyarakat dan pihak yang merupakan wajib pajak haruslah lebih proaktif dan
mempunyai kesadaran untuk megetahui berbagai hal yang berkaitan dengan pembayaran pajak
dan aturan-aturannya. Sementara itu Pemerintah harus bersikap bijak dengan tidak
mengkorupsi uang pajak, dan sepenuhnya menggunakan hasil pungutan pajak untuk
kepentingan masyarakat dan kemajuan bangsa, sehingga terjadi hubungan yang baik antara
masyarakat dan Pemerintah dalam urusan pajak.
DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jenderal Pajak. 2014. Seri PPnBM. http://www.pajak.go.id. (Diakses pada


19 Mei 2018).

Kementrian Dalam Negeri. 2017. Peraturan Pemerintah. http://kemendagri.go.id.


(Diakses pada 19 Mei 2018).

Mardiasmo. (2013). Perpajakan Edisi Revisi 2013. Yogyakarta : Andi

Anda mungkin juga menyukai