CHAPTER 9 & 10
Masyarakat modern adalah masyarakat pasar atau masyarakat bisnis atau juga disebut
sebagai masyarakat konsumen. Alasannya tentu jelas, semua orang dalam satu atau lain
bentuk tanpa terkecuali adalah konsumen dari salah satu barang yang diperoleh melalui
kegiatan bisnis. Bisnis sudah merasuk ke seluruh masyarakat manusia di dunia dan semua
sendi kehidupan manusia. Karena itu, tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa bisnis adalah
bagian integral dari masyarakat modern, dan mempengaruhi manusia baik secara positif
maupun secara negatif.
Karena itu, bisnis harus dikendalikan dalam batas-batas yang tidak sampai merusak
kebebasan dan hak setiap orang: pelaku bisnis dan hak konsumen atau masyarakat secara
keseluruhan. Pada tempat pertama, pelaku bisnis diharapkan masih punya kesadaran moral
dan tanggung jawab untuk memperhatikan efek kegiatan bisnisnya bagi masyarakat, baik
menyangkut kesehatan, moral, budaya, sosial, dan ekonomi. Diharapkan bahwa pelaku
pelaku bisnis masih peka pada kepentingan masyarakat untuk tidak sampai merusak nya
hanya demi keuntungan bagi dirinya. Pada tingkat berikut, tetap dibutuhkan kebijaksanaan
untuk menjinakkan bisnis ini. Dibutuhkan perangkat legal politis untuk menentukan aturan
mainnya masih ditolerir bagi kepentingan masyarakat atau konsumen. Dibutuhkan aturan
perundang-undangan yang meletakkan batas-batas minimal yang masih bisa ditolerir bagi
kegiatan bisnis tertentu dalam kaitan dengan hak dan kepentingan masyarakat. Secara
konkrit misalnya, dibutuhkan undang-undang periklanan, undang-undang keamanan dan
kesehatan produk, undang-undang menyangkut mutu produk, dan seterusnya. Atau paling
kurang, iklan layanan masyarakat sebagai “imbangan” dari iklan bisnis perlu semakin
digencarkan. Misalnya, iklan tentang bahaya rokok, bahaya susu formula dibandingkan
dengan ASI, bahaya makanan kaleng untuk bayi, dan semacamnya. Ini penting untuk
mengamankan kepentingan masyarakat: agar konsumen tidak dirugikan baik dalam jangka
pendek maupun jangka panjang.
Ketiga, pengaruh iklan yang merasuki setiap menit dan segi kehidupan manusia
modern melalui berbagai media massa dan media informasi lainnya, membawa pengaruh
yang sangat besar bagi kehidupan konsumen. Tidak hanya konsumen dibuat bingung, tetapi
juga iklan-iklan itu sering merusak kepribadian pihak tertentu (anak-anak) baik secara moral
maupun kultural. Maka, kehadiran lembaga konsumen dan gerakan konsumen untuk
menangkal pengaruh iklan dalam masyarakat modern sudah sangat mendesak.
Kelima, dalam hubungan jual beli yang didasarkan pada kontrak, konsumen lebih berada
pada posisi yang lama. Dalam hal ini, konsumen, khususnya yang berasal dari kelas sosial
malah, membutuhkan konsultasi, advokasi, dan perlindungan untuk menuntut hak dan
kepentingan mereka sesuai dengan prinsip kontrak yang adil dan etis. Karena itu, gerakan
konsumen atau lembaga konsumen sangat dibutuhkan kehadirannya untuk memberikan
Advokasi dan konsultasi yang dibutuhkan konsumen tersebut, baik secara terang-
keterangan diminta maupun yang tidak meminta (khususnya melalui media massa).
Hanya saja, hingga sekarang lembaga konsumen lebih merupakan sebuah gerakan
Swadaya masyarakat, dan karena itu hampir tidak dibiayai oleh pemerintah, bahkan sering
berseberangan dengan pemerintah. Dalam situasi semacam ini, danau menjadi persoalan
besar. Tentu saja, dana juga tidak akan menjadi persoalan seandainya konsumen mau
membayar informasi sangat dibutuhkan tentang berbagai produk kepada lembaga ini.
Artinya, lembaga ini melakukan penelitian dan mengumpulkan berbagai informasi yang
akurat dan semua konsumen yang mengkonsumsi informasi diminta untuk membayar
informasi itu demi menutup kembali biaya yang telah dikeluarkan. Masalahnya, konsumen
cenderung untuk tidak mau membayar informasi yang sangat dibutuhkannya. Ini terutama
disebabkan konsumen tidak memahami nilai dari informasi tentang produk yang
sesungguhnya sangat dibutuhkan itu. Ini antara lain karena mereka masih merupakan
konsumen tradisional, yaitu konsumen yang sekadar membeli asal membeli, dank arena itu
mudah menjadi korban iklan dan manupulasi produsen. Pada umumnya, khususnya kelas
bawah, baru sampai pada asal kebutuhan terpenuhi. Dalam situasi semacam ini, memang
lembaga konsumen harus pertama-tama berjuang untuk hadir dan tetap bertahan sambil
menunjukkan dirinya sebagai lembaga yang dipercaya informasinya dank arena itu sangat
dibutuhkan konsumen. Hanya melalui itu, lama-kelamaan lembaga konsumen dapat
dianggap sangat dibutuhkan dan dipercaya masyarakat konsumen.
Dalam bab ini kami akan membahas salah satu topik mengenai iklan. Sudah umum,diketahui
bahwa abad kita ini adalah abad informasi. Dalam abad informasi ini, iklan memainkan
peran yang sangat penting untuk menyampaikan informasi tentang suatu produk kepada
masyarakat.
Iklan mempunyai andil besar dalam menciptakan citra bisnis baik secara positif maupun
negatif. Iklan ikut menentukan penilaian masyarakat mengenai baik buruknya kegiatan
bisnis. Sayangnya, lebih banyak kali iklan justru menciptakan citra negatif tentang bisnis,
seakan bisnis adalah kegiatan tipu-menipu, kegiatan yang menghalalkan segala cara demi
mencapai tujuan, yaitu keuntungan. Ini karena iklan sering atau lebih banyak kali memberi
kesan dan informasi yang berlebihan, kalau bukan palsu atau terang-terangan menipu,
tentang produk tertentu yang dalam kenyataannya hanya akan mengecoh dan
mengecewakan masyarakat konsumen. Karena kecenderungan yang berlebihan untuk
menarik konsumen agar membeli produk tertentu dengan dengan memberi kesan dan
pesan yang berlebihan tanpa memperhatikan berbagai norma dan nilai moral, iklan sering
menyebabkan citra bisnis tercemar sebagai kegiatan tipu-menipu, dan karena itu seakan
antara bisnis dan etika ada jurang yang tak terjembatani.
Iklan itu sendiri pada hakikatnya merupakan salah satu strategi pemasaran yang bermaksud
untuk mendekatkan barang yang hendak dijual kepada konsumen dengan kata lain
mendekatkan konsumen dengan produsen. Sasaran akhir seluruh kegiatan bisnis adalah
agar barang yang telah dihasilkan bisa dijual kepada konsumen.Dengan kata lain,pada
hakikatnya secara positif iklan adalah suatu metode yang digunakan untuk memungkinkan
barang konsumen dapat dijual kepada konsumen. Untuk melihat persoalan iklan dari segi
etika bisnis,kami ingin menyoroti empat hal penting, yaitu fungsi iklan, beberapa persoalan
etis sehubungan dengan iklan, arti etis dari menipu dalam iklan dan kebebasan konsumen.
Pada umumnya kita menemukan dua pandangan berbeda mengenai fungsi iklan.Keduanya
menampilkan dua model iklan yang berbeda sesuai dengan fungsinya masing-masing ,yaitu
iklan sebagai pemberi informasi dan iklan sebagai pembentuk pendapat umum.
Pendapat pertama melihat iklan terutama sebagai pemberi informasi. Iklan merupakan
media untuk menyampaikan informasi yang sebenarnya kepada masyarakat tentang produk
yang akan atau sedang ditawarkan dalam pasar. Yang ditekankan di sini adalah bahwa iklan
berfungsi untuk membeberkan dan menggambarkan seluruh kenyataannya yang serinci
mungkin tentang suatu produk. Sasaran iklan adalah agar konsumen dapat mengetahui
dengan baik produk itu sehingga akhirnya memutuskan untuk membeli produk itu. Namun,
apakah dalam kenyataannya pembeli membeli produk tersebut atau tidak, itu merupakan
sasaran paling jauh. Sasaran dekat yang lebih mendesak adalah agar konsumen tahu
tentang produk itu, kegunaannya, kelebihannya, dan kemudahan-kemudahannya.
Dalam kaitan dengan itu, iklan sebagai pemberi informasi menyerahkan keputusan untuk
membeli kepada konsumen itu sendiri. Maka, iklan hanyalahmedia informasi yang netral
untuk membantu pembeli memutuskan secara tepat dalam membeli produk tertentu demi
memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena itu, iklan lalu mirip seperti brosur. Namun, ini tidak
berarti iklan yang informatif tampil secara tidak menarik. Kendati hanya sebagai informasi,
iklan dapat tetap dapat tampil menarik tanpa keinginan untuk memanipulasi masyarakat.
Berbeda dengan fungsi iklan sebagai pemberi informasi, dalam wujudnya yang laik iklan
dilihat sebagai suatu cara untuk mempengaruhi pendapat umum masyarakat tentang
sebuah produk. Dalam hal ini fungsi iklan mirip dengan fungsi propaganda politik yang
berusaha mempengaruhi massa pemilih. Dengan kata lain, fungsi iklan adalah untuk
menarik massa konsumen untuk membeli produk itu. Caranya dengan menampilkan model
iklan yang manupulatif, persuasif, dan tendensius dengan maksud untuk menggiring
konsumen untuk membeli produk tersebut. Karena itu, model iklan ini juga disebut sebagai
iklan manipulatif.
Secara etis, iklan manipulasi jelas dilarang karena iklan semacam itu benar-benar
memanipulasi manusia, dan segala aspek kehidupannya, sebagai alat demi tujuan tertentu
di luar diri manusia. Iklan persuasif sangat beragam sifatnya sehingga kadang-kadang sulit
untuk dinilai etis tidaknya iklan semacam itu. Bahkan batas antara manipulasi terang-
terangan dan persuasi kadang-kadang sulit ditentukan.
Untuk bisa membuat penilaian yang lebih memadai mengenai iklan persuasif, ada baiknya
kita bedakan dua macam persuasi: persuasi rasional dan persuasi non-rasional. Persuasi
rasional tetap mengahargai otonomi atau kebebasan individu dalam membeli sebuah
produk, sedangkan persuasi non-rasional tidak menghiraukan otonomi atau kebebasan
individu.
Suatu persuasi dianggap rasional sejauh daya persuasinya terletak pada isi argumen itu.
Persuasi rasional bersifat impersonal.ia tidak di hiraukan siapa sasaran dari argumen
itu.yang penting adalah isi argumen tepat.dalam kaitan dengan iklan,itu berati bahwa iklan
yang mengandalkan persuasi rasional lebih menekankan isi iklan yang mau disampaikan .
jadi, kebenaran iklan itulah yang ditonjolkan dan dengan demikian konsumen terdorong
untuk membeli produk tersebut.maka,iklan semacam itumemang berisi informasi yang
benar,hanya saja kebenaran informasi tersebut ditampilkan dalam wujud yang sedemikian
menonjol dan kuat sehingga konsumen terdorong untuk membelinya.dengan kata
lain,persuasinya didasarkan pada fakta yang bisa dipertanggung jawabkan.
2.7 Beberapa Persoalan Etis
Ada beberapa persoalan etis yang ditimbulkan oleh iklan, khususnya iklan yang
manipulatif dan persuasif non-rasional. Pertama, iklan merongrong otonomi dan kebebasan
manusia. Dalam banyak kasus ini jelas sekali terlihat. Iklan membuat manusia tidak lagi
dihargai kebebasannya dalam menentukan pilihannya untuk membeli produk tertentu.
Banyak pilihan dan pola konsumsi manusia modern sesungguhnya adalah pilihan iklan.
Manusia didikte oleh iklan dan tunduk pada kemauan iklan, khususnya iklan manupulatif
dan persuasif yang tidak rasional. Ini justru sangat bertentangan dengan imperatif moral
Kant bahwa manusia tidak boleh diperlakukan hanya sebagai alat demi kepentingan lain di
luar dirinya, termasuk dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Pada fenomena
iklan manipulatif, manusia benar-benar menjadi objek untuk mengeruk keuntungan
sebesar-besarnya dan tidak sekedar di beri informasi untuk membantunya memilih produk
tertentu.
Kedua, dalam kaitan dengan itu, iklan manipulatif dan persuasif non-rasional
menciptakan kebutuhan manusia dengan akibat manusia modern menjadi konsumtif.
Secara ekonomis hal ini tidak baik karena dengan demikian akan menciptakan permintaan
ikut menaikkan daya beli masyarakat. Bahkan, dapat memacu prduktivitas kerja manusia
hanya memenuhi kebutuhan hidupnya yang bertambah dan meluas itu. Namun, di pihak
lain muncul masyarakat konsumtif, di mana banyak dari apa yang dianggap manusia sebagai
kebutuhannya sebenarnya bukan benar-benar kebutuhan.
Ketiga, yang menjadi persoalan etis yang serius adalah bahwa iklan manipulatif dan
persuasif non-rasional malah membentuk dan menentukan identitas atau citra memiliki
barang sebagaimana ditawarkan iklan. Ia belum merasa diri penuh kalau belum memakai
minyak rambut seperti diiklankan bintang film terkenal, dan seterusnya. Identitas manusia
modern lalu hanyalah identitas massal, serba sama, serba tiruan, serba polesan, serba
instan.
Keempat, bagi masyarakat Indonesia dengan tingkat perbedaan ekonomi dan sosial
yang tinggi, iklan merongrong rasa keadilan sosial masyarakat. Iklan yang menampilkan yang
serba mewah sangat ironis dengan kenyataan sosial di mana banyak anggota masyarakat
masih berjuang untuk sadar hidup. Iklan yang mewah tampil seakan tanpa punya rasa
solidaritas dengan sesamanya yang miskin.
Entah sebagai pemberi informasi atau sebagai pembentuk pendapat umum, iklan
pada akhirnya membentuk citra sebuah produk atau bahkan sebuah perusahaan di mata
masyarakat. Citra ini terbentukk bukan terutama karena bunyi atau penampilan iklan itu
sendiri, melainkan terutama terbentuk oleh kesesuaian antara kenyataan sebuah produk
yang diiklankan dengan apa yang disampaikan dalam iklan itu, entah secara tersurat
ataupun tersirat. Karena itu, iklan sering dimaksudkan sebagai media untuk mengungkapkan
hakikat dan misi sebuah perusahaan atau produk.
Prinsip etika bisnis yang paling relevan di sini adalah prinsip kejujuran, yakni
mengatakan hal yang benar dan tidak menipu. Prinsip ini tidak hanya menyangkut
kepentingan banyak orang, melainkan juga pada akhirnya menyangkut kepentingan
perusahaan atau bisnis seluruhnya sebagai sebuah profesi yang baik. Secara singkat dapat
disimpulkan bahwa iklan yang dan karena itu secara moral dikutuk adalah iklan yang secara
sengaja menyampaikan pernyataan yang tidak sesuai dengan kenyataan dengan maksud
menipu atau yang menampilkan pernyataan yang bisa menimbulkan penafsiran yang keliru
pada pihak konsumen yang sesungguhnya berhak mendapatkan informasi yang benar apa
adanya tentang produk yang ditawarkan dalam pasar. Dengan kata lain, berdasarkan prinsip
kejujuran, iklan yang baik dan diterima secara moral adalah iklan yang memberi pernyataan
atau informasi yang benar sebagaimana adanya.
Setelah kita melihat fungsi iklan, masalah etis dalam iklan, dan makna etis dari
menipu dalam iklan, ada baiknya kita singgung sekilas mengenai peran iklan dalam ekonomi,
khususnya pasar. Iklan merupakan suatu aspek pemasaran yang penting, sebab iklan
menentukan hubungan antara produsen dan konsumen. Secara lebih konkrit, iklan
menentukan pula hubungan penawaran dan permintaan antara produsen dan pembeli,
yang pada gilirannya ikut pula menentukan harga barang yang dijual dalam pasar.
Kode etik periklananan tentu saja sangat diharapkan untuk membatasi pengaruh
iklan ini. Tetapi, perumusan kode etik ini harus melibatkan berbagai pihak: ahli etika,
konsumen (atau lembaga konsumen), ahli hukum, pengusaha, pemerintah, tokoh agama
dan tokoh masyarakat tertentu, tanpa harus berarti merampas kemandirian profesi
periklanan. Yang juga penting adalah bahwa profesi periklanan dan organisasi profesi
periklanan perlu benar-benar punya komitmen moral untuk mewujudkan iklan yang baik
bagi masyarakat. Namun, kalau ini pun tidak memadai, kita membutuhkan perangkat legal
politis, dalam bentuk aturan perundang-undangan tentang periklanan beserta sikap tegas
tanpa kompromi dari pemerintah, melalui departemen terkait, untuk menegakkan dan
menjamin iklan yang baik bagi masyarakat.