Konsumen
Konsumen merupakan stakeholder yang paling penting dalam
bisnis. Konsumen harus diperlakukan dengan baik secara moral, tidak
saja merupakan tuntutan etika, melainkan syarat mutlak untuk
mencapai keberhasilan dalam bisnis.
Walaupun konsumen sering dinyatakan sebagai raja, dalam
kenyataan sebenarnya kekuasaannya sangat terbatas.
Pengetahuan konsumen tentang barang atau jasa yang ada di
pasar seringkali tidak mencukupi untuk mengambil keputusan pembelian
dengan tepat. Konsumen pada umumnya tidak memiliki keahlian
ataupun waktu untuk secara seksama meneliti kualitas dan harga dari
berbagai produk yang ada di pasar. Konsumen sering berada dalam
posisi yang lebih lemah terhadap produsen, dan lebih mudah menjadi
korban manipulasi produsen.
Konsumen seharusnya memiliki hak-hak sebagai konsumen, yaitu
hak atas keamanan, hak atas informasi, hak untuk memilih, dan hak
untuk didengarkan (Bertens 2000). Setiap produk mengandung resiko
tertentu bagi konsumen, khususnya resiko kesehatan dan keselamatan.
Pestisida dapat berbahaya bagi kesehatan petani yang
menggunakannya bila terus menerus menghirup bahan kimia tersebut.
Selain itu, konsumen yang membeli sayur mayur yang masih
mengandung pestisida menghadapi resiko keracunan. Obat pada
umumnya mempunyai efek samping yang tidak dikenal atau dipahami
oleh konsumen sehingga dapat menimbulkan sakit yang lain dan yang
ingin diobati. Makanan banyak yang mengandung zat pengawet atau
zat pewarna yang berbahaya bagi kesehatan, dengan misalnya
mengakibatkan penyakit kanker. Mainan untuk anak-anak dengan
mudah dapat melukai mereka karena anak-anak mungkin belum mampu
untuk berhati-hati terhadap bagian-bagiannya yang tajam misalnya.
Merupakan hal yang wajar bila konsumen berhak untuk memperoleh
produk yang aman, yaitu produk yang tidak membahayakan kesehatan
ataupun kehidupannya.
Selanjutnya konsumen berhak untuk mengetahui seluruh informasi
yang relevan mengenai produk yang dibelinya, tentang produk itu sendiri,
tentang cam memakainya, termasuk juga tentang resiko yang dapat
timbul dan pemakaian produk tersebut. Berbagai cara harus
digunakan untuk meyakinkan bahwa konsumen memperoleh informasi
tersebut dengan benar. Informasi tersebut dapat dicantumkan pada label
dari produk, yang berisi lengkap tentang isinya, beratnya, tanggal
kedaluwarsanya, komponen dan produk tersebut. Untuk produk yang
bergaransi, maka informasi dapat disampaikan dalam keterangan yang
lengkap dalam kartu garansi tentang syarat dan konsekuensi dari
garansi tersebut.
Konsumen berhak untuk memilih produk sesuai dengan yang
diinginkannya. Oleh karena itu, maka monopoli ataupun oligopoli
melanggar hak konsumen untuk memilih. Dalam sistem ekonomi pasar
bebas, maka kompetisi merupakan unsur yang mutlak harus ada.
Konsumen berhak untuk membandingkan Berbagai kualitas dan harga
produk sebelum mengambil keputusan untuk membeli.
Selanjutnya, oleh karena konsumen adalah pemakai dari produk,
maka konsumen berhak untuk didengarkan komentarnya tentang suatu
produk ataupun keluhannya Bila suatu peraturan atau undang-undang
yang menyangkut suatu produk disiapkan, maka seharusnya pandangan
konsumen diakomodasi.
Teori Kontrak
Menurut teori ini maka hubungan antar produsen dengan
konsumen dapat dinyatakan sebagai hubungan kontrak, dan
kewajiban moral dari produsen pada konsumennya pada intinya adalah
apa yang dinyatakan dalam kontrak tersebut. Ketika konsumen
membeli suatu produk, maka konsumen dengan sukarela membuat
"kontrak penjualan" dengan perusahaan. Perusahaan dengan
bebas dan sadar setuju untuk memberikan kepada konsumen produk
dengan karakteristik tertentu dan konsumen sebaliknya dengan bebas
dan penuh kesadaran setuju membayar sejumlah uang kepada
perusahaan untuk produk tersebut. Perusahaan memiliki kewajiban
moral untuk memberikan produk dengan karakteristik yang dimaksud, dan
konsumen memiliki hak untuk memperoleh produk dengan karakteristik
yang dimaksud tersebut.
Berdasarkan teori ini, maka hubungan kontraktual yang baik
dan adil adalah yang memenuhi batasan-batasan :
a. Kedua belah pihak mengetahui sepenuhnya tentang apa yang
disetujui dan kondisi persetujuan yang disepakati. Kedua belah
pihak harus mengetahui hak dan kewajibannya, konsekuensi dari
kontrak, jangka waktu dan lingkup kontrak, dan segala sesuatu
tentang kontrak tersebut.
b. Tiap pihak tidak boleh dengan sengaja memberikan fakta yang
salah atau memalsukan fakta tentang kondisi dan syarat-syarat
kontrak kepada pihak yang lain. Semua informasi yang diperlukan
untuk d1ketahui oleh pihak lain hares diberikan sejelas mungkin dan
tidak boleh diberikan sedemikian rupa sehingga mengaburkan arti
sebenarnya, dan dapat menimbulkan perbedaan penafsiran atau
penafsiran ganda. Tiap pihak seharusnya aktif meminta informasi
dan penjelasan terperinci tentang berbagai hal yang menyangkut
persetujuan atau kontrak tersebut.
c. Tiap pihak tidak boleh memaksa pihak lain untuk melakukan
kontrak atau persetujuan itu. Kontrak atau persetujuan yang
dilakukan dalam keadaan terpaksa dan dipaksa tidak dapat
dianggap sah.
Keputusan Produk
Alasan mengapa masyarakat mengijinkan perusahaan ada adalah
karena masyarakat memperoleh manfaat dengan adanya perusahaan.
Perusahaan menghasilkan barang dan jasa yang diperlukan oleh
masyarakat, dan perusahaan menyediakan lapangan kerja bagi
anggota masyarakat. Perusahaan memang memperoleh keuntungan
dengan menghasilkan barang dan jasa tersebut. Akan tetapi perusahaan
seharusnya dicegah secara legal dan moral untuk mencapai keuntungan
dengan merugikan stakeholder yang lain.
Oleh karena fungsi utama dari perusahaan selain membuat
keuntungan, adalah menghasilkan barang dan jasa, maka analisa moral
perlu dilakukan terhadap apa yang dihasilkan. Jelas tidak bermoral
untuk menawarkan jasa membunuh orang. Oleh karena membunuh orang
juga tidak legal. Maka tidak legal juga menawarkan jasa membunuh orang.
Karena itu, jasa atau barang yang dihasilkan atau akan dihasilkan dapat
dinilai dart aspek moral dan aspek legalnya. Produk pada umumnya legal
akan tetapi perlu ditanyakan bermoral atau tidaknya. Sebagai contoh,
produksi dan distribusi minuman keras, rokok atau pelacuran di lokalisasi
pelacuran. Dibanyak negara, maka produksi dari distribusi senjata apt,
pelacuran, serta judi juga legal.
Hukum memang diharapkan merupakan perwujudan dari norma
moral akan tetapi dengan segala kelemahan dari suatu sistem hukum, maka
tidaklah aneh bahwa sesuatu yang legal belum tentu bermoral, sedangkan
sesuatu yang tidak legal belum tentu juga tidak bermoral. Juga tidak semua
yang tidak bermoral hares dinyatakan tidak legal ataupun bahkan dapat
dinyatakaa tidak legal.
Sebagian orang akan berpendapat bahwa pembuatan ranjau darat,
boa atom, dan lain-lainnya tidak bermoral. Sebagian lagi berpendapat
bahwa bukan produk itu sendiri yang tidak bermoral, akan tetapi
penggunaannya. Misalnya dalam kasus minuman keras dan alkohol,
seharusnya yang lebih penting adalah dibatasi penggunaannya dan juga
kepada siapa dijualnya.
Kritik yang sampai sekarang masih banyak dinyatakan adalah
bahwa sebenarnya produsen yang menentukan apa kebutuhan dan
keinginan konsumen, bukan keinginan dan kebutuhan konsumen yang
menjadi dasar produsen untuk menghasilkan produk tertentu. Sulit untuk
dibayangkan bahwa konsumenlah yang memerlukan sikat gigi listrik,
mungkin lebih tepat adalah bahwa produsen yang memutuskan untuk
membuat sikat gigi listrik dan kemudian mempromosikannya agar
konsumen membeli produk tersebut. Demikian pula apakah konsumen
sebenarnya memerlukan minuman ringan? Banyak yang berpendapat
bahwa minuman ringan tidak memberikan nutrisi apapun bagi yang
meminumnya, dan produk tersebut dibeli oleh konsumen karena promosi
yang dilakukan oleh produsen. Sebetulnya hal yang sia-sia untuk
memproduksi dan mengkonsumsi minuman ringan karena tidak ada
manfaat yang berguna bagi masyarakat.
Pendekatan utilitarian berpendapat bahwa produk dan
penggunaannya seharusnya tidak dapat dikatakan bermoral, tetapi
pertimbangan manfaat yang perlu digunakan untuk menentukan apakah
bermoral atau tidaknya. Dilain pihak, sebenarnya pendekatan
deontological atas dasar hak, kewajiban, keadilan, dan perhatian dapat
pula digunakan untuk menilai apakah suatu produk dan penggunaannya
bermoral atau tidak. Pada umumnya dapat disimpulkan bahwa sebagian
barang dan jasa jelas seharusnya tidak dibuat atau dijual, sebagian masih
dapat diperdebatkan, sebagian lain dapat diterima walaupun distribusi
seharusnya dibatasi, dan kebanyakan jelas secara moral diijinkan,
walaupun mungkin dapat salah dipakai atau merugikan manusia.
Keamanan Produk
Makin kompleksnya ekonomi dan makin meningkatnya
ketergantungan konsumen pada bisnis untuk kebutuhan mereka makin
meningkatkan tanggung jawab produsen pada konsumen, khususnya dalam
masalah keamanan produk (product safety). Konsumen tidak dalam posisi
untuk menilai keamanan produk, maka mereka harus bersandar terutama
pada kesadaran bisnis untuk meyakinkan keamanan bagi mereka.
Produk yang ditawarkan ke konsumen seharusnya aman bagi
mereka. Permasalahannya seberapa aman dan dengan biaya berapa? Dart
pandangan etika, maka terdapat tiga langkah berbeda dalam penilaian
keamanan suatu produk (DeGeorge 1999). Pertama, menentukan seberapa
banyak keamanan 'tercapai dan caranya. Ini merupakan pengetahuan
teknis yang seharusnya dimiliki oleh produsen. Kedua, menentukan
seberapa banyak keamanan dituntut untuk suatu produk. lni merupakan
permasalahan resiko yang dapat diterima oleh konsumen (acceptable
risk). Hal ini bukan suatu permasalahan tehnis, tetapi pertanyaan tentang
nilai dan perbandingan nilai. Permasalahan ini sebaiknva dijawab oleh
mereka yang akan mengalami resiko tersebut, yaitu pemakai akhir,
masyarakat umum, atau pemerintah yang mewakili masyarakat umum.
Ketiga, meyakinkan apakah pada suatu saat tertentu suatu produk atau
aktivitas memenuhi standard yang ditentukan oleh masyarakat.
Masyarakat mengetahui bahwa mereka mengambil resiko bila
mengendarai mobil, akan tetapi tentunya tidak mengharapkan bahwa
rem akan macet, mobil tiba-tiba terbakar, stir tidak bisa menggerakkan
roda, dan sebagainya. Hal-hal tersebut merupakan keamanan produk
yang tidak diharapkan terjadi. Masyarakat mengharap tidak ada resiko
apapun untuk masuk ke hotel, ataupun bangunan tingkat tinggi lainnya,
berkendaraan di jalan layang, lewat jembatan, clan sebagainya. Mereka
mengharapkan bahwa bangunan ataupun jembatan tidak ambruk saat
mereka menggunakannya, kecuali bila ada gempa bumi yang sangat
kuat. Bahkan dalam hal ini masyarakat mengharapkan level margin
keamanan yang sangat besar.
Agar orang dapat secara rasional menentukan resiko, beberapa
kondisi harus dipenuhi. Pertama, orang harus tahu bahwa mereka
dalam keadaan beresiko. Perusahaan harus memberitahu konsumen
tentang resiko yang dapat terjadi dengan menggunakan produk
mereka. Kedua, orang juga perlu mengetahui tentang sifat dan sumber
resiko tersebut. Bila resiko datang dari suatu produk, mereka harus
tahu dalam kondisi apa resiko dapat terjadi. Tanpa pengetahuan mi,
mereka tidak dapat mengetahui bagaimana menilai resiko dan apakah
mereka mau mengambil resiko tersebut. Bila resiko itu suatu yang tetap
yang timbul dart penggunaan biasa dart suatu produk, misalnya
penggunaan gergaji listrik, maka pemakainya mengetahui bahwa
mereka harus hati-hati bila memakainya. Bila bahaya hanya timbul
dalam kondisi tertentu, atau bila salah memakai produknya, konsumen
berhak tahu untuk memutuskan apakah akan menghindari resiko
dengan tidak menggunakan produk tersebut atau mengambil resiko
dengan mengetahui bahaya yang mungkin timbul. Ketiga, untuk menilai
resiko maka konsumen hares mengetahui seberapa besar resiko
tersebut dan bagaimana menanganinya. misalnya dengan
menghindari atau meminimalkan resiko tersebut. Bila kita membeli ban
mobil yang mempunyai spesifikasi untuk kecepatan maksimum 150 km
per jam, maka prang dapat menghindari keceIakaan dengan
mengendarai mobil pada kecepatan kurang dari 150 km per jam.
Dengan mengetahui resikonya dan bagaimana menanganinya (misal
dengan mengendarai mobil pada kecepatan dibawah I50 km per jam),
orang layak untuk membeli ban mobil tersebut Keempat, untuk dapat
menilai resiko secara rasional, orang harus tahu alternatif yang lain bila
ada. Mereka yang ingin menghindari resiko terbang mengetahui bahwa
ada alternatif menggunakan kereta api, mobil, sepeda, jalan kaki,
dan sebagainya. Resiko dalam membeli mobil yang tidak aman
dapat diminimumkan dengan membeli mobil lain yang mungkin lebih
aman. Akan tetapi resiko tersebut selalu ada, dan untuk menghindari
resiko tersebut alternatifnya mungkin adalah tidak mengendarai
mobil.
Level resiko yang dapat diterima untuk suatu produk dapat
ditentukan secara tidak resmi dengan konsep state of the art
(pengetahuan dan kemampuan secara umum untuk menghasilkan
suatu produk) dart tipe produk yang bersangkutan. atau ditentukan
oleh masyarakat, yang disampaikan melalui berbagai jalur misalnya
lembaga swadaya masyarakat, badan sane didirikan oleh masyarakat
atau oleh pemerintah. bevel keamanan produk biasanya lebih tinggi untuk
produk yang pemakaiannya dapat menimbulkan resiko yang fatal,
misalnya kematian atau cacat tubuh dan juga bila menimbulkan resiko
bagi banyak orang. Level keamanan bagi pesawat terbang komersial jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan mobil, atau helikopter, karena pesawat
terbang komersial dapat menimbulkan kecelakaan yang lebih fatal
dibandingkan dengan mobil, dan mempengaruhi lebih banyak orang
dibandingkan dengan helikopter.
Tanggung jawab akan produk bukanlah masalah moral yang dapat
dengan mudah diselesaikan. Produsen pada umumnya berkewajiban secara
moral untuk menghasilkan produk yang cukup aman dan memenuhi
standard yang dapat diharapkan oleh masyarakat dalam level state of the art
untuk produksinya. Produsen secara moral bertanggung jawab bila
produknya membahayakan konsumen walaupun tidak mengetahui hal itu
sebelumnya. Produsen juga secara moral bertanggung jawab untuk
memberitahu konsumen kemungkinan kerugian yang dapat timbul dengan
penggunaan produk tersebut, atau dengan penggunaan yang salah dari
produk tersebut. Kasus-kasus yang meliputi kelalaian yang seharusnya
diketahui, misalnya perusahaan penerbanganyagn tidak melakukan
pengisian tabung oksigen secara rutin sesuai dengan petunjuk seharusnya.
Atau bila perusahaan memproduksi barang yang berbahaya, misalnya
membuat kembang api dengan campuran bahan peledak. Kasus-kasus ini
bukan merupakan dilema moral, akan tetapi kasus tindakan yang tidak
bermoral dari perusahaan.
Beberapa pedoman yang dapat membantu produsen untuk
bertingkah lake bermoral dalam kaitannya dengan keamanan produk
dapat dinyatakan. Pertama, produsen seharusnya memprioritaskan
keamanan dari produk. Produsen sering hanya mempertimbangkan
biaya sebagai dasar rancangan keamanan produknya. Biaya memang
tidak dapat diabaikan, akan tetapi keamanan produk seharusnya
memperoleh prioritas utama. Kedua, produsen seharusnya
meninggalkan pemikiran bahwa kecelakaan terjadi hanya karena
penggunaan produk yang salah, karena itu bukan tanggung jawab
produsen. Dalam hal ini produsen seharusnya berbagi tanggung jawab
keamanan produk dengan konsumen. Produsen harus memberitahukan
secara terperinci tentang bagaimana produk seharusnya digunakan
dengan aman. Ketiga, produsen harus monitor seluruh proses produksi
dengan menilai kondisi kerja dan kompetensi dari pekerja, serta
meyakinkan bahwa rancangan, proses, ataupun material yang digunakan
harus aman. Keempat, bila produk siap untuk dipasarkan, perusahaan
seharusnya memeriksa semua program pemasaran, untuk meyakinkan
tidak adanya masalah keamanan. Kelima, bila produk sudah dipasarkan,
perusahaan harus memberikan informasi tentang kinerja produk dalam
keamanannya. Keenam, produsen harus meneliti setiap keluhan
konsumen.
Keputusan Harga
Kecuali perusahaan memegang monopoli, maka penentuan harga
adalah bagian dan pemasaran, dan sukses perusahaan tergantung
antara lain pada mengetahui kondisi pasar untuk menentukan harga
yang tepat dapat diterima oleh pasar. Permasalahan moral dalam
harga adalah overpricing dan markup atau markdown harga.
Overpricing berarti memberi harga produk lebih dari nilai
sesungguhnya Overpricing tidak akan dapat terjadi dalam sistem
kompetitif sempurna. Ada yang berpendapat bahwa sebetulnya tidak
ada overpricing, karena tidak ada yang dapat membatasi keuntungan
yang benar. Pemikiran ini mengandaikan bahwa harga terjadi dalam
sistem yang kompetitif. akan tetap dalam kenyataannya tidak ada sistem
persaingan sempurna.
Selain dalam kondisi monopoli dan oligopoly dimana overpricing
dapat terjadi, maka ada berbagai kondisi dimana overpricing dapat terjadi.
Dalam setiap kasus, maka lazimnya overpricing terjadi disebabkan
karena terciptanya kondisi monopoli, atau kebutuhan yang terpaksa,
atau karena konsumen yang tidak merasa perlu untuk memperhatikan
harga.
Contoh kasus pertama, misalnya convenience store, toko dalam
lingkungan perumahan, dimana harga barang yang dijual lazimnya jauh
lebih tinggi dari harga di pasar swalayan, apakah penetapan harga
tersebut bermoral? Konsumen membeli di toko ini karena mereka
memerlukan barang pada saat itu juga pada saat mereka sangat
membutuhkan, misalnya membeli sabun mandi, atau minuman ringan,
dan sebagainya. Toko jenis MI dengan demikian berada pada posisi
untuk menetapkan harga yang lebih tinggi dari seharusnya, yang
merugikan konsumen. Pengusaha convenience store mengakui
bahwa harm yang ditetapkannya lazimnya jauh lebih tinggi dari harga
di pasar swalayan, akan tetapi mereka berpendapat bahwa
konsumen tidak keberatan, karena adanya toko tersebut untuk
memudahkan mereka. Juga karena harga yang ditetapkan bukan untuk
mengambil keuntungan sebesar-besarnya, akan tetapi sesuai dengan
biaya usaha mereka; Nan, bersangkutan dengan skala usaha mereka.
Keberlangsungan hidup usaha seperti itu menunjukkan bahwa
konsumen memang memerlukan adanya convenience store, dan
berpendapat bahwa harga yang ditentukan adalah harga yang wajar
bagi konsumen pada saat mereka memerlukan. Konsumen yang
memerlukan rokok pada saat tertentu akan mengeluarkan biaya yang
jauh lebih mahal bila harus ke pasar swalayan khusus untuk membeli
rokok saja, dan memerlukan waktu padahal kebutuhannya adalah
saat itu juga.
Kasus yang kedua dimana harga terlalu tinggi dapat terjadi,
misalnya dilakukan oleh para rentenir uang. Mereka melayani orang
yang tidak dapat meminjam uang melalui jalur yang lazimnya tersedia,
misalnya tidak dapat meminjam ke teman, atau saudara, atau bank baik
bank komersial biasa maupun bank perkreditan rakyat. Para rentenir
berargumentasi bahwa mereka melayani orang yang membutuhkan,
dan mengenai bunga yang tinggi sekali, hal ini karena resiko yang
tinggi, sebab mereka tidak meminta jaminan harta apapun, serta
konsumennya mau. Dalam kenyataannya usaha ini mengambil
keuntungan dari kebutuhan orang lain yang terpaksa dan transaksi
tidak berlangsung dengan adil karena tidak ada alternatif lain yang
tersedia bagi konsumen, sehingga dapat dikatakan bahwa dalam kasus
ini yang terjadi adalah penetapan harga yang tidak bermoral.
Selain kebutuhan yang terpaksa dan tidak adanya pemasok
yang lain maka ketidak pedulian konsumen sering memberikan peluang
untuk overpricing. Berbagai tehnik overpricing dapat dipraktekkan, antara
laic dengan menaikkan harga yang sangat tinggi dengan harapan bila
ditawarpun masih memberikan margin yang sangat besar, ataupun harga
yang sangat tinggi dengan harapan konsumen akan berpendapat bahwa
barang bermutu tinggi karena harganya tinggi. Dalam kasus kasus
tersebut, penjual memperhitungkan ketidak tahuan pembeli. Dengan
melakukan hal tersebut, maka penjual menipu pembeli, karena itu secara
moral tidak dapat diterima. Dalam jangka panjang, praktek tersebut akan
merusak pasar, menimbulkan ketidak percayakan konsumen akan produk
dan harga, dan gagal untuk memuaskan kebutuhan konsumen yang
diperlukan untuk suatu sistem bisnis yang berkelanjutan.
Markup adalah penentuan harga dengan menentukan margin
keuntungan yang diperlukan diatas semua biaya yang diperlukan untuk
pengadaan barang tersebut. Banyak cara markup secara moral tidak
bermasalah. Yang sering terjadi adalah melakukan markup kemudian
memberikan tawaran discount, sehingga seolah-olah discount terhadap
harga yang wajar dengan mengurangi keuntungan penjual, akan tetapi
pada kenyataannya karena telah dilakukan markup. maka sebetulnya
bukan discount. Ini merupakan usaha menipu konsumen, karena itu dalam
hal ini markup merupakan tindakan yang tidak bermoral.