Anda di halaman 1dari 27

Ethics And Marketing Management

Konsumen dan Produsen

Konsumen
Konsumen merupakan stakeholder yang paling penting dalam
bisnis. Konsumen harus diperlakukan dengan baik secara moral, tidak
saja merupakan tuntutan etika, melainkan syarat mutlak untuk
mencapai keberhasilan dalam bisnis.
Walaupun konsumen sering dinyatakan sebagai raja, dalam
kenyataan sebenarnya kekuasaannya sangat terbatas.
Pengetahuan konsumen tentang barang atau jasa yang ada di
pasar seringkali tidak mencukupi untuk mengambil keputusan pembelian
dengan tepat. Konsumen pada umumnya tidak memiliki keahlian
ataupun waktu untuk secara seksama meneliti kualitas dan harga dari
berbagai produk yang ada di pasar. Konsumen sering berada dalam
posisi yang lebih lemah terhadap produsen, dan lebih mudah menjadi
korban manipulasi produsen.
Konsumen seharusnya memiliki hak-hak sebagai konsumen, yaitu
hak atas keamanan, hak atas informasi, hak untuk memilih, dan hak
untuk didengarkan (Bertens 2000). Setiap produk mengandung resiko
tertentu bagi konsumen, khususnya resiko kesehatan dan keselamatan.
Pestisida dapat berbahaya bagi kesehatan petani yang
menggunakannya bila terus menerus menghirup bahan kimia tersebut.
Selain itu, konsumen yang membeli sayur mayur yang masih
mengandung pestisida menghadapi resiko keracunan. Obat pada
umumnya mempunyai efek samping yang tidak dikenal atau dipahami
oleh konsumen sehingga dapat menimbulkan sakit yang lain dan yang
ingin diobati. Makanan banyak yang mengandung zat pengawet atau
zat pewarna yang berbahaya bagi kesehatan, dengan misalnya
mengakibatkan penyakit kanker. Mainan untuk anak-anak dengan
mudah dapat melukai mereka karena anak-anak mungkin belum mampu
untuk berhati-hati terhadap bagian-bagiannya yang tajam misalnya.
Merupakan hal yang wajar bila konsumen berhak untuk memperoleh
produk yang aman, yaitu produk yang tidak membahayakan kesehatan
ataupun kehidupannya.
Selanjutnya konsumen berhak untuk mengetahui seluruh informasi
yang relevan mengenai produk yang dibelinya, tentang produk itu sendiri,
tentang cam memakainya, termasuk juga tentang resiko yang dapat
timbul dan pemakaian produk tersebut. Berbagai cara harus
digunakan untuk meyakinkan bahwa konsumen memperoleh informasi
tersebut dengan benar. Informasi tersebut dapat dicantumkan pada label
dari produk, yang berisi lengkap tentang isinya, beratnya, tanggal
kedaluwarsanya, komponen dan produk tersebut. Untuk produk yang
bergaransi, maka informasi dapat disampaikan dalam keterangan yang
lengkap dalam kartu garansi tentang syarat dan konsekuensi dari
garansi tersebut.
Konsumen berhak untuk memilih produk sesuai dengan yang
diinginkannya. Oleh karena itu, maka monopoli ataupun oligopoli
melanggar hak konsumen untuk memilih. Dalam sistem ekonomi pasar
bebas, maka kompetisi merupakan unsur yang mutlak harus ada.
Konsumen berhak untuk membandingkan Berbagai kualitas dan harga
produk sebelum mengambil keputusan untuk membeli.
Selanjutnya, oleh karena konsumen adalah pemakai dari produk,
maka konsumen berhak untuk didengarkan komentarnya tentang suatu
produk ataupun keluhannya Bila suatu peraturan atau undang-undang
yang menyangkut suatu produk disiapkan, maka seharusnya pandangan
konsumen diakomodasi.

Hubungan Produsen dengan Konsumen


Interaksi antara produsen dengan konsumen memang tidak pernah
secara langsung menghadapkan antara produsen dan konsumen,
melainkan melalui perangkat komunikasi modem. Walaupun demikian,
hubungan dan interaksi itu tetap merupakan interaksi sosial. Karena itu,
sebagaimana halnya semua interaksi sosial lainnya, interaksi bisnis antara
produsen dan konsumen pun tetap mengenal adanya hak dan kewajiban
antara satu pihak dan pihak lainnya. Hak dan kewajiban ini didasarkan pada
kenyataan bahwa interaksi bisnis antar produsen dengan konsumen adalah
interaksi sosial.
Teori-teori yang bersangkutan dengan kewajiban moral produsen
telah dikembangkan, masing-masing mencari keseimbangan yang
berbeda dari hak dan kewajiban moral konsumen pada dirinya sendiri,
dengan hak dan kewajiban moral produsen pada dirinya sendiri. Teori-
teori tersebut adalah teori kontrak, teori due care, dan teori biaya sosial
(Velasquez 1998).

Teori Kontrak
Menurut teori ini maka hubungan antar produsen dengan
konsumen dapat dinyatakan sebagai hubungan kontrak, dan
kewajiban moral dari produsen pada konsumennya pada intinya adalah
apa yang dinyatakan dalam kontrak tersebut. Ketika konsumen
membeli suatu produk, maka konsumen dengan sukarela membuat
"kontrak penjualan" dengan perusahaan. Perusahaan dengan
bebas dan sadar setuju untuk memberikan kepada konsumen produk
dengan karakteristik tertentu dan konsumen sebaliknya dengan bebas
dan penuh kesadaran setuju membayar sejumlah uang kepada
perusahaan untuk produk tersebut. Perusahaan memiliki kewajiban
moral untuk memberikan produk dengan karakteristik yang dimaksud, dan
konsumen memiliki hak untuk memperoleh produk dengan karakteristik
yang dimaksud tersebut.
Berdasarkan teori ini, maka hubungan kontraktual yang baik
dan adil adalah yang memenuhi batasan-batasan :
a. Kedua belah pihak mengetahui sepenuhnya tentang apa yang
disetujui dan kondisi persetujuan yang disepakati. Kedua belah
pihak harus mengetahui hak dan kewajibannya, konsekuensi dari
kontrak, jangka waktu dan lingkup kontrak, dan segala sesuatu
tentang kontrak tersebut.
b. Tiap pihak tidak boleh dengan sengaja memberikan fakta yang
salah atau memalsukan fakta tentang kondisi dan syarat-syarat
kontrak kepada pihak yang lain. Semua informasi yang diperlukan
untuk d1ketahui oleh pihak lain hares diberikan sejelas mungkin dan
tidak boleh diberikan sedemikian rupa sehingga mengaburkan arti
sebenarnya, dan dapat menimbulkan perbedaan penafsiran atau
penafsiran ganda. Tiap pihak seharusnya aktif meminta informasi
dan penjelasan terperinci tentang berbagai hal yang menyangkut
persetujuan atau kontrak tersebut.
c. Tiap pihak tidak boleh memaksa pihak lain untuk melakukan
kontrak atau persetujuan itu. Kontrak atau persetujuan yang
dilakukan dalam keadaan terpaksa dan dipaksa tidak dapat
dianggap sah.

Sebagai konsekuensi dari teori kontrak, maka bisnis memiliki


kewajiban moral kepada konsumen. Kewajiban moral dasar tersebut
adalah: (1) mematuhi syarat-syarat dan kondisi dalam kontrak, (2)
menginformasikan segala hal tentang produk yang dijualnya, (3)
menghindari kesalah pahaman (4) menghindari usaha mempengaruhi
atau memaksa konsumen. Dengan melaksanakan kewajiban moral
tersebut, maka bisnis menghargai hak konsumen untuk diperlakukan
sebagai orang yang bebas dan sama derajatnya.
Keberatan terhadap teori kontrak memfokuskan pada pandangan
bahwa teori ini didasarkan pada asumsi yang tidak rill. Pertama, teori
mengasumsikan bahwa produsen berhubungan langsung dengan
konsumen. Dalam kenyataan, hal ini jarang terjadi. Untuk banyak produk
konsumsi maka terdapat banyak perantara diantara produsen dan
konsumen akhir. Jadi produsen tidak pernah berhubungan langsung
dengan konsumen. Pandangan ini dibantah dengan argumentasi bahwa
produsen dapat saja melakukan perjanjian kontrak tidak langsung
dengan konsumen. Produsen mempromosikan produknya. Promosi ini
memberikan janji yang membuat konsumen membeli produk tersebut
dari pengecer yang berfungsi sebagai pembawa produk. Melalui
promosi tersebut maka produsen membuat kontrak tidak langsung
dengan pihak-pihak yang membeli produk tersebut, baik perantara
maupun konsumen akhir.
Keberatan kedua pada teori kontrak adalah bahwa suatu
kontrak memberikan kebebasan kepada konsumen untuk menyetujui
kontrak dengan membeli atau tidak membeli. Oleh karena itu
kebebasan dari kontrak sebetulnya membebaskan produsen dari
kewajiban yang bersangkutan dengan produknya. Argumentasi ini
mengandalkan bahwa konsumen memiliki pengetahuan dan waktu untuk
mempelajari dengan seksama tiap produk yang ingin dikonsumsinya.
Hal yang pada umumnya tidak dapat diharapkan dari konsumen umum.
Keberatan ketiga mengkritik asumsi bahwa produsen dan
konsumen sama derajatnya, dalam arti sama akhirnya dalam menilai
kualitas produk sehingga dalam membeli, konsumen telah meIindungi
kepentingannya dengan cukup. Dalam kenyataannya maka konsumen
dan produsen tidak sama. Konsumen membeli ratusan produk yang
berbeda, dan tentunya tidak dapat diharapkan memiliki kemampuan
yang sama seperti produsen dalam menilai suatu produk. Konsumen
tidak memiliki ketrampilan maupun waktu untuk mencari dan
memproses informasi agar sampai pada kesimpulan untuk membeli
atau tidak. Dengan demikian sebagai konsekuensinya, konsumen harus
mengandalkan produsen dalam keputusan pembeliannya.
Teori Due Care
Teori yang lain dari kewajiban moral produsen pada konsumen
didasarkan pada idea bahwa konsumen dan produsen tidak sederajat
dan bahwa kepentingan konsumen khususnya dapat dirugikan oleh
produsen yang memiliki pengetahuan dan keahlian yang tidak dimiliki oleh
konsumen Karen; produsen pada posisi yang lebih, maka mereka memiliki
kewajiban untuk melakukan perhatian khusus untuk meyakinkan bahwa
kepentingan konsumen tidak dirugikan oleh produk yang mereka
tawarkan.
Teori ini berpendapat bahwa karena konsumen harus
tergantung pada keahlian produsen, maka produsen tidak hanya
mempunyai kewajiban untuk memberikan produk yang sesuai dengan
apa yang ditawarkan baik secara implisit maupun yang eksplisit.
Produsen juga memiliki kewajiban tambahan untuk dengan penuh
perhatian mencegah konsumen dirugikan oleh produk tersebut.
Kewajiban ini tetap ada walaupun produsen secara eksplisit telah
menyatakan bebas dari tanggung jawab dan bahwa pembeli telah
menyetujuinya dengan membeli produk tersebut. Due care (perhatian
yang semestinya) haruslah dilakukan dalam rancangan produk, dalam
proses produksi untuk menghasilkan produk tersebut, dalam kontrol
kualitas yang digunakan untuk menguji dan monitor produksi, dan
dalam setiap label, instruksi dan penjelasan yang dinyatakan dalam
produk. Dalam setiap hal tersebut, maka produsen dengan keahlian
dan pengetahuannya yang lebih dari konsumen, mempunyai kewajiban
positif untuk meyakinkan bahwa produk akhirnya aman.
Pandangan ini didasarkan pada prinsip bahwa produsen
mempunyai kewajiban moral untuk tidak merugikan atau melukai pihak
yang lain, dan bahwa kewajiban ini khususnya sangat penting bila
pihak konsumen tergantung pada penilaian dari produsen. Prinsip ini
mengikuti teori cure yang berpendapat bahwa orang harus memberi
perhatian pada kesejahteraan mereka yang memiliki hubungan khusus
dengannya, khususnya hubungan ketergantungan. Dalam hal ini maka
produsen dan konsumen mempunyai hubungan ketergantungan tersebut.
Permasalahan dalam "due care" adalah tidak adanya metode yang
jelas untuk menentukan apakah telah dilakukan "due care" yang cukup.
Beberapa produk jelas mengandung resiko. Bila produsen berusaha
menghilangkan seluruh resiko tersebut, bahkan resiko yang sangat
rendah, maka diperkirakan bahwa harga produk tersebut akan diluar
jangkauan kebanyakan konsumen. Kesulitan yang lain adalah bahwa hal
ini mengandaikan produsen dapat menentukan resiko yang
bersangkutan dengan penggunaan suatu produk, van, mungkin tidak
diketahui akan membawa dampak yang merugikan konsumen sampai
lama sekali. Hanya setelah banyak orang menderita karena penggunaan
asbestos, orang dapat menyimpulkan hubungan antara asbestos
dengan kanker. Kesulitan selanjutnya adalah bahwa teori ini cenderung
untuk sangat paternalistik. Teori ini mengandaikan bahwa produsen
yang harus memperhatikan konsumen, paling tidak dalam level resiko
yang harus diambilnya. Banyak yang berpendapat bahwa keputusan
tersebut seharusnya diserahkan pada pilihan bebas dari konsumen, yang
dapat menentukan untuk mereka sendiri level resiko yang ingin
diambilnya.

Teori Biaya Sosial


Teori ini memperluas kewajiban produsen diluar yang ditentukan
oleh hubungan kontraktual dan diluar yang diminta oleh kewajiban untuk
melakukan due care. Teori ini berpendapat bahwa suatu produsen
seharusnya membayar biaya yang timbul dari setiap kerusakan yang
ditimbulkan karena kesalahan produk, bahkan bila produsen telah
melakukan seluruh due care dalam rancangan dan produksi produk, dan
telah mengambil seluruh langkah-langkah untuk memperingatkan
pemakai akan kemungkinan bahaya yang timbul.
Teori ini didasarkan pada argumentasi utilitarian. Argumentasinya
adalah bahwa biaya "eksternal" dari kerusakan yang timbul dari
cacatnya produk yang tidak dapat dihindari merupakan bagian dari biaya
yang harus dibayar masyarakat untuk menghasilkan dan menggunakan
produk tersebut. Den menuntut produsen untuk menanggung seluruh
biaya eksternal tersebut se biaya internal dari rancangan produksi
tersebut, maka seluruh biaya internal dan merupakan bagian dart harga
suatu produk. Dengan internal seluruh biaya seperti ini akan
menimbulkan penggunaan yang lebih efisien dari sumber daya
masyarakat.
Argumentasi dari konsep ini didasarkan pada berbagai
pandangan. Pertama, karena harga merefleksikan seluruh biaya
produksi dan penggunaan produk, kekuatan pasar akan meyakinkan
bahwa produk tidak diproduksi berlebihan, dan sumber daya masyarakat
tidak disia-siakan. Kedua, karena produsen harus membayar seluruh
biaya kerusakan, maka mereka akan termotivasi untuk melakukan
lebih besar perhatian dan karena itu mengurangi jumlah kecelakaan.
Produsen dengan demikian berusaha mengurangi biaya sosial dari
kerusakan, dan ini berarti perhatian yang lebih efisien pada sumber daya
manusia. Untuk menghasilkan manfaat yang maksimum dari sumber
daya yang terbatas, maka biaya sosial dari kecelakaan yang timbul
karena produk yang cacat seharusnya diinternalisasi dengan
membebankan semuanya pada produsen. Ketiga, internalisasi biaya
kecelakaan dengan cara ini memungkinkan produsen mendistribusikan
kerugian diantara semua pemakai produk, daripada membiarkan kerugian
jatuh seluruhnya pada individu yang mungkin tidak sanggup
menanggung seluruh kerugian.
Dibalik teori kewajiban produsen ini adalah asumsi standard
utilitarian tentang nilai efisiensi. Teori ini mengasumsikan bahwa
penggunaan yang efisien dari sumber daya demikian pentingnya
untuk masyarakat sehingga biaya sosial harus dialokasikan sedemikian
rupa untuk membuat penggunaan yang lebih efisien dan perhatian pada
sumber daya kita. Dengan dasar ini, maka teori ini berargumentasi
bahwa produsen harus menanggung seluruh biaya sosial yang timbul
karena kerusakan yang disebabkan oleh cacatnya produk, walaupun tidak
ada kelalaian yang dilakukan dan tidak ada hubungan kontraktual antara
produsen dengan konsumen.
Kritik terhadap pandangan ini adalah bahwa konsep yang
diajukan pada prinsipnya tidak adil. Tidak adil karena melanggar
dasar pengertian compensatory justice. Keadilan kompensatori
mengimplikasikan bahwa seorang dapat dipaksa untuk memberikan
kompensasi pada suatu pihak yang terluka hanya bila orang tersebut
dapat mengetahui dan mencegah kecelakaan tersebut. Dengan
memaksa produsen untuk membayar kerugian yang mereka tidak dapat
meramalkan atau mencegahnya, maka teori biaya sosial ini tidak adil
terhadap produsen. Selain itu juga, karena teori ini menyarankan agar
membebankan seluruh biaya tersebut pada seluruh konsumen (dalam
bentuk harga yang lebih tinggi), maka konsumen juga tidak diperlakukan
dengan adil. Kritik yang lain adalah pada asumsi bahwa membebankan
seluruh biaya kecelakaan para produsen akan mengurangi jumlah
kecelakaan. Ada pendapat bahwa dengan membebaskan konsumen dari
tanggung jawab untuk membayar sendiri kerugian mereka, maka
konsumen justru makin tidak bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.
Kritik selanjutnya memfokuskan pada beban keuangan terhadap produsen
dan perusahaan asuransi. Besarnya biaya sosial tersebut dapat
menghancurkan banyak perusahaan karena tidak akan sanggup
menanggung biaya tersebut. Kompetisi
Persaingan bisnis yang makin ketat menimbulkan kemungkinan
perusahaan melakukan praktek-praktek pemasaran yang meragukan
dalam aspek moralnya, khususnya yang menyangkut kompetisi.
Kompetisi seharusnya menimbulkan efisiensi pada pasar dan memberikan
manfaat bagi konsumen, karena akan makin banyak jenis produk yang
tersedia di pasar pada harga terbaik. Akan tetapi, pasar yang kompetitif
hanya menguntungkan konsumen bila proses kompetisinya itu sendiri
adil. Permasalahannya kemudian terletak pada bagaimana
pengaturannya agar terjadi kompetisi yang add. Walaupun pemerintah
memegang peranan penting untuk meyakinkan kompetisi yang adil, akan
tetapi pengaturan oleh pemerintah sering tidak cukup. Hanya bila mereka
yang terlibat dalam proses kompetisi melakukannya dengan adil dan jujur,
maka sistem itu sendiri akan berfungsi dengan adil. Standard moral
diharapkan memiliki peranan disini, akan tetapi godaan untuk melanggar
standard kompetisi yang jujur dan adil untuk keuntungan diri sendiri
memang sering terlalu kuat.
Salah satu cara untuk unggul dalam kompetisi adalah dengan
mengusahakan monopoli. Bila suatu perusahaan dapat mengusahakan
dan menjaga monopoli di suatu bidang, maka tidak akan ada batasan
kompetisi pada harga yang ditentukannya. Perusahaan dapat
menentukan harga semuanya sendiri, sejauh ada pasar yang memerlukan
produknya pada harga yang ditentukan tersebut. Bagaimana suatu
perusahaan dapat memonopoli? Salah satu cara adalah dengan
mengeliminasi kompetitor. Keinginan ini sendiri sudah merupakan dilema
moral, karena tindakan ini cenderung untuk mengurangi makna dari
sistem persaingan bebas itu sendiri. Kalau ini diperoleh dengan cara-cara
mengusahakan agar perusahaan sendiri lebih efisien, lebih produktif,
maka proses itu sendiri adil. Hal in] merupakan bagian dari sistem kompetisi
dan menghasilkan efisiensi yang dituju oleh sistem persaingan bebas itu
sendiri. Akan tetapi lazimnya eliminasi kompetitor dilakukan dengan
sengaja, dan cara-cara yang digunakan adalah cara-cara yang tidak
dapat diterima oleh standard moral.
Cara lain untuk mengendalikan kompetisi adalah bila dalam suatu
industri yang terjadi adalah oligopoli, dimana hanya beberapa produsen
menguasai pasar. Kondisi oligopoli memungkinkan terjadinya kolusi untuk
menghindari persaingan. Para produsen mungkin setuju untuk tidak
berkompetisi di suatu daerah, dengan membagi pasar menurut segmen
daerah atau segmen yang lain. Atau dengan persetujuan penetapan harga
(price fixing), yaitu sepakat akan harga yang akan diterapkan pada
konsumen. Kolusi seperti ini merupakan tindakan yang tidak bermoral
karena menyalahi sistem persaingan bebas dan merugikan konsumen.
Persaingan biayanya mahal, dan ini sering berakibat pada
runtuhnya perusahaan-perusahaan kecil, sehingga akhirnya yang
tersisa adalah perusahaan-perusahaan besar. Perusahaan besar mampu
untuk memperoleh produk dengan harga lebih murah, sehingga
memungkinkannya untuk menawarkan produk lebih murah dari perusahaan
kecil yang menjual produk yang sama. Akhirnya persaingan tersisa antar
perusahaan-perusahaan besar.
Dalam hal ini mungkin tidak ada keinginan perusahaan besar untuk
mematikan perusahaan kecil, hanya saja perusahaan kecil itu sendiri yang
kalah bersaing. Sementara itu konsumen tidak dirugikan, bahkan
diuntungkan karena persaingan tetap berlaku antar perusahaan-
perusahaan besar tersebut.
Konsumen tetap diuntungkan, karena perusahaan-perusahaan besar
tersebut akan tetap berusaha untuk makin efisien dan menjual dengan
harga lebih murah. Dengan demikian dalam kasus ini dapat dikatakan
bahwa tidak ada yang tidak bermoral dalam kasus tersebut.
Walaupun demikian, seperti telah dibahas dalam bab sebelumnya,
banyak orang mempertanyakan moralitas dari sistem ekonomi itu sendiri,
yang memperbolehkan kompetisi akhirnya hanya antar orang kaya saja,
atau akhirnya yang boleh usaha hanya orang kaya saja, atau
perusahaan perusahaan besar saja. Argumentasi yang lain berpendapat
bahwa sistemnya sendiri tetap bermoral, karena masyarakat luas tetap
merasakan manfaat dari sistem tersebut. Selain itu, sesungguhnya
dalam realitas bisnis yang terjadi tidaklah seperti yang dikemukakan,
yaitu yang menyatakan bahwa akhirnya peserta kompetisi dalam pasar
hanyalah perusahaan-perusahaan besar saja. Dalam realitas bisnis,
selalu ada perusahaan-perusahaan kecil yang bertahan dan mengisi
ceruk-ceruk pasar, bahkan segmentasi pasar selalu memungkinkan
perusahaan dalam berbagai ukuran untuk terus bertahan, sehingga
persaingan dalam pasar dilsi oleh berbagai jenis ukuran perusahaan.

Keputusan Produk
Alasan mengapa masyarakat mengijinkan perusahaan ada adalah
karena masyarakat memperoleh manfaat dengan adanya perusahaan.
Perusahaan menghasilkan barang dan jasa yang diperlukan oleh
masyarakat, dan perusahaan menyediakan lapangan kerja bagi
anggota masyarakat. Perusahaan memang memperoleh keuntungan
dengan menghasilkan barang dan jasa tersebut. Akan tetapi perusahaan
seharusnya dicegah secara legal dan moral untuk mencapai keuntungan
dengan merugikan stakeholder yang lain.
Oleh karena fungsi utama dari perusahaan selain membuat
keuntungan, adalah menghasilkan barang dan jasa, maka analisa moral
perlu dilakukan terhadap apa yang dihasilkan. Jelas tidak bermoral
untuk menawarkan jasa membunuh orang. Oleh karena membunuh orang
juga tidak legal. Maka tidak legal juga menawarkan jasa membunuh orang.
Karena itu, jasa atau barang yang dihasilkan atau akan dihasilkan dapat
dinilai dart aspek moral dan aspek legalnya. Produk pada umumnya legal
akan tetapi perlu ditanyakan bermoral atau tidaknya. Sebagai contoh,
produksi dan distribusi minuman keras, rokok atau pelacuran di lokalisasi
pelacuran. Dibanyak negara, maka produksi dari distribusi senjata apt,
pelacuran, serta judi juga legal.
Hukum memang diharapkan merupakan perwujudan dari norma
moral akan tetapi dengan segala kelemahan dari suatu sistem hukum, maka
tidaklah aneh bahwa sesuatu yang legal belum tentu bermoral, sedangkan
sesuatu yang tidak legal belum tentu juga tidak bermoral. Juga tidak semua
yang tidak bermoral hares dinyatakan tidak legal ataupun bahkan dapat
dinyatakaa tidak legal.
Sebagian orang akan berpendapat bahwa pembuatan ranjau darat,
boa atom, dan lain-lainnya tidak bermoral. Sebagian lagi berpendapat
bahwa bukan produk itu sendiri yang tidak bermoral, akan tetapi
penggunaannya. Misalnya dalam kasus minuman keras dan alkohol,
seharusnya yang lebih penting adalah dibatasi penggunaannya dan juga
kepada siapa dijualnya.
Kritik yang sampai sekarang masih banyak dinyatakan adalah
bahwa sebenarnya produsen yang menentukan apa kebutuhan dan
keinginan konsumen, bukan keinginan dan kebutuhan konsumen yang
menjadi dasar produsen untuk menghasilkan produk tertentu. Sulit untuk
dibayangkan bahwa konsumenlah yang memerlukan sikat gigi listrik,
mungkin lebih tepat adalah bahwa produsen yang memutuskan untuk
membuat sikat gigi listrik dan kemudian mempromosikannya agar
konsumen membeli produk tersebut. Demikian pula apakah konsumen
sebenarnya memerlukan minuman ringan? Banyak yang berpendapat
bahwa minuman ringan tidak memberikan nutrisi apapun bagi yang
meminumnya, dan produk tersebut dibeli oleh konsumen karena promosi
yang dilakukan oleh produsen. Sebetulnya hal yang sia-sia untuk
memproduksi dan mengkonsumsi minuman ringan karena tidak ada
manfaat yang berguna bagi masyarakat.
Pendekatan utilitarian berpendapat bahwa produk dan
penggunaannya seharusnya tidak dapat dikatakan bermoral, tetapi
pertimbangan manfaat yang perlu digunakan untuk menentukan apakah
bermoral atau tidaknya. Dilain pihak, sebenarnya pendekatan
deontological atas dasar hak, kewajiban, keadilan, dan perhatian dapat
pula digunakan untuk menilai apakah suatu produk dan penggunaannya
bermoral atau tidak. Pada umumnya dapat disimpulkan bahwa sebagian
barang dan jasa jelas seharusnya tidak dibuat atau dijual, sebagian masih
dapat diperdebatkan, sebagian lain dapat diterima walaupun distribusi
seharusnya dibatasi, dan kebanyakan jelas secara moral diijinkan,
walaupun mungkin dapat salah dipakai atau merugikan manusia.
Keamanan Produk
Makin kompleksnya ekonomi dan makin meningkatnya
ketergantungan konsumen pada bisnis untuk kebutuhan mereka makin
meningkatkan tanggung jawab produsen pada konsumen, khususnya dalam
masalah keamanan produk (product safety). Konsumen tidak dalam posisi
untuk menilai keamanan produk, maka mereka harus bersandar terutama
pada kesadaran bisnis untuk meyakinkan keamanan bagi mereka.
Produk yang ditawarkan ke konsumen seharusnya aman bagi
mereka. Permasalahannya seberapa aman dan dengan biaya berapa? Dart
pandangan etika, maka terdapat tiga langkah berbeda dalam penilaian
keamanan suatu produk (DeGeorge 1999). Pertama, menentukan seberapa
banyak keamanan 'tercapai dan caranya. Ini merupakan pengetahuan
teknis yang seharusnya dimiliki oleh produsen. Kedua, menentukan
seberapa banyak keamanan dituntut untuk suatu produk. lni merupakan
permasalahan resiko yang dapat diterima oleh konsumen (acceptable
risk). Hal ini bukan suatu permasalahan tehnis, tetapi pertanyaan tentang
nilai dan perbandingan nilai. Permasalahan ini sebaiknva dijawab oleh
mereka yang akan mengalami resiko tersebut, yaitu pemakai akhir,
masyarakat umum, atau pemerintah yang mewakili masyarakat umum.
Ketiga, meyakinkan apakah pada suatu saat tertentu suatu produk atau
aktivitas memenuhi standard yang ditentukan oleh masyarakat.
Masyarakat mengetahui bahwa mereka mengambil resiko bila
mengendarai mobil, akan tetapi tentunya tidak mengharapkan bahwa
rem akan macet, mobil tiba-tiba terbakar, stir tidak bisa menggerakkan
roda, dan sebagainya. Hal-hal tersebut merupakan keamanan produk
yang tidak diharapkan terjadi. Masyarakat mengharap tidak ada resiko
apapun untuk masuk ke hotel, ataupun bangunan tingkat tinggi lainnya,
berkendaraan di jalan layang, lewat jembatan, clan sebagainya. Mereka
mengharapkan bahwa bangunan ataupun jembatan tidak ambruk saat
mereka menggunakannya, kecuali bila ada gempa bumi yang sangat
kuat. Bahkan dalam hal ini masyarakat mengharapkan level margin
keamanan yang sangat besar.
Agar orang dapat secara rasional menentukan resiko, beberapa
kondisi harus dipenuhi. Pertama, orang harus tahu bahwa mereka
dalam keadaan beresiko. Perusahaan harus memberitahu konsumen
tentang resiko yang dapat terjadi dengan menggunakan produk
mereka. Kedua, orang juga perlu mengetahui tentang sifat dan sumber
resiko tersebut. Bila resiko datang dari suatu produk, mereka harus
tahu dalam kondisi apa resiko dapat terjadi. Tanpa pengetahuan mi,
mereka tidak dapat mengetahui bagaimana menilai resiko dan apakah
mereka mau mengambil resiko tersebut. Bila resiko itu suatu yang tetap
yang timbul dart penggunaan biasa dart suatu produk, misalnya
penggunaan gergaji listrik, maka pemakainya mengetahui bahwa
mereka harus hati-hati bila memakainya. Bila bahaya hanya timbul
dalam kondisi tertentu, atau bila salah memakai produknya, konsumen
berhak tahu untuk memutuskan apakah akan menghindari resiko
dengan tidak menggunakan produk tersebut atau mengambil resiko
dengan mengetahui bahaya yang mungkin timbul. Ketiga, untuk menilai
resiko maka konsumen hares mengetahui seberapa besar resiko
tersebut dan bagaimana menanganinya. misalnya dengan
menghindari atau meminimalkan resiko tersebut. Bila kita membeli ban
mobil yang mempunyai spesifikasi untuk kecepatan maksimum 150 km
per jam, maka prang dapat menghindari keceIakaan dengan
mengendarai mobil pada kecepatan kurang dari 150 km per jam.
Dengan mengetahui resikonya dan bagaimana menanganinya (misal
dengan mengendarai mobil pada kecepatan dibawah I50 km per jam),
orang layak untuk membeli ban mobil tersebut Keempat, untuk dapat
menilai resiko secara rasional, orang harus tahu alternatif yang lain bila
ada. Mereka yang ingin menghindari resiko terbang mengetahui bahwa
ada alternatif menggunakan kereta api, mobil, sepeda, jalan kaki,
dan sebagainya. Resiko dalam membeli mobil yang tidak aman
dapat diminimumkan dengan membeli mobil lain yang mungkin lebih
aman. Akan tetapi resiko tersebut selalu ada, dan untuk menghindari
resiko tersebut alternatifnya mungkin adalah tidak mengendarai
mobil.
Level resiko yang dapat diterima untuk suatu produk dapat
ditentukan secara tidak resmi dengan konsep state of the art
(pengetahuan dan kemampuan secara umum untuk menghasilkan
suatu produk) dart tipe produk yang bersangkutan. atau ditentukan
oleh masyarakat, yang disampaikan melalui berbagai jalur misalnya
lembaga swadaya masyarakat, badan sane didirikan oleh masyarakat
atau oleh pemerintah. bevel keamanan produk biasanya lebih tinggi untuk
produk yang pemakaiannya dapat menimbulkan resiko yang fatal,
misalnya kematian atau cacat tubuh dan juga bila menimbulkan resiko
bagi banyak orang. Level keamanan bagi pesawat terbang komersial jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan mobil, atau helikopter, karena pesawat
terbang komersial dapat menimbulkan kecelakaan yang lebih fatal
dibandingkan dengan mobil, dan mempengaruhi lebih banyak orang
dibandingkan dengan helikopter.
Tanggung jawab akan produk bukanlah masalah moral yang dapat
dengan mudah diselesaikan. Produsen pada umumnya berkewajiban secara
moral untuk menghasilkan produk yang cukup aman dan memenuhi
standard yang dapat diharapkan oleh masyarakat dalam level state of the art
untuk produksinya. Produsen secara moral bertanggung jawab bila
produknya membahayakan konsumen walaupun tidak mengetahui hal itu
sebelumnya. Produsen juga secara moral bertanggung jawab untuk
memberitahu konsumen kemungkinan kerugian yang dapat timbul dengan
penggunaan produk tersebut, atau dengan penggunaan yang salah dari
produk tersebut. Kasus-kasus yang meliputi kelalaian yang seharusnya
diketahui, misalnya perusahaan penerbanganyagn tidak melakukan
pengisian tabung oksigen secara rutin sesuai dengan petunjuk seharusnya.
Atau bila perusahaan memproduksi barang yang berbahaya, misalnya
membuat kembang api dengan campuran bahan peledak. Kasus-kasus ini
bukan merupakan dilema moral, akan tetapi kasus tindakan yang tidak
bermoral dari perusahaan.
Beberapa pedoman yang dapat membantu produsen untuk
bertingkah lake bermoral dalam kaitannya dengan keamanan produk
dapat dinyatakan. Pertama, produsen seharusnya memprioritaskan
keamanan dari produk. Produsen sering hanya mempertimbangkan
biaya sebagai dasar rancangan keamanan produknya. Biaya memang
tidak dapat diabaikan, akan tetapi keamanan produk seharusnya
memperoleh prioritas utama. Kedua, produsen seharusnya
meninggalkan pemikiran bahwa kecelakaan terjadi hanya karena
penggunaan produk yang salah, karena itu bukan tanggung jawab
produsen. Dalam hal ini produsen seharusnya berbagi tanggung jawab
keamanan produk dengan konsumen. Produsen harus memberitahukan
secara terperinci tentang bagaimana produk seharusnya digunakan
dengan aman. Ketiga, produsen harus monitor seluruh proses produksi
dengan menilai kondisi kerja dan kompetensi dari pekerja, serta
meyakinkan bahwa rancangan, proses, ataupun material yang digunakan
harus aman. Keempat, bila produk siap untuk dipasarkan, perusahaan
seharusnya memeriksa semua program pemasaran, untuk meyakinkan
tidak adanya masalah keamanan. Kelima, bila produk sudah dipasarkan,
perusahaan harus memberikan informasi tentang kinerja produk dalam
keamanannya. Keenam, produsen harus meneliti setiap keluhan
konsumen.

Keputusan Harga
Kecuali perusahaan memegang monopoli, maka penentuan harga
adalah bagian dan pemasaran, dan sukses perusahaan tergantung
antara lain pada mengetahui kondisi pasar untuk menentukan harga
yang tepat dapat diterima oleh pasar. Permasalahan moral dalam
harga adalah overpricing dan markup atau markdown harga.
Overpricing berarti memberi harga produk lebih dari nilai
sesungguhnya Overpricing tidak akan dapat terjadi dalam sistem
kompetitif sempurna. Ada yang berpendapat bahwa sebetulnya tidak
ada overpricing, karena tidak ada yang dapat membatasi keuntungan
yang benar. Pemikiran ini mengandaikan bahwa harga terjadi dalam
sistem yang kompetitif. akan tetap dalam kenyataannya tidak ada sistem
persaingan sempurna.
Selain dalam kondisi monopoli dan oligopoly dimana overpricing
dapat terjadi, maka ada berbagai kondisi dimana overpricing dapat terjadi.
Dalam setiap kasus, maka lazimnya overpricing terjadi disebabkan
karena terciptanya kondisi monopoli, atau kebutuhan yang terpaksa,
atau karena konsumen yang tidak merasa perlu untuk memperhatikan
harga.
Contoh kasus pertama, misalnya convenience store, toko dalam
lingkungan perumahan, dimana harga barang yang dijual lazimnya jauh
lebih tinggi dari harga di pasar swalayan, apakah penetapan harga
tersebut bermoral? Konsumen membeli di toko ini karena mereka
memerlukan barang pada saat itu juga pada saat mereka sangat
membutuhkan, misalnya membeli sabun mandi, atau minuman ringan,
dan sebagainya. Toko jenis MI dengan demikian berada pada posisi
untuk menetapkan harga yang lebih tinggi dari seharusnya, yang
merugikan konsumen. Pengusaha convenience store mengakui
bahwa harm yang ditetapkannya lazimnya jauh lebih tinggi dari harga
di pasar swalayan, akan tetapi mereka berpendapat bahwa
konsumen tidak keberatan, karena adanya toko tersebut untuk
memudahkan mereka. Juga karena harga yang ditetapkan bukan untuk
mengambil keuntungan sebesar-besarnya, akan tetapi sesuai dengan
biaya usaha mereka; Nan, bersangkutan dengan skala usaha mereka.
Keberlangsungan hidup usaha seperti itu menunjukkan bahwa
konsumen memang memerlukan adanya convenience store, dan
berpendapat bahwa harga yang ditentukan adalah harga yang wajar
bagi konsumen pada saat mereka memerlukan. Konsumen yang
memerlukan rokok pada saat tertentu akan mengeluarkan biaya yang
jauh lebih mahal bila harus ke pasar swalayan khusus untuk membeli
rokok saja, dan memerlukan waktu padahal kebutuhannya adalah
saat itu juga.
Kasus yang kedua dimana harga terlalu tinggi dapat terjadi,
misalnya dilakukan oleh para rentenir uang. Mereka melayani orang
yang tidak dapat meminjam uang melalui jalur yang lazimnya tersedia,
misalnya tidak dapat meminjam ke teman, atau saudara, atau bank baik
bank komersial biasa maupun bank perkreditan rakyat. Para rentenir
berargumentasi bahwa mereka melayani orang yang membutuhkan,
dan mengenai bunga yang tinggi sekali, hal ini karena resiko yang
tinggi, sebab mereka tidak meminta jaminan harta apapun, serta
konsumennya mau. Dalam kenyataannya usaha ini mengambil
keuntungan dari kebutuhan orang lain yang terpaksa dan transaksi
tidak berlangsung dengan adil karena tidak ada alternatif lain yang
tersedia bagi konsumen, sehingga dapat dikatakan bahwa dalam kasus
ini yang terjadi adalah penetapan harga yang tidak bermoral.
Selain kebutuhan yang terpaksa dan tidak adanya pemasok
yang lain maka ketidak pedulian konsumen sering memberikan peluang
untuk overpricing. Berbagai tehnik overpricing dapat dipraktekkan, antara
laic dengan menaikkan harga yang sangat tinggi dengan harapan bila
ditawarpun masih memberikan margin yang sangat besar, ataupun harga
yang sangat tinggi dengan harapan konsumen akan berpendapat bahwa
barang bermutu tinggi karena harganya tinggi. Dalam kasus kasus
tersebut, penjual memperhitungkan ketidak tahuan pembeli. Dengan
melakukan hal tersebut, maka penjual menipu pembeli, karena itu secara
moral tidak dapat diterima. Dalam jangka panjang, praktek tersebut akan
merusak pasar, menimbulkan ketidak percayakan konsumen akan produk
dan harga, dan gagal untuk memuaskan kebutuhan konsumen yang
diperlukan untuk suatu sistem bisnis yang berkelanjutan.
Markup adalah penentuan harga dengan menentukan margin
keuntungan yang diperlukan diatas semua biaya yang diperlukan untuk
pengadaan barang tersebut. Banyak cara markup secara moral tidak
bermasalah. Yang sering terjadi adalah melakukan markup kemudian
memberikan tawaran discount, sehingga seolah-olah discount terhadap
harga yang wajar dengan mengurangi keuntungan penjual, akan tetapi
pada kenyataannya karena telah dilakukan markup. maka sebetulnya
bukan discount. Ini merupakan usaha menipu konsumen, karena itu dalam
hal ini markup merupakan tindakan yang tidak bermoral.

Penentuan Harga dalam Tender


Tender merupakan praktek yang lazim digunakan oleh penjual misal
dalam lelang, untuk mendapat harga tertinggi bagi produknya, akan tetapi
lebih Bering oleh pembeli untuk memperoleh harga terendah. Cara ini lazim
digunakan dalam proyek-proyek konstruksi oleh pemerintah dan
perusahaan besar dalam mencari pasokan barang dalam jumlah besar,
dan oleh perusahaan kontraktor yang mencari subkontraktor dan pemasok.
Prosedur tender secara moral dapat dipertanggung jawabkan, akan tetapi
dalarn praktek sulit untuk menjaga agar proses itu adil (DeGeorge 1999).
Proses tender dapat dilakukan terbuka atatr tertutup. Dalam lelang
biasanya proses dilakukan terbuka, dan ini lazimnya lebih
menguntungkan penjual, dan jugs secara moral lebih dapat
dipertanggung jawabkan. Akan tetapi tender tertutup lebih sering
digunakan, karena cenderung memberikan penawaran harga yang lebih
adil dan harga yang lebih rendah bagi pembeli. Misal pada tender untuk
pengadaan barang, maka bila proses tender terbuka, suatu perusahaan
akan menawarkan harga sedikit lebih rendah dari kompetitornya yang
telah memberikan penawaran terlebih dahulu. Layanan tersebut dapat jauh
lebih tinggi dari harga terendah yang mungkin akar ditawarkannya bila
tidak diketahui siapa kompetitornya dan berapa harga yang ditawarkan
kompetitor. Selain itu bila proses tender terbuka, maka perusahaan-
perusahaan pemasok akan saling menunggu untuk memberikan
penawaran. Proses tender tertutup yang benar-benar rahasia
biasanya lebih dapat dipertanggung jawabkan secara moral.
Akan tetapi dalam pelaksanaannya, proses tender tertutup rawan
terhadap usaha-usaha penyogokan untuk mengetahui penawaran harga
oleh perusahaan kompetitor. Cara yang lain yang lazim digunakan untuk
memenangkan tender adalah menggunakan material yang kurang
berkualitas dibandingkan spesifikasi yang diminta, sehingga
memungkinkan harga yang memenangkan tender.
Proses tender yang dilakukan oleh pemerintah khususnya untuk
proyek-proyek yang bernilai besar paling tidak terhadap tindakan-tindakan
tidak bermoral, baik dari pejabat-pejabat pemerintah maupun dari
perusahaan peserta tender. Seeing terjadi apa yang disebut arisan tender,
yaw para peserta tender sepakat untuk bekerja sama dengan mencntukan
siapa yang akan memenangkan tender saat ini. dan siapa yang akan
memenangkan yang kemudian, serta siapa yang akan menjadi
subkontraktor atau yang memperoleh imbalan untuk tidak menang ataupun
untuk puns menjadi subkontraktor. Dalam kasus dimana tidak banyak
perusahaan yang mampu untuk melaksanakan proyek, maka seeing
perusahaan menawarkan dengan harga yang sangat rendah, dan
kemudian setelah pelaksanaan sebagian proyek maka perusahaan
meminta tambahan biaya dengan berbagai alasan (cost overruns) agar
perusahaan dapat menyelesaikan proyek tersebut. Pemerintah sering
terpaksa hares memenuhi praktek yang tidak bermoral tersebut.
Cara untuk memaksa konsumen tidak hanya dapat dilakukan
terhadap pemerintah, tetapi juga dapat terhadap konsumen umum.
Praktek yang dilakukan oleh perusahaan mobil adalah yang menjual mobil
baru dengan harga rendah, serta kemudian menjual suku cadang dengan
harga yang sangat tinggi. Konsumen tidak punya pilihan selain membeli
suku cadang dengan harga tersebut, karena tidak mungkin menggunakan
suku cadang mobil merek yang lain. Perusahaan itu sendiri berargumentasi
bahwa ini bukan merupakan praktek yang tidak bermoral, akan tetapi hanya
taktik dagang biasa. Mungkin benar, kalau keuntungan tambahan. yang
diperoleh dari penjualan suku cadang sama dengan kehilangan keuntungan
yang timbul karena menjual mobil dengan harga yang rendah. Dalam
banyak kasus, ternyata tidak demikian, jadi perusahaan bukan hanya
melakukan taktik dagang biasa, akan tetapi dengan penuh kesadaran ingin
menipu konsumen.
Praktek yang lain adalah dalam spesifikasi tehnis dari produk atau
pekerjaan vane akan ditenderkan. Spesifikasi dapat dinyatakan demikian
rupa Sang hanya bisa mengarah pada satu merek produk yang sesuai atau
yang dapat dipenuhi hanya oleh satu perusahaan. Praktek ini dengan demikian
menghilangkan essensi dari tender itu sendiri.

Hubungan dengan Saluran Distribusi


Pada umumnya produsen memerlukan perantara pemasaran untuk
membawa produknya sampai pada konsumen akhir. Ada berbagai tips
perantara pemasaran dan ada berbagai cara rancangan sistem distribusi
yang dapat digunakan oleh produsen. Produsen memiliki kebebasan
untuk mengembangkan sistem distribusi yang paling sesuai. Hubungan
produser dengan saluran distribusinya bersangkutan dengan hak- dan
kewajiban bersama sang disepakati.
Permasalahan dalam hal ini antara lain menyangkut hak eksklusif,
baik exclusive distribution, yaitu strategi produsen untuk menentukan
hanya perantara tertentu yang dapat memasarkan produknya, atau
exclusive dealing, bila produsen menuntut perantara untuk hanya
memasarkan produknya dan tidak produk yang lain. Kedua pihak
memperoleh manfaat dari perjanjian eksklusif tersebut Produsen
memperoleh loyalitas dari distributor yang sebaliknya memperoleh keyakinan
sumber pasokan dan dukungan yang lebih besar dari produsen. Perjanjian ini
berarti menghambat produsen lain untuk menjual ke perusahaan perantara
tersebut. Walaupun demikian, hal ini tidak, merupakan masalah moral
sejauh perjanjian tersebut tidak mengurangi kompetisi dalam pasar yang
dapat mengarah ke monopoli, serta sejauh kedua belah pihak dengan bebas
dan kesadaran mengikat perjanjian tersebut.
Permasalahan yang lain menyangkut eksklusivitas teritori.
Produsen sering mengikat persetujuan dengan perantaranya untuk tidak
menjual ke perantara yang lain dalam satu teritori, dan demikian pula
perantara tersebut setuju untuk hanya menjual produk dari produsen hanya
dalam teritori yang telah ditentukan. Persetujuan untuk tidak menjual ke
perantara lain dalam satu teritori merupakan suatu cara untuk meningkatkan
motivasi dan komitmer dari perantara. Demikian pula persetujuan agar
perantara tidak menjual teritori yang lain berguna untuk tidak menimbulkan
konflik horisontal dengan perantara yang lain. Permasalahan moral terjadi
bila konsumen dari teritori lain membeli produk dari perantara yang
mungkin tidak mengetahui apakah pembeli tersebut dari teritorinya atau
tidak, dan juga banyak konsumen khususnya konsumen bisnis yang juga
memiliki kantor di banyak teritori. Adalah tidak bermoral bila perantara
tetap menjual produk ke konsumen diluar teritorinya, walaupun secara
legal ia tidak bersalah karena pembelian dilakukan di teritorinya,
sedangkan ia mengetahui bahwa konsumsi produk tersebut akan
dilakukan di teritori yang lain.
Permasalahan moral yang lain adalah pada saat produsen
yang memproduksi berbagai produk berusaha untuk meminta perantaranya
untuk juga menjualkan tipe produk yang lain dalam bauran produknya. Hal ini
sering dilakukan oleh produsen yang memasarkan produk barunya.
Sejauh tidak dilakukan paksaan, maka tindakan produsen tersebut Iayak
secara moral, akan tetapi yang sering terjadi adalah permintaan tersebut
diikuti dengan paksaan yang menyangkut produk utama, dan dalam hal ini
produsen telah melakukan tindakan tidak bermoral.
Permasalahan yang paling mendasar dalam hubungan produsen
dengan perantara adalah hak untuk memutuskan hubungan tersebut.
Berdasarkan persetujuan distribusi, pada umumnya tiap pihak
memiliki hak untuk memutuskan hubungan kerjasama tersebut, tentunya
dengan syarat-syarat tertentu. Dalam kenyataannya, maka hubungan
produsen dengan perantara adalah hubungan yang tidak sederajat.
Produsen pada umumnya lebih memiliki kekuatan dalam memaksakan
kondisi dan persyaratan kerjasama, termasuk dalam pemutusan
hubungan. Pembahasan masalah moral disini hanya dapat dilakukan
kasus demi kasus, karena penilaian moral akan tergantung pada
motivasi awal dari produsen untuk menggunakan perantara, pada
pelaksanaan kerjasama tersebut, dari kinerja perantara, dan berbagai
faktor lainnya. Dibeberapa negara yang maju, maka sering dirumuskan
hokum yang memaksa produsen untuk memberikan kompensasi bilamana
produsen berniat memutuskan hubungan dengan perantaranya.

Promosi dan Praktek Pemasaran


Promosi diperlukan untuk mengenalkan produk pada konsumen.
Transaksi penjualan akan adil bila kedua belah pihak memperoleh informasi
yang cukup dan sesuai tentang produk yang ditawarkan, dan bila mereka
melakukan transaksi dengan keinginan sendiri dan tanpa paksaan. Dari
pandangan moral, maka promosi membantu tercapainya tujuan dari penjual
dan pembeli dengan memberikan informasi yang diperlukan untuk
transaksi tersebut, sehingga merupakan kegiatan yang bermoral,
sepanjang promosi tersebut tidak memberikan informasi yang salah,
menyesatkan, atau memaksa.
Ada beberapa keberatan terhadap kegiatan promosi (DeGeorge
1999). Pertama, yang mendasarkan diri pada konsep bahas a promosi tidak
diperlukan dalam sistem ekonomi sosialis, dan hanya merupakan bagian
yang tidak bermoral dari sistem kapitalis. Argumentasi ini tentunya tidak
berdasar, karena tidak tergantung pada sistem ekonomi manapun, mesti
ada cara untuk membuat konsumen mengetahui tentang suatu produk. Tiap
produsen harus membuat produknya dikenal oleh konsumen sebelum
mereka dapat membelinya. Kedua, sering promosi dilakukan dengan cita
rasa yang buruk. .Akan tetapi promosi dengan cita rasa buruk bukan berarti
tidak bermoral, ada bedanya antara cita rasa buruk dengan yang tidak
bermoral. Ketiga, keberatan bahwa promosi mengambil keuntungan dari
orang dengan secara psikologis memanipulasi orang agar membeli apa
yang sebetulnya tidak mereka perlukan. Ada kebenaran dalam hal ini
karena memang melakukan manipulasi atau paksaan adalah tindakan
yang tidak bermoral, akan tetapi tentunya pada promosi yang melakukan
manipulasi dan paksaan, sedangkan promosi itu sendiri tidaklah salah.
Ada berbagai alat promosi yang dapat digunakan untuk
mempromosikan produk, yaitu periklanan, promosi penjualan, publisitas
dan hubungan masyarakat, personnel selling, dan direct marketing.
Berbagai alat promosi tersebut memiliki karakteristik sendiri-sendiri yang
berbeda dalam kualitas dan biaya.
Promosi penjualan (kupon, kontes, hadiah yang diberikan dalam
pembelian) digunakan perusahaan untuk memperoleh reaksi yang cepat
dan kuat. Promosi penjualan dapat digunakan untuk memperkuat tawaran
produk dan untuk meningkatkan penjualan. Alat promosi ini membawa
permasalahan moral, terutama adalah bahwa alat promosi ini sering
memanfaatkan keinginan konsumen untuk memperoleh hadiah atau tawaran
lain dari promosi penjualan agar terjadi pembelian, dan bukan memberikan
informasi yang lengkap agar konsumen dapat memutuskan sendiri akan
membeli produk atau tidak.
Personal selling merupakan alat yang efektif dalam membangun
pre1erensi konsumen dan merealisasikan pembelian. Di lain pihak hal ini
menyebabkan sulit untuk menjaga personal selling tetap pada tindakan
bermoral. Sering terjadi bahwa pelaksanaan personal selling itu
menggunakan cara-cara yang menipu, membatasi kebebasan konsumen,
dan manipulasi pembelian.
Publisitas dan hubungan masyarakat merupakan alat promosi yang
sangat efektif karena terutama pada kualitasnya yang membedakan
dengan alat promosi lainnya. Sejauh semua yang digunakan adalah
kebenaran, maka tidak ada permasalahan moral disini, hanya saja Sering
terjadi informasi yang diberikan adalah yang tidak lengkap atau tidak benar.
Ada berbagai bentuk direct marketing : direct mail, telemarketing,
electronic marketing, dan sebagainya. Permasalahan yang terjadi disini
adalah konsumen tidak memiliki kebebasan untuk tidak menerima promosi
melalui alat ini. Adalah tindakan tidak bermoral untuk melakukan direct
marketing tanpa memberikan kebebasan bagi konsumen untuk menerima
atau menolaknya. Direct mail mungkin masih dapat diselesaikan dengan
membuang setiap surat promosi seperti itu. Telemarketing lebih
menjengkelkan karena konsumen paling tidak mengangkat telpon dulu,
sebelum memutuskan untuk menerima promosi itu atau tidak Yang paling
dipermasalahkan adalah electronic marketing dengan pengiriman ke email
konsumen. Konsumen sering harus menyelesaikan banjir email yang
membuat kesulitan dalam pengoperasian komputer atau internetnya.
Permasalahan moral disini adalah penggunaan alat promosi ini dengan
tetap memberikan kebebasan kepada konsumen untuk menerima alat
promosi ini atau tidak. Permasalahan juga terjadi tentang bagaimana
pengusaha dapat memperoleh nama dan alamat konsumen, atau nomor
telponnya, atau alamat emailnya?

Beberapa Kasus Moral Praktek-Praktek Pemasaran


Suatu cara pemasaran yang makin populer adalah pembayaran
dengan kredit. Sering penjual tidak menjelaskan sebetulnya berapa
harga yang sesungguhnya dibayar oleh konsumen, syarat-syarat kredit,
atau berapa sebenarnya tingkat bunga yang sebenarnya dikenakan pada
konsumen sehingga konsumen melakukan kontrak pembelian vane
mengikat tanpa pengetahuan yang cukup tentang apa yang disetujuinya.
Sebagian konsumen baru menyadari kemudian bahwa mereka sebenarnya
membayar dua sampai tiga kali harga biasanya karena bunga dan biaya
lain yang dikenakan, atau bahwa keterlambatan membayar dapat
menyebabkan denda yang sangat tinggi bahkan sampai penyitaan barang
oleh penjual. Praktek ini Bering legal, akan tetapi tidak bermoral, karena
untuk suatu transaksi yang adil haruslah konsumen memperoleh semua
informasi dengan sejelas jelasnya.
Untuk banyak produk konsumsi, maka agar transaksi adil,
diperlukan adanya label yang menjelaskan sebetulnya apa yang dibeli
oleh konsumen. Misalnya produk pakaian, maka perlu penjelasan
apakah dibuat dari katun, atau sintetik jenis apa, atau campuran, dan
berapa prosentasenya masing-masing. Supaya transaksi adil maka perlu
informasi selengkapnya tentang produk yang akan dibeli, sehingga
tuntutan adanya label adalah tuntutan akan tindakan yang bermoral dari
produsen Demikian juga untuk produk-produk makanan, perlu dinyatakan
dengan jelas bahan apa yang digunakan dan prosentasenya agar
konsumen mengetahui apa yang dibelinya. Untuk produk yang terbatas
kelayakannya untuk dimakan terhadap waktu, maka perlu pencantuman
tanggal kadaluwarsa sehingga konsumen mengetahui seberapa baik
produk tersebut dan berapa lama dapat disimpannya.

Anda mungkin juga menyukai