Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH ETIKA BISNIS

KEUNTUNGAN SEBAGAI TUJUAN PERUSAHAAN

Disusun oleh:

Kelompok 4

Inas Al Mumtahana 141180139

Shelina Yuridhita Putri 141180141

Sukma Afrinisa 141180163

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

YOGYAKARTA

2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tujuan sebuah perusahaan adalah untuk memperoleh keuntungan atau laba


yang dapat dipergunakan untuk kelangsungan hidup. Mendapatkan keuntungan atau
laba dan besar kecilnya laba sering menjadi ukuran kesuksesan suatu manajemen. Hal
tersebut didukung oleh kemampuan manajemen dalam melihat kemungkinan dan
kesempatan di masa yang akan datang.

Manajemen dituntut untuk menghasilkan keputusan-keputusan yang


menunjang terhadap pencapaian tujuan suatu perusahaan serta mempercepat
perkembangan perusahaan. Manajemen memerlukan suatu perencanaan dalam
perusahaan untuk mencapai tujuannya tersebut. Ukuran yang sering dipakai untuk
menilai sukses atau tidaknya manajemen suatu perusahaan adalah dari laba yang
diperoleh perusahaan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari keuntungan ?
2. Apa itu maksimalkan keuntungan sebagai cita-cita kapitalisme liberal ?
3. Apa itu masalah pekerja anak ?
4. Apa itu relativasi keuntungan ?
5. Apa saja manfaat bagi stakeholder ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian tentang keuntungan.
2. Untuk mengetahui maksimalkan keuntungan.
3. Untuk mengetahui apa itu masalah pekerja anak.
4. Untuk mengetahui apa itu relativasi keuntungan
5. Untuk mengetahui manfaat bagi stakeholder.
BAB II

PEMBAHASAN

Keuntungan termasuk definisi bisnis. Sebab, apa itu bisnis? Dengan cara
sederhana tapi cukup jelas, bisnis sering dilukiskan sebagai “to provide products or
services for a profit”. Menyediakan suatu produk atau jasa secara percuma tidak
merupakan bisnis. Itulah sebabnya bisnis selalu berbeda dengan karya amal. Menawarkan
sesuatu dengan percuma masih bisa dianggap bisnis, selama terjadi dalam rangka
promosi, untuk memperkenalkan sebuah produk baru atau untuk mengiming-iming
publik. Tetapi, kalau begitu, tetaplah tujuannya mencari calon pembeli dan karena itu
tidak terlepas dari pencarian keuntungan. Dalam rangka bisnis, pemberian dengan gratis
hanya dilakukan untuk kemudian menjual barang itu dengan cara besar-besaran.
Tidak bisa dikatakan juga bahwa setiap kegiatan ekonomi menghasilkan
keuntungan. Keuntungan atau profit baru muncul dengan kegiatan ekonomi yang
memakai sistem keuangan. Dalam penukaran barang dengan barang (barter), tidak
diperoleh profit, walaupun kegiatan itu,bisa menguntungkan untuk kedua belah pihak.
Barangkali bisa dikatakan, disinilah letaknya perbedaan antara perdagangan (trade) dan
bisnis. Perdagangan mempunyai arti lebih luas, hingga meliputi juga kegiatan ekonomi
seperti barter. Bisnis merupakan perdagangan yang bertujuan khusus memperoleh
keuntungan finansial. Bekerja untuk majikan merupakan kegiatan ekonomi (berbeda
dengan bekerja sebagai sukarelawan), tetapi gaji yang diperoleh tidak dianggap sebagai
profit. Robert Solomon benar, bila ia menekankan bahwa keuntungan atau profit
merupakan buah hasil suiatu transaksi moneter. Profit selalu berkaitan dengan kegiatan
ekonomis, dimana kedua belah pihak menggunakan uang.
Bisa ditambah lagi, profit diperoleh tidak kebetulan tapi berkat upaya khusus dari
orang yang mempergunakan uang. Uang yang diperoleh berdasarkan kupon undian atau
karena main judi tidak disebut profit, berbeda dengan uang yang dihasilkan dengan
perdagangan saham (walaupun disini beberapa perkembangan baru
seperti derivatives oleh banyak orang dinilai sudah mendekati perjudian). Profit
berkonotasi ganjaran bagi upaya yang berhasil. Tetapi hal itu tidak berarti bahwa profit
seluruhnya tergantung pada kepiawaian si pebisnis. Untuk sebagian perolehan profit
tergantung juga pada faktor mujur atau sial. Sebagaimana pelaut tidak pernah dapat
meramalkan perkembangan cuaca dengan sempurna, demikian juga pebisnis tidak bisa
menguasai semua seluk beluk keadaan ekonomi. Karena itu diadakannya transaksi
keuangan yang bisa menghasilkan keuntungan, selalu mengandung juga risiko untuk
mengalami kerugian. Jika disini kita berefleksi tentang profit dalam bisnis, tidak boleh
dilupakan bahwa selalu juga ada kemungkinan kerugian. Faktor risiko dalam bisnis tidak
boleh diabaikan.
Karena hubungan dengan transaksi uang itu, perolehan profit secara khusus
berlangsung dalam konteks kapitalisme. Menurut pandangan yang tersebar agak luas,
kapitalisme meliputi tiga unsur pokok: lembaga milik pribadi, praktek pencarian
keuntungan, dan kompetisi dalam sistem ekonomi pasar bebas. Pandangan ini sudah bisa
ditemukan pada ekonom Austria-Amerika yang terkenal, Joseph Schumpeter, dan masih
berkumandang pada pengarang modern tentang etika bisnis sekarang ini. Tiga unsur ini
tentu saja berkaitan erat satu sama lain. Keuntungan hanya bias diperoleh dengan
menggunakan modal yang menjadi milik pribadi dan perolehan keuntungan khususnya
pada skala besar-besaran hanya dimungkinkan dalam rangka pasar bebas. Kalau
akumulasi modal merupakan inti kapitalisme, maka perolehan keuntungan dalam hal ini
memegang peranan besar, karena justru dengan meningkatkan laba atau keuntungan
bobot modal bertambah besar, yang lalu dapat diinvestasikan dalam usaha produktif,
sehingga menghasilkan kekayaan lebih besar lagi, dan seterusnya.
Keterikatan dengan keuntungan itu merupakan suatu alasan khusus mengapa
bisnis selalu ekstra rawan dari sudut pandang etika. Tentu saja, organisasi yang not for
profit pun pasti sewaktu-waktu berurusan dengan etika. Perspektif baik atau buruk secara
moral selalu muncul, jika manusia bertemu dengan sesama dalam konteks apa saja.
Tetapi perusahaan sebagai organisasi for profit menampilan lebih banyak masalah etis
dan bobot moralnya seingkali lebih berat. Kalau keuntungan menjadi tujuan bisnis,
pebisnis mudah tergoda untuk menempuh jalan pintas saja, guna mancapai tujuannya
dengan lebih cepat dan lebih mudah. Daripada menjalankan bisnis dengan sabar serta
jujur, sambil memperhatikan semua rambu etika yang perlu, keuntungan segera dan
mungkin malah lebih besar dapat diperoleh dengan mencuri atau menipu. Tetapi hal
seperti itu tidak boleh dilakukan dan dengan itu kita menjumpai kenyataan yang disebut
etika. Keterkaitan dengan keuntungan itu agaknya menjadi juga alasan utama mengapa
bisnis dimasa lampau seringkali dilihat dengan cara negative. Dan sekarang pun
pencarian keuntungan menjadi factor terpenting yang mengakibatkan banyak orang
memandang dengan syak wasangka permainan big money oleh korporasi-korporasi
internasional yang raksasa pada taraf global. Jika meraup keuntungan sebesar-besarnya
tanpa batas menjadi upaya pertama dari bisnis, tidak dapat dielakan keberatan dari pihak
etika.

 Maksimalisasi Keuntungan sebagai Cita-cita Kapitalisme Liberal

Profit maximization atau maksimalisasi keuntungan merupakan tema penting


dalam ilmu manajemen ekonomi. Banyak buku pegangan manajemen ekonomi
menggarisbawahi factor ini dengan dengan tekanan besar. Metode kuantitatif yang
dipakai dalam manajemen ekonomi mengandaikan keuntungan sebagai tujuan
perusahaan. Ekonomi terapan justru mencapai coraknya sebagai ilmu yang sistematis dan
memiliki kerangka logis yang ketat, karena hanya memandang keuntungan sebagai
tujuan perusahaan, sambil melewati semua tujuan lain yang mungkin.
Kalau memaksimalkan keuntungan menjadi satu-satunya tujuan perusahaan,
dengan sendirinya akan timbul keadaan yang tidak etis. Mengapa begitu? Sekurang-
kurangnya karena alasan bahwa dalam keadaan semacam itu karyawan diperalat begitu
saja. Jika keuntungan menjadi satu-satunya tujuan, semuanya dikerahkan dan
dimanfaatkan demi tercapainya tujuan itu, termasuk juga karyawan yang bekerja dalam
perusahaan. Akan tetapi, memperalat karyawan karena alasan apa saja berarti tidak
menghormati mereka sebagai manusia. Dengan itu dilanggar suatu prinsip etis yang
paling mendasar: kita selalu harus menghormati martabat manusia. Immanuel Kant, filsuf
Jerman abad ke-18, telah melihat bahwa menghormati martabat manusia sama saja
dengan memperlakukan dia sebagai tujuan. Menurut dia, prinsip etis yang paling
mendasar dapat dirumuskan sebagai berikut: “Hendaklah memperlakukan manusia selalu
juga sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah sebagai sarana belaka”. Dalam
perumusan yang termasyhur ini perlu kita perhatikan secara khusus dua kata yang
barangkali tidak mencolok, namun sangat penting, yaitu “juga” dan “belaka”. Dalam
macam-macam situasi, seorang manusia dipakai demi tercapainya tujuan orang lain.
Direktur mempergunakan sekretarisnya demi tujuannya. Dan semua karyawan dalam
perusahaan dipekerjakan untuk merealisasikan tujuan perusahaan. Tetapi disamping
membantu untuk mewujudkan tujuan perusahaan, para karyawan harus diperlakukan juga
sebagai tujuan sendiri. Mereka tidak boleh dipergunakan sebagai sarana belaka. “Sarana”
dalam arti: jalan yang menuju ke tujuan (means). Mereka tidak boleh dimanfaatkan
semata-mata untuk mencapai tujuan. Misalnya, mereka harus dipekerjakan dalam kondisi
kerja yang aman serta sehat dan harus diberikan gaji yang pantas. Sebuah benda bisa
dipakai sebagai sarana belaka. Di sini etika tidak angkat bicara. Tetapi manusia tidak
pernah boleh diperalat, dan hal itu pasti terjadi, bila keuntungan dijadikan satu-satunya
tujuan perusahaan.
Tentu saja, para ekonom akan menjelaskan bahwa maksimalisasi keuntungan
sebagai tujuan perusahaan tidak boleh dimengerti secara harfiah dan pasti tidak boleh
ditasfirkan sebagai sebuah pernyataan moral. Maksimalisasi keuntungan hanya dimaksud
sebagai sekadar model ekonomis yang diharapkan akan memberi arah kepada strategi
ekonomis yang bisa berhasil. Salah besar, kalau orang mengukurnya dengan kategori-
kategori etika. Model semacam itu selalu berjalan pada taraf abstrak, artinya dengan tidak
memperhatikan sekian banyak faktor yang membentuk kenyataan konkret, termasuk
kedudukan serta keadaan para karyawan dalam suatu perusahaan. Karena itu strategi
manajemen yang berdasarkan model ini tidak perlu bertantangan dengan kebijakan yang
melindungi hak karyawan, umpamanya. Dalam kenyataan konkret, strategi ini tidak
mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan hak dan peraturan yang berlaku.
Penjelasan para ekonom yang bernada protes ini dapat dimaklumi. Jika mereka
berbicara tentang maksimalisasi keuntungan, hal itu tidak perlu dimengerti secara
kongkret, sampai meliputi semua seluk-beluk kegiatan eknomis, apalagi bertentangan
dengan norma moral. Tetapi kita juga tidak boleh melupakan masa lampau. Sejarah
mencatat bahwa pada era industrialisasi para pekerja diperalat dan diperas dengan cara
yang sangat tidak manusiawi. Industri sebagai cara berproduksi dengan memakai mesin
pada skala besar-besaran merupakan fenomena baru pada waktu itu. Untuk menjalankan
mesin-mesin ditarik pekerja dari daerah pertanian yang miskin. Keadaan ini pertama kali
muncul di Inggris pada akhir abad ke-18 dan terutama berkembang dibidang tekskil
(katun dan wol), baja, dan pertambangan batu bara. Dari 1760 – 1830 revolusi industri
praktis terbatas pada Inggris saja. Untuk memaksimalkan keuntungan, tenaga buruh
dihisap begitu saja, sungguh deperalat: upah yang diberikan sangat rendah, hari kerja
panjang sekali, tidak ada jaminan kesehatan, jika buruh sakit ia sering diberhentikan,
dalam keadaan lain pun buruh bisa diberhentikan dengan semena-mena, banyak dipakai
tenaga wanita dan anak dinawah umur, karena kepada mereka bisa diberikan upah lebih
rendah lagi dan mereka tidak mudah memberontak, dan seterusnya. Pada awal
industrialisasi kaum buruh bekerja dalam sweatshops (tempat keringat), yaitu tempat
kerja dimana mereka harus bekerja dalam kondisi tidak pantas dan dengan imbalan terlalu
rendah. Sastrawan Inggris yang populer, Charles Dickens (1812-1870), yang sebagai anak
harus bekerja setelah ayahnya disekap dalam penjara kerena tidak sanggup melunasi
utangnya, dalam novel-novelnya melukiskan kemiskinan dan penderitaan kaum buruh
industri. Orang Jerman yang menjadi aktivis komunis dan kawan seperjuangan Karl
Max, Friedrich Engels (1820-1895), termasuk pengarang yang melukiskan keadaan
menyedihkan kaum buruh Inggris dengan bukunya Die Lage der arbeitende Klasse in
Engeland (1845) (Posisi kelas pekerja di Inggris). Engels cukup lama tinggal di Inggris
dalam rangka memimpin cabang dari usaha tekstil milik ayahnya di Manchester.
Nasib buruh anak merupakan prototipe dari penderitaan kaum buruh pada
permulaan industrialisasi. Gerakan sosialisme berhasil sedikit demi sedikit memperbaiki
kaum buruh. Dengan bersatu kaum buruh bisa menuntut haknya. Serikat-serikat buruh
yang pertama dibentuk juga di Inggris, tempat persemaian untuk revolusi industri. Mula-
mula pemerintah dan industri bersikap curiga dan bahkan bermusuhan. Gerakan
organisasi buruh berkembang sebagai kekuatan politik dengan terbentuknya partai
sosialisasi. Lama-kelamaan dihasilkan perbaikan bagi kaum buruh. Di inggris pada 1847
ditentukan peraturan hukum yang berhasil dengan efektif membatasi jam kerja dalam
pabrik untuk wanita dan anak sampai 10 jam/hari. Marx dan Engels menyebut “the Ten
Hours bill” ini dalam manivesto komunis, tetapi peraturan ini oleh mereka tentu tidak
dinilai menyentuh akar penindasan kaum buruh. Di Belanda pada 1874 diberlakukan UU
yang melarang anak dibawah umur 12 Tahun bekerja (di Belanda selalu dipandang
sebagai permulaan sistem jaminan sosial dengan nama “het kinderwetje van Van
houten”). Tahun 1920-an International Labour Organisation (ILO) yang baru terbentuk,
menentukan sebagai standar bagi para pekerja 8 jam sehari dan 48 jam seminggu dan
seterusnya. Di negara-negara industri yang maju akhirnya dibentuk negara kesejahteraan
dengan sistem jaminan sosial yang sudah dilukiskan dalam Bab 4.
Studi sejarah menunjukan bahwa maksimalisasi keuntungan sebagai tujuan usaha
ekonomis memang bisa membawa akibat kurang etis. Hal itu sungguh berlangsung dalam
kapitalisme liberal yang melatarbelakangi industrialisasi modern di Inggris dan negar-
negara Barat lainnya. Melalui perjuangan panjang dan berat, di negara-negara industri
perlakuan kurang etis terhdap kaum buruh lama-kelamaan teratasi. Di Negara-negara
tersebut kini hak-hak kaum buruh sudah diakui dan kalau masih timbul kesulitan selalu
tersedia mekanisme perundingan untuk mengatasinya. Namun demikian hal itu tidak
mustahil terjadi juga, karena upaya-upaya yang di Negara-negara maju telah menghindari
terulangnya ketidakberesan kapitalisme liberal, di negara berkembang masih lemah
seperti undang-undang perburuhan yang baik, kebebasan serikat buruh, jaminan sosial,
asuransi kesehatan, dan sebagainya. Kini industri baru sebetulnya tidak boleh di
kembangkan lagi tanpa sekaligus mengembangkan juga koreksian terhadap bahaya
penindasan dari industri modern. Dalam zaman pasca komunis sekarang hal itu mendesak
dengan cara baru. Maksimalisasi keuntungan sebagai model ekonomis yang abstrak bisa
saja mengakibatkan ketidakberesan etis yang baru. Bahwa kualitas etisnya disini selalu
tidak gampang dinilai dengan tepat, dapat kita pelajari dengan meninjau masalah buruh
anak.

 Masalah Pekerja Anak


Pekerjaan yang dilakukan oleh anak memang dinilai tidak etis. Masalah pekerja
anak ini terjadi dikarenakan berbagai faktor diantaranya karena faktor-faktor ekonomi,
sosial dan budaya. Kita harus bisa menilai atau menelaah faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya pekerja anak. Istilah anak “di bawah umur” harus disamakan
dengan batas umur wajib belajar. Tidak praktis sama sekali, kalau anak sudah tidak wajib
belajar lagi tetapi belum boleh bekerja. Misalkan saja di dalam kehidupan keluarga anak
sering membantu orang tua bekerja seperti membantu panen di sawah. Hal ini dikatakan
tidak melanggar etis. Pekerja anak baru menimbulkan etis yang serius dalam zaman
industrialisasi.
Ketenagakerjaan Internasional (ILO) pada tahun 1973 mengeluarkan konvvensi
tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja. Negara-negara anggota ILO harus
mengupayakan usia minimum 18 tahun untuk pekerjaan berbahaya dan 16 tahun untuk
pekerjaan ringan. Indonesia baru mengesahkan konvensi tersebut pada tahun 1999 dan
menetapkan usia minimum 15 tahun. Betapapun banyaknya usaha menetapkan batas
minimum pekerja, masih banyak di negara yang pekerjanya masih muda.
Memperkerjakan anak di anggap melanggar etika. Dalam Declaration of the right
of the child, yang diproklamasikan oleh Sidang Umum PBB tahun 1959 dikatakan bahwa
“anak harus mempunyai kesempatan penuh untuk main dan rekreasi, yang harus tertuju
pada maksud yang sama seperti pendidikan. Dalam rangka itu anak
ditegaskan antaralain : ”anak tidak boleh diterima sebagai pekerja sebelum umur
minimum yang tepat, tidak boleh disuruh atau diterima dalam jabatan atau pekerjaan apa
saja yang bisa merugikan kesehatan atau pendidikanya atau menganggu perkembangan
fisik, psikis dan moralnya.
Memperkerjakan anak di anggap tidak etis karena disebabkan berbagai alasan.
Alasan yang pertama bahwa pekerjaan yang diterima anak di bawah usia minimum akan
melanggar hak anak untuk bermain dan mengenyam pendidikan. Mereka berhak untuk
dilindungi terhadap segala upaya eksploitasi karena mereka tidak dapat melindungi diri.
Alasan kedua aalah karena memperkerjakan anak adalah cara bisnis yang tidak fair. Hal
ini karena perusahaan menekan biaya seminimal mungkin dengan memperkerjakan anak
dengan upah yang rendah guna mencapai keuntungan yang maksimal. Selain itu hal ini
juga dengan mempekerjakan anak akan menimbulkan pengangguran bagi pekerja
dewasa.
Meskipun memperkerjakan anak dianggap tidak etis, kita harus mampu
memandang penyebab anak harus bekerja. Hal ini mungkin dikarenakan kebutuhan
ekonomi yang mendesak. Apabila anak dilarang bekerja sedangkan mereka
membutuhkan makan, maka dengan bekerja anak dapat memenuhi kebutuhan dan tidak
menjadi anak jalanan. Oleh karena itu, kita harus tahu bagaimana cara alternatif untuk
mengatasi masalah pekerja anak. Cara yang pertama adalah dengan menumbuhkan
kesadaran dan aksi dari pihak publik konsumen. Cara yang kedua adalah kode etik yang
dibuat dan ditegakan oleh perusahaan. Misalkan saja perusahaan mengeluarkan
kebijakan dan menegaskan untuk tidak memperkerjakan anak dibawah umur. Perusahaan
juga dapat mengembangkan Coorporate Social Responsibility di bidang pendidikan yang
tujuanya adalah dengan membantu memberika pendidikan kepada anak yang kurang
mampu maupun mengadakan pelatihan keterampilan.
Cara lain adalah melengkapi garmen jualan atau produk lain dengan No Sweat
Label, yang menjamin produk itu tidak dapat dibuat dengan menggunakan tenaga kerja
anak dengan kondisi kerja yang tidak pantas. Label-label ini tentunya harus dikeluarkan
dengan instansi-instansi pemerintah atau swasta yang menjamin kredibilitas tinggi di
mata masyarakat. Di Amerika Serikat Kampanye No Sweat Label sudah dijalankan.
Memperjakan anak memang dianggap tidak manusiawi. Namun di Indonesia
anak-anak dituntut harus bekerja karena memang diarenakan kebutuhan ekonomi yang
mendesak . Pemerintah Indonesia juga telah mengakui hal ini sehingga mengeluarkan
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 1 Tahun 1987 mengizinkan bahwa anak yang usia
minimum sebagai buruh di sektor formal apabila keadaanya benar-benar mendesak.
Sebenarnya peraturan ini bertentangan dengan ketentuan batas usia minimum anak tetapi
hal ini dilakukan dengan berbagai syarat antaralain anak tidak boleh bekerja lebih dari
empat jam, tidak diperbolehkan bekerja di tempat yang mempunyai bahaya atau resiko
yang tinggi.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja no. 1 Tahun 1987 yang mengizinkan anak
dibawah usia 14 tahun bekerja sebagai buruh di sektor formal, kalau keadaan ekonomi
keluarga mendesak. Peraturan itu disertai dengan syarat-syarat. Pertama, anak-anak itu
hanya boleh bekerja 4 jam sehari. Kedua, tidak boleh diperkerjakan di tempat yang
berisiko khusus seperti pertambangan/ bekerja dengan alat-alat yang berbahaya. Ketiga,
tidak boleh dipekerjakan malam hari atau pukul 18.00-06.00. Intinya adalah bahwa
kebaikan dan kesejahteraan anak tidak pernah boleh dikorbankan kepada keuntungan
ekonomis.

Dalam Undang-undang no 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dibicaraan


tentang anak sebagai tenaga kerja dalam pasal 68-75. Disini pengusaha dilarang
mempekerjakan anak (pasal 68). Ketentuan ini dikecualikan bagi anak usia antara 13 dan
15 tahun, asal pekerjaannya ringan dan tidak merugikan sianak (pasal 69). Adapun syarat
khusus seperti waktu kerja maksimum 3jam, pekerjaan dilakukan siang hari dan tidak
menganggu waktu sekolah. Anak dapat melakukan pekrjaan sebagai sebagian pendidikan
atau pelatihannya jika paling sedikit umur 14 tahun, asalkan diberi pengawasan dan
perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja (pasal 70).

 Relativasi Keuntungan
Bisnis menjadi tidak etis, kalau perolehan untung dimutlakan dan segi moral
dikesampingkan. Manajemen modern sering disifatkan sebagai manajement by
objectives. Dan dalam manajemen ekonomi salah satu unsur penting adalah cost-benefit
analysis. Semua itu bisa diterima asalkan disertai pertimbangan etis.

Bisnis tanpa tujuan profit bukan bisnis lagi. Seluruh sistem ekonomi pasar bebas
akan ambruk, kalau keuntungan dicopot dari setiap kegiatan bisnis. Kegagalan total
sistem ekonomi komunistis di Uni Soviet dan satelit-satelitnya antara lain disebabkan
karena sistem ini sebagai ekonomi berencana tidak mengenal motif keuntungan.

Perlu ditekankan, keuntungan dalam bisnis merupakan suatu pengerian yang


relatif. Ronald Duska menegaskan bahwa purpose dan motive itu harus dibedakan.
Maksud bersifat obyektif dan motivasi bersifat subyektif. Motivasi menjelaskan mengapa
kita melakukan sesuatu, tetapi maksud membenarkan perbuatan kita itu. Maksud bisnis
adalah menyediakan produk/jasa yang bermanfaat bagi masyarakat. Keuntungan hanya
sekedar motivasi untuk mengadakan bisnis. Kenneth Blanchard dan Norman Vincent
Peale menegaskan bahwa manajer yang semata-mata mengejar keuntungan dalam
bisnisnya dapat dibandingkan dengan pemain tenis yang hanya memperhatikan papan
angka dan tidak memperhatikan bola. Maksudnya bisnis memiliki nilai intinsik sendiri,
misalnya memproduksi sesuatu yang berguna untuk masyarakat dan tidak baru menjadi
bernilai karena membawa untung. Pebisnis Max DePree membandingkan keuntungan
dengan bernapas. Kita hidup tidak untuk bernafas tetapi tidak mungkin juga kita hidup
tanpa bernapas. Keuntungan memungkinkan bisnis hidup terus, tapi tidak menjadi tujuan
terakhir bisnis. Norman Bowie membandingkan keuntungan dalam bisnis dengan
kebahagiaan dalam hidup. Kita tidak mengejar kebahagiaan demi diri sendiri tetapi
kebahagiaan adalah akibat sampingan kalau seorang suami hidup dan bekerja untuk istri
dan anaknya. Demikian keuntungan pun merupakan akibat sampingan dari bisnis, bukan
tujuan yang sebenarnya.

Beberapa cara lain lagi untuk melukiskan relativitas keuntungan dalam bisnis,
sambil tidak mengabaikan perlunya:

1. Keuntungan merupakan tolak ukur untuk menilai kesehatan perusahaan / efisiensi


manajemen dalam perusahaan.
2. Keuntungan adalah pertanda yang menunjukan bahwa produk / jasanya dihargai oleh
masyarakat.
3. Keuntungan adalah cambuk untuk meningkatkan usaha.
4. Keuntungan merupakan syarat kelangsungan perusahaan.
5. Keuntungan mengimbangi risiko dalam usaha.

 Manfaat bagi stakeholders


R, Edward Freeman menjelaskan stakeholders sebagai “individu-individu atau
kelompok-kelompok yang dipengaruhi oleh tercapainya tujuan-tujuan organisasi dan
pada gilirannya dapat mempengaruhi tujuan-tujuan tersebut. Dalam bahasa
Indonesia, stakeholders adalah pihak yang berkepentingandengan kegiatan suatu
perusahaan. Sedangkan stockholders (pemegang saham) tentu termasuk
sebagai stakeholders. Para pemegang saham sebagai pemilik perusahaan pasti
berkepentingan dengan sepak terjang sebuah perusahaan. Kalau perusahaan memperoleh
laba, para pemegang saham mendapat deviden. Kalau tidak, mereka tidak mendapat apa-
apa.
Kadang-kadang stakeholders dibagi lagi atas:
 Pihak berkepentingan internal: “orang dalam” dari suatu perusahaan; orang atau
instansi yang secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan, seperti pemegang
saham, manajer, dan karyawan.
 Pihak berkepentingan eksternal: “orang luar” dari suatu perusahaan; orang atau
instansi yang tidak secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan, seperti para
konsumen, masyarakat, pemerintah, lingkungan hidup.
Paham stakeholders ini membuka perspektif baru uuntuk mendekati masalha
tujuan perusahaan. Kita bisa mengatakan bahwa tujuan perusahaan adalah manfaat
semua stakeholders. Bukan saja kepentingan para pemegang saham harus
dipertimbangkan, tetapi juga kepentingan dari semua pihak lain, khususnya para
karyawan dan masyarakat di sekitar pabrik.
BAB III

STUDI KASUS

PELANGGARAN PABRIK KOREK API DI BINJAI, DARI PEKERJA


BAWAH UMUR HINGGA TAK ADA PINTU BELAKANG
Bisnis.com, JAKARTA —Tim gabungan pengawas ketenagakerjaan menemukan enam
pelangaran ketenagakerjaan di pabrik korek api milik PT Kiat Unggul, yang terbakar pada
Jumat lalu. Tim pusat dan daerah tersebut sudah menyelesaikan investigasi tahap awal di
pabrik yang berlokasi Desa Sabirejo, Binjai, Langkat, Sumatra Utara tersebut. Menteri
Ketenagakerjaan M. Hanif Dhakiri mengatakan enam pelanggaran itu menjadi pijakan
pengawas untuk menyelesaikan kasus ketenagakerjaan di perusahaan tersebut. Tiap
pelanggaran, tegasnya, harus ditindak.

Pertama, perusahaan tidak memberikan perlindungan kepada pekerja terkait kesejahteraan,


keselamatan dan kesehatan baik mental maupun fisik. Kedua, didapati perusahaan
mempekerjakan pekerja anak atas nama Rina umur 15 tahun. Ketiga, perusahaan belum
membuat wajib lapor ketenagakerjaan untuk lokasi kejadian. Diketahui, pabrik tersebut
merupakan cabang dari PT Kiat Unggul yang berada di Jalan Medan—Binjai KM 15,7,
Kabupaten Deliserdang. Perusahaan tidak melaporkan keberadaan cabang perusahaan
tersebut kepada Dinas Ketenagakerjaan, sehingga keberadaannya tak tercatat oleh Dinas
Tenaga Kerja Provinsi Sumatera Utara. Perusahaan masuk kategori ilegal. Keempat,
perusahaan membayar upah tenaga kerja lebih rendah dari ketentuan upah minimum
Kabupaten Langkat. Kelima, perusahaan belum mengikut sertakan pekerjanya dalam
program jaminan sosial yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS
Kesehatan. "Hanya satu pekerja yang sudah didaftarkan pada BPJS Ketenagakerjaan,
selebihnya belum," ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (25/6). Keenam, perusahaan
belum melaksanakan sepenuhnya syarat-syarat Keselamatan Kesehatan Kerja (K3). Dari olah
tempat kejadian perkara, diketahui sumber api berasal dari pintu belakang yang menjadi
akses keluar masuk pekerja, sedangkan pintu depan terkunci sehingga saat terjadi kebakaran
para pekerja tak bisa keluar menyelamatkan diri karena tidak ada jalur evakuasi. Perusahaan
juga tidak memiliki alat pemadam kebakaran dan sirkulasi udara yang memenuhi syarat.
Pabrik tidak dilengkapi fasilitas pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K), tidak tersedia
alat pelindung diri (APD), serta berbagai pelanggaran lain.

Secara terpisah, Pelaksana Harian Direktur Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (PNK3), Amarudin mengatakan, dari 30 korban meninggal, hanya satu pekerja yang
telah terdaftar BPJS Ketenagakerjaan yakni atas nama Gusliana. Ahli waris akan
mendapatkan santunan kecelakaan kerja dari BPJS Ketenagakerjaan sebesar Rp150,4 juta.
Untuk santunan ahli waris pekerja yang belum terdaftar BPJS Ketenagakerjaan, Dinas
Tenaga Kerja Sumatra Utara akan membuat penetapan yang menyatakan para korban sebagai
korban kecelakaan kerja, agar ahli waris korban mendapatkan santunan kecelakaan kerja
sesuai ketentuan yang berlaku. Kebakaran pabrik mengakibatkan 30 orang meninggal dunia.
Mereka terdiri dari 24 pekerja borongan termasuk di dalamnya seorang pekerja anak atas
nama Rina (15 tahun), lima anak sebagai pekerja borongan serta seorang adik pekerja yang
sedang berkunjung ke pabrik tersebut. Terdapat empat pekerja yang selamat dari insiden
tersebut.

Pembahasan Kasus:

Salah satu contoh kasus ini berkaitan dengan materi dalam makalah ini, yaitu
memperkerjakan anak dianggap melanggar etika karena disebabkan berbagai alasan. Alasan
yang pertama bahwa pekerjaan yang diterima anak di bawah usia minimum akan melanggar
hak anak untuk bermain dan mengenyam pendidikan. Mereka berhak untuk dilindungi
terhadap segala upaya eksploitasi karena mereka tidak dapat melindungi diri. Alasan kedua
adalah karena memperkerjakan anak adalah cara bisnis yang tidak fair. Hal ini karena
perusahaan menekan biaya seminimal mungkin dengan memperkerjakan anak dengan upah
yang rendah guna mencapai keuntungan yang maksimal. Selain itu hal ini juga dengan
mempekerjakan anak akan menimbulkan pengangguran bagi pekerja dewasa.

Dalam kasus ini perusahaan memperkerjakan anak diusia 15 tahun yang sebenarnya
diperbolehkan bekerja, tetapi hanya melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak
mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial. Seperti yang kita ketahui
bahwa pekerja pabrik itu pekerjaannya tidak ringan. Tapi dijelaskan dalam Peraturan Menteri
Tenaga Kerja no. 1 Tahun 1987 yang mengizinkan anak dibawah usia 14 tahun bekerja
sebagai buruh di sektor formal, kalau keadaan ekonomi keluarga mendesak. Peraturan itu
disertai dengan syarat-syarat. Pertama, anak-anak itu hanya boleh bekerja 4 jam sehari. Dari
yang kita tahu pekerja pabrik itu bekerja lebih dari 4 jam bekerja. Kedua, tidak boleh
diperkerjakan di tempat yang berisiko khusus seperti pertambangan/ bekerja dengan alat-alat
yang berbahaya. Ketiga, tidak boleh dipekerjakan malam hari atau pukul 18.00-06.00. Intinya
adalah bahwa kebaikan dan kesejahteraan anak tidak pernah boleh dikorbankan kepada
keuntungan ekonomis.
BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan
1. Jika memaksimalkan keuntungan menjadi satu-satunya tujuan perusahaan,
dengan sendirinya akan timbul keadaan yang tidak etis. Karena, dalam
keadaan semacam itu karyawan diperalat begitu saja. Memperalat karyawan
karena alasan apa saja berarti tidak menghormati mereka sebagai manusia.
Dengan itu dilanggar suatu prinsip etis yang paling mendasar: kita selalu harus
menghormati martabat manusia.
2. Tidak bisa diragukan, pekerjaan yang dilakukan oleh anak (child labor)
merupakan topik dengan banyak implikasi etis, tetapi masalah ini sekaligus
juga sangat kompleks, karena faktor-faktor ekonomis di sini dengan aneka
macam cara bercampur baur dengan faktor-faktor budaya dan sosial.
3. Keuntungan merupakan faktor satu-satunya yang menentukan sukses dalam
bisnis, perdagangan heroin, kokain,atau obat terlarang lainnya harus dianggap
sebagai good bussiness, karena senpat membawa untung amat banyak.
4. Suatu cara lain untuk mendekati tujuan perusahaan adalah melukiskan tujuan
itu sebagai the stekeholders ‘benefit, “manfaat bagi stekeholders “.

Anda mungkin juga menyukai