Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN

ASPEK MORAL DAN STAKEHOLDER THEORY RELEVANSI


STAKEHOLDER THEORY

DOSEN: DRA. AYN. WARSIKI, M.SI

Disusun oleh:

Farhvisa Muzakka Abdillah (141180133)

Syafika Dhea Taqiya Ramadhani (141180136)

Inas Al Mumtahana (141180139)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

YOGYAKARTA

2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Coorporate social responbility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan,


menjadi sebuah kredo baru bagi pelaku bisnis. CSR merupakan media perusahaan
untuk menjawab berbagai kritik. Pada umumnya perusahaan di Indonesia
menjalankan CSR atas dasar memenuhi kewajiban kontraktual, dalam hal ini
perusahaan harus mematuhi peraturan baik yang dibuat oleh pemerintah pusat
ataupun pemerintah daerah. Secara normatif, idealnya tanpa adanya protes dan
kewajiban kontraktual, perusahaan seharusnya berusaha memberdayakan
masyarakat lokal dan meningkatkan kesejahteraan. . Hal ini adalah kewajiban
moral, namun motif yang didasarkan pada komitmen moral tersebut masih sebatas
wacana dan belum terlihat nyata. Tentunya dalam menjalankan CSR ini ada orang-
orang yang berkepentingan atau memiliki kepentingan didalamnya yang biasa
disebut dengan stakeholder. Kepentingan yang dimiliki tiap pemegang
kepentingan ini tentunya juga berbeda-beda dan perlu adanya pengklasifikasian
kepentingan tiap-tiap stakeholder.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan aspek moral CSR?


2. Apa saja bentuk dan klasifikasi tanggung jawab sosial perusahaan?
3. Apa yang dimaksud dengan stakeholder dan apa saja kategori stakeholder?
4. Bagaimana relevansi teori stakeholder?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui aspek moral CSR.


2. Untuk mengetahui bentuk dan klasifikasi tanggung jawab sosial perusahaan.
3. Untuk mengetahui yang dimaksud stakeholder dan kategori stakeholder.
4. untuk mengetahui relevansi teori stakeholder.
BAB II

DASAR TEORI

A. ASPEK MORAL CSR

Corporate social responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan,


menjadi sebuah kredo baru bagi pelaku bisnis, CSR merupakan media perusahaan
untuk menjawab berbagai kritik. Sekarang, banyak perusahaan atau pelaku industri
menjadikan CSR menjadi yang terintegrasi dari perusahaan, isu lingkungan,
pembangunan berkelanjutan, perubahan iklim, juga mendapat perhatian yang serius
dari pelaku bisnis. Kalau kita lihat di seluruh dunia, ada 175 perusahaan yang tergabung
dalam World Business Council Sustainable Development (WBCSD) yang mengangkat
isu: Community Development, Lingkungan, Livelihood dan Perubahan Iklim. Kalau di
Indonesia, Perusahaan Swasta maupun BUMN tergabung dalam Corporate Forum for
Community Development (CFCD) yang mempunyai misi: Meningkatkan kesadaran
umum akan pentingnya program Community Development bagi perusahaan sebagai
bagian integral dari pembangunan masyarakat-bangsa sekaligus meningkatan apresiasi
dan pemahaman masyarakat atas peran dan fungsi Corporate CD dan CD Officer.
Karenanya, CSR dalam image perusahaan dan peningkatan bisnis tidak bisa dipandang
remeh.

Pada umumnya perusahaan di Indonesia menjalankan CSR atas dasar


memenuhi kewajiban kontraktusi, dalam hal ini mematuhi peraturan baik yang dibuat
oleh pemerintah pusat maupun daerah. Secara normatif, idealnya tanpa adanya protes
dan kewajiban kontraktual, perusahaan seharusnya berusaha memberdayakan
masyarakat lokal dan meningkatkan kesejahteraan. Ide mengenai konsep CSR juga
dilandasi pemikiran demikian. Secara filantropis perusahaan seharusnya
mendistribusikan keuntungan setelah memanfaatkan resources di lokasi dimana
masyarakat berada. Hal ini adalah kewajiban moral, namun motif yang didasarkan pada
komitmen moral tersebut masih sebatas wacana dan belum terlihat nyata. Mulyadi
dalam tulisan yang berjudul Pengelola Program Corporate Social Responsibility.
Pendekatan, Keberpihakan, dan Keberlanjutan. Membagi stakeholders berdasarkan
kepentingannya.
1. Bentuk Tanggung jawab Sosial Perusahaan

· Tanggung jawab Ekonomi: Tanggung jawab ekonomi artinya bahwa tetap


menguntungkan bagi pemegang saham, menyediakan pekerjaan yang bagus
bagi para pekerjanya, dan menghasilkan produk yang berkualitas bagi
pelanggannya.

· Tanggung jawab Hukum: Setiap tindakan perusahaan harus mengikuti hukum


dan berlaku sesuai aturan permainan.

· Tanggung jawab etik: menjalankan bisnis dengan moral, mengerjakan apa


yang benar, apa yang dilakukan harus fair dan tidak menimbulkan kerusakan

· Tanggung jawab filantropis: memberikan kontribusi secara sukarela kepada


masyarakat, memberikan waktu, dan uang untuk pekerjaan yang baik

2. Klasifikasi yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial perusahaan

· Ethical CSR: secara moral perusahaan memilih untuk memenuhi tanggung


jawab perusahaan dari segi ekonomi, hukum dan etika

· Altruistic CSR: memenuhi tanggung ‘


jawab filantropic perusahaan, melakukan pencegahan timbulnya kerusakan,
untuk membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa
memperhitungkan apakah hal itu menguntungkan perusahaan atau tidak

· Strategic CSR: membantu tanggung jawab filantropik yang


menguntungkan perusahaan melalui publikasi posistif atau goodwill.

Corporate Social Responbility adalah elemen penting dalam kerangka


keberlanjutan usaha suatu industri yang mencakup aspek ekonomi, lingkungan, dan
sosial budaya. Definisi secara luas yang ditulis sebuah organisasi dunia World Bisnis
Council for susiainable Development(WBCD) menyatakan bahwa CSR merupakan
suatu komitinen berkelanjutan oleh dunia usaha untuk bertindak etis dan memberikan
kontribusi kepada pengembangan ekonomi dari komunitas setempat ataupun
masyarakat luas, bersamaan dengan peningkatan taraf hidup pekerjanya serta seluruh
keluarga. Sedangkan menurut Nuryana CSR adalah sebuah pendekatan dimana
perusahaan mengintegrasikan kepedulian sosial dalam operasi bisnis mereka dan dalam
interaksi mereka dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan
prinsip kesukarelaan dan kemitraan.

CSR dapat dikatakan sebagai tabungan masa depan bagi perusahaan untuk
mendapatkan keuntungan. Keuntungan yang diperoleh bukan hanya sekedar
keuntungan secara financial namun lebilh pada kepercayaan dari masyarakat sekitar
dan para stakeholdersberdasarkan prinsip kesukarelaan dan kemitraan. Penelitian yang
dilakukan Sandra Waddock dan Samuel Graves membuktikan bahwa perusahaan yang
memperlakukan stakeholders mereka dengan meningkatkan kelompok mereka sebagai
suatu bentuk manajemen yang berkualitas.

B. TEORI STAKEHOLDER

Stakeholder perusahaan adalah semua pihak yang berkepentingan dalam hal ini
mendapat pengaruh ataupun memberikan pengaruh pada tujuan, strategi dan aktifitas
perusahaan Mereka biasanya adalah pemegang saham, manajemen pengelola baik sebagai
team ataupun personal, karyawan, konsumen, jaringan pasar, jaringan pemasok, media,
regulator (pemerintah) asosiasi bisnis dan masyarakat yang mendapatkan dampak dari
kehadiran perusahaan.

Pengenalan stakeholder tidak sekedar menjawab pertanyaan siapa stekholder suatu isu tapi
juga sifat hubungan stakeholder dengan isu, sikap. pandangan, dan pengaruh stakeholder itu.
Aspek-aspek ini sangat penting dianalisis untuk mengenal stakeholder.

1. Kategori stakeholder

Berdasarkan kekuatan, posisi penting, dan pengaruh stakeholder terhadap suatu


issu stakeholder dapat diketegorikan kedalam beberapa kelompok ODA (1995)
nengelompokan stakeholder kedalam yaitu stakeholder primer, sekunder dan
stakehoIder kunci. Sebagai gambaran pengelompokan tersebut pada berbagai
kebijakan, program, dan proyek pemerintah (publik) dapat dikemukakan kelompok
stakcholder seperti berikut:
a. Stakeholder utama (primer)

Stakeholder utama merupakan stakeholder yang meiniliki kaitan


kepentingan secaralangsung dengan suatu kebijakan, program, dan proyek.
Mereka harus ditempatkan sebagaipenentu utama dalam proses pengambilan
keputusan.

· Masyarakat dan tokoh masyarakat : Masyarakat yang terkait dengan


proyek, yakni masyarakat yang di identifkasi akan memperoleh manfaat
dan yang akan terkena dampak (kehilangan tanah dan kemungkinan
kehilangan mata pencaharian) dari proyek ini.

Tokoh masyarakat: Anggota masyarakat yang oleh masyarakat ditokohkan


di wilayah itusekaligus dianggap dapat mewakili aspirasi masyarakat.

· Pihak Manajer publik: Lembaga atau badan publik yang bertanggung


jawab daiampengambilan dan implementasi suatu keputusan.

b. Stakeholder pendukung (sekuder)

Stakeholder pendukung (sekunder) aclalah stakeholder yang tidak memiliki


kaitankepentingan secara langsung terhadap suatu kebijakan, program, dan
proyek, tetapi memilikikepedulian (consern) dan keprilhatinan sehingga mereka
turut bersuara dan berpengaruh terhadapsikap masyarakat dan keputusan legal
pemerintah.

· Lembaga(Aparat) pemerintah dalam suatu wilayah tetapi tidak memiliki


tanggung jawablangsung

· Lembaga pemerintah yang terkait dengan issu tetapi tidak memiliki


kewenangan secaralangsung dalam pengambilan kcputusan.

· Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) setempat: LSM yang bergerak di


bidang yangbersesuai dengan rencana, manfaat, dampak yang muncul
yang memiliki "concern"(termasuk organisasi massa yang terkait).

· Perguruan Tinggi: Kelompok akademisi ini memiliki pengaruh penting


dalampengambilan keputusan pemerintah.
· Pengusaha (Badan usaha) yang terkait.

c. Stakeholder Kunci

Stakeholder kunci merupakan stakeholder yang memiiiki


kewenangan secara legal dalam halpengambilan keputusan. Stakcholder
kunci yang dimaksud adalah unsur eksekutif' sesuailevelnya, legislatif,
dan instansi. Misalnya, stekholder kunci untuk suatu keputusan untuk
suatuproyek level daerah kabupaten.

· Pemerintah Kabupaten

· DPR Kabupaten

· Dinas yang membawahi langsung proyek yang bersangkutan.

Dalam konteks hubungan kemitraan antara pemerintah dengan perusahaan,


pemerintah daerah mengharapkan agar program-program CSR bisa membantu
menyelesaikan permasalahan sosial, seperti masalah pengangguran, kemiskinan,
masalah pendidikan, kesehatan, perumahan. Selain itu menyelesaikan masalah
lingkungan yang dihadapi pemerintah daerah. Hal Ini menunjukkan bahwa perusahaan
swasta dituntut untuk membantu pemerintah daerah untuk mendukung program
pembangunan regional yang diimplementasikannya.

Pemerintah yang menjadi penanggungjawab utama dalam mensejahterakan


masyarakat dan melestarikan lingkungan tidak akan menanggung beban tersebut jika
dilakukan sendiri,melainkan membutuhkan partisipasi, salah satunya yang paling
potensial adalah dari perusahaan,agar akselerasi pembangunan dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat bisa tercapai.

Setiap perusahaan memiliki cara pandang yang berbeda terhadap CSR, dan cara
pandang inilah yang bisa dijadikan indikator kesungguhan perusahaan tersebut dulam
melaksanakan CSR atau hanya sekedar membuat pencitraan di masyarakat. Setidaknya
terdapat tiga kategori paradigma perusahaan dalam menerapkan program CSR menurut
Wibisono (2007, hal.73).diantaranya:
Pertama, Sekedar basa basi dan keterpaksaan, artinya CSR dipraktekkan lebih
karena faktor ekstemal, baik karena mengendalikan aspek sosial (social driven) maupun
mengendalikan aspek lingkungan (environmental driven). Artinya peinenuhan
tanggung jawab sosial lebih karena keterpaksaan akibat tuntutan daripada kesukarelaan.
Berikutnya adalah mengendalikan reputasi(reputation driven), yaitu motivasi
pelaksanaan CSR untuk mendongkrak citra perusahaan.Banyak korporasi yang sengaja
berupaya mendongkrak citra dengan memanfaatkan peristiwa bencana alam seperti
memberi bantuan uang, sembako, medis dan sebagainya, yang kemudian perusahaan
berlomba menginformasikan kontribusinya melalui media massa. Tujuannya adalah
untuk mengangkat reputasi.

Kedua, sebagai upaya untuk memenuhi kewajiban (compliance). CSR


diimplementasikan karena memang ada regulasi, hukum dan aturan yang memaksanya.
Misalnyakarena ada kendali dalam aspek pasar (market driven). Kesadaran tentang
pentingnya mengimplementasikan CSR ini menjadi tren seiring dengan maraknya
kepedulian masyarakat global terhadap produk-produk yang ramah lingkungan dan
diproduksi dengan memperhatikan kaidah-kaidah sosial.

Selain market driven, driven lain yang sanggup memaksa perusahaan untuk
mempraktekan CSR adalah adanya penghargaan-penghargaan (reward) yang diberikan
oleh segenap institusi atau lembaga. Misalnya CSR Award baik yang regional maupun
global, Padma (Pandu Daya Masyarakat) yang digelar oleh Depsos dan Proper
(Program Perangkai Kinerja Perusaliaan) yang dihelat oleh Kementrian Lingkungan
Hidup.

Ketiga, Bukan sekedar kewajiban (compliance), tapi lebih dari sekedar


kewajiban (beyond compliance) atau (compliance plus). Diimplementasikan karena
memang ada dorongan yang tulus dari dalam (internal driven). Perusahaan telah
menyadari bahwa tanggungjawabnya bukan lagi sekedar kegiatan ekonomi untuk
menciptakan profit demi kelangsungan bisnisnya,melainkan juga tanggungjawab sosial
dan lingkungan. Dasar pemikirannya, menggantungkan semata-mata pada kesehatan
finansial tidak akan menjamin perusahaan bisa tumbuh secara berkelanjutan.

Hal terpenting dari cara pandang perusahaan sehingga melaksanakan CSR


adalah upaya untuk memenuhi kewajiban (compliance). Kewajiban bisa bersumber dari
aturan pelaksanaan tanggungiawab sosial perusahaan, baik yang ditetapkan melalui
Undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, hingga peraturan daerah,
ataupun peraturan yang dibuat berdasarkan kesepakatan antar perusuhaan maupun
lembaga yang melakukan standarisasi produk. Kepatuhan terhadap hukum menjadi
penting, karena dimensi dibuatnya aturan bertujuan agar perusahaan tidak hanya fokus
pada keuntungan bisnis semata, melainkan mampu memberikan kontribusi positif bagi
pembangunan.

C. RELEVANSI TEORI STAKEHOLDER

Apabila dikaitkan dengan dengan teori tanggung jawab sosial dengan aktivitas
perusahaan, maka dapat dikatakan bahwa tanggung jawab sosial lebih menekankan
pada kepedulian perusahaan terhadap kepentingan stakeholder dalam arti luas dari pada
kepedulian perusahaan terbadap kepentingan perusahaan belaka. Dengan demikian
konsep tanggung jawab sosial lebih menekankan pada tanggung jawab perusahaan atas
tindakan dan kegiatan usahanya yang berdampak pada orang-orang tertentu,
masyarakat dan lingkungan di mana perusahaan melakukan aktivitas usahanya
sedemikian rupa sehingga tidak berdampak negatif pada pihak tertentu dalam
masyarakat.

Penetapan CSR sebagai sebuah kewajiban dapat merubah pandangan maupun


perilaku dari pelaku usaha, sehingga CSR tidak lagi dimaknai sekedar tuntutan moral,
teapi diyakinkan sebagai kewajiban perusahaan yang harus dilaksanakan. Kesadaran
ini memberikan makna bahwa perusahaan bukan lagi sebagai entitas yang
mementingkan diri sendiri, dan atau eksklusif dari lingkungan masyarakat, melainkan
sebuah entitas usaha yang wajib melakukan adaptasi kultural dengan lingkungan sosial.
Sehingga tidak berkelebihan jika ke depan CSR harus dimaknai bukan lagi hanya
sekedar responsibility karena bersifat voluntary, tetapi harus dilakukan sebagai
mandatory dalam makna liability karena disertai dengan sanksi.

Konteks tanggung jawab sosial (CSR) dalam hal ini ada kewajiban bertanggung
jawab atas perintah undang-undang, dan memperbaiki atau sebaliknya memberi ganti
rugi atas kerusakan apa pun yang telah ditimbulkan. Tanggung jawab sosiai berada pada
ranah moral, sehingga posisinya tidak sama dengan hukum. Moral dalam tanggung
jawab sosial lebih mengarah pada tindakan lahiriah yang didasarkan sepenuhnya dari
sikap batiniah, sikap inilah yang dikenal dengan "moralitas" yaitu sikap dan perbuatan
baik yang betul-betul tanpa pamrih. Sedangkan tanggung jawab hukum lebih
menekankan pada kesesuaian sikap lahiriah dengan aturan, meskipun tindakan tersebut
secara obyektif tidak salah, barangkali baik dan sesuai dengan pandangan moral,
hukum, dan nilai-nilai budaya masyarakat. Namun demikian kesesuaian saja tidak
dapat dijadikan dasar untuk menarik suatu kesinpulan karena tidak tahu motivası atau
maksud yang mendasarinya.

Saat ini kondisi Indonesia menghendaki adanya CSR sebagai suatu kewajiban
hukum. Hal ini mengingat belum adanya kesadaran moral yang cukup dan. bahkan
seringkali terjadi sesuatu yang diatur saja masih dilanggar, apalagi kalau tidak diatur,
misalnya terjadi perusakan lingkungan, eksploitasi sumber daya alam, tidak membayar
pajak. Kemudian kebanyakan perusahaan juga cenderung membuat jarak dengan
masyarakat sekitar. Apabila situasi dan kondisi yang terjadi masih seperti tersebut di
atas, maka hukum harus berperan. Tanggung jawab perusahaan yang semula adalah
tanggung jawab non hukum (responsibility) akan berubah menjadi taaggung jawab
hukum (liability). Otomatis perusahaan yang tidak memenuhi perundang-undangan
dapat diberi sanksi.

BAB III

KASUS DAN PEMBAHASAN

A. KASUS

Antara Perusahaan Dengan Konsumen


“Iklan Nissan March Masuk Pengadilan”

Konsumen merasa dikelabui iklan. Pengacara produsen anggap iklan sebagai


cara ‘menggoda’ orang untuk membeli produk. Iklan sebuah produk adalah bahasa
pemasaran agar barang yang diperdagangkan laku. Namun, bahasa iklan tidak selalu
seindah kenyataan. Konsumen acapkali merasa tertipu iklan.

Ludmilla Arief termasuk konsumen yang merasa dikelabui saat membeli


kendaraan roda empat merek Nissan March. Jargon ‘city car’ dan ‘irit’ telah menarik
minat perempuan berjilbab ini untuk membeli. Maret tahun lalu, Milla-- begitu
Ludmilla Arief biasa disapa—membeli Nissan March di showroom Nissan Warung
Buncit, Jakarta Selatan.

Sebulan menggunakan moda transportasi itu, Milla merasakan keganjilan. Ia


merasa jargon ‘irit’ dalam iklan tak sesuai kenyataan, malah sebaliknya boros bahan
bakar. Penasaran, Milla mencoba menelusuri kebenaran janji ‘irit’ tersebut. Dengan
menghitung jarak tempuh kendaraan dan konsumsi bensin, dia meyakini kendaraan
yang digunakannya boros bensin.

“Sampai sekarang saya ingin membuktikan kata-kata city car dan irit dari mobil
itu,” ujarnya ditemui wartawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (10/4).

Setelah satu bulan pemakaian, Milla menemukan kenyataan butuh satu liter
bensin untuk pemakaian mobil pada jarak 7,9 hingga 8,2 kilometer (km). Rute yang
sering dilalui Milla adalah Buncit–Kuningan-Buncit. Semuanya di Jakarta Selatan.
Hasil deteksi mandiri itu ditunjukkan ke Nissan cabang Warung Buncit dan Nissan
cabang Halim.

Berdasarkan iklan yang dipampang di media online detik dan Kompas, Nissan
March mengkonsumsi satu liter bensin untuk jarak bensin 21,8 km. Informasi serupa
terdapat di brosur Nissan March. Karena itulah Milla berkeyakinan membeli satu unit
untuk dipakai sehari-hari. “Di iklan itu ditulis berdasarkan hasil tes majalah Autobild
edisi 197 tanpa mencantumkan rute kombinasi,” imbuhnya.
Pihak Nissan melakukan tiga kali pengujian setelah pemberitahuan Milla. Milla
hanya ikut dua kali proses pengujian. Lantaran tak mendapatkan hasil, Milla meminta
dilakukan tes langsung di jalan dengan mengikutsertakan saksi. “Saya berharap
diadakan road test dengan ada saksi,” kata karyawati swasta itu.

Kasus ini akhirnya masuk ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)


Jakarta. Milla meminta tanggung jawab PT Nissan Motor Indonsia (NMI).
Perjuangannya berhasil. Putusan BPSK 16 Februari lalu memenangkan Milla. BPSK
menyatakan NMI melanggar Pasal 9 ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf c Undang-
Undang Perlindungan Konsumen. NMI diminta membatalkan transaksi, dan karenanya
mengembalikan uang pembelian Rp150 juta.

Tak terima putusan BPSK, NMI mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri


Jakarta Selatan. Sidang lanjutan pada 12 April ini sudah memasuki tahap kesimpulan.
Dalam permohonan keberatannya, NMI meminta majelis hakim membatalkan putusan
BPSK Jakarta.

Sebaliknya, kuasa hukum Milla, David ML Tobing, berharap majelis hakim


menolak keberatan NMI. Ia meminta majelis menguatkan putusan BPSK. Dikatakan
David, kliennya kecewa pada iklan produsen yang tak sesuai kenyataan.“Tidak ada
kepastian angka di setiap iklan Nissan March dan tidak ada kondisi syarat tertentu. Lalu
kenapa tiba-tiba iklan itu ke depannya berubah dengan menuliskan syarat rute
kombinasi dan eco-driving. Ini berarti ada unsur manipulasi,” ujarnya usai persidangan.

Kuasa hukum NMI, Hinca Pandjaitan, menepis tudingan David. Menurut


Hinca, tidak ada kesalahan dalam iklan produk Nissan March. Iklan dimaksud sudah
sesuai prosedur, dan tidak membohongi konsumen. “Iklan Nissan jujur, ada datanya
dan rujukannya. Kalau ada perubahan iklan, itu mungkin asumsi merek. Namanya
iklan. Itu kan cara menggoda orang,” pungkasnya.

B. PEMBAHASAN

Dalam kasus ini, pihak Nissan jelas- jelas telah menyalahi aspek moral dengan
melakukan penipuan iklan terhadap konsumen. Karena pihak Nissan telah memberikan
iklan yang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada dan konsumen yang telah membeli
produk tersebut merasa dirugikan.

Anda mungkin juga menyukai