Anda di halaman 1dari 7

BUDAYA ORGANISASI PADA GOOGLE

INC.
 Diterbitkan pada 3 Oktober 2017

Tri Noviantoro
GOOD HABITS FOR A GREAT LIFE

Penulis : Tri Noviantoro

English Version

BUDAYA ORGANISASI PADA GOOGLE INC.

PENDAHULUAN

Budaya organisasi memiliki pengaruh yang kuat terhadap organisasi dan manajemen, yang
mana muncul secara alami dan nampak pada konten yang terdapat di dalamnya. Budaya
organisasi didefinisikan sebagai sebuah sistem asumsi, nilai, norma-norma, dan sikap, yang
termanifestasi melalui simbol dimana anggota-anggota organisasi telah mengembangkannya
dan mengadopsi melalui pengalaman bersama yang dapat membantu mereka untuk
menentukan makna dan dunia di sekitar merekia dan bagaimana mereka bersikap. Asumsi,
nilai, norma, dan sikap yang dibagikan oleh anggota-anggota organisasi secara signifikan
membentuk skema interpretatif mereka. Melalui skema interpretatif, anggota-anggota
organisasi membentuk makna di dalam dan di luar organisasi serta memahami realitas yang
ada di sekitar mereka (Fiske, 1991).

Perilaku, tindakan, dan interaksi anggota-anggota organisasi muncul dari pemaknaan bahwa
realitas yang dimiliki organisasi bagi mereka. Budaya organisasi merupakan bentuk dari
skema interpretatif kolektif yang dibagikan oleh anggota-anggotanya, dimana mereka
membentuk pemaknaan terhadap suatu kejadian, orang, dan peristiwa di dalam dan di luar
organisasi dengan cara yang mirip dan memperlakukan mereka dengan mirip (Schein, 2004).
Google adalah salah satu dari beberapa perusahaan yang berhasil memadukan inovasi
teknologi dengan budaya organisasi yang kuat.
STUDI KASUS

Google (NASDAQ: GOOG) merupakan salah satu perusahaan yang paling mengagumkan di
seluruh dunia, banyak googling, sebuah istilah yang digunakan untuk mencari informasi pada
web. Apa yang dimulai dari proyek 2 orang mahasiswa lulusan Stanford University – Larry
Page dan Sergey Brin – pada tahun 1996, Google menjadi web search engine yang paling
sering digunakan di internet dengan 1 milyar pencarian per hari pada tahun 2009, dan juga
aplikasi inovatif lainnya seperti Gmail, Google Earth, Google Maps, dan Picasa. Google
bertumbuh dari hanya 1 karyawan yang bekerja di garasi di Palo Alto, menjadi 10.000
karyawan yang beroperasi di seluruh dunia pada tahun 2009.

Google berusaha beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip yang dapat dikenali dari pendirinya.
Dalam dunia yang penuh sesak dengan search engine, mereka mungkin perusahaan pertama
yang melibatkan user. Pernyataan misi mereka mengungkapkan komitmen mereka untuk
kebutuhan end-user: “To organize the world’s information and to make it universally
accessible and useful.” Sementara perusahaan lainnya berfokus pada pemasaran situs mereka
dan meningkatkan penerimaan lewat iklan, Google tidak memenuhi halamannya dengan
iklan-iklan atau “gangguan” untuk penggunanya, tetapi hanya menampilkan halaman kosong
yang hanya terdiri dari logo perusahaan dan kotak pencarian. Google menghindari pop-up
advertising, karena mereka merasa hal ini tidak membuat penggunanya nyaman. Mereka
menilai bahwa semua iklan dapat dimaskkan ke dalam kategori “sponsored links”. Ini
menekankan pada peningkatan pengalaman pengguna dan selalu menyisipkannya sebelum
berpikir mendapatkan uang dari jangka pendek, dan ini menjadi resep bagi kesuksesannya.

Menjaga karyawan agar tetap bahagia juga merupakan nilai yang mereka anut. Google
menciptakan lingkungan kerja yang unik yang menarik, memotivasi, dan mempertahankan
karyawan-karyawan terbaiknya. Google menduduki peringkat nomor 1 “Best Place to Work
For” oleh majalah Fortune pada tahun 2007 dan peringkat ke-4 pada tahun 2010. Ini tidak
mengejutkan apabila kita melihat lebih dekat bagaimana Google memperlakukan
karyawannya. Di kampus mereka di Mountain View, California yang disebut Googleplex,
karyawan ditraktir dengan pilihan menu-menu seperti sushi bars dan espresso stations.
Nyatanya, banyak karyawan yang komplain bahwa ketika mereka mulai kerja di Google,
mereka cenderung mengalami kenaikan berat badan 10-15 pon! Karyawan memiliki akses
untuk gym, shower facilities, video games, on-site child care, dan dokter. Google
memberikan 4 bulan cuti paternal dengan 75% bayaran penuh dan penawaran sebesar $500
untuk tunjangan makan bagi keluarga yang memiliki bayi baru lahir. Kebijakan tersebut
membuat karyawan merasa bahwa mereka diperlakukan dengan baik dan kebutuhan mereka
terpenuhi. Lebih lagi, mereka memberikan kontribusi kerja dan merasa bahwa mereka
bekerja di tempat kerja yang unik dan berbeda dari manapun yang selama ini pernah mereka
rasakan.

Dan lagi, Google mendorong karyawan untuk berani mengambil resiko dan inovasi. Hal ini
dilakukan pertama-tama ketika vice president perusahaan melakukan kesalahan anggaran dan
meminta maaf atas kesalahan tersebut, dia diberi komentar oleh Larry Page, yang
memberikan selamat atas keberaniannya melakukan kesalahan dan mengumumkan kepada
seluruh orang bahwa mereka harus bergerak cepat dan banyak bertindak, jangan terlalu
berhati-hati dan hanya bertindak sedikit. Sikap terhadap tindakan cepat dan menerima
kerugian atas hasil kesalahan merupakan konsekuensi yang wajar dari sebuah pekerjaan dan
menjelaskan mengapa Google memiliki kinerja lebih unggul ketimbang pesaingnya seperti
Microsoft dan Yahoo! Salah satu tantangan bagi Google adalah melakukan ekspansi bidang
baru di luar bisnis web search engine. Untuk mendukung gagasan ini, Google mendorong
semua ahlinya untuk mencurahkan 20% waktu kerjanya untuk menghasilkan ide tersebut.

Budaya Google tercermin dalam pengambilan keputusan mereka. Keputusan di Google


dibuat dalam tim. Bahkan manajemen perusahaan yang dipegang oleh trio : Larry Page dan
Sergey Brin merekrut Eric Schmidt untuk bertindak sebagai CEO perusahaan, dan mereka
melaporkan ke perusahaan melalui konsensus. Dengan kata lain, Google bukanlah merupakan
perusahaan yang membuat keputusannya oleh seorang senior dan kemudian
mengimplementasikannya ke bawahan. Hal ini umum untuk beberapa tim kecil yang
menyerang tiap-tiap masalah dan bagi karyawannya untuk berusaha mempengaruhi satu sama
lain menggunakan persuasi dan data yang rasional.

Perasaan yang berani memiliki dampak yang kecil pada bagaimana keputusan dibuat. Pada
beberapa rapat, orang-orang melaporkan bahwa mereka tidak diijinkan untuk berkata “ saya
pikir…” tetapi harus mengatkan “berdasarkan data…”. Untuk memfasilitasi tim kerja,
karyawan bekerja pada lingkungan kantor yang terbuka dimana kantor private hanya sedikit
disediakan. Bahkan Kai-Fu Lee, karyawan tersohor yang meninggalkan Microsoft tidak
memiliki ruangan pribadi, bahkan harus berbagi kubikel dengan dua karyawan lain.
Bagaimana Google memelihara budaya yang unik tersebut? Dalam sebuah perusahaan yang
menekankan untuk merekrut orang yang tercerdas, mereka akan menarik ego besar yang
mungkin sulit bekerja dengan mereka. Google menyadari bahwa kekuatannya berasal dari
nilai “perusahaan kecil” yang menekankan pada keberanian mengambil resiko, ketangkasan,
dan kerjasama. Dengan demikian, mereka melakukan proses perekrutan secara serius.
Perekrutan sangatlah kompetitif dan untuk bekerja di Google tidak sama dengan mendaftar di
sebuah universitas, yang diminta untuk menulis essay atau menceritakan bagaimana rencana
pekerjaan mereka di masa depan.

Baru-baru ini, mereka mentargetkan karyawan baru yang potensial menggunakan billboard
yang memiliki fitur brain teaser yang mengarahkan kandidat potensial pada Website.
Masing-masing calon diwawancarai sebanyak delapan orang pada beberapa tahap. Melalui
penyaringan ini, mereka berusaha memilih karyawan Googley yang akan berbagi nilai-nilai
perusahaan, melakukan tingkat tinggi dan disukai oleh orang lain dalam perusahaan.
Akankah budaya ini dapat bertahan dalam jangka panjang? Mungkin terlalu dini untuk
dikatakan, bahwa perusahaan didirikan pada tahun 1998. Pendirinya menekankan bahwa
initial public offering (IPO) tidak akan mengubah budaya dan mereka tidak memperkenalkan
lebih banyak aturan atau mengubah cara hal-hal dilakukan di Google.

ANALISIS

Sejumlah peneliti telah melakukan kajian seputar konsep budaya organisasi. Walter R.
Freytag mendefinikan budaya organisasi sebagai

“ ... a distint and shared set of conscious and unconscious assumptions and values that binds
organizational members together and prescribes appropriate patters of behavior.”[1]

Freytag menitikberatkan pada asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang disadari atau tidak disadari
yang mampu mengikat kepaduan suatu organisasi. Asumsi dan nilai tersebut menentukan
pola perilaku para anggota di dalam organisasi.
Peneliti lain seperti Larissa A. Grunig, et.al., mendefinisikan budaya organisasi sebagai

“ ... the sum total of shared values, symbols, meaning, beliefs, assumption, and expectations
that organize and integrate a group of people who work together.”[2]

Definisi Grunig et.al. ini mirip dengan yang telah disampaikan Freytag sebelumnya, yaitu
bahwa budaya organisasi adalah totalitas nilai, simbol, makna, asumsi, dan harapan yang
mampu mengorganisasikan suatu kelompok orang yang bekerja secara bersama-sama.

Definisi lain, dan ini merupakan definisi dari seorang perintis teori budaya organisasi,
diajukan oleh Edgar H. Schein. Schein menyatakan budaya organisasi sebagai

“.... a pattern of shared basic assumption that was learned by a group as it solved its
problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be
considered valid and, therefore, to be taught to new member as the correct way to perceive,
think, and feel in relation to those problem.”[3]

Schein menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan sebuah pola asumsi-asumsi dasar
yang bersifat valid dan bekerja di dalam organisasi. Serangkaian asumsi dasar dapat
dipelajari oleh para anggota organisasi. Budaya organisasi mampu bertindak sebagai pemberi
solusi atas masalah organisasi, berperan selaku adaptor terhadap faktor-faktor yang
berkembang di luar organisasi, serta dalam melakukan integrasi internalnya dari para
anggotanya.

Definisi yang lebih rinci mengenai budaya organisasi diberikan oleh Matt Alvesson, bahwa
saat bicara mengenai budaya organisasi, maka

“ ... seems to mean talking about the importance for people of symbolism – of rituals, myths,
stories and legends – and about the interpretation of events, ideas, and experiences tha are
influenced and shaped by the groups within they live. I will also, however, take
organizational culture to include values and assumptions about social reality ...”[4]

Sintesis dari pemahaman tersebut adalah budaya organisasi merupakan totalitas nilai, simbol,
makna, asumsi, dan harapan yang dapat memberikan solusi bagi faktor-faktor yang
berkembang di luar organisasi sekaligus mampu menjadi perekat bagi anggota-anggotanya.

Google mempertahankan budaya organisasionalnya pada istilah sederhana: futuristik dan


tidak mementingkan diri sendiri, akan tetapi pemikiran tersebut dibagikan dan diikuti, seperti
yang dikatakan oleh salah seorang pendirinya, Sergey Brin bahwa dia tidak berpikir bahwa
budaya merupakan sasaran, tetapi justru berpikir bagaimana untuk meningkatkan budaya.
Lebih lagi, seperti yang dikatakan culture chief officer Google, Stacy Savides Sullivan bahwa
dia mencirikan budaya sebagai sesuatu yang berorientasi pada tim, sangat kolaboratif dan
mendorong orang untuk berpikir non-tradisional, berbeda dari mana mereka pernah bekerja
sebelumnya – bekerja dengan integraitas dan untuk kebaikan perusahaan maupuns eluruh
dunia, yang terikat pada keseluruhan misi untuk mewujudkan semua informasi dapat diakses
di seluruh dunia (berdasarkan Strategi global market Google menyadari bahwa budaya
organisasional harus dimodifikasi sesuai dengan budaya nasional sehingga membuatnya
senantiasa menjadi yang terbaik dalam industri. Dengan meningkatnya globalisasi, kinerja
dan nilai-nilai karyawan yang disejajarkan dengan strategi perusahaan serta manipulasi
budaya untuk mencapai sasaran organisasional (Ogbonna and Harris, 2002).
Secara organisasional, Google memelihara atmosfer causal dan demokratis, menghasilkan
diferensiasinya sebagai flat company. Perusahaan yang tidak dicirikan dengan banyaknya
personel pada middle management dan otoritas dari upper management, akan tetapi sangat
sulit untuk membedakannya pada kategori terpisah. Tim merupakan seluruh anggota dengan
otoritas dan tingkat otonomi yang sama.

Tekno-demokrasi merupakan hal yang dipelihara oleh Google. Google mempertahankan


aspek budaya yang unik:

 Sentuhan lokal seperti gondola di Zurich, mengekspresikan lokasi dan kepribadian


masing-masing kantor yang unik.
 Anjing, lampu lava, dan kursi pijat.
 Double rooms (hanya ada sangat sedikit single office) dengan tiga atau empat orang
anggota.
 Foozball, darts, beragam video games, pianos, meja ping pong, lap pools, gyms yang
juga terdapat yoga dan kelas dansa.
 Kelompok-kelompok sosial seperti kelas mediasi, klub film, kelompok pencicip wine,
dan klub salsa.
 Makanan sehat yang beragam di café, tempat duduk outdoor
 Snack dan minuman untuk semua karyawan sepanjang hari

Budaya Google adalah yang paling positif, berpengaruh, mencakup semua, memacu
produktivitas, yang dapat dilihat oleh dunia.

Etzioni mengajukan tipologi organisasinya yaitu : (1) Organisasi Koersif; (2) Organisasi
Utilitarian; dan (3) Organisasi Normatif. Organisasi Koersif adalah organisasi di mana para
anggotanya terperangkap dalam alasan fisik dan ekonomi sehingga harus mematuhi apapun
peraturan yang ditimpakan oleh otoritas. Organisasi Utilitiarian adalah organisasi di mana
para anggota dimungkinkan untuk bekerja yang adil untuk hasil yang adil pula serta adanya
kecenderungan untuk mematuhi beberapa aturan yang esensial di samping para pekerja
menyusun norma dan aturan yang melindungi diri mereka sendiri. Organisasi Normatif
adalah organisasi di mana para individunya memberi kontribusi pada komitmen karena
menganggap organisasi adalah sama dengan tujuan diri mereka sendiri.

Berdasarkan tipologi organisasi yang diajukan oleh Etizoni, maka Google termasuk
organisasi normatif karena semua anggota organisasi memiliki visi yang sama dengan
Google, yaitu berusaha untuk mengedepankan inovasi dan semangat untuk memajukan
organisasi menjadi leader dalam dunia dot-com. Sedangkan tipe budaya perusahaan menurut
Cameron dan Quinn, Handy diantaranya yaitu:

1. Budaya Kekuasaan (Power Culture). Merupakan sumber kekuatan inti yang


menonjolkan kontrol. ada beberapa peraturan atau prosedur dan atmosfer kompetitif,
berorientasi pada kekuatan, dan politis.
2. Budaya Peran (Role Culture). Pekerjaan dikontrol oleh prosedur dan peraturan. Peran
atau deskripsi jabatan adalah lebih penting daripada orang yang mengisi jabatan
tersebut.
3. Budaya Pendukung (Support Culture). Tujuannya bersama-sama membawa orang
yang tepat dan membiarkan mereka melakukan tugas. Pengaruhnya lebih didasarkan
pada kekuatan ahli daripada kekuatan posisi atau pribadi.
4. Budaya Orang (People Culture). Individu adalah titik utama, perusahaan hanya ada
untuk melayani individu yang ada dalam perusahaan.

Berdasarkan tipe-tipe tersebut, maka budaya perusahaan yang berlaku pada Google adalah
People Culture. Hal ini dinyatakan pada pernyataan Larry Page selaku CEO Google, yang
mengakui bahwa:

“Orang-orang di balik layarlah yang membuat Google menjadi perusahaan seperti saat ini.
Kami memperkerjakan orang-orang yang cerdas dan tekun, dan kami lebih mengutamakan
kemampuan di atas pengalaman. Meskipun Karyawan Google berbagi tujuan dan visi yang
sama untuk perusahaan, kami menerima semua orang dari latar belakang yang berbeda dan
dengan keragaman bahasa, yang mencerminkan pengguna global yang kami layani. Di luar
pekerjaan, Karyawan Google melakukan bermacam hobi, mulai dari bersepeda hingga
beternak lebah, mulai dari bermain frisbee hingga berdansa foxtrot.

Kami berusaha mempertahankan budaya terbuka yang sering kali dikaitkan dengan
perusahaan rintisan, yang mana setiap orang merupakan kontributor aktif dan merasa
nyaman untuk berbagi ide serta opini. Dalam pertemuan wajib mingguan kami (“TGIF”)—
tidak termasuk yang lewat email atau di kafe—para Karyawan Google mengajukan
pertanyaan langsung kepada Larry, Sergey, serta eksekutif lainnya mengenai masalah
perusahaan, berapa pun banyaknya. Kantor dan kafe kami dirancang untuk mendorong
interaksi antara Karyawan Google di dalam tim dan antartim lainnya, serta untuk
menghidupkan percakapan tentang pekerjaan serta bermain.”

Kultur Google sangat informal. Googlers bekerja secara berkelompok di tempat yang sangat
padat, dengan tiga atau empat staff berbagi tempat dengan sofa dan anjing. Hierarki korparat
hampir tidak kelihatan dan karyawan mengenakan pakaian yang tidak seragam.

KESIMPULAN

Google menciptakan budaya kerja yang unik, yang menarik, memotivasi, dan
mempertahankan pemain terbaik di bidangnya. Google mendorong karyawan untuk berani
mengambil resiko dan melakukan inovasi. Budaya Google tercermin dalam setiap
pengambilan keputusannya. Keputusan di Google dibuat dalam tim. Bahkan manajemen
perusahaan menunjuk orang ketiga, yaitu Eric Schmidt untuk bertindak sebagai CEO, mereka
memimpin perusahaan berdasarkan konsensus.

Sintesis dari pemahaman budaya organisasi merupakan totalitas nilai, simbol, makna, asumsi,
dan harapan yang dapat memberikan solusi bagi faktor-faktor yang berkembang di luar
organisasi sekaligus mampu menjadi perekat bagi anggota-anggotanya. Berdasarkan tipologi
organisasi yang diajukan oleh Etizoni, maka Google termasuk organisasi normatif karena
semua anggota organisasi memiliki visi yang sama dengan Google, yaitu berusaha untuk
mengedepankan inovasi dan semangat untuk memajukan organisasi menjadi leader dalam
dunia dot-com. Sedangkan tipe budaya perusahaan menurut Cameron dan Quinn, Handy
maka budaya perusahaan yang berlaku pada Google adalah People Culture.
REFERENSI

Case Study Google.pdf

Edgar H. Schein, Organizational Culture and Leadership, 3rd Edition (San Fransisco : John
Wiley & Sons, Inc., 2004) p.17.

Fiske, S.T., Taylor, S.E., (1991). Social cognition. New york: McGraw hill.

Larissa A. Grunig, James E. Grunig, David M. Dozier, Excellent Public Relations and
Effective Organizations: A Study of Communication Management in Three Countries (New
Jersey : Lawrence Erlbaum Associates, Inc., Publishers, 2002) p.282.

Mats Alvesson, Understanding Organizational Culture (London : SAGE Publications Ltd.,


2002) p.3.

Schein E. (2004). Organizational culture and leadership. Tousand Oaks: Sage publications.

SerrinErdogan and Talya Bauer to accompany Carpenter, M., Bauer, T., & Erdogan, B.
(2009). Principles of management (1st ed.). New

Walter R. Freytag, “Organizational Culture” dalam Kevin R. Murphy and Frank E. Saal,
eds., Psychology in Organizations: Integrating Science and Practice (New Jersey : Lawrence
Erlbaum Associates, Inc., 1990) p.181.

Weber, Stephan. (n.d). Organizational behaviour - Google corporate culture in Perspective.


Scholarly Paper. Verlag fur Academische.

York: Flat World Knowledge. Based on information from Elgin, B., Hof, R. D., & Greene, J.
(2005, August 8). Case in Point: Google Creates Unique Culture

[1] Walter R. Freytag, “Organizational Culture” dalam Kevin R. Murphy and Frank E. Saal,
eds., Psychology in Organizations: Integrating Science and Practice (New Jersey : Lawrence
Erlbaum Associates, Inc., 1990) p.181.

[2] Larissa A. Grunig, James E. Grunig, David M. Dozier, Excellent Public Relations and
Effective Organizations: A Study of Communication Management in Three Countries (New
Jersey : Lawrence Erlbaum Associates, Inc., Publishers, 2002) p.282.

[3] Edgar H. Schein, Organizational Culture and Leadership, 3rd Edition (San Fransisco :
John Wiley & Sons, Inc., 2004) p.17.

[4] Mats Alvesson, Understanding Organizational Culture (London : SAGE Publications


Ltd., 2002) p.3.

Anda mungkin juga menyukai