Anda di halaman 1dari 13

Keuntungan Sebagai Tujuan

Perusahaan
Etika Bisnis

Disusun Oleh :

M. Fatchurrochman A (141170177)
Rahayu Rohmi Utami (141170288)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
YOGYAKARTA
2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tujuan sebuah perusahaan adalah untuk


memperoleh keuntungan atau laba yangdapat di pergunakan untuk kelangsungan hidup. Men
dapatkan keuntungan atau laba dan besar kecilnya laba sering menjadi ukuran
kesuksesan suatu manajemen. Haltersebut didukung oleh kemampuan manajemen di
dalam melihat kemungkinan dankesempatan dimasa yang akan datang.
Manajemen dituntut untuk menghasilkan keputusan-
keputusan yang menunjangterhadap pencapaian tujuan perusahaan serta mempercepat
perkembangan perusahaan.Manajemen memerlukan suatu perencanaan untuk
perusahaan dalam mencapaitujuannya tersebut. Ukuran yang sering dipakai
untuk menilai sukses tidaknyamanajemen suatu
perusahaan adalah dari laba yang diperoleh perusahaan.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah merupakan hal-hal apa saja yang akan dikaji oleh peneliti. Berdasarkan
latar belakang diatas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:

1. Apa pengertian dari keuntungan ?

2. Apa itu maksimalkan keuntungan sebagai cita-cita kapitalisme liberal ?

3. Apa itu masalah pekerja anak ?

4. Apa itu relativasi keuntungan ?

5. Apa saja manfaat bagi stakeholder ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian tentang keuntungan.

2. Untuk mengetahui maksimalkan keuntungan.

3. Untuk mengetahui apa itu masalah pekerja anak.

4. Untuk mengetahui apa itu relativasi keuntungan

5. Untuk mengetahui manfaat bagi stakeholder.


BAB II
PEMBAHASAN
A. Keuntungan Sebagai Tujuan Perusahaan
Keuntungan termasuk definisi bisnis. Sebab, apa itu bisnis? Dengan cara sederhana tapi
cukup jelas, bisnis sering dilukiskan sebagai “to provide products or services for a
profit”. Menyediakan suatu produk atau jasa secara percuma tidak merupakan bisnis. Itulah
sebabnya bisnis selalu berbeda dengan karya amal. Menawarkan sesuatu dengan percuma
masih bisa dianggap bisnis, selama terjadi dalam rangka promosi, untuk memperkenalkan
sebuah produk baru atau untuk mengiming-iming publik. Tetapi, kalau begitu, tetaplah
tujuannya mencari calon pembeli dan karena itu tidak terlepas dari pencarian keuntungan.
Dalam rangka bisnis, pemberian dengan gratis hanya dilakukan untuk kemudian menjual
barang itu dengan cara besar-besaran.
Tidak bisa dikatakan juga bahwa setiap kegiatan ekonomi menghasilkan keuntungan.
Keuntungan atau profit baru muncul dengan kegiatan ekonomi yang memakai sistem
keuangan. Dalam penukaran barang dengan barang (barter), tidak diperoleh profit, walaupun
kegiatan itu,bisa menguntungkan untuk kedua belah pihak. Barangkali bisa dikatakan, disinilah
letaknya perbedaan antara perdagangan (trade) dan bisnis. Perdagangan mempunyai arti lebih
luas, hingga meliputi juga kegiatan ekonomi seperti barter. Bisnis merupakan perdagangan
yang bertujuan khusus memperoleh keuntungan finansial. Bekerja untuk majikan merupakan
kegiatan ekonomi (berbeda dengan bekerja sebagai sukarelawan), tetapi gaji yang diperoleh
tidak dianggap sebagai profit. Robert Solomon benar, bila ia menekankan bahwa keuntungan
atau profit merupakan buah hasil suiatu transaksi moneter. Profit selalu berkaitan dengan
kegiatan ekonomis, dimana kedua belah pihak menggunakan uang.
Bisa ditambah lagi, profit diperoleh tidak kebetulan tapi berkat upaya khusus dari orang
yang mempergunakan uang. Uang yang diperoleh berdasarkan kupon undian atau karena main
judi tidak disebut profit, berbeda dengan uang yang dihasilkan dengan perdagangan saham
(walaupun disini beberapa perkembangan baru seperti derivativesoleh banyak orang dinilai
sudah mendekati perjudian). Profit berkonotasi ganjaran bagi upaya yang berhasil. Tetapi hal
itu tidak berarti bahwa profit seluruhnya tergantung pada kepiawaian si pebisnis. Untuk
sebagian perolehan profit tergantung juga pada faktor mujur atau sial. Sebagaimana pelaut
tidak pernah dapat meramalkan perkembangan cuaca dengan sempurna, demikian juga
pebisnis tidak bisa menguasai semua seluk beluk keadaan ekonomi. Karena itu diadakannya
transaksi keuangan yang bisa menghasilkan keuntungan, selalu mengandung juga risiko untuk
mengalami kerugian. Jika disini kita berefleksi tentang profit dalam bisnis, tidak boleh
dilupakan bahwa selalu juga ada kemungkinan kerugian. Faktor risiko dalam bisnis tidak boleh
diabaikan.
Karena hubungan dengan transaksi uang itu, perolehan profit secara khusus
berlangsung dalam konteks kapitalisme. Menurut pandangan yang tersebar agak luas,
kapitalisme meliputi tiga unsur pokok: lembaga milik pribadi, praktek pencarian keuntungan,
dan kompetisi dalam sistem ekonomi pasar bebas. Pandangan ini sudah bisa ditemukan pada
ekonom Austria-Amerika yang terkenal, Joseph Schumpeter, dan masih berkumandang pada
pengarang modern tentang etika bisnis sekarang ini. Tiga unsur ini tentu saja berkaitan erat
satu sama lain. Keuntungan hanya bias diperoleh dengan menggunakan modal yang menjadi
milik pribadi dan perolehan keuntungan khususnya pada skala besar-besaran hanya
dimungkinkan dalam rangka pasar bebas. Kalau akumulasi modal merupakan inti kapitalisme,
maka perolehan keuntungan dalam hal ini memegang peranan besar, karena justru dengan
meningkatkan laba atau keuntungan bobot modal bertambah besar, yang lalu dapat
diinvestasikan dalam usaha produktif, sehingga menghasilkan kekayaan lebih besar lagi, dan
seterusnya.
Keterikatan dengan keuntungan itu merupakan suatu alasan khusus mengapa bisnis
selalu ekstra rawan dari sudut pandang etika. Tentu saja, organisasi yang not for profit pun
pasti sewaktu-waktu berurusan dengan etika. Perspektif baik atau buruk secara moral selalu
muncul, jika manusia bertemu dengan sesama dalam konteks apa saja. Tetapi perusahaan
sebagai organisasi for profit menampilan lebih banyak masalah etis dan bobot moralnya
seingkali lebih berat. Kalau keuntungan menjadi tujuan bisnis, pebisnis mudah tergoda untuk
menempuh jalan pintas saja, guna mancapai tujuannya dengan lebih cepat dan lebih mudah.
Daripada menjalankan bisnis dengan sabar serta jujur, sambil memperhatikan semua rambu
etika yang perlu, keuntungan segera dan mungkin malah lebih besar dapat diperoleh dengan
mencuri atau menipu. Tetapi hal seperti itu tidak boleh dilakukan dan dengan itu kita
menjumpai kenyataan yang disebut etika. Keterkaitan dengan keuntungan itu agaknya menjadi
juga alasan utama mengapa bisnis dimasa lampau seringkali dilihat dengan cara negative. Dan
sekarang pun pencarian keuntungan menjadi factor terpenting yang mengakibatkan banyak
orang memandang dengan syak wasangka permainan big money oleh korporasi-korporasi
internasional yang raksasa pada taraf global. Jika meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa
batas menjadi upaya pertama dari bisnis, tidak dapat dielakan keberatan dari pihak etika.
1. Maksimalisasi keuntungan sebagai cita-cita kapitalisme liberal
Profit maximization atau maksimalisasi keuntungan merupakan tema penting dalam ilmu
manajemen ekonomi. Banyak buku pegangan manajemen ekonomi menggarisbawahi factor
ini dengan dengan tekanan besar. Metode kuantitatif yang dipakai dalam manajemen ekonomi
mengandaikan keuntungan sebagai tujuan perusahaan. Ekonomi terapan justru mencapai
coraknya sebagai ilmu yang sistematis dan memiliki kerangka logis yang ketat, karena hanya
memandang keuntungan sebagai tujuan perusahaan, sambil melewati semua tujuan lain yang
mungkin.
Kalau memaksimalkan keuntungan menjadi satu-satunya tujuan perusahaan, dengan
sendirinya akan timbul keadaan yang tidak etis. Mengapa begitu? Sekurang-kurangnya karena
alasan bahwa dalam keadaan semacam itu karyawan diperalat begitu saja. Jika keuntungan
menjadi satu-satunya tujuan, semuanya dikerahkan dan dimanfaatkan demi tercapainya tujuan
itu, termasuk juga karyawan yang bekerja dalam perusahaan. Akan tetapi, memperalat
karyawan karena alasan apa saja berarti tidak menghormati mereka sebagai manusia. Dengan
itu dilanggar suatu prinsip etis yang paling mendasar: kita selalu harus menghormati martabat
manusia. Immanuel Kant, filsuf Jerman abad ke-18, telah melihat bahwa menghormati
martabat manusia sama saja dengan memperlakukan dia sebagai tujuan. Menurut dia, prinsip
etis yang paling mendasar dapat dirumuskan sebagai berikut: “Hendaklah memperlakukan
manusia selalu juga sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah sebagai sarana belaka”.
Dalam perumusan yang termasyhur ini perlu kita perhatikan secara khusus dua kata yang
barangkali tidak mencolok, namun sangat penting, yaitu” juga” dan “belaka”. Dalam macam-
macam situasi, seorang manusia dipakai demi tercapainya tujuan orang lain. Direktur
mempergunakan sekretarisnya demi tujuannya. Dan semua karyawan dalam perusahaan
dipekerjakan untuk merealisasikan tujuan perusahaan. Tetapi disamping membantu untuk
mewujudkan tujuan perusahaan, para karyawan harus diperlakukan juga sebagai tujuan sendiri.
Mereka tidak boleh dipergunakan sebagai sarana belaka. “Sarana” dalam arti: jalan yang
menuju ke tujuan (means). Mereka tidak boleh dimanfaatkan semata-mata untuk mencapai
tujuan. Misalnya, mereka harus dipekerjakan dalam kondisi kerja yang aman serta sehat dan
harus diberikan gaji yang pantas.
Sebuah benda bisa dipakai sebagai sarana belaka. Di sini etika tidak diangkat bicara.
Tetapi manusia tidak pernah boleh diperalat, dan hal itu pasti terjadi, bila keuntungan dijadikan
satu-satunya tujuan perusahaan.
Tentu saja, para ekonom akan menjelaskan bahwa maksimalisasi keuntungan sebagai
tujuan perusahaan tidak boleh dimengerti secara harfiah dan pasti tidak boleh ditasfirkan
sebagai sebuah pernyataan moral. Maksimalisasi keuntungan hanya dimaksud sebagai sekedar
model ekonomis yang diharapkan akan memberi arah kepada strategi ekonomis yang bisa
berhasil. Salah besar kalau orang mengukurnya dengan kategori-kategori etika. Model
semacam itu selalu berjalan pada taraf abstrak, artinya dengan tidak memperhatikan sekian
banyak faktor yang membentuk kenyataan konkrit, termasuk kedudukan serta keadaan para
karyawan dalam suatu perusahaan. Karena itu strategi manajemen yang berdasarkan model ini
tidak perlu bertantangan dengan kebijakan yang melindungi hak karyawan, umpamanya.
Dalam kenyataan kongrit, strategi ini tidak mengalami kesulitan untuk mnyesuaikan diri
dengan hak dan peraturan yang berlaku.
Menjelaskan para ekonom yang bernada protes ini dapat dimaklumi. Jika mereka
berbicara tentang maksimalisasi keuntungan, hal itu tidak perlu dimengerti secara kongkret,
sampai meliputi semua seluk beluk kegiatan eknomis, apalagi bertentangan dengan norma
moral tetapi kita juga tidak boleh melupakan masa lampau. Sejarah mencatat bahwa pada era
industrialisasi para pekerja deperalat dan diperas dengan cara yang sangat tidak manusaiwi.
Industri sebagai cara berproduksi dengan memakai mesin pada skala besar-besaran merupakan
fenomena baru pada waktu itu. Untuk menjalankan mesin-mesin ditarik pekerja dari daerah
pertanian yang miskin. Keadaan ini pertamakali muncil di inggris pada akhir abad ke-18 dan
terutama berkembang dibidang tekskil (katun dan wol), baja, dan pertambangan batu bara. Dari
1760 – 1830 revlusi industri praktis terbatas pada inggris saja. Untuk memaksimalkan
keuntungan, tenaga buru dihisap begitu saja, sungguh deperalat, upah yang diberikan sangat
rendah, hari kerja panjang sekali, tidak ada jaminan kesehatan, jika buru sakit ia sering
diberhentikan, dalam keadaan lain pun buru bisa diberhentikan dengan semena-mena, banyak
yang dipakai tenaga, wanita dan anak dinawah umur, karena kepada mereka bisa diberikan
upah lebih rendah lagi dan mereka tidak mudah memberontak, dan seterusnya. Pada awal
industrialisasi kaum buruh bekerja dalam sweatshops (tempat keringa), yaitu tempat kerja
dimana mereka harus bekerja dalam kondisi tidak pantas dan dengan imbalan yang terlalu
rendah sastrawan inggris yang populer, Charles Dickens (1812-1870), yang sebagai anak harus
bekerja setelah ayahnya disekap dalam penjara kerena tidak sanggup melunasi utangnya,dalam
nvel-novelnya melukiskan kemiskinnan dan penderitaan kaum buruh industri.Orang jermn
yang menjadi aktivis,komunis dan kawan seperjuangan Karl Max,Friedrich Engels (1820-
1895),termasuk pengarang yang melukiskan keadaan menyedihkan kaum buruh inggris dengan
bukunya Die Lage der arbeitende Klasse in Engeland (1845).Engels cukup lama tinggal di
inggris dalam rangka memimpin cabang dari usaha tekstil milik ayahnya di Manchester.
Nasib buruk anak merupakan prtotipe dari penderitaan kaum buruh pada permulaan
industrialisasi. Gerakan sosialisme berhasil sedikit demi sedikit memperbaiki kaum buruh.
Dengan bersatu kamu buruh bisa menuntut haknya. Serikat-serikat buruh yang pertama
dibentuk juga di inggris, tempat persemayan untuk revolusi industri. Mula-mula pemerintah
dan industri bersikap curiga dan bahkan bermusuhan. Gerakan organisasi buruh berkembang
sebagai kekutan politik dengan terbentuknya partai sosialisasi. Lama kelamaan dihasilkan
perbaikan bagi kaum buruh. Di inggris pada 1847 ditentukan peraturan hukum yang berhasil
dengan efektif membatasi jam kerja dalam pabrik untuk wanita dan anak sampai 10/hari. Marx
dan Engels menyebut “the Ten Hours bill” ini dalam manivesto, komunis, tetapi peraturan ini
leh mereka tentu tidak menyentuh akar penindasan kaum buruh. Di Belanda pada 1874
diberlakukan UU yang melarang anak dibawah umur 12 Tahun bekerja (di Belanda selalu
dipandang sebagai permulaan sistem jamina sosial dengan nama “het kinderwetje van Van
houten”). Tahun 1920-aninternational labour Organisation ( ILO) yang baru terbentuk,
menentukan sebagai standar bekerja 8 jam sehari dan 48 jam Seminggu dan seterusnya. Di
negara-negara industri yang maju akhirnya dibentuk negara kesejahteraan dengan sistem
jaminan sosial yang sudaha dilukiskan dalam BAB 4.
Studi sejarah menunjukan bahwa maksimalisasi keuntungan sebagai tujuan usaha
ekonomis memang bisa membawa akibat kurang etis. Hal itu sunggu berlangsung dalam
Kapitalisme Liberal yang melatarbelakangi industrialisasi modern di inggris dan negar-negara
barat lainnya. Melalui perjuangan panjang dan berat negar-negara industri perlakuan kurang
etis terhdap kaum buruh lama-kelamaan teratasi. Namaun demikian hal itu tidak mustahil tidak
terjadi juga, karena upayah-upayah yang dinegara maju telah menghindari terulangnya
ketidakberesan kapitalisme liberal, dinegara berkembang masih lemah seperti undang-undang
perburuhan yang baik, kebebasan serikat buruh, jaminan sosial, asuransi kesehatan, dan
sebagainya. Kini industri baru sebetulnya tidak boleh di kembangkan lagi tampa sekaligus
mengembangkan juga koreksian terhadap bahay penindasan terhadap industri modern. Dalam
zaman pasca komunis sekarang hal itu mendesak dengan cara baru. Maksimalisasi keuntungan
sebagai model ekonomis yang abstrak bisa saja mengakibatkan ketidakberesan etis yang baru.
Bahwa kualitas etisnya disini selalu tidak gampang dinilai dengan tepat, dapat kita pelajari
dengan meninjau masalah buruh anak.
2. Masalah Pekerja Anak
Tidak bisa diragukan, pekerjaan yang dilakukan oleh anak (child labor)
merupakan topik dengan banyak implikasi etis, tetapi masalah ini sekaligus juga sangat
kompleks, karena faktor-faktor ekonomis di sini dengan aneka macam cara bercampur baur
dengan faktor-faktor budaya dan sosial.
Dalam Convention on the rights of the child yang diterima dalam sidang umum PBB
pada 1989 diserahkan kepada masing-masing negara anggota untuk ”menetapkan usia
minimum atau usia-usia minimum untuk dapat memasuki lapangan kerja” [pasal 32, 2 (a)].
Organisasi Ketenagakerjaan International (ILO) pada 1973 mengeluarkan konvensi tentang
usia minimum untuk diperbolehkan bekerja. Sebagai patokan dikatakan mereka harus
mengupayakan usia minimum 18 tahun untuk pekerjaan berbahaya dan 16 tahun untuk
pekerjaan ringan. Indonesia baru mensahkan konvensi tersebut pada 1999 dan menetapkan usia
minimum pada 15 tahun.
Betapa pun banyaknya upaya menetapkan batas minimum usia pekerja, di banyak
negara – kususnya di dunia ketiga – anak-anak harus bekerja pada umur terlalu muda. Dalam
sebuah laporan ILO (1996), diestimasikan bahwa di negara-negara berkembang masih ada 250
juta anak di bawah umur 14 tahun yang bekerja. Di antaranya 120 juta anak bekerja purna
waktu, sedangkan 130 anak bekerja penggal waktu.
Seorang anak harus bisa bermain, tidak pantas ia diharuskan bekerja. Pekerjaan adalah
wilayah orang dewasa. Dalam konteks ini sangat penting kita menyadari perbedaan antara main
dan kerja. Pekerjaan adalah kegiatan manusiawi yang serius dan dilakukan karena terpaksa.
Tidak mengherankan, bila dalam Declaration of the Rights of the Child yang diproklamasikan
oleh Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1959, dikatakan bahwa”anak
harus mempunyai kesempatan penuh untuk main dan rekreasi, yang harus tertuju pada maksud
yang sama seperti pendidikan” (pronsip 7). Maksud Deklarasi Hak Anak ini adalah, agar setiap
anak boleh menikmati masa anak yang bahagia. Dalam rangka itu ditegaskan antara lain:
“Anak tidak boleh diterima sebagai pekerja sebelum umur minimum yang tepat; ia sekali-kali
tidak boleh disuruh atau diterima dalam jabatan atau pekerjaan apa saja yang bisa merugikan
kesehatan atau pendidikannya atau mengganggu perkembangan fisik, psikis atau moralnya.
Dalam etika tidak cukup kita mensinyalir saja sikap negatif yang umum terhadap anak
pekerja. Kita harus menanyakan juga mengapa pekerjaan yang dilakukan oleh anak perlu
dianggap tidak etis. Apa yang menjadi argumentasi etika yang diajukan di sini? Dapat dijawab
bahwa pekerjaan anak ditolak terutama karena dua alasan. Alasan yang pertama adalah bahwa
pekerjaan itu melanggar hak para anak. Masa anak adalah periode pertma dalam hidup seorang
manusia dengan segala ciri khasnya.
Alasan kedua menegaskan bahwa mempekerjakan anak merupakan cara berbisnis yang
tidak fair. Sebab, dengan cara itu pebisnis berusaha menekan biaya produksi dan dengan
demikian melibatkan diri dalam kompetisi kurang fair terhadap rekan-rekan pebisnis yang tidak
mau menggunakan tenaga anak, karena menganggap hal itu cara berproduksi yang tidak etis.
Lagi pula, pekerja anak bisa memperparah lagi masalah pengangguran. Pekerjaan ini tidak
dipraktekkan karena tenaga kerja dewasa tidak tersedia. Dengan mempekrjakan anak-anak,
penganggur-penganggur dewasa dirugikan, karena tenaga kerja mereka disingkirkan.
Seandainya anak tidak dipekerjakan, lebih banyak orang dewasa bisa bekerja dan menjamin
nafkah untuk keluarga mereka.
Dalam zaman kita sekarang pekerja anak tampak sebagai suatu masalah khusus dalam
hubungan dengan industri garmen, sepatu atau alat olah raga, mainan anak, dan sebagainya,
yang mempercayakan pembuatan produknya kepada kontraktor dalam kuantitas besar, yang
pada gilirannya mencari lagi subkontraktor-subkontraktor untuk kuantitas terbatas yang dapat
menjamin harga paling murah perusahaan. Para kontraktor mempunyai jaringan subkontraktor
yang sungguh-sungguh global. Mereka akan mencari subkontraktor dengan tawaran yang
paling menguntungkan, entah di Afrika, Amerika Selatan, Cina, atau Asia Tenggara dan kantor
pusat sering tidak sanggup (atau tidak berminat) untuk memperhatikan seluk-beluk semua
kontrak terakhir ini.
Sekitar pertengahan tahun 1990-an beberapa perusahaan multinasional mendapat kritik
pedas dalam media komunikasi, karena mempekerjakan anak dalam sistem produksinya. Salah
satu contoh adalah perusahaan Nike. Perusahaan Amerika yang bergerak di bidang sepatu,
pakaian, dan alat olah raga ini pada tahun 1997 mengalami penurunan drastis dari omzetnya
dan nilai sahamnya terpuruk tajam. Hal ini terjadi setelah Nike dituduh menggunakan tenaga
buruh anak dalam pabrik-pabriknya di Asia, yang harus bekerja dalam kondisi buruk dan
dengan pembayaran rendah (walaupun tentu juga ada sebab-sebab lain lagi untuk kesulitan
yang dialami Nike). Beberapa LSM mengajak publik Amerika untuk mrmboikot produk-
produk Nike. Slogan reklame Nike yang terkenal “just do it” mereka putarbalikkan menjadi
“just don’t do it” dan “do just it”. Pimpinan pusat harus mengakui bahwa mereka tidak tahu-
menahu tentang kondisi kerja di pabrik-pabriknya di Asia. Tetapi mereka terpaksa harus
berjanji segera akan memeriksa dan memperbaiki keadaan di tempat-tempat jauh itu.
Contoh ini menunjukkan suatu cara untuk mengatasi masalah pekerja anak dalam
pabrik yang berproduksi bagi perusahaan multinasional. Justru karena mereka besar dan
terkenal melalui kampanye reklame besar-besaran, perusahaan-perusahaan ini menjadi ekstra
rentan terhadap aksi dari organisasi konsumen atau LSM lainnya. Tekanan terus dari para
konsumen menjadi alat ampuh untuk menghapus atau setidak-tidaknya mengurangi praktek
kurang etis seperti pekerjaan anak.
Dengan demikian kita sudah menemukan cara pertama untuk mengatasi masalah
pekerja anak: kesadaran dan aksi dari pihak publik konsumen. Cara lain adalah kode etik yang
dibuat dan ditegakkan juga oleh perusahaan, di mana antara lain ditegaskan bahwa perusahaan
tidak akan mengizinkan produknya dibuat dengan memanfaatkan tenaga anak di bawah umur.
Salah satu perusahaan yang berhasil dalam hal ini adalah perusahaan jeans tang terkenal, Levi-
Strauss.
Cara lain lagi untuk memerangi penyalahgunaan buruh anak adalah melengkapi garmen
jualan atau produk lain dengan No Sweat Label, yang menjamin produk itu tidak dibuat dengan
menggunakan tenaga anak atau dengan kondisi kerja yang tidak pantas. Kampanye label ini
diadakan secara analog dengan ecolabel yang menjamin suatu produk tidak dibuat dengan
merugikan lingkungan hidup.
Seperti dalam negara berkembang lainnya, di Indonesia pun pekerja anak merupakan
masalah besar. Menurut sensus 1990, ada 2,4 juta anak berumur 10 sampai 14 tahun yang
bekerja. Angka ini berlaku untuk sektor formal maupun informal, tetapi dalam kenyataan
jumlah buruh anak pasti lebih besar.
Masalah pekerja anak Indonesia sudah sampai menjadi kasus dalam pembahasan etika
bisnis di Amerika Serikat. Pada tahun 1993 dalam salah satu majalah etika bisnis yang
terkemuka di Amerika Serikat dikemukakan kasus berikut ini. Dari data-data yang disajikan
oleh pengarang bisa disimpulkan bahwa kasus ini berlangsung beberapa waktu sebelum 1985.
Tidak dijelaskan tempat kejadiannya di Indonesia di mana. “Kasus ini...menyangkut seorang
pembeli pakaian dari seorang pengecer yang berkedudukan di Boston. Orang ini memebeli
celana jeans di Indonesia yang dicuci dalam bahan asam. Pengecer itu mempunyai berbagai
pemasok dari Asia Timur. Pada suatu perjalanan pembelian ia memperhatikan bahwa dalam
pabrik di Indonesia yang dikunjunginya hanya bekerja anak-ank relatif muda. Ia berfikir di sini
barangkali terdapat suatu masalah etis mengenai eksploitasi dari anak muda dan diskriminasi
terhadap pekerja yang lebih tua.
Untuk membentuk pandangan yang seimbang tentang masalah pekerja anak, sebaiknya
kita tidak melupakan kasus-kasus konkret seperti ini. Penderitaan anak-anak di sini harus
dinilai sudah keterlaluan. Tetapi di sisi lain harus dipertimbangkan juga bahwa anak-anak ini
bekerja karena terdesak oleh keadaan ekonomi keluarganya.
Syarat lain adalah mereka tidak boleh dipekerjakan ditempat yang beresiko khusus seperti
pertimbangan atau bekerja dengan alat-alat yang berbahaya. Pengertian utuk segi ekonomi dari
keluaraga-keluaraga itu patut dipuji, tetapi menjadi ilusi saja, bila orang berpikir dengan
peraturan materi seperti itu dapat melindungi buruh anak terhadap semua efek negatif.
Apalagi, masih ada sektor informal yang sama sekali diluar kontrol. Tetapi gagasan dasar dari
peraturan mentri tenaga kerja itu bisa diterima: jika anak bekerja, waktunya harus dibatasi
sehingga tidak mengganggu pendidikannya di sekolah. Pendidikan di sekolah sedapat mungkin
harus diamankan, karena disitulah anak mendapat bekal yang paling berharga untuk masa
depannya. Sehingga kami melihat pertimbangan ini juga sebagai alasan etis yang paling
penting.
Dalam undang-undang no.25 tahun 1997 tentang ketenaga kerjan (yang sudah beberapa
kali ditunda berlakunya) ditentukan 15 tahun sebagai umur batas minimum bekerja indonesia.
Semua pengusaha dilarang untuk mempekrjakan anak yang berumur kurang dari 15 tahun
(pasal 95). Tetapi larangan ini tidak berlaku bagi anak yang terpaksa bekerja. Di sini jelas
dimaksudkan alasan ekonomi dari keluarga bersangkutan. Tidak ditentukan batas untuk kasus-
kasus terpaksa ini. Hanya ditamba beberapa syarat yang bertujuan melindungi anak-anak
semacam itu. Antara lain, mereka tidak boleh dipekrjakan lebih lama dari 4 jam sehari. Mereka
tidak boleh dipekerjakan mlam hari antara pukul 18.00 sampai 6.00. mereka tidak boleh diikut
sertakan dalam pekerjaan yang berbahaya (pasal 96). Jadi, disini diambil ahli pikiran dasar dari
peraturan mentri tenaga kerja no.1 tahun 1987. Dalam situasi yang secara hukum
memungkinkan anak bekerja ini, sikap etis dari semua pihak yang terkait menjadi lebih
mendesak lagi. Intinya adalah bahwa kebaikan dan kesejhatraan anak tidak perna boleh
dikorbankankepada keuntungan ekonomis.
3. Relativasi Keuntungan
Tidak bisa disangkal pertimbangan etis mau tidak mau membatasi peranan keuntungan
dalam bisnis. Keuntungan merupakan faktor satu-satunya yang menentukan sukses dalam
bisnis, perdagangan heroin, kokain,atau obat terlarang lainnya harus dianggap sebagai good
bussiness, karena senpat membawa untung amat banyak. Perdagangan narkotika seperti itu
justru merupakan bidang dimana usaha bisnis langsung bentrok dengan pertimbangn etis dan
karen itu tidaak merupakan good business sama sekali ( good dalam arti moral). Bisnis menjadi
ntidak etis, kalau perolehan untung dimutlakan dan segi moral dikesampingkan. Manajemen
modern sering disifatkan sebagai management by objectives. Dalam manajemen ekonomi salah
satu unsur penting adalah c0st-benefit analysis. Supaya dapat mencapai sukses hasil dalam
suatu usaha bisnis harus melebihi biaya yang dikeluarkan. Usaha ekonomis baru bisa dianggap
berhasil bila memungkinkan laba. Bisnis menjadi tidak etis, jika keuntungan dijadikan satu-
satunya objective atau benefit dimengerti sebagai laba belaka dengn mengorbankan semua
faktor lain.
Disuatu pihak perlu diakui, bisnis tanpa tujuan profit bukan bisnis lagi supaya bisa tahan
uji dalam skriningetika, tidak perlu bisnis beruba menjadi karya amal. Keuntungan merupakan
unsur hakiki dalam usaha bisnis. Dan perusahaan mau tidak mau merupakan organisai for
profit. Supaya bisa diterima dimata etika tidak perlu perusahaan menanggalkan sifat khas itu.
Pada taraf ekonomi lebih luas pun peran keuntungan tidak boleh diabaikan. Seluru sistem
ekonomi pasar bebas akan ambruk, kalau keuntungan dicopot dari setiap kegiatan
bisnis.kegagalan total sitem ekonomi komonists di Uni Soviet dan satelit-satelitnya antara lain
disebabkan karena sistem ini sebagai ekonomi berencana tidak mengenal motif keuntungan.
Di lain pihak keuntungan tidak boleh dimutlakan. Maksimalisasi keuntungan sebagai satu-
satunya tujuan perusahaan akan mengakibatkan timbulnya keadaan yang tidak etis. Dalam hal
ini sistem ekonomi pasar bebas membantu agar keuntungan tidak menjadi eksesif.karena
sistem ini ditandai kompetisi antara berbagai perusahaan, monopoli tidak memungkinkan dan
akhibatnya tingakat keuntungan dengan sendirinya dibatasi.
Akan tetai, bisnis tidak menghadapi dilema atau maksimalisasi, keuntungan atau bangkrut.
Keutungan dalam bisnis merupakan suatu pengertian yang relatif. Dengan cara yang berbeda-
beda, banyak pengarang telah mencoba untuk merumuskan relativitas itu. Ronald Duska
menegaskan bahwa kita harus membedakan antara purpose(maksud) dan motive(motivasi).
Maksud bersifat objektif sedangkan motivasi bersifat subjektif.kita memberi sedeka kepada
seorang pengemis supaya ia bisa makan(maksud), sedangkan motivasi kita adalah belas
kasihan. Motifasi menjelaskan (explain) mengapa kita melakukan sesuatu, tetapi maksud
membenarkan(justify)perbuatan kita itu. Keuntungan tidak merupakan maksud bisnis. Maksud
bisnis adalah menyediakan produk atau jasa yang bermanfaat untuk masyarakat. Keuntungan
hanya sekedar motivasi untuk mengadakan bisnis. Keuntungan memungkinkan bisnis hidup
terus, tapi tidak menjadi tujuan terakhir bisnis. Norman bowie membandingkan keuntungan
dalam bisnis dengan kebahagiaan dalam hidup. Kebahagiaan adalah akibat sampingan, kalau
seorang suami hidup dan bekerja untuk istri dan anak-anak. Demikian keuntungan pun
merupakan akhibat sampingan dari bisnis, bukan tujuan yang sebenarnya.
Dengan demikian dan dengan banyak cara lain lagi dapat dijelaskan relativitas
keuntungan dalam usaha bisnis. Tetapi, bagamana pun juga, keuntungan dalam bisnis tetap
perlu. Hanya tdak bisa dikatakan lagi bahwa maksimalisasi keuntungan merupakan tujuan
bisnis atau bahwa profit merupakn satu-satunya tujuan bagi bisnis. Beberapa cara lain lagi
untuk melukiskan relativits keuntungan dalam bisnis, sebagai berikut:
 Keuntungan merupakan tolak ukur untuk menilai kesehatan perusahaan atau efisiensi
manajemen dalam perusahaan

 Keuntungan adalah pertanda yang menujukan bahwa produk atau jasanya dihargai oleh
masyarakat

 Keuntungan adalah cambuk untuk meningkatkan usaha

 Keuntungan merupakan syarat kelangsungan perusahaan

 Keuntungan mengimbangi resiko dalam usaha.

4. Manfaat Bagi stakeholders


Suatu cara lain untuk mendekati tujuan perusahaan adalah melukiskan tujuan itu
sebagai the stekeholders ‘benefit,” manfaat bagi stekeholders “. Istilah stakeholders muncul
pertama kali pada tahun 1963 dalam sebuah memorandum internal dari stanford research
institute, kalifornia. Sekarang istilah itu sudah lazim dipakai dalam teri manajemen dan etika
bisnis. Istilah ini mirip dengan stockholders, tetapi justru merupakan semacam kritik implisit
terhadap tendensi untuk terlalu mengagumkan pentingnya pemegang saham atau pemilik dari
suatu perusahaan. Yang dimaksud denganstakeholders adalah orang yang atau instansi yang
berkempentingan dengan suatu bisnis atau perusahaan. R. Edward Freeman
menjelaskan steckholders sebagai “individu-individu atau dan kelompok-kelompok yang
dipengaruhi oleh tercapainya tujuan-tujuan organisasi dan pada gilirannya dapat
mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan tersebut” dalam bahasa
indonesia stakeholders adalah semua pihak yang berkepentingan dengan kegiatan suatu
perusahaan. Stockholders tentu termasuk steckholders. Para pemegang saham sebagai pemilik
perusahaan pasti berkepentingan dengan sepak kerja sebuah perusahaan. Kalau perusahaan
memperoleh laba para pemegang saham mendapat dividen. Kalau tidak mereka tidak mendapat
apa-apa. Mereka jelas membeli saham dengan harapan untuk meraih untung, malah kalau
mujur untung banyak. Kadang-kadangstakeholders dibagi atas pihak berkepentingan, internal,
dan eksternal. Pihak berkepentingan internal adalah orang dalam dari suatu perusahaan, orang
atau instansi yang secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan, seperti pemegang
saham, manejer, dan karyawan. Pihak berkepentingan eksternal adalah orang luar dari suatu
perusahaan, orang atau instansi yang tidak secara langsung terliba dalam kegiatan perusahaan,
seperti para konsumen, masyarakat, pemerintah, lingkungan hidup. Tetapi garis pemisah
antara steckholders internal dan eksternal tidak selalu bisa ditarik dengan tajam. Misalnya para
pemasok pada umumnya bisa digolongkan antara pihak berkepentingan eksternal. Tetapi jika
ada pemasok biarpun menjadi perusahaan sendiri hanya memask barang untuk satu perusahaan
saja, ia sebenarnya termasuk pihak berkepentingan internal juga.
Paham stakeholders ini membuka prespektif baru untuk mendekati masala tujuan
perusaahaan. Kita bisa mengatakan bahwa tujuan perusahaan adalah manfaat
semuastakeholders. Sekaligus juga disini kita mempunyai kemungkinan baru untuk membahas
suatu keputusan bisnis. Misalnya, tidak etis kalau dalam suatu keputusan bisnis hanya
kepentingan para pemegang saham yang dipertimbangkan. Keputusan untuk menutup atau
memindahkan suatu unit produksi seperti pabrik boleh disebut sebagai contoh. Keputusan ini
mengandung implikasi etis yang penting. Bukan saja kepentingan para pemegang saham harus
dipertimbangkan tetapi juga kepentingan dari semua pihak lain khususnya para karyawan
masyarkat disekitar pabrik. Tidak mengherankan jika sudah ada beberapa buku etika bisnis
yang mengusahakan pendekatan stakeholders sebagai karangka penguraiannya.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Profit maximalization atau maksimalisasi keuntungan merupakan tema penting dalam
manajemen ilmu ekonomi. Banyak buku pegangan manajemen ekonomi menggarisbawahi
faktor ini dengan tekanan besar.
2. Tidak bisa diragukan, pekerjaan yang dilakukan oleh anak (child labor) merupakan topik
dengan banyak implikasi etis, tetapi masalah ini sekaligus juga sangat kompleks, karena faktor-
faktor ekonomis di sini dengan aneka macam cara bercampur baur dengan faktor-faktor budaya
dan sosial.
3. . Keuntungan merupakan faktor satu-satunya yang menentukan sukses dalam bisnis,
perdagangan heroin, kokain,atau obat terlarang lainnya harus dianggap sebagai good bussiness,
karena senpat membawa untung amat banyak.
4. Suatu cara lain untuk mendekati tujuan perusahaan adalah melukiskan tujuan itu sebagai the
stekeholders ‘benefit,” manfaat bagi stekeholders “.
DAFTAR PUSTAKA
http://yesica-adicondro.blogspot.co.id/2013/04/keuntungan-sebagai-tujuan-perusahaan.html.

Anda mungkin juga menyukai