Anda di halaman 1dari 11

Nama : Gito Pamungkas

NPM : 010119308

Kelas : IJ

Jawaban UAS Hukum Pajak

1. Sebenarnya, di Indonesia sendiri. pemungutan pajak di Indonesia terbagi menjadi tiga.


Ketiga sistem ini juga digunakan oleh negara kepada wajib pajak. Berikut ketiga sistem
pemungutan pajak, yaitu :
1) Self Assessment System
Self Assessment System ini merupakan sebuah sistem pemungutan pajak yang
membebankan penentuan besaran pajaknya yang perlu dibayarkan oleh wajib pajak
secara mandiri. Dapat dikatakan juga, wajib pajak berperan aktif untuk menghitung
sekaligus membayar dan melaporkan besaran pajaknya ke Kantor Pelayanan Pajak
(KPP) atau melalui sistem administrasi online dari pemerintah. Disini pemerintah
memiliki peran dalam sistem pemungutannya yaitu sebagai pengawas dari para wajib
pajak. Sistem ini biasanya diterapkan pada jenis pajak pusat. Contoh dari sistem ini
adalah jenis pajak PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan PPh (Pajak Penghasilan).
Sistem ini sudah diterapkan dan mulai diberlakukan setelah masa reformasi pajak di
tahun 1983. Sistem ini juga berlaku hingga hari ini. Namun, sistem ini memiliki
kekurangan yaitu wajib pajak harus menghitung sendiri besaran pajak terutang yang
perlu dibayarkan, karenanya wajib pajak juga biasanya akan berusaha menyetorkan
pajak serendah mungkin. Kekurangan inilah juga yang membuat banyak membuat
laporan palsu atas pelaporan kekayaan yang dimilikinya.
Ciri-ciri Self Assessment System :
 Penentuan besaran pajak dilakukan secara sendiri oleh wajib pajak.
 Wajib pajak harus berperan aktif dalam menyelesaikan kewajiban pajaknya
mulai dari menghitung, membayar hingga melaporkan pajaknya.
 Pemerintah tidak perlu mengeluarkan surat ketetapan pajak, namun apabila wajib
pajak telat melaporkan pajak, telat membayar pajak atau terdapat pajak yang
harus diselesaikan wajib pajak namun tidak dibayarkan, maka pemerintah dapat
mengeluarkan surat ketetapan pajaknya
2) Official Assessment System
Sistem pemungutan pajak yang satu ini berbeda dengan Self Assessment System,
pada sistem pemungutan pajak ini pemungutan pajak yang membebankan wewenang
untuk menentukan besarnya pajak terutang pada petugas perpajakan sebagai
pemungut pajak kepada seorang wajib pajak. Pada sistem ini, para wajib pajak
bersikap lebih pasif dan nilai pajak terutangnya akan diketahui setelah dikeluarkan
surat ketetapannya oleh petugas perpajakan. Salah satu contohnya adalah Pajak Bumi
Bangunan (PBB), wajib pajak tidak perlu lagi menghitung besaran pajaknya, mereka
hanya tinggal melakukan pembayaran sesuai dengan Surat Pembayaran Pajak
Terutang (SPPT) yang dikeluarkan oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
Ciri-ciri Official Assessment System :
 Nominal pajak sudah dihitung oleh petugas pajak.
 Wajib pajak sifatnya pasif dalam perhitungan besaran pajak.
 Besaran pajak akan diketahui sesudah petugas pajak melakukan perhitungan
pajak dan menerbitkan surat ketetapan pajak.
 Pemerintah memiliki hak penuh saat menentukan besaran pajak yang
dibayarkan.
3) Withholding System
Sistem pemungutan pajak ini, besaran pajaknya dihitung oleh pihak ketiga. Pihak
ketiga yang dimaksud ini bukan wajib pajak dan juga bukan petugas pajak. Contoh
pemotongan penghasilan karyawan yang dilakukan oleh seorang bendahara sebuah
instansi atau HRD dalam sebuah perusahaan. Jadi, karyawan tersebut tidak lagi perlu
mengurus pajak untuk membayarkan pajak miliknya. Jenis pajak yang menggunakan
withholding system ini adalah PPh pasal 21, PPh pasal 22, PPh pasal 23, PPh Final
Pasal 4 ayat (2) dan PPN. Biasanya yang digunakan sebagai bukti atas pelunasannya
adalah bukti potong atau bukti pungut dalam withholding system ini. Tetapi beberapa
kasus ada yang menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). Bukti potongan itu nantinya
dilampirkan dengan SPT Tahunan dari wajib pajak yang bersangkutan.
Nah adapun menurut saya, sistem pemungutan pajak yang diterapkan agar pemasukan
sektor perpajakan merupakan pemasukan yang optimal yaitu sistem pemungutan pajak
Fullself Assesment System, karena :
a) di dalam sistem pemungutan pajak fullself assessment system memberikan
kemudahan dan keleluasaan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban mereka
kepada negara.
b) didalam sistem pemungutan pajak ini wajib pajak dapat menentukan, menghitung,
menyetor, serta melaporkan sendiri jumlah pajak yang harus ia bayarkan. Adanya
fungsi perhitungan ialah untuk wajib pajak dapat menghitung sendiri total pajak
terhutang yang harus dibayarkan.
c) Didalam sistem pemungutan pajak ini mampu membuat masyarakat memahami
undang-undang perpajakan yang sedang berlaku, dan mempunyai kejujuran yang
tinggi, serta menyadari akan arti pentingnya membayar pajak.

2. Berikut ini merupakan perbedaan antara utang pajak dengan utang biasa :
a) Utang pajak merupakan hukum publik, sedangkan utang biasa merupakan hukum
perdata. Dalam hukum perdata (utang biasa) terdapat suatu timbal balik dari ikatan
tersebut sedangkan utang pajak tidak ada
b) Utang biasa penagihanya berdasarkan hukum perdata, sedangkan utang pajak
penagihanya berdasarkan hukum publik
c) Utang biasa prosedur untuk memaksakan penagihanya harus melalui putusan hakim
di pengadilan, sedangkan utang pajak tidak melalui hakim tetapi melalui prosedur
administrasi yaitu dengan menggunakan surat paksa
Hapusnya utang pajak dapat melalui berbagai cara, yakni melalui:
a. Pembayaran
Pembayaran adalah kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak untuk menyetorkan
atau menyerahkan jumlah uang sesuai dengan keterangan pajak ke tempat-tempat
penyetoran atau pembayaran keterangan negara, bank-bank yang ditunjuk kantor dan
hapusnya hutang pajak dengan cara menyetorkan sejumlah uang ke kas negara bank-
bank pemerintah yang ditunjuk kantor pos. Jadi dengan cara melakukan pembayaran
hutang pajak oleh wajib pajak maka hutang pajak nya berakhir
b. Daluwarsa
Daluwarsa dilakukan setelah adanya pembayaran ke tempat-tempat penyetoran atau
pembayaran negara mengenai utamg, maka dengan demikian hutang pajak menjadi
hapus, semua hutang pajak termasuk sanksi administrasi (bunga, denda, kenaikan
biaya penagihan) apabila telah lewat jangka waktu 10 thn sejak timbulnya utang
pajak tersebut secara otomatis akan hapus.
Hal mengenai daluwarsa tercantum di dalam pasal 22 (1) UU no 16/2000
tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang isinya adalah suatu pajak/
hukum pajak termasuk bunga, denda, kenaikan, biaya penagihan itu disebut sanksi
administrasi, akan daluwarsa/ lewat waktu jika telah 10 tahun sejak timbulnya
Hukum Pajak.
Kedaluwarsa atau daluwarsa mengenai penagihan pajak dapat dicegah dengan
melakukan penagihan teguran, dan pengakhiran dengan mengajukan permohonan
keberatan atau penangguhan. Selain itu, ada dua macam kedaluwarsa dalam hal utang
pajak. Pertama adalah kedaluwarsa lemah (penagihannya kedaluwarsa), dan kedua
adalah kedaluwarsa kuat (utangnya kedaluwarsa).
c. Kompensasi
Kompensasi merupakan kesepakatan antara wajib pajak dengan fiskus negara
mengenai kelebihan pajak tahun ini dan akan dikompensasikan (dibayarkan) untuk
menutupi sebagian hutang pajak atau seluruhnya hutang pajak tahun depan dan
hapusnya hutang pajak dengan adanya kesepakatan antara wajib pajak dan fiskus
untuk kelebihan pembayaran pajak tahun ini dikompensasikan dengan pembayaran
pajak ybs pada tahun berikutnya/tahun depan.
Kompensasi dapat berupa:
 Kompensasi kerugian, ini terbagi menjadi tiga jenis yaitu kompensasi kerugian
yang mendatar (horizontal compensative), kompensasi yang tegak (vertical
compensative), dan kompensasi kerugian perang.
 Kompensasi pembayaran, ini dapat dilakukan jika salah satu pihak memiliki
utang dan memiliki tagihan pada pihak lain.
 Namun kompensasi memiliki beberapa syarat antara lain :
 Bahwa pada saat yang sama, kedua subjek saling mempunyai tagihan.
 Hal yang dikompensasikan hanyalah dua utang berupa uang dan barang yang
sama macamnya.
 Kompensasi berlaku karena hukum, bahkan jika pihak yang berhutang tidak
mengetahuinya dan saling menghilangkan utang yang sama besarnya pada saat
yang sama.
d. Penghapusan
Penghapusan merupakan hapusnya atau berakhirnya hutang pajak dengan cara
menghapuskan pajak bagi badan usaha, namun, hanya dengan alasan tertentu seperti :
bangkrut atau pailit, wajib pajak terkena musibah atau karena dasar penetapannya
tidak benar. Ketika utang pajak telah dihapus, perikatan pajak akan berakhir sehingga
Wajib Pajak tidak lagi memiliki kewajiban membayar pajak yang terutang.
e. Pengurangan
Pengurangan adalah berkurangnya jumlah pajak (hutang pokok pajak) yang kurang
mampu, ia mengajukan permohonan pengurangan ke kantor pelayanan Pajak Bumi
dan Bangunan untuk mengurangi jumlah pembayaran PBB dari si wajib pajak.

3. Upaya yang dapat dilakukan terkait perbedaan perhitungan tersebut, serta upaya terakhir
yang dapat dilakukan untuk mendapatkan keadilan dalam perhitungan pajaknya, yaitu:
Wajib Pajak dapat membuat surat keberatan ke kantor pajak/dirjen pajak yang
menyatakan bahwa Wajib Pajak tidak menerima/tidak setuju dengan jumlah pajak yang
ditentukan. Dirjen pajak kemudian mengeluarkan surat keputusan tentang keberatan-
keberatan yang dimaksud.
Maka dari itu, upaya pertama yang dilakukan Tuan Aldebaran Alfero yaitu
mengajukan keberatan terhadap putusan dirjen pajak, dan tuan Tuan Aldebaran Alfero
harus mengajukan surat keberatan mengenai Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
(SKPLB). Karena Surat Ketetapan Pajak kewajiban pembayaran pajak penghasilan Tuan
Aldebaran Alfero lebih besar dibanding dengan kewajlban pembayaran pajak penghasllan
Tahun 2020. Hal ini sesuai dengan pasal 25 (1) UU NO 16/2000 (KUTCP) yang
menyatakan bahwa
“… Apabila Wajib Pajak ingin mengajukan keberatan terhadap putusan dirjen pajak harus
mengajukan surat keberatan dari salah satu / lebih surat ketetapan diatas…”
Sedangkan upaya terakhir yang dapat dilakukan adalah Tuan Aldebaran Alfero
apabila masih keberatan dengan surat keputusan Dirjen Pajak, maka ia bisa mengajukan
banding/gugatan ke Pengadilan Pajak. Jika masih keberatan lagi, Tuan Aldebaran Alfero
dapat mengajukan dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali ke Mahkamah
Agung.

4. Sanksi yang dikenakan terhadap Nona Kekeyo adalah Sanksi Administratif. Karena
Sanksi Administratif adalah sanksi yang diberikan kepada Wajib Pajak yang tidak
memenuhi ketentuan perpajakan yang dianggap ringan. Dan dalam hal ini Nona Kekeyo
tidak memenuhi ketentuan perpajakan yaitu karena ketidaktahuannya belum melaporkan
dan membayar pajak bulannya. Adapun secara lebih terperinci, Sanksi Administratif yang
dapat dikenakan hanyalah Denda, karena Nona Kekeyo tidak memenuhi ketentuan pajak
akibat dari ketidaktahuannya bukan karena unsur kesengajaan.
5. Hukum Pajak Internasioal sebenarnya diawali oleh adanya Perdagangan Internasional,
dimana terjadi kegiatan ekspor/impor antar satu negara dengan negara lain dengan tujuan
memperoleh pemasukan dana dari, maka Negara-negara tersebut memungut pajak
terhadap barang yang di eksport/import. Maka dari itu Hukum Pajak Internasional
diperlukan agar barang yang di eksport/import tidak berkali-kali dikenakan pajak oleh
Negara.
Sampai saat ini sebenarnya belum ada HPI yang dikodifikasi dalam satu buku. HPI
hanyalah merupakan “Lus Contituendum” yaitu hukum yang akan datang/masa depan.
Jadi HPI itu baru terdapat dalam peraturan-peraturan pajak nasional yang menyangkut
barang impor, ekspor dan orang asing yang berada dinegara yang bersangkutan.
Berikut pengertian Hukum Pajak menurut beberapa ahli:
 Rosendorf
Hukum Pajak Internasional adalah keseluruhan pajak nasional dari semua Negara
 Dr. P. Velroren Van Themaat
Hukum Pajak Internasional adalah keseluruhan norma-norma kebiasaan atau traktat
Internasional yang membatasi kedaulatan Negara dalam pungutan pajak”
Tapi lebih dari pada itu, Hukum Pajak Internasional secara umum merupakan kaidah
pajak yang didasarkan pada hukum antar negara dan diterima baik oleh negara-negara di
dunia untuk mengatur perpajakan antar negara yang memiliki kepentingan.
Prinsip pemungutan Pajak Hukum Pajak Internasional:
 Azas Domicilie (Tempat Tinggal)
Artinya semua orang yang berdomisili di suatu Negara dikenakan pajak tanpa
mempertimbangkan kewarganegaraan yang bersangkutan.
 Azas Kebangsaan
Artinya setiap warga Negara dimanapun berada wajib membayar pajak.
 Azas Sumber
Artinya semua penghasilan yang bersumber dari suatu Negara tertentu, akan
dikenakan pajak oleh Negara tersebut.
Norma Hukum Pajak Internasional, yaitu dalam setiap perpajakan Internasional, terdapat
suatu norma yang diikuti secara global (termasuk Indonesia) untuk menyerahkan “Hak
Pemajakan Utama” (Primary taxing Rights) kepada negara yang mempunyai pertalian
teritorial/sumber dan mempertahankan wewenang pemajakan residual (Residual Tax
Claims) kepada Negara dengan pertalian personal.
Sehingga warga Negara yang membayar pajak di lain Negara dapat dikreditkan (UU
Indonesia) di dalam negeri dan dijumlahkan dengan semua UU pajak yang ada di LN,
sehingga tidak perlu dibayar.
Didalam Hukum Pajak Internasional terdapat suatu norma yang mengatakan bahwa :
“… Suatu negara tidak boleh memungut pajak terhadap suatu objek pajak apabila tidak
ada titik hubung (yurisdiksi) kewenangan Negara memungut pajak.”
Sumber hukum pajak internasional terdiri dari:
A. Hukum pajak nasional, yaitu peraturan pajak sepihak yang tidak ditujukan pada pihak
lain.
B. Traktat, yaitu perjanjian pajak dengan negara lain untuk menghindari pajak berganda,
mengatur perlakukan fiskal terhadap orang asing, mengatur mengenai laba badan
Badan Usaha Tetap (BUT), memberantas penyelundupan pajak, dan menetapkan tarif
duane.
C. Putusan hakim (nasional maupun internasional).
Dasar Hukum Pajak Internasional di Indonesia.
Pajak internasional yang diberlakukan di Indonesia diatur sepenuhnya dalam beberapa
peraturan perpajakan nasional, di antaranya:
A. Peraturan Perpajakan Nasional yang mengatur Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda (Pasal 32 A Undang Undang PPh) mengenai pemerintah berwenang untuk
melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran
pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
B. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak termasuk Subjek
Pajak.
C. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang Subjek Pajak Luar Negeri
dan Bentuk Usaha Tetap (BUT).
D. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 18 UU PPh) tentang: Hubungan Istimewa,
Bilamana terdapat Ketidakwajaran dalam Perpajakan.
E. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 24 UU PPh) tentang: Kredit Pajak Luar Negeri.

6. Cara agar tidak terjadi Pajak Berganda beserta contohnya, yaitu:


 Kebebasan Subjek (Subject Exemption)
Artinya kebebasan subjek pajak terhadap penghasilan luar negeri.
Contoh: seorang Wajib Pajak dalam negeri mempunyai penghasilan luar negeri Rp 50
Milyar, sedangkan penghasilan dalam negeri Rp 100 Milyar. Berdasarkan
pembebasan subyek ini penghasilan luar negeri dianggap sudah dibayar.
 Kebebasan Obyek (Object Exemption)
Artinya kebebasan pajak diberikan kepada obyeknya (barang) yang berkaitan dengan
pajak penghasilan luar negeri dianggap telah membayar.
 Pembebasan Pajak (=Tax Exemption)
Artinya membebaskan pajak apa saja dari luar negeri;
Selain itu terdapat pula hal yang bisa dilakukan wajib pajak agar tidak terkena pajak
berganda:
 Langkah pertama yang harus dilakukan adalah segara berkonsultasi ke Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) tempat wajib pajak terdaftar.
 Setelah itu, wajib pajak bisa meminta surat keterangan domisili atau certificate of
domicile (COD) kepada KPP. Nantinya surat itu harus diserahkan kepada kantor
pajak di luar negeri sebagai tanda domisili wajib pajak.
 Menurut Dirjen Pajak, sejumlah negara sudah memiliki kerja sama terkait
penghindaran pajak berganda melalui Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
(P3B). Syarat yang harus dipenuhi yaitu mampu menunjukan COD.
 Bagi wajib pajak yang tidak menunjukan COD dipastikan akan terkena pajak sesuai
tarif yang berlaku di negara tempat bisnis berada, bahkan tarifnya bisa lebih besar
dari tarif yang berlaku di Indonesia.
 Kepala KPP memastikan, bila wajib pajak mampu menunjukan COD maka akan
terhindar dari pajak berganda. "Masalahnya, mereka (wajib pajak) selama ini belum
pernah melaporkan penghasilan juga di sini. Dengan tax amnesty, dimana-mana
deklarasi luar negeri, WNI di luar kena pajak, di Indonesia kena pajak juga jadinya.
Konflik tersebut merupakan salah satu contoh situasi di mana terjadinya pemajakan
berganda. Berikut ini diberikan contoh situasi di mana terjadi pajak berganda berdasarkan
residence-source conflict:
 Pertama, misal Subjek Pajak A adalah subjek pajak dalam negeri Negara D yang
memperoleh penghasilan dari Negara S. Dalam konteks pajak internasional, Negara
D disebut sebagai negara domisili dari subjek pajak yang menerima penghasilan.
Sedangkan Negara S adalah negara tempat sumber penghasilan yang diterima oleh
Subjek Pajak A.
 Kedua, Negara D menganut asas worldwide income terhadap subjek pajak dalam
negerinya. Atas dasar asas tersebut, Negara D mengenakan pajak atas penghasilan
Subjek Pajak A yang diterimanya dari Negara S. Dalam konteks pajak internasional,
pengenaan pajak tersebut dapat dibenarkan karena telah memenuhi personal
connecting factor.
 Ketiga, dari sudut pandang ketentuan pajak Negara S, Negara S berhak mengenakan
pajak atas penghasilan yang diperolah oleh Subjek Pajak A karena penghasilannya
bersumber di Negara S. Pengenaan pajak oleh Negara S, dalam konteks pajak
internasional, dapat dibenarkan karena telah terpenuhinya objective connecting
factor.
Situasi di atas yang saling mengenakan pajak atas penghasilan (objek pajak) yang sama
terhadap subjek pajak yang sama (Subjek Pajak A) oleh dua negara yang berbeda (Negara
D dan Negara S) disebut sebagai pajak berganda secara yuridis (juridical double
taxation).

7. Subjek dan Objek dari : Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPn), dan
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), sebagai berikut:
Subjek dan Objek Pajak Penghasilan (PPh)
Mengutip Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan (PPh),
Subjek PPh terdiri dari tiga yaitu orang pribadi, badan dan warisan. Subjek pajak
tersebut juga digolongkan menjadi dua yaitu subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak
luar negeri.
 Subjek Pajak Dalam Negeri
Berikut ini yang dimaksud dengan subjek pajak dalam negeri:
1. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia.
2. Orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu
12 bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia
dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
3. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
4. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.
 Subjek Pajak Luar Negeri
Berikut ini yang dimaksud dengan subjek pajak luar negeri:
1. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, yang menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia
2. Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia
3. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, yang dapat menerima
atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia
4. Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat di Indonesia, yang memperoleh
penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Sedangkan Objek PPh merupakan setiap penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib
pajak. Penghasilan tersebut diperoleh wajib pajak dari dalam maupun luar negeri, seperti:
 Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
pensiun atau imbalan dalam bentuk lainnya kecuali ditentukan lain dalam Undang-
undang Pajak Penghasilan.
 Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan.
 Laba usaha.
 Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta seperti keuntungan karena
pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti
saham atau penyertaan modal.
 Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena
pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota.
 Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan atau
pengambilalihan usaha.
 Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali
yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan
badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil
termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada
hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak
yang bersangkutan.
 Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.
 Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang.
 Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
 Royalti.
 Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
 Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
 Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
 Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.
 Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
 Premi asuransi.
 Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari WP
yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
 Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.
 Penghasilan dari usaha berbasis syariah.
 Surplus Bank Indonesia.
 Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam UU yang mengatur mengenai KUP.
 Objek Pajak yang dikenakan PPh final atas penghasilan berupa bunga deposito dan
tabungan-tabungan lainnya.
 Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek.
 Penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan.

Subjek dan Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)


Subjek PPN adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau pengusaha yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak
berdasarkan Undang-Undang PPN.
Namun, untuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan masih
belum termasuk, kecuali pengusaha kecil tersebut memilih dikukuhkan sebagai PKP.
Subjek Pajak Pertambahan Nilai (PPN):
1. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan yang dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang,
melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar
Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah
Pabean.
2. Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak, tidak termasuk
Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan,
kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak.
3. Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima
penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar harga
Barang Kena Pajak tersebut.
4. Penerima jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya
menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya
membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut.
Sedangkan Objek Pajak yang dikenakan PPN diatur dalam pasal 4 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1984 tentang PPN dan perubahannya yakni Undang-Undang 42 Tahun
2009 yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2010.
Dalam pasal tersebut, pungutan PPN dikenakan atas:
1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam daerah pabean yang dilakukan
pengusaha.
2. Impor BKP.
3. Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh
pengusaha.
4. Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
5. Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
6. Ekspor BKP Berwujud oleh PKP.
7. Ekspor BKP Tidak Berwujud oleh PKP.
8. Ekspor JKP oleh PKP.

Subjek dan Objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)


Subjek PBB adalah orang atau badan yang secara nyata memiliki status atas bumi dan
bangunan, memperoleh manfaat atas bangunan. Tanda pembayaran/pelunasan pajak
bukan merupakan bukti pemilikan hak. Subjek PPB yang dikenakan kewajiban membayar
PBB berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku menjadi wajib
pajak.
Subjek pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud sebelumnya dapat memberikan
keterangan secara tertulis kepada Ditjen Pajak bahwa ia bukan wajib pajak terhadap objek
pajak yang dimaksud. Bila keterangan yang diajukan oleh wajib pajak sebagaimana
dimaksud sebelumnya disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak membatalkan penetapan
sebagai wajib pajak.
Bila keterangan yang diajukan itu tidak disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak
mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai alasan–alasannya. PBB adalah
termasuk jenis pajak objektif, yang mana pengenaan pajaknya lebih ditekankan pada
objek pajaknya. Hal ini dapat Anda lihat melalui susunan pasal tentang Objek Pajak
PBB berikut ini:
 Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman, serta laut
wilayah Indonesia, dan tubuh bumi yang ada di bawahnya.
 Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam/dilekatkan secara tetap pada tanah
dan/atau perairan. Termasuk dalam pengertian bangunan adalah jalan lingkungan
yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan
emplasemennya, dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks
bangunan tersebut.
 Jalan tol.
 Kolam renang.
 Tempat olahraga.
 Galangan kapal, dermaga.
 Taman mewah.
 Tempat penampungan / kilang minyak, air dan gas, pipa minyak.
 Fasilitas lain yang memberikan manfaat.

Anda mungkin juga menyukai