Anda di halaman 1dari 10

Osp

OBYEK PAJAK, PENGENAAN PAJAK DAN MASALAHNYA

PAJAK

Oleh : Sultanas Nisa

1. Mengidentifikasi Obyek Pajak

Objek Pajak adalah segala sesuatu yang menurut undang-undang dikenakan pajak. Misalnya objek
pajak penghasilan adalah penghasilan, sedangkan objek Pajak Bumi dan Bangunan adalah bumi dan
bangunan, objek PPN adalah penyerahan barang dan/atau jasa.

A. OBJEK PAJAK ( Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 )

Yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.

Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam butir a meliputi :

1).

Pemindahan hak karena :

a.

jual beli;

b.

tukar-menukar;

c.

hibah;

d.

hibah wasiat;

e.

waris;
f.

pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;

g.

pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;

h.

penunjukkan pembeli dalam lelang;

i.

pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;

j.

penggabungan usaha;

k.

peleburan usaha;

l.

pemekaran usaha;

m.

hadiah.

2).

Pemberian hak baru karena :

a.

kelanjutan pelepasan hak;

b.

diluar pelepasan hak.

Hak atas sebagaimana dimaksud dalam butir a adalah :

1. hak milik;

2. hak guna usaha;


3. hak guna bangunan;

4. hak pakai;

5. hak milik atas satuan rumah susun;

6. hak pengelolaan.

B. OBJEK PAJAK YANG DIKECUALIKAN

a.

Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah objek pajak yang
diperoleh :

perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik ;

negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna
kepentingan umum ;

badan atau perwakilan organisasi Internasional yang ditetapkan oleh Menteri ;

orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya
perubahan nama :

karena wakaf :

-
karena warisan :

untuk digunakan kepentingan ibadah.

b.

Objek pajak yang diperoleh karena hibah wasiat dan hak pengelolaan pengenaan pajaknya diatur
dengan Peraturan Pemerintah yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 111 Tahun 2000 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 112 TAHUN 2000

2. Menjelaskan cara pengenaan pajak

Stelsel pajak pada umumnya berhubungan dengan sistem pemungutan pajak. Dalam konteks ini,
sistem pemungutan pajak lebih menekankan masalah waktu di mana pada umumnya ada tiga sistem,
yaitu :

1. Sistem pemungutan pajak di depan,

2. Sistem pemungutan pajak di tengah,

3. Sistem pemungutan pajak di belakang.

Dianutnya suatu stelsel pajak tertentu dalam suatu negara membawa adanya sistem pemungutan
tertentu juga di dalamnya. Ada tiga macam stelsel pajak, yaitu :

1. Stelsel Nyata (Riil)

Dalam stelsel nyata atau riil ini pengenaan pajak didasarkan pada keadaan dari obyek pajak yang
sesungguhnya. Apabila pajak itu dikenakan terhadap penghasilan misalnya, maka pengenaan pajak
didasarkan pada penghasilan yang sungguh-sungguh diterima atau diperoleh oleh wajib pajak. Sehingga
terhadap suatu jenis pajak yang menggunakan stelsel riil, maka sistem pemungutan pajaknya adalah
sistem pemungutan pajak di belakang (naheffing). Pemungutan pajak dilakukan setelah masa atau tahun
pajak berakhir.

* Kelebihan :

Baik bagi wajib pajak maupun fiscus atau pemerintah tidak merasa dirugikan apabila terjadi perubahan
terhadap keadaan obyek pajak selama masa pajak itu berlangsung, karena semua perubahan itu tetap
dipertimbangkan dalam penentuan jumlah pajak.
* Kelemahan :

Terlambatnya uang pajak masuk ke dalam kas negara. Hal tersebut terjadi karena uang pajak baru dapat
diterima oleh negara setelah masa atau tahun pajak itu berakhir.

2. Stelsel Anggapan (Fictieve Stelsel)

Stelsel anggapan pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan hukum (fictie) tertentu. Fictie
hukum yang dipakai ini misalnya menganggap bahwa penghasilan yang diterima oleh setiap wajib pajak
adalah sama besarnya untuk setiap tahun pajak. Fictie lain yang digunakan, misalnya bagi wajib pajak
yang menerima gaji bulanan, penghasilan dalam satu tahun pajak adalah sama dengan penghasilan pada
bulan pertama dikalikan dua belas. Dengan demikian, setelah bulan pertama berakhir dan diketahui
semua penghasilan bulan itu, maka sudah dapat digunakan untuk menentukan besarnya penghasilan
setahun yang digunakan sebagai dasar untuk menentukan besarnya pajak bagi wajib pajak yang
bersangkutan. Stelsel ini menerapkan sistem pemungutan pajak di depan (voor heffing). Terhadap
perubahan yang terjadi selama masa atau tahun itu tidak mempengaruhi besarnya utang pajak pada
masa atau tahun itu.

* Kelebihan :

Uang hasil pajak segera dapat masuk ke dalam kas negara.

* Kelemahan :

Merugikan wajip pajak apabila ternyata selama masa atau tahun pajak berjalan terjadi penurunan
penghasilan dari wajib pajak. Sebaliknya juga akan merugikan negara apabila ternyata selama masa atau
tahun pajak berlangsung terjadi kenaikan penghasilan dari wajib pajak.

3. Stelsel Campuran

Stelsel ini merupakan perpaduan dari stelsel yang telah diuraikan di atas, dan sekaligus merupakan
upaya untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan dari kedua stelsel sebelumnya. Dalam stelsel
campuran ini, utang pajak dikenakan dengan mendasarkan stelsel fictie pada awal masa atau tahun
pajak yang itu merupakan ketetapan sementara, di mana setelah masa atau tahun pajak berakhir akan
dikoreksi berdasarkan keadaan dari penghasilan yang sesungguhnya diterima oleh wajib pajak. Dengan
demikian, ada dua ketetapan pajak yaitu di awal masa atau tahun pajak dikeluarkan ketetapan
sementara dan kemudian setelah masa atau tahun pajak berakhir dikeluarkan ketetapan yang final.
Penggunaan stelsel ini membawa konsekuensi digunakannya sistem pemungutan di depan dan di
belakang sekaligus. Stelsel ini digunakan dalam pajak penghasilan.

* Kelebihan :

Pada awal masa atau tahun pajak uang hasil pajak sudah dapat masuk ke dalam kas negara sehingga
dapat segera digunakan. Bagi fiscus dan wajib pajak tidak ada yang dirugikan apabila terjadi perubahan
terhadap besarnya penghasilan, karena pada akhir masa atau tahun pajak ketetapan pajak yang
didasarkan pada stelsel fictie tersebut masih dapat dikoreksi.

* Kelemahan :

Adanya ketetapan yang dilakukan dua kali selama masa atau tahun pajak yang bersangkutan. Hal ini
akan mengakibatkan adanya pekerjaan, biaya dan tenaga yang digunakan untuk menghitung dan
menetapkan utang pajak itu menjadi dua kali lipat. Hal ini tentu tidak efisien.

Untuk mengatasi berbagai kelemahan stelsel-stelsel tersebut, harus dicari terobosan baru untuk
memperkecil atau meniadakan kelemahan tersebut. Dahulu pernah diterapkan sistem MPS (menghitung
pajak sendiri) dan MPO (menghitung pajak orang lain) yang peran utamanya tidak dilakukan oleh fiscus
sendiri melainkan oleh wajib pajak. Sisitem ini kemudian mengarah kepada penerapan sistem self
assessment.

Sistem pemungutan pajak tidak hanya sebatas pada masalah waktu saja, melainkan juga mengenai
kewenangan dan tanggung jawab untuk menghitung dan menetapkan besarnya utang pajak. Beberapa
sistem pemungutan pajak, yaitu :

1. Official Assessment System

Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiscus) untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-ciri dari sistem ini adalah :

a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiscus,

b. Wajib pajak bersifat pasif,

c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak (berisi ketetapan mengenai jumlah
utang pajak yang harus dibayar wajib pajak) oleh fiscus.

Dalam sistem ini pihak fiscus masih cukup dominan untuk menghitung dan menetapkan utang pajak.
Sistem ini umumnya diterapkan terhadap jenis pajak yang melibatkan masyarakat luas di mana
masyarakat selaku subyek pajak atau wajib pajak dipandang belum mampu disertahi tanggung jawab
untuk menghitung dan menetapkan pajak. Contoh pajak yang masih menggunakan sistem ini adalah
Pajak Bumi dan Bangunan.

2. Self Assessment System

Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan
sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-ciri dari sistem ini adalah :

a. Wewewnang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri,

b. Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang,

c. Fiscus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.


Sistem ini umumnya diterapkan pada jenis pajak di mana wajib pajaknya dipandang cukup mampu untuk
diserahi tanggung jawab untuk menghitung dan menetapkan utang pajaknya sendiri. Dalam hal ini,
subyek pajak atau wajib pajak relatif terbatas, contohnya Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan
Nilai (PPN), dan Pajak Penjualan atas Barang mewah (PPn. BM). Dengan diterapkannya sistem
pemungutan yang seperti ini, diharapkan akan mengatasi kelemahan dari stelsel campuran.

3. With Holding System

Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiscus dan bukan wajib
pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri- ciri
dari sistem ini adalah :

Wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga selain fiscus dan wajib
pajak,

Tanggung jawab ada pada pihak ketiga (hal ini dapat dilihat dalam PPh dimana pemberi kerja,
bendaharawan pemerintah, dana pensiun, dan sebagainya yang kepadanya diserahi tanggung jawab
untuk memotong pajak terhadap penghasilan yang mereka bayarkan).

3. Menganalisis tantangan pemungutan pajak

Kesadaran pajak dan kepatuhan pajak di Indonesia memang masih perlu ditingkatkan, untuk dapat
menjadi ujung tombak penerimaan Negara karena sekitar ±80% sumber penerimaan Negara berasal dari
pajak . Tampaknya setiap fiskus perlu secara bertahap mengubah paradigma pajak yang berkesan penuh
paksaan dan menyeramkan menjadi suatu kebiasaan yang dilakukan dengan penuh kesadaran.

Wajib pajak masih merasa tidak mendapatkan timbal balik yang berarti dari apa yang telah
dibayarkannya kepada negara. Wajib pajak membayar pajak seringkali bukan karena bangga berstatus
sebagai wajib pajak seperti di negara-negara maju. Kepatuhan pajak masyarakat kita nampaknya
sebagian besar masih harus dipaksakan karena untuk saat ini faktanya memang belum bisa sepenuhnya
hanya mengandalkan kesadaran pajak masyarakat. Karena hal tersebut banyak WP yang enggan
membayar pajaknya dan bagi fiskus dalam pemungutan pajak secara umum baik pajak pusat maupun
pajak daerah, seringkali terdapat kendala-kendala yang melemahkan dalam pemungutan pajak dan
merupakan penyebab WP tidak mau membayar pajaknya. Kendala-kendala tersebut antara lain:

1. Berbagai peraturan pelaksanaan undang-undang yang sering kali tidak konsisten dengan undang-
undangnya.

Melaksanakan tax reform lebih pelik dan makan waktu dibandingkan dengan ketika merancang tax
reform dalam undang-undang, apabila peraturan pelaksanaan yang dijadikan dasar dalam melaksanakan
aturan hukum pajak tidak konsisten dengan undang-undang, tentu akan mengakibatkan kendala yang
fatal dalam pemungutan pajak.
2. Database yang masih jauh dari standar Internasional.

Kendala lain yang dihadapi aparatur pajak adalah database yang masih jauh dari standar
internasional. Padahal database sangat menentukan untuk menguji kebenaran pembayaran pajak
dengan sistem self-assessment. Persepsi masyarakat, bahwa banyak dana yang dikumpulkan oleh
pemerintah digunakan secara boros atau dikorup, juga menimbulkan kendala untuk meningkatkan
kepatuhan pembayar pajak. Berbagai pungutan resmi dan tidak resmi, baik di pusat maupun di daerah,
yang membebani masyarakat juga menimbulkan hambatan untuk menaikkan penerimaan pajak.

3. Lemahnya penegakan hukum (law enforcement) terhadap kepatuhan membayar pajak bagi
penyelenggara negara.

Law enforcement merupakan pelaksanaan hukum oleh pejabat yang berwenang di bidang hukum,
misalnya pelaksanaan hukum oleh polisi, jaksa, hakim dan sebagainya. Tidak kalah penting untuk
disoroti pelaksanaan hukum di lingkungan birokrasi, khususnya badan pemerintahan di bidang
perpajakan) dalam melakukan pemeriksaan terhadap para penyelenggara negara, ternyata belum ada
gebrakannya. Seharusnya bila dilakukan tentu membantu dalam mewujudkan good governance dalam
bentuk pemerintahan yang bersih.

4. Kurangnya atau tidak adanya kesadaran masyarakat.

Dalam pemungutan pajak dituntut kesadaran warga negara untuk memenuhi kewajiban kenegaraan.
Kurangnya atau tidak adanya kesadaran masyarakat sebagai wajib pajak untuk membayar pajak ke
negara mengakibatkan timbulnya perlawanan atau terhadap pajak yang merupakan kendala dalam
pemungutan pajak sehingga mengakibatkan berkurangnya penerimaan kas negara.

Tetapi diantara beberapa kendala diatas ada juga kendala yang lainnya yaitu Direktorat Jendral Pajak
(DJP) mengaku kesulitan mendapatkan data keuangan pada obyek pajak orang pribadi (OP), sehingga
menjadi kendala dalam pelaksanaan sensus pajak karena data tersebut terdapat pada pihak perbankan.(
VIVAnews 19 September, 2011 - 11:01 ).

Menurut Direktur Jendral Pajak, Fuad Rachmany, “jika dibandingkan dengan Amerika yang bisa dengan
mudah mendapatkan data-data finansial seseorang dari pihak perbankan, Indonesia tertinggal. Sebab,
hal tersebut belum bisa dilakukan”.

Hal itu bisa teratasi bila dikeluarkan suatu aturan yang mana pihaknya bisa mendapatkan data keuangan
dari pihak bank tersebut. Tetapi,Antara lembaga perbankan dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
masih terjadi “perseteruan” dan ini sudah menjadi rahasia umum. Hal tersebut terjadi karena
perbedaan kepentingan masing-masing. Disatu sisi lembaga perbankan sangat memerlukan dana dari
masyarakat dan selalu berusaha untuk meningkatkan jumlah dana yang masuk tetapi di sisi lain DJP juga
telah memiliki target mengenai jumlah penerimaan pajak untuk setiap tahunnya. Ketentuan perbankan
yang dianggap Dirjen Pajak menghambat pemeriksaan pajak antara lain adalah adanya penentuan
bahwa yang dirahasiakan segala keadaan keuangannya hanyalah nasabah penyimpan (tanpa nasabah
debitur), tetapi untuk nasabah debitur yang sekaligus nasabah penyimpan harus tetap dijaga
kerahasiaannya sebagaimana kedudukan nasabah penyimpan.karena menghambat kinerja dari DJP
sebenarnya bisa dituntut dengan pasal 41C UU KUP yang berbunyi “ setiap orang yang dengan sengaja
tidak memberikan data dan informasi yang diminta oleh Direktorat Jendral Pajak sebagaimana dmaksud
dalam pasal 35A ayat 2 dikenakan sanksi denda paling banyak Rp.800.000.000,00- dan sanksi kurungan
paling lama 10 ( sepuluh ) bulan.”

Dan cara satu-satunya untuk menggali informasi lewat bank yaitu dengan cara penerobosan rahasia
bank dan penerobosan tersebut hendaknya dilakukan dengan perlunakan sesuai dengan teori rahasia
bank relatif tetapi tidak begitu saja diberikan prosedur yang sangat mudah, sehingga rahasia bank dapat
diterobos semudah membalik telapak tangan.

Bagi lembaga perbankan tentu saja hal tersebut dapat merugikan pihaknya. Namun demikian,
penerobosan juga jangan diberlakukan sesuai dengan teori rahasia bank mutlak karena perlindungan
yang teramat sangat dari bank kepada nasabah akan mempersulit aparat pajak dalam melakukan
pemeriksaan dan hal tersebut akan menghambat proses penegakan kepatuhan pajak yang didiinginkan.
Jadi, sangat jelas bahwa tersedianya produk hukum yang adil supaya pihak bank tidak dirugikan dan
Dirjen Pajak tetap dapat memenuhi target penerimaan pajaknya sangat diperlukan meskipun disamping
itu disadari pula bahwa sangat sulit untuk membuat ketentuan dengan porsi ideal karena masing-masing
pihak memiliki kepentingan yang berbeda.

Untuk mengatasi kendala-kendala di atas ada bebrapa langkah yang harus dilakukan agar Wajib
Pajak membayar pajaknya,yaitu :

1) Orientasi Peningkatan Sumber Daya Manusia Aparatur

Orientasi adalah suatu kegiatan pemberian pengarahan yang bertujuan untuk meningkatkan
profesionalisme aparatur dibidang Perpajakan dan meningkatkan pengetahuan aparatur manajemen
pendapatan pusat maupun daerah untuk meningkatkan pendapatan daerah

2) Penyuluhan Wajib Pajak

Penyuluhan terhadap wajib pajak pusat dan daerah adalah suatu kegiatanpenyuluhan yang berbentuk
sosialisasi pendapatan pusat dan daerah serta untuk memberikan penjelasan atau pemahaman kepada
masyarakat tentang arti pentingnya pendapatan pusat dan daerah bagi Negara dan masyarakat.
3) Evaluasi Hasil Sosialisasi Pajak Daerah

Evaluasi hasil sosialisasi pajak daerah adalah suatu kegiatan penilaiandan pengukuran sejauh mana
keberhasilan dari pelaksanaan pajak daerah yangdilakukan oleh dinas–dinas pemungut .

4) Sinkronisasi ketentuan antara pihak bank dan DJP sangat diperlukan agar terwujudnya kepatuhan
masyarakat untuk membayar pajaknya.

Pada dasarnya semua masyarakat yang ada di Indonesia ini wajib membayar pajak karena dari pajak
itulah Negara ini bisa tumbuh untuk menjadi yang lebih baik,pendidikan lebih maju dan tingkat
kesejahteraan masyarakat pun juga membaik dan ketentuan rahasia bank dalam dunia perbankan
seharusnya tidak bertentangan dengan ketentuan perpajakan.

Artinya bahwa ketentuan mengenai rahasia bank yang berlaku adalah ketentuan rahasia bank yang
diperlunak bagi alasan-alasan tertentu yang diizinkan oleh undang-undang. Pelaksanaan prinsip menjaga
kerahasiaan bank disatu sisi memang merupakan suatu perlindungan yang harus diberikan oleh pihak
bank kepada nasabahnya. Di sisi lain perlindungan tersebut harus dikecualikan manakala seorang wajib
pajak yang menjadi nasabah dari suatu bank tertentu diduga melakukan pelanggaran terhadap
kepatuhan pajak dalam memenuhi kewajibannya sebagai pembayar pajak

Anda mungkin juga menyukai