• Sistem ini merupakan sistem perpajakan dimana pihak ketiga baik Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan Dalam Negeri diberi kepercayaan oleh peraturan perundang- undangan untuk melaksanakan kewajiban memotong atau memungut pajak atas penghasilan yang dibayarkan kepada penerimaan penghasilan. Pihak ketiga tersebut memiliki peran aktif dalam sistem ini, dan fiskus berperan dalam pemeriksaan pajak, penagihan, maupun tindakan penyitaan apabila ada indikasi pelanggran perpajakan, seperti halnya pada self assessment system. Sistem pajak ini menekankan kepada pemberian kepercayaan pada pihak ketiga diluar fiskus yaitu, pemberi penghasilan melakukan pemotongan atau memungut pajak atas penghasilan yang diberikan dengan suatu persentase tertentu dari jumlah pembayaran atau transaksi yang dilakukannya dengan penerima penghasilan. Jumlah pajak yang dipotong atau dipungut oleh pihak ketiga tersebut dibayarkan kepada negara melalui penyetoran pajak seperti pada aktivitas yang dilakukan di self assessment dalam jangka waktu tertentu yang telah ditetapkan Undang-undang. Nantinya jumlah yang disetorkan ke kas negara itu akan dapat diperhitungkan kembali oleh Wajib Pajak yang penghasilannya dipotong atau dipungut dengan melampirkan bukti pemotongan atau pemungutan yang diberikan oleh pihak ketiga saat transaksi penerimaan penghasilan • Merupakan suatu sistem pemungutan pajak yang pemotongnya diserahkan kepada pihak ketiga yaitu subyek pajak dalam negeri antara lain Wajib Pajak Badan, Perorangan, Pemberi Kerja, Bendaharawan Pemerintah atau subyek pajak dalam negri lainnya yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak. Manfaat Withholding Tax System • Withholding Tax System selain memperlancar masuknya dana ke kas Negara tanpa intervensi fiskus juga dapat menghemat biaya administrasi pemungutan (administrative cost), seperti pada self assessment, wajib pajak yang dipotong atau dipungut pajaknya secara tidak terasa telah memenuhi kewajiban perpajakannya. • Manfaat withholding tax system antara lain, dapat menigkatkan kepatuhan secara sukarela karena pembayar pajak secara tidak langsung telah membayar pajaknya, pengumpulan pajak secara otomatis bagi pemerintah tanpa mengeluarkan biaya, menigkatkan penerimaan pajak (optimalisasi perluasan objek pajak), merupakan penerapan prinsip convenience of tax system, serta meningkatkan penerimaan pajak (optimalisasi perluasan obyek pajak). Pajak Penghasilan Withholding Tax System • Penerapan withholding tax system di Indonesia seperti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana yang telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 tahun 2008, tidak hanya terbatas atas penghasilan dari pekerjaan (employment income) seperti gaji dan upah (PPh pasal 21); penghasilan dari modal (passive income) seperti deviden, bunga, sewa dan royalti (PPh pasal 23 dan 26), tetapi juga diperluas terhadap penghasilan dari usaha (bussines income). Bahkan, terhadap transaksi yang bukan penghasilan, seperti pembayaran kepada badan-badan pemerintah dan impor atau kegiatan usaha dibidang tertentu (PPh pasal 22). Pengaturan atas jenis-jenis penghasilan dan transaksi yang dikenakanwithholding tax tidak seluruhnya diatur oleh Undang-undang PPh, tetapi banyak didelegasikan kepada Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Pengaruh Penerapan Withholding Tax System • Withholding Tax System diterapkan karena pemerintah menganggap cara ini adalah cara termudah untuk mengoptimalkan penerimaan pajak, karena dalam sistem ini Wajib Pajak diwajibkan untuk memungut dan mengadministrasikan pajaknya pihak lain (Wajib Pajak lain). Dengan cara ini, pemerintah akan dengan mudah mengumpulkan pajak tanpa memerlukan upaya dan biaya yang besar. Walaupun akan sedikit kerumitan pada penghitungan, hal ini disederhanakan dengan penerapan tariff yang sederhana dengan menggunakan prosentase tertentu saja. Selain itu penggunaan withholding tax system dalam pemotongan pajak penghasilan telah menguntungkan dari segi efisiensi waktu, akuntabilitas data, biaya, serta kinerja terhadap diri wajib pajak (WP) dan fiskus. • seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa berdasarkan prinsip kemandirian maka penerimaan negara dari sisi pajak adalah hal yang paling efektif serta memberikan kepastian yang penuh dalam menyokong anggaran negara. Oleh karena itu, peran serta rakyat dalam perpajakan sangat penting akan hal ini. Dan apabila dihubungkan dengan penerimaan pajak, optimalisasi penerimaan pajak merupakan proses atau cara yang paling mungkin dilakukan pemerintah untuk meningkatkan dan mengamankan penerimaan negara yang atau menjadilebih baik. Dan demi kelancaran serta suksesnya penerimaan pjak yang tinggi maka pemerintah perlu menerapkan kebijakan-kebijakan perpajakan. Dengan adanya kebijakan pemerintah melalui melalui sistem pemungutan pajak oleh pihak ketiga (withholding tax system) diharapkan penerimaan pajak akan lebih optimal. • Selain Indonesia, tentu banyak negara yang menerapkan Withholding Tax System disebabkan manfaat yang diperoleh. Akan tetapi, terdapat perbedaan antara Withholding Tax System yang berlaku di Indonesia dan di banyak negara. Di banyak negara, penerapan Withholding Tax System dibatasi hanya terhadap penghasilan yang dikategorikan sebagai passive income (seperti: gaji, upah, bunga, royalti, dividen, dan sewa) dan sedikit negara yang menerapkan atas penghasilan dari kegiatan usaha (active income). Apabila ada, hanya diterapkan atas beberapa jenis penghasilan usaha. Hal ini disebabkan karena pemungutan pajak atas penghasilan usaha biasanya dilakukan melalui mekanisme angsuran masa yang jumlahnya dihitung sendiri oleh Wajib Pajak (dalam konteks perpajakan Indonesia, biasa dikenal dengan nama angsuran masa PPh Pasal 25). Sedangkan di Indonesia, penerapan Withholding Tax System hampir meluas dikenakan terhadap seluruh penghasilan dari kegiatan usaha seperti yang diatur dalam PER- 70/PJ./2007. Dalam konteks UU PPh, Withholding Tax System ini diperlakukan sebagai angsuran pembayaran pajak dan sebagai pemungutan pajak final. • Withholding Tax System merupakan cara termudah bagi pemerintah untuk memungut pajak, tetapi di pihak lain, yaitu pihak Wajib Pajak, Withholding Tax System ini menimbulkan beban pemenuhan kewajiban perpajakan (cost of compliance) yang tinggi, misalnya beban administrasi, beban sanksi administrasi kalau terlambat memotong dan/atau menyetorkan, atau alpa tidak/belum memotong pajaknya pihak lain. Dengan kata lain, dalam Withholding Tax System ini, Wajib Pajak diwajibkan untuk memungut dan mengadministrasikan pajaknya pihak lain (Wajib Pajak lain) yang mana kewajiban untuk mengadministrasikan pajaknya pihak lain tersebut sebenarnya adalah tanggung jawab pemerintah (dalam hal ini wewenang ada pada Direktorat Jenderal Pajak). • Dalam Withholding Tax System yang berlaku saat ini di Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak memiliki kewenangan penuh dalam menentukan jenis-jenis penghasilan yang merupakan objek Withholding Tax. Tidak ada pembatasan mengenai jenis-jenis penghasilan yang layak dan tidak layak dikenakan Withholding Tax. Hal ini tentunya akan memberi keleluasaan bagi Direktorat Jenderal Pajak untuk terus memperluas pengenaanWithholding Tax ini. Alasannya adalah karena penerimaan pajak akan mudah terkumpul dan tugas Direktorat Jenderal Pajak cukup mengawasi saja, dan kalau ada Wajib Pajak tidak menjalankan Withholding Tax System tersebut dengan benar, maka Direktorat Jenderal Pajak tinggal menerapkan sanksi administrasi, yang tentunya akan menambah pundi-pundi penerimaan negara. Akan tetapi, bagi Wajib Pajak, perluasan Withholding Tax ini tentunya menimbulkan cost of compliance yang tinggi, karena mereka dibebani untuk memungut pajaknya pihak lain yang seharusnya bukan tanggung jawab mereka untuk memungut dan mengadministrasikannya. Mengapa hal ini bisa terjadi? Hal ini bermula dari luasnya pendelegasian wewenang yang diberikan oleh UU PPh yang berlaku sekarang kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk menentukan sendiri jenis-jenis penghasilan yang akan dikenakan Withholding Tax. • Selain itu ada beberapa faktor penghambat penerapan dan pelaksanaan kebijakan Withholding Tax System baik dari aspek yuridis, aspek SDM, maupun asek moralitas. Misalnya sering terjadi penambahan/ perubahan peraturan perpajakan, baik fiskus dan pihak ketiga pemotong pajak (Tax Withholder) sangat terbatas, serta kurangnya kesadaran para pihak. Status kinerja Tax Withholder dan fiskus belum diatur secara spesifik dalam UU Pajak Penghasilan, sehingga bila terjadi kesalahan dan pelanggaran yang paling dirugikan adalah dari Wajib Pajak dan akan menanggung akibat hukumnya. • Berdasarkan penjelasan diatas, selain memiliki manfaat yang besar terdapat kekurangan serta beberapa faktor penghambat dalam penerapan dan pelaksanaan Withholding Tax System. Oleh karena itu, perlu adanya pembatasan terhadap pengenaan Withholding Tax atas penghasilan usaha dan kalaupun ada, jenis-jenis penghasilan yang akan dikenakan Withholding tax tersebut harus dinyatakan dengan jelas dan tegas dalam Undang-undang dan bukan didelegasikan kepada Direktorat Jenderal Pajak sepenuhnya. Kenapa harus dinyatakan dalam Undang-undang? Hal ini terkait dengan filosofi dari pajak yang intinya adalah bahwa pajak yang akan dipungut oleh negara harus berdasarkan kesepakatan antara warga negara dan negara yang dituangkan dalam Undang-undang. Pasal 23A UUD 1945 juga menyatakan secara tegas bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam Undang-undang. Sedangkan di AS dikenal dengan istilah “taxation without representation is robbery” dan di Inggris dikenal dengan istilah “no taxation without representation”. Selain itu, sebagai bentuk penghargaan kepada Wajib Pajak yang yang telah banyak membantu pemerintah dalam mengumpulkan pajak melalui sistem Withholding Tax perlu dipertimbangkan adanya pemberian kompensasi, seperti yang dilakukan di negara bagian Amerika Serikat yang memberikan kompensasi kepada pemotong/pemungut pajak untuk menutupi biaya yang telah dikeluarkannya dalam rangka melakukan administrasi pemotongan dan pelaporan pajak. Pajak yang dipungut oleh pihak ketiga (Withholding Tax)
• Penerapan system withholding tax di Indonesia seperti yang diatur
dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana yang telah diubah terakhir dengan Undang- undang Nomor 17 tahun 2000, tidak hanya terbatas atas penghasilan dari pekerjaan (employment income) seperti gaji dan upah (PPh pasal 21); penghasilan dari modal (passive income) seperti deviden, bunga, sewa dan royalty (PPh pasal 23 dan 26), tetapi juga diperluas terhadap penghasilan • dari usaha (bussines income). Bahkan, terhadap transaksi yang bukan penghasilan, seperti pembayaran kepada badan-badan pemerintah dan impor atau kegiatan usaha dibidang tertentu (PPh pasal 22). Pengaturan atas jenis-jenis penghasilan dan transaksi yang dikenakan withholding tax tidak seluruhnya diatur oleh Undang-undang PPh, tetapi banyak didelegasikan kepada Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Pajak yang dipungut oleh pihak ke tiga (withholding tax) :
• 1. Pajak Penghasilan pasal 21
• Obyek pengenaan pajaknya berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan pribadi dalam negri. • 2. Pajak Penghasilan pasal 22 • Pajak yang dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga- lembaga pemerintah lainnya berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang, dan badan-badan tertentu baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha dibidang lain. • 3. Pajak Penghasilan pasal 23 • Wajib pajak dalam negri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh pasal 21 akan dipotong oleh pemotong PPh pasal 23 yang ditunjuk. • 4. Pajak Penghasilan pasal 24 • Dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan seluruh penghasilan yang diterima dan diperoleh termasuk penghasilan dari luar negri. Pajak yang dibayar atau yang terhutang diluar negri atas penghasilan luar negri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terhutang dalam tahun pajak yang sama. • 5.Pajak Penghasilan pasal 26 • Pajak Penghasilan yang dikenakan atau dipotong atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negri selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia. Wajib Pajak Badan • Wajib Pajak Badan adalah Badan seperti yang dimaksud pada UU KUP, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan atau memiliki kewajiban subjektif dan kewajiban objektif serta telah mendaftarkan diri untuk memproleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Pengertian Badan • Menurut UU No.28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pasal 1 angka 3, Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN atau BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial poltik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. Pajak Penghasilan Badan • Pada pasal 1 UU Pajak Penghasillan, Pajak Penghasilan adalah Pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Badan seperti yang dimaksud dalam UU KUP. • Adapun subjek dari PPh Badan yaitu : • 1. Wajib Pajak Badan dalam negeri, yaitu badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. • 2. Wajib Pajak Badan luar negeri, yaitu badan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia, dan atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha melalui BUT di Indonesia. • Yang menjadi objek pajak PPh Badan adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak badan baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak badan yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Kewajiban Wajib Pajak Badan dalam Perpajakan • . 1. Kewajiban mendaftarkan diri • Dalam hal ini mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) dan apabila wajib pajak badan melakukan kegiatan penyerahan barang kena pajak dan atau jasa kena pajak atau ekspor barang kena pajak yang terutang PPN berdasarkan UU PPN 1984, maka wajib pajak badan tersebut memiliki kewajiban untuk dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak (PKP). Untuk wajib pajak badan atau pengusaha kecil yaitu selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP dan atau JKP dengan jumlah peredaran bruto tidak lebih dari Rp600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) maka tidak diwajibkan untuk dikukuhkan sebagai PKP, kecuali pengusaha kecil tersebut memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP. Jadi, apabila peredaran brutonya lebih dari 600 juta maka wajib mengukuhkan diri menjadi PKP. • Pada pasal 2 ayat (4) UU KUP, “Dirjen Pajak menerbitkan NPWP dan/atau mengukuhkan PKP secara jabatan apabila WP atau PKP tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2). • 2. Kewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan. • Sebagaimana terdapat pada pasal 28 ayat (1) UU KUP, yaitu WP orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan WP badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan pembukuan. • Pembukuan : • Menurut UU No.28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,Pembukuan adalah proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mendapatkan data & informasi keuangan yang meliputi keadaan harta, kewajiban atau utang, modal, penghasilan dan biaya serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa yang terutang maupun yang tidak terutang PPN, yang dikenakan PPN dengan tarif 0% (nol persen) dan yang dikenakan PPnBM, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan penghitungan rugi/laba pada saat tahun pajak berakhir. • Ketentuan mengenai Pembukuan : • Pembukuan tersebut harus diselenggarakan dengan: • a. memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya, • b. harus diselenggarakan di Indonesia, dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan mata uang rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menkeu, • c. diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual dan stelsel kas, • d. perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat persetujuan dari Dirjen Pajak. • Prinsip Taat Asas : • Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau rugi. Misalnya dalam penerapan : Stelsel pengakuan penghasilan; Tahun buku; Metode penilaian persediaan; Metode penyusutan dan amortisasi. Wajib Pajak Orang Pribadi • Wajib pajak orang pribadi adalah subjek pajak yang memiliki penghasilan atas usaha sendiri atau memiliki pekerjaan tidak bebas (karyawan) yang penghasilannya di atas pendapatan tidak kena pajak (PTKP), yaitu Rp 15.840.000,00. Setiap orang Wajib Pajak mendaftarkan diri dan mempunyai nomor pokok wajib pajak (NPWP), kecuali ditentukan dalam Undang – Undang. Jumlah wajib pajak orang pribadi yang terdaftar pada KPP Pratama Jakarta Cakung Satu sebanyak 77.536 WPOP. Syarat Subjektif dan Syarat Objektif Wajib Pajak • UU No.16 Tahun 2009 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan (untuk selanjutnya disebut UU KUP) tepatnya dipenjelasan Pasal 2 ayat (1) UU KUP, berikut definisinya : • 1. Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang – Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya. • 2. Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan atau pemungutan sesuai dengan Penghasilan 1984 dan perubahannya. Kewajiban dan Hak Wajib Pajak • 1. Kewajiban Wajib Pajak : a. Kewajiban mendaftarkan diri. b. Kewajiban pembayaran, pemotongan / pemungutan / dan pelaporan pajak. c. Kewajiban dalam hal diperiksa. d. Kewajiban member data. • 2. Hak Wajib Pajak : a. Hak atas kelebihan pembayaran pajak. b. Hak dalam hal wajib pajak dilakukan pemeriksaan pemeriksa. c. Hak untuk mengajukan keberatan, banding dan peninjauan kembali. • d. Hak – hak wajib pajak lainnya : • 1) Hak kerahasian bagi wajib pajak • 2) Hak untuk pengangsuran atau penundaan pembayaran • 3) Hak untuk penundaan pelaporan SPT Tahunan • 4) Hak untuk pengurangan PPh Pasal 25 • 5) Hak untuk pengurangan PBB • 6) Hak untuk pembebasan pajak • 7) Pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak • 8) Hak untuk mendapatkan insentif perpajakan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) • Pengertian NPWP Berdasarkan Undang – Undang KUP Nomor 16 Tahun 2009 Pasal 2 pengertian Nomor Pokok Wajib Pajak tersebut adalah suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak. Dengan diperolehnya Nomor Pokok Wajib Pajak, berarti Wajib Pajak telah terdaftar di Direktorat Jenderal Pajak. • Definisi Nomor Pokok Wajib Pajak adalah sebuah identitas atau nomor yang diberikan kepada wajib pajak sebagai sarana administrasi perpajakan dan untuk melaksanakan hak dan kewajibannya yang berhubungan dengan perpajakan. Fungsi NPWP • 1. Sarana dalam administrasi perpajakan. • 2. Tanda pengenal diri / identitas wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan. • 3. Dicantumkan dalam setiap dokumen perpajakan. • 4. Menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan administrasi perpajakan. Pendaftaran untuk Mendapatkan NPWP • 1. Berdasarkan sistem penaksiran sendiri untuk setiap WP wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau melalui Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4) yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan WP, untuk diberikan NPWP. • 2. Kewajiban mendaftarkan diri berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenakan pajak secara terpisah, karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta. • 3. WPOP Pengusaha tertentu yang mempunyai tempat usaha berbeda dengan tempat tinggal, selain wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggalnya, juga diwajibkan mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan. • 4. WPOP yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, bila sampai dengan suatu bulan memperoleh penghasilan yang jumlahnya telah melebihi PTKP setahun, wajib mendaftarkan diri paling lambat pada akhir bulan berikutnya. • 5. WPOP lainnya yang memerlukan NPWP dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh NPWP. Kewajiban NPWP • Apabila dikaitkan dengan kewajiban Nomor Pokok Wajib Pajak, maka yang wajib memiliki NPWP adalah : • a. Semua subjek pajak badan dalam negeri. • b. Sunjek pajak orang pribadi dalam negeri yang berpenghasilan di atas PTKP dalam satu tahun pajak. • c. BUT.