Anda di halaman 1dari 35

BAHAN AJAR PENUNTUN PRAKTIS

ADMINISTASI PERPAJAKAN

SEMESTER 3
Semester Ganjil 2022/2023
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK

OLEH
Dr. Drs.PETRUS ATONG.,M.SI
NIK-NIDN: 114.093.012-11.1705.6601
Lektor Kepala Ilmu Administrasi Publik

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


UNIVERSITAS KAPUAS SINTANG
YAYASAN MELATI SINTANG

SEPTEMBER 2022

1
BAB I
DASAR-DASAR PERPAJAKAN

1.1.Definisi dan Unsur Pajak

Definisi menurut Soemitro dalam Mardiasmo (2011:1) dinyatakan bahwa “pajak adalah
iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tiada
mendapat jasa timbal ( kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk
membayar pengeluaran umum”. Dengan pengertian itu dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki
unsur-unsur:
1. Iuran dari rakyat kepada negara, yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran
tersebut berupa uang ( bukan barang).
2. Berdasarkan undang-undang. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-
undang serta aturan pelaksanaannya.
3. Tanpa jasa timbal balik dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dala pembayaran
pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang
bermanfaat bagi masyarakat luas.
1.2. Fungsi Pajak
Ada dua fungsi pajak, yaitu:
1. Fungsi budgetair, yaitu pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah membiayai
pengeluaran-pengeluarannya.
2. Fungsi mengatur (regulerend),yaitu pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan
kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Contoh pajak tinggi untuk
minuman keras dan barang mewah serta pajak nol persen untuk barang ekspor.
1.3. Syarat Pemungutan Pajak
Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan
pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Pemungutan pajak harus bersifat keadilan, berdasarkan ketentuan dan tujuan hukum yang
mengaturnya, jika tidak sesuai bisa mengajukan keberatan (syarat keadilan).
2. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang perpajakan sebagai jaminan hukum
yang menyatakan keadilan bagi negara dan bagi warga negara (syarat yuridis).
3. Tidak menganggu perekonomian (syarat ekonomi) dalam arti pajak tidak boleh
menganggu kelancaran faktor produksi perdagangan yang secara hukum nilai pungutan
lebih rendah dari hasil penjualan sehingga tidak ada kelesuan perekonomian.

2
4. Pemungutan pajak harus efesien (syarat finansial), sesuai dengan fungsinya, biaya
pemungutan pajak harus dapat ditekan dan lebih rendah dari hasil pemungutannya.
5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana, akan memudahkan dan mendorong masyarakat
dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.Syarat ini telah dipenuhi oleh undang-undang
perpajakan yang baru.

1.4. Teori Pemungutan Pajak


1.Teori asuransi, negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda dan hak-hak rakyatnya.
Oleh karena itu rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatau premi
asuransi karena memperoleh jaminan perlindungan tersebut.
2.Teori kepentingan, pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan
perlindungan masing-masing orang. Semakin besar kepentingan seseorang terhadap
negara, makin tinggi pajak yang harus dibayar.
3. Teori daya pikul, beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak
harus dibayar sesuai dengan daya pikul masing-masing orang. Untuk mengukur daya
pikul dapat digunakan dua pendekatan, yaitu: Pertama unsur obyektif, dengan melihat
besarnya penghasilan atau kekayaan yang dimiliki oleh seseorang (pendapatan dan
beban tanggungan). Kedua unsur subyektif, dengan memperhatikan besarnya kebutuhan
materiil yang harus dipenuhi (pendapatan dan beban tanggungan).
4. Teori bakti, dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan
negaranya. Sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa
pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban.
5. Teori asas daya beli, dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya
memungut pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah
tangga negara. Selanjutnya negara akan menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam
bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat.Dengan demikian kepentingan seluruh
masyarakat lebih diutamakan.
1.5. Kedudukan Hukum Pajak
Menurut Soemitro (Madiasmo,2011:4) menyatakan bahwa hukum pajak mempunyai
kedudukan antara lain: 1). Hukum perdata yang mengatur hubungan antara satu individu dengan
individu lainnya.2). hukum publik yang mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya.
Hukum ini dapat dirinci sebagai hukum tata negara, hukum tata usaha, hukum pajak dan hukum

3
pidana. Hukum pajak yang mengatur hubungan antara pemerintah selaku pemungut pajak dengan
rakyat sebagai wajib pajak, dikenal dengan hukum pajak materiil dan hukum pajak formil
1.5.1. Hukum pajak materiil, memuat norma-norma yang menerangkan antara lain keadaan,
perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa yang dikenakan
pajak(subyek), berapa besar pajak yang dikenakan(tariff), segala sesuatu tentang timbul dan
hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak. Contoh undang-
undang pajak penghasilan.
1.5.2. Hukum pajak formil, memuat bentuktata cara untuk mewujudkan hukum materiil menjadi
kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak materiil).Hukum ini memuat antara lain: a. Tata cara
penyelenggaraan (prosedur) penetapan suatu utang pajak. b. Hak-hakfiskus untuk mengadakan
pengawasan terhadap para wajib pajak mengenai keadaan, perbuatan dan peristiwa yang
menimbulkan utang pajak. c. Kewajiban wajib pajak misalnya menyelenggarakan
pembukuan/pencatatan,dan hak-hak wajib pajak misalnya mengajukan keberatan dan banding.
Contoh ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
1.5.3. Pengelompokan pajak
menurut golongannya terdiri: a. Pajak langsung,yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh
wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: pajak
penghasilan. b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau
dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: pajak pertambahan nilai.
Pengelompokan pajak menurut sifatnya terdiri: a. Pajak subjektif, yaitu pajak yang berpangkal
atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh:
pajak penghasilan. b. Pajak objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa
memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh: pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan
atas barang mewah.
Menurut lembaga pemungutnya pajak, yaitu: a. Pajak pusat, pajak yang dipungut oleh
pemerintah pusat. b. Pajak daerah, pajak yang oleh pemerintah daerah (pajak motor, mobil,
hotel,restoran,hibura,pajak bumi dan bangunan dan lain-lain diluar pajak penghasilan,
pertambahan nilai, penjualan barang mewah dan bea materai).
1.6. Tata cara pemungutan pajak, terdiri atas 3 :
1.6.1. Stelsel pajak, dilakukan berdasarkan: a. Stelsel nyata (riel stelsel), pengenaan pajak atas
dasar pada objek atau penghasilan nyata yang telah ditetapkan berdasakan ketentuan. b. Stelsel
anggapan (fictieve stelsel),pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh
undang-undang. Contoh: penghasilan satu tahun berjalan, sehingga awal tahun bejalan berikutnya

4
dapat ditentukan besar nilai pajak. c. Stelsel campuran, pengenaan pajak merupakan kombinasi
antara stelsel nyata dan anggapan, yang dapat dihitunga setelah akhir tahun dan disesuaikan
dengan keadaan yang sebenarnya.
1.6.2. Asas pemungutan pajak: a. Asas domisili (asas tempat tinggal), negara berhak
mengenakan pajak atas seluruh penghasilan wajib pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya,
baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri. b. Asas sumber, negara berhak
mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tenpat
tinggal wajib pajak. c. Asas kebangsaan, pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu
negara.
1.6.3. Sistem pemungutan pajak: a. Official assessment system, adalah suatu sistem pemungutan
yang memberikan wewenang kepada pemerintah untuk menentukan besarnya pajak yang terutang
oleh wajib pajak, sesuai dengan surat ketetapan pajak terhutang. b. Self assessment system, adalah
suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada wajib pajak untuk
menentukan sendiri besarnya pajak terhutang, yaitu menghitung, melapor dan mnyetorkan sendiri
pajak yang terhutang. c. With holding system, adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
memberikan wewenang kepada pihak ketiga untuk menentukan besarnya pajak yang terhutang
oleh wajib pajak.
1.7.Timbul dan hapusnya utang pajak
Ada dua jaran yang mengatur timbulnya utang pajak: 1. Ajaran formil yaitu utang pajak
timbul karenan dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh pemerintah/fiskus. Ajaran ini
diterapkan pada official assessment system. 2. Ajaran matariil yaitu utang pajak timbul karena
berlakunya undang-undang. Seseorang dikenai pajak karena suatu keadaan dan perbuatan. Ajaran
ini diterapkan pada self assessment system. Hapusnya utang pajak dapat disebabkan antara lain: 1.
Pembayaran. 2. Kompensasi. 3. Daluwarsa. 4. Pembebasan dan penghapusan.
1.7.1.Hambatan pemungutan pajak:1. Perlawanan pasif, yaitu masyarakat enggan(pasif)
membayar pajak yang dapat disebabkan antara lain:a. Perkembangan intelektualitas dan moral
masyarakat. b. Sistem perpajakan yang sulit dipahami masyarakat. c. Sistem control tidak dapat
dilakukan atau dilaksanakan dengan baik. 2. Perlawanan aktif, yaitu perlawanan aktif meliputi
semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada fiskus/pemerintah dengan
tujuan untuk menghindari pajak. Penerapan tarif pajak dilakukan dengan cara: a. Tarif
sebanding/proporsional ( dengan persentase yang tetap). b. Tarif tetap berupa jumlah yang tetap
berapapun jumlahnya seperti bea materai. c. Tarif progresif yang digunakan semakin besar bila
jumlah yang dikenai pajak semakin besar, seperti pajak penghasilan untuk wajib pajak orang

5
pribadi. d. Tarif degresif, tariff yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang kenai pajak
semakin besar.
1.7.2. Pajak dan jenis pajak.
Pajak negara sampai sekarang masih berlaku seperti: pajak penghasilan(PPh), pajak pertambahan
nilai dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPnBM), bea materai, pajak bumi dan
bangunan, dan pajak bea perolehan ha katas tanah dan bangunan (BPHTB). Ketentuan pajak
tersebut dipisahkan kewenangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, artinya ada yang menjadi
kewenangan pemerintah pusat dan kewenangan pemerintah daerah. Sesuai dengan ketentuan yang
masih berlaku, untuk pajak daerah jenis pajak dan objek pajak terdiri atas:1. Pajak provinsi,
terdiri dari: a. Kendaraan bermotor. b. Bea balik nama kendaraan bermotor. c. Bahan bakar
kendaraan bermotor. d.Air permukaan. e. Pajak rokok. 2. Pajak kabupaten/kota terdiri: a. Hotel. b.
Restoran. c.Hiburan. d.Reklame. e.Penerangan. f. Meneral non logam. g. Parkir. h.Air tanah.
i.Sarang burung. j.Pajak bumi dan bangunan sektor perkotaan dan pedesaan. k.Bea perolehan ha
katas tanah dan bangunan.

BAB 2
KEBIJAKAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

6
2.1.Penting Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan
Peranan pajak dalam pembangunan terasa sangat penting, sebab dana yang dipergunakan
untuk membangun bangsa Indonesia sebagian besar dibiayai dari pendapatan pajak (Adiyati,
2009). Oleh sebab itu dari tahun ke tahun pemerintah terus berupaya untuk mengoptimalkan
pemasukan pajak. Guna mendukung tujuan tersebut perlu adanya peraturan yang mendukung agar
realisasi penerimaan pajak dapat tercapai. Pajak sangat besar artinya, karena peranannya dapat
menunjang pertumbuhan ekonomi. Untuk itu pemerintah berupaya meningkatkan penerimaan
pajak, salah satunya melalui reformasi kebijakan perpajakan. Perubahan kebijakan tersebut
(peraturan perundang-undangan perpajakan) mengatur sistem perpajakan secara menyeluruh yang
sejalan dengan perkembangan perekonomian saat ini dan di masa yang akan datang (Bastian,
2006).
Menurut Harahap (2004:16) Perubahan yang dilakukan dalam sistem perpajakan yaitu
dari sistem official assessment menjadi sistem self assessment. Dengan adanya perubahan sistem
perpajakan tersebut diharapkan mampu meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Dalam sistem
perpajakan secara menyeluruh, administrasi pajak harus efisien dalam pelaksanaan peraturan
perundang-undangan perpajakan, yaitu tidak menyulitkan baik pemerintah dalam melakukan
pemungutan pajak maupun wajib pajak dalam melakukan kewajibannya. Pajak adalah iuran
rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada
mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan
untuk membayar pengeluaran umum (Nuansa, 2012:1).
Dalam pembiayaan pembangunan suatu daerah, pemerintah daerah membutuhkan pajak
sebagai salah satu sumber penerimaan daerah. Dengan adanya pemberian otonomi daerah kepada
pemerintah daerah dan di keluarkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah memberikan lebih banyak kewenangan kepada daerah dalam
menjalankan fungsi pemerintahan dan untuk mengatur sumber-sumber penerimaan daerah sebagai
wujud pelaksanaan otonomi daerah. Sumber-sumber penerimaan daerah dalam pelaksanaan
otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor
33 Tahun 2004 pasal 5 ayat (2) terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain-
lain pendapatan asli daerah yang sah.
Dalam penerimaan dana perimbangan, salah satunya merupakan penerimaan Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak yang bersifat kebendaan
dalam arti besarnya pajak ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau bangunan.

7
Keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak. Meskipun PBB
memiliki nilai rupiah kecil dibandingkan dengan pajak pusat lainnya tetapi memiliki dampak yang
luas, sebab hasil penerimaan PBB dikembalikan untuk pembangunan daerah ang bersangkutan.
PBB mempunyai wajib pajak terbesar dibandingkan dengan pajak-pajak yang lain (Halim,
2004:71).
Di samping itu merupakan satu-satunya pajak yang mengalami kenaikan dari tahun ke
tahun. Kebijakan pemerintah yang mengatur Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1994, bahwa pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan diserahkan kepada daerah, sebagaimana
disebutkan pada pasal 14 Undang-Undang tersebut, yaitu Menteri Keuangan dapat melimpahkan
kewenangan penagihan pajak kepada Gubernur dan atau Bupati/ Walikota. Sedangkan dalam
pelaksanaan selanjutnya dapat dilimpahkan kepada Camat dan Lurah selaku perangkat daerah
Kabupaten/Kota (Susanto, 2012) & (Valentina, 2013:109).
Dengan adanya pelimpahan wewenang tersebut pemerintah daerah berusaha membuat
kebijakan-kebijakan untuk mencapai target yang ditetapkan pemerintah pusat kepada masing-
masing pemerintah daerah (Leonardo, 2011:42). Kebijakan yang ditetapkan pemerintah daerah
antara lain adalah menetapkan target-target yang harus dicapai oleh daerah di tingkat bawahnya,
sampai dengan tingkat desa/kelurahan. Dimana pemungutan di tingkat desa/kelurahan merupakan
ujung tombak dari kegiatan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) secara keseluruhan,
karena di tingkat desa/kelurahan para petugas pemungut akan berhadapan langsung dengan
masyarakat wajib pajak.
Kesadaran untuk menjadi wajib pajak yang patuh merupakan salah satu kepatuhan
terhadap hukum. Kepatuhan terhadap pembayaran pajak termasuk tertib terhadap hukum
perpajakan dimana disebutkan hokum perpajakan tidak pandang bulu dan tidak luput dari
perkecualian baik dimana saja serta siapa saja semua sama berdasarkan ketentuan hukum
perpajakan yang berlaku untuk menghindari sanksi administrasi yang akan merugikan wajib pajak
sendiri. Masih cukup banyak rakyat yang tidak sadar akan kewajiban – kewajibannya, yang
seharusnya mereka malu bahwa untuk kepentingan – kepentingannya, untuk kepentingan anak
cucunya mereka enggan memenuhi kewajibannya yang hanya setahun sekali dan jumlahnya tidak
seberapa (Torgler & Schaffner, 2007:229).
Dapat diumpamakan bahwa mereka yang hidup demikian adalah bagaikan benalu yang
ingin hidup secara menumpang pada kehidupan orang lain yang sadar akan kewajibannya. Mereka

8
tidak sadar untuk memenuhi kewajiban PBB-nya seakan buta atau menutup mata akan adanya
jalan – jalan dan sarana perhubungan lainnya yang mereka gunakan setiap hari (Soemitro,
2011:54). Mereka buta atau sengaja membutakan dirinya terhadap segala sesuatu yang mereka
perlukan, yang adanya sarana – sarana dan aparatur memerlukan sejumlah biaya besar. Upaya
untuk memperlancar penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan para aparatur/petugas juga
mempengaruhi tercapai atau tidaknya target pendapatan Pajak Bumi dan Bangunan. Dimana
untuk memperlancar penarikan dan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) diperlukan
aparatur yang berkualitas, karena para petugas adalah para pelaku yang terlibat langsung dalam
proses pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Menurut Friedrich dalam Nugroho (2011: 17) dikatakan bahwa Kebijakan sebagai suatu
arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan
tertentu yang memberikan hambatanhambatan dan peluang-peluang terhadap kebijakan yang
diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau
merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu. Implementasi pemungutan Pajak Bumi
dan Bangunan tidak terlepas dari usaha-usaha yang dilakukan oleh petugas pemungut Pajak Bumi
dan Bangunan mulai dari penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) sampai
dengan pendataan yang diterima dari hasil pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan, termasuk di
dalamnya adalah proses administrasi yang dijalankan.
Pada pelaksanaan di lapangan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan dapat dilihat pada
pelaksanaan beberapa bagian dari proses pemungutan itu sendiri , yang meliputi : Penerbitan Surat
Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang
(SPPT), Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan, Pemberian Penyuluhan serta Pengawasan
sebagai kebijakan Pemerintah dalam memenuhi target penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) serta kendala-kendala yang dapat mempengaruhi Implementasi Kebijakan Pemungutan
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Sesuai dengan UU No. 12 Tahun 1994 pasal 10 tertulis bahwa
“berdasarkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan SPPT untuk
disampaikan kepada masing-masing Kepala Kelurahan.
Namun, pada dasarnya dilakukan oleh petugas dari masing-masing RT namun pada
masyarakat ditemukan bahwa yang menyampaikan SPPT adalah petugas kelurahan. Serta masih
ditemukkan kendala-kendala, antara lain objek pajak tidak sesuai dengan yang dimiliki wajib
pajak serta kurangnya sosialisasi tentang PBB secara langsung dari petugas yang ada di lapangan.
Seperti yang dikemukakan oleh Ibu Nurul selaku petugas loket PBB di kecamatan (Paseleng,
2012). Dalam penyampaian SPPT yang melakukan adalah pegawai dari kelurahan yang

9
didampingi oleh petugas masing-masing RT. Penyampaian SPPT ini masih ditemukan kendala-
kendala diantaranya Objek pajak tidak sesuai dengan yang dimiliki oleh wajib pajak serta
rendahnya sosialisasi tentang PBB secara langsung dari petugas-petugas yang ada di lapangan”.
Dari apa yang disampaikan oleh Ibu Nurul ternyata dalam penyampaian SPPT masih
belum terimplementasi secara baik sesuai UU No. 12 Tahun 1994 pasal 10 ayat (1) bahwa
terdapat kendala-kendala, seperti masih rendahnya sosialisasi tentang penyampaian SPPT kepada
wajib pajak. Sementara mengenai masalah pembayaran PBB sesuai dengan UU No. 12 Tahun
1994 pasal 11 tertulis bahwa “pembayaran PBB dilakukan di bank maupun kantor pos yang telah
ditunjuk oleh menteri Keuangan”. Namun kenyataannya masyarakat lebih memilih untuk
membayar melalui pegawai yang datang ke wilayah masing-masing. Seperti apa yang
disampaikan oleh Ibu Nurul selaku petugas loket PBB di Kecamatan yang mengatakan bahwa
(Paseleng, 2012):
“Masyarakat cenderung lebih memilih membayar melalui pegawai yang datang ke wilayah
masing-masing atau ke loket yang ada di kecamatan karena dianggap cenderung tidak membuang
biaya yang terlampau besar dibandingkan membayar melalui bank maupun kantor pos”.
Sementara mengenai masalah pembayaran juga belum terimplementasi secara baik sesuai dalam
UU No. 12 Tahun 1994 pasal 11 ayat (5) yang tertulis bahwa “pembayaran PBB dilakukan di
bank maupun kantor pos yang telah ditunjuk oleh menteri Keuangan”. Akan tetapi masyarakat
lebih memilih membayar melalui petugas yang datang ke wilayah masing-masing daripada
melalui bank atau kantor pos maupun melalui loket pembayaran yang ada di Kecamatan. Hal ini
akibat kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh tim intensifikasi kecamatan kepada masyarakat
tentang mekanisme pembayaran PBB. Dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang
perubahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah,
disebutkan bahwa “Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data
subjek pajak dan objek pajak atau retribusi, penentuan besarnya pajak atau retribusi yang
terhutang sampai pada kegiatan penagihan pajak atau retribusi kepada wajib pajak atau wajib
retribusi serta pengawasan penyetorannya”.
Mengingat betapa pentingnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagai salah satu sumber
Keuangan Negara dalam rangka untuk membiayai kegiatankegiatan pembangunan dan
pemerintahan maka, diperlukan adanya penanganan dan perhatian yang serius dari semua pihak
(Pertiwi, 2014). Baik mengenai petugas pemungut, wajib pajak, maupun mengenai proses
pelaksanaan pemungutan itu sendiri.Dengan semakin berkembangnya kebutuhan dan tuntutan
masyarakat dimasa depan maka dibutuhkan Pemerintah yang benar-benar mampu memerintah

10
(Capable government). Karena itu menurut Hardiningsih & Nila (2011) diperlukan refleksi kritis
untuk mencari alternatif solusi yang dianggap cocok dan mampu memenuhi berbagai kebutuhan
baru akan pelayanan publik yang efisien dan berkualitas. Pada sisi lain, tuntutan politik yang
berkembang di aras globalisasi ini, kemudian melahirkan reformasi disegala kehidupan bangs
adan negara, hingga melahirkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Menghadapi tuntutan implementasi Otonomi Daerah tersebut mengharuskan daerah
mengacu kemampuan “self supporting” dalam bidang keuangan. Sedangkan sumber pendapatan
daerah tidak hanya pada Pendapatan Asli Daerah Sendiri (PADS) tetapi juga berupa pemberian
bagi hasil dari penerimaan Pemerintah Pusat. Diantara sumber penerimaan pusat adalah Pajak
Bumi dan Bangunan. Hasil penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan tidak seluruhnya masuk pada
Kas Daerah Kabupaten/Kota sebagai kontribusi dalam Pendapatan Asli Daerah tetapi ditetapkan
pembagian antara Pusat dan Daerah Tingkat I dan II sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1984, yang disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994,
yang pembagiannya ditetapkan bahwa Pemerintah Pusat 10%, Pemerintah Porpinsi Tingkat I
16,2%, Pemerintah Kabupaten4/Kota 64,8% dan upah pungut 9%.
Meskipun telah ada pelimpahan kewenangan kepada Bupati/Walikota melalui Keputusan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 1007/KMK /04/1985, akan tetapi pelimpahan
kewenangan tersebut terbatas pada mekanisme penagihan semata bagi wajib pajak, sedangkan
urusan prinsipil yang menyangkut administrasi seperti, pendataan obyek dan subyek pajak,
penetapan Pajak Bumi dan Bangunan sampai pada pemaksaan dan sanksi masih berada pada
Departemen Keuangan dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan. Dengan
adanya pemisahan kewenangan kepada instansi yang berbeda (KPPBB dari Departemen
Keuangan) dan Pemerintah Kota, kendala yang timbul dalam implementasi kebijakan mengenai
mekanisme pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perkotaan adalah (Pratama, 2012):
1. Pada waktu wajib pajak menerima Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) akan
melakukan kewajibannya membayar PBB ke tempat pembayaran / petugas pemungut, ternyata
Surat Tanda Terima Setoran (STTS) sebagai tanda terima / bukti pembayaran belum diterima oleh
Bank tempat Pembayaran / Petugas pemungut;
2. Apabila wajib pajak merasa keberatan atas pajak atau terdapat kesalahan administrasi seperti
pencantuman nama / alamat / luas bangunan / tanah di SPPT, wajib pajak tidak dapat langsung
menyampaikan usulan keringanan atau pembetulan SPPT dimaksud kepada Bank Tempat

11
pembayaran / Petugas Pemungut, tetapi harus terlebih dahulu dibetulkan ke Kantor Pelayanan
Pajak Bumi dan Bangunan (KP-PBB).
Gambaran diatas menunjukkan betapa panjangnya proses mekanisme pembayaran pajak,
yang harus dilaksanakan wajib pajak. Sedang kelancaran penerimaan pajak ini sangat menunjang
pemasukan pendapatan daerah. Itulah sebabnya dari tahun ke tahun tunggakan Pajak Bumi dan
Bangunan selalu mengalami nilai nominal tunggakan cukup besar. Tunggakan Pajak Bumi dan
Bangunan ini bukan hanya berdampak pada kelancaran pelaksanaan pemerintahan dan
pembangunan, tetapi terkait pula pengaruhnya dengan perekonomian pemerintahan dan
pembangunan, tetapi terkait pula pengaruhnya dengan perekonomian daerah.
Di beberapa negara dunia ketiga implementasi kebijakan hanyalah dibuat atas dasar
inisiatif pemerintah saja dan seringkali tanpa melalui pembicaraan atau konsultasi dengan
kelompok-kelompok masyarakat yang ada (Hair et.al, 2010:89). Di dalam tubuh pemerintahan,
proses pembuatan suatu kebijakan seringkali hanya melibatkan sekelompok kecil masyarakat,
sehingga kondisi seperti ini tidak saja kurang mendapatkan dukungan atau perhatian terhadap
pelaksanaan, suatu kebijakan, tetapi juga ketidaksiapan dari birokrasi (implementing agencies) itu
sendiri yang mengakibatkan kegagalan dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu Hendarsyah
(2009:56) menyatakan bahwa implementasi kebijakan sesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut
paut dengan mekanisme penjabaran keputusan keputusan politik ke dalam prosedurprosedur rutin
melalui saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu.
Pujiani (2013) menjelaskan bahwa dalam implementasi kebijakan menyangkut pula
masalah konflik keputusan oleh siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. Suatu kebijakan
memang lebih mudah untuk dipahami secara abstrak dan seolaholah dapat dilaksanakan, padahal
di dalam pelak-sanaannya senantiasa menuntut adanya ketersediaan sumber-sumber daya sebagai
kondisi yang diharapkan dapat menjamin kelancaran pelaksanaan suatu kebijakan. Sebagai
sandaran teoritik utama untuk mendiskripsikan serta menganalisis hambatan-hambatan
implementasi kebijakan publik (dalam hal ini pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan) akan
digunakan model proses implementasi kebijakan dari Van Meter dan Van Horn sebagaimana
disitir oleh Pertiwi (2014), sebagaimana Gambar 1.1.

12
Gambar 1.1 Implementasi Kebijakan Model Van Meter dan Van Horn
Model yang dikembangkan oleh Van Meter dan Van Horn tersebut di atas disebut sebagai
A Model Of The Policy Implementasi Process (Model Proses Implementasi Kebijaksanaan).
Bahwa dalam mencapai efektivitas kebijaksanaan publik, maka jalan yang menghubungkan antara
kebijakan dan kinerja kebijakan dipisahkan oleh beberapa faktor yang saling terkait, yaitu:
a. Ukuran dan tujuan kebijaksanaan
b. Sumber-sumber kebijaksanaan
c. Ciri-ciri sifat badan/instansi pelaksana
d. Komunikasi antara organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan
e. Sikap aparat pelaksana dan
f. Lingkungan ekonomi, sosial dan politik.
Sejalan dengan pendapat tersebut Hair et.al (2010 : 65) mengatakan bahwa implementasi
kebijakan itu sesungguhnya tidak hanya menyangkut perilaku badan-badan administrative yang
bertanggungjawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok
sasaran, melainkan pula menyangkut jaringan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi, sosial yang
langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang terkait. Peran
pajak (PBB) dalam suatu negara dapat dikatakan sebagai basis material dan darah kehidupan
(lifeblood) bagi negara dan roda kekuasaanya. Dalam catatan sejarah, tidak ada Negara otoriter
maupun demokratis yang dapat bertahan hidup dan menjalankan roda kekuasaannya tanpa adanya
pajak dari rakyat. Sehingga dapat diteorikan, apabila basis material dan darah kehidupan ini
“pajak” bisa berjalan dengan lancar baik dari segi penganggaran maupun pembelanjaannya, akan

13
tercipta suatu negara yang sejahtera. Pajak dibayar, negara tegak; pajak diboikot negara ambruk
(Bagir, 2002); (Hasibuan, 2000) & (Widjaja, 2004:23).
Lebih lanjut Widjaja (2003:27) menjelaskan, walaupun sebenarnya banyak sekali sektor
pendapatan negara ini yang telah dikembangkan untuk meningkatkan anggaran negara. Mulai dari
pemanfatan sumber daya alam yang melimpah sampai penyelenggaraan usaha-usaha perusahaan
negara. Akan tetapi sektor-sektor tersebut masih belum bisa membawa negara ke jenjang yang
lebih baik seperti yang diharapkan. Pajak Bumi dan Bangunan merupakan bagian terpenting dari
denyut nadi perekonomian suatu Negara, dengan pemungutan pajak Negara dapat memakmurkan
rakyat dan dapat membiayai rumah tangga Negara itu sendiri, namun kendalanya selama ini pajak
masih di andalkan untuk pendapatan Negara yang paling banyak dan menempatai urutan pertama
dalam APBN (Moenir, 2006).
Potensi Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia sangat luar biasa, tetapi pemanfaatannya
kurang maksimal sehingga kesejahtraan masyarakat tidak bisa terjamin dan masih banyak rakyat
yang hidup dibawah garis kemiskinan. Peran Pajak Bumi dan Bangunan dalam mewujudkan
perekonomian serta untuk membangun Negara sangat potensial sehingga diperlukan suatu
kesadaran dalam membayar pajak.Pajak bumi dan bangunan dalam hal ini juga dapat merangsang
pertumbuhan dan pemberdayaan daerah, dengan hasil yang didapatkan dari Pajak Bumi dan
Bangunan harapan besar ketika dikembalikan ke daerah dapat dimanfaatkan dengan baik dan
sesuai keinginan rakyatnya. Menurut Hasibuan (2000:78), proses pemungutan Pajak Bumi dan
Bangunan sudah menjadi kerangka yang sangat ideal, apali sebagian besar dari dana pendapatan
di kemabalikan lagi ke daerah dalam bentuk DAK, DAU, dsb.
Pajak Bumi dan Bangunan tidak hanya penting sebagai sumber penerimaan daerah tetapi
juga strategis dan signifikan pengaruhnya terhadap berbagai aspek kegiatan kehidupan yang lain.
Dengan demikian persoalan PBB tidak hanya persoalan ekonomi atau administrasi maupun
persoalan keuangan tetapi harus dilihat secara holistik dan komprehensif. Dalam konteks seperti
inilah pemerintah merasa penting untuk mengatur dan mengelola PBB, untuk selanjutnya
sebagian besar didistribusikan kembali ke pada daerah-daerah dengan persentase tertentu (Riwu &
Josef, 2005:51). Pajak Bumi dan Bangunan ( PBB ) adalah pajak negara yang dikenakan terhadap
Bumi dan Bangunan berdasarkan Undang-Undang no 12 tahun 1994. PBB adalah pajak yang
bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu
bumi/tanah dan atau bangunan.Objek PBB adalah Bumi dan atau Bangunan. Bumi yaitu
permukaan bumi (tanah dan perairan), dan tubuh bumi yang ada dipedalaman serta di laut
Indonesia (Moenir, 2006:126). Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan jenis pajak yang

14
sepenuhnya diatur oleh pemerintah dalam menentukan besar pajaknya (menganut sistem
pemungutan official assessmen system). Pajak ini bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak
terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan/atau bangunan. Di sini keadaan
subyek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.
Adapun hasil dari penerimaan pajak tersebut dilakukan pembagian antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah Tingkat II dan Tingkat I, akan tetapi sebagian besar dari penerimaan
pajak diberikan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II3 sebagai pendapatan daerah yang
bersangkutan. Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan harus benar-benar diatur dengan undang-
undang sehingga dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat. Sebelum diterbitkannya
undang- undang Pajak Bumi dan Bangunan tahun 1985, pengaturan tentang pajak yang berkaitan
dengan bumi dan /atau bangunan sudah ada sejak zaman kolonial seperti Ordonansi Pajak Rumah
Tangga 1908, Ordonansi Verponding Indonesia 1923, Ordonansi Verponding 1928, Ordonansi
Pajak Kekayaan 1932, Ordonansi Pajak Jalanan 1942, Iuran Pembangunan Daerah 1957, Pajak
Hasil Bumi 1959.
Sejak tahun 1986 Pajak Bumi dan Bangunan dipungut berdasarkan Undang-Undang No.
1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, yang merupakan penyederhanaan dari undang-undang di
atas. Dalam sejarah perkembangannya, Undang-Undang PBB tahun 1985 mengalami perubahan
pada tahun 1994. Adapun tujuan dan arah penyempurnaannya adalah seperti disebutkan dalam
penjelasan undang-undang No. 12 Tahun 1994: Menunjang kebijaksanaan pemerintah menuju
kemandirian bangsa dalam pembiayaan pembangunan yang sumber utamanya berasal dari pajak.
Suharno (2003:36) menjelaskan bahwa subjek pajak PBB adalah orang pribadi atau badan
yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan /bangunan. Jangkauan subjek dalam UU
PBB sangat luas, karena meliputi orang atau badan yang memiliki, menguasai dan /atau
memperoleh manfaat atas bumi dan / atau bangunan. Ini berarti meliputi antara lain pemilik,
penghuni, pengontrak, penggarap, pemakai dan penyewa atas bumi dan /bangunan. Oleh karena
sangat luasnya maksud yang terkandung dalam UU PBB, yang menjadi subjek pajak belum tentu
menjadi wajib pajak. Sebab subjek pajak akan /baru menjadi wajib pajak apabila sudah memenuhi
sayarat-syarat objektif atau sudah mempunyai objek PBB yang dikenakan pajak. Yang berarti
subjek pajak mempunyai hak atas objek yang dikenakan pajak (memiliki, menguasai, memperoleh
manfaat dari objek kena pajak).
Misalanya si A memperoleh manfaat dari bangunan yang Nilai Jual Kena Pajaknya kurang
dari Rp. 8000.0006,-. Si A tetap menjadi subjek pajak akan tetapi bukan merupakan wajib pajak.
Yang berarti dia akan dibebaskan dari kewajiban pembayaran pajak. Ketentuan ini bermaksud

15
untuk tidak mengenakan atas rumah /bangunan milik subjek pajak yang kurang mampu. Jika suatu
objek pajak belum diketahui secara pasti siapa wajib pajaknya, maka Dirjen Pajak oleh undang-
undang diberi wewenang untuk menunjuk dan menetapkan subjek pajak sebagai wajib pajak.
Beberapa ketentuan khusus tentang siapa yang menjadi subjek pajak dalam hal ini adalah
(Soemitro, 2011:90):
a. Jika subjek pajak memanfaatkan dan menggunakan bumi dan /bangunan milik orang lain
bukan karena suatu hak atau perjanjian, maka subjek pajak tersebut ditetapkan sebagai wajib
pajak.
b. Jika objek pajak masih dalam sengketa, maka orang /badan yang memanfaatkan objek pajak
tersebut ditetapkan sebagai wajib pajak.
c. Apabila subjek pajak sudah memberi kuasa kepada orang/badan untuk merawat (mengurus)
bumi dan bangunannya disebabkan suatu hal, maka orang/badan yang telah diberi kuasa
dapat ditetapkan sebagai wajib pajak.
Sebenarnya Pajak Bumi dan Bangunan tidak mengenal adanya pengecualian terhadap
subjek pajak, karena pajak ini bersifat objektif. Yang ada hanya pengecualian objek pajak. Wakil-
wakil diplomatik (konsulat) dan wakil-wakil organisasi internasional yang ditentukan oleh
Menteri Keuangan untuk tidak dikenakan pajak bumi dan bangunan, bukan berarti pengecualian
subjektif, melainkan karena pembebasan /pengecualian objektif, yaitu yang digunakan oleh wakil-
wakil tersebut, pengecualian /pembebasan pajak tersebut dengan syarat timbal balik atau
pembebasan itu baru diberlakukan, jika negara yang bersangkutan juga memberikan pembebasan
yang sama dari pajak yang dikenakan kepada wakil-wakil diplomatik Indonesia. Bila syarat ini
tidak dipenuhi, maka dengan sendirinya pembebasan pajak itu tidak berlaku.
Dalam undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan tahun 1985 menyebutkan bahwa yang
menjadi objek Pajak Bumi dan Bangunan adalah bumi dan /bangunan. Keduanya (bumi dan
bangunan) dapat berdiri sendiri (bumi saja atau bangunan saja) maupun secara bersama-sama
sebagai objek yang dapat dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan. Pengertian bumi dijelaskan
meliputi permukaan bumi dan juga tubuh bumi yang ada di bawahnya. Apa yang disebut
“permukaan bumi” di sini tak lain adalah tanah itu sendiri yang meliputi perairan. Sedangkan
“tubuh bumi” adalah apa-apa yang berada di dalam bumi dan yang berada di bawah air. Apa yang
disebut dengan air (perairan) disini mencakup perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa) serta laut
wilayah Indonesia (Soemitro, 2011:109).
Jadi yang menjadi objek Pajak Bumi dan Bangunan itu adalah tanah, air (perairan) dan
tubuh bumi. Contoh : sawah, ladang, kebun, pekarangan, tambang, dll. Bangunan sebagai objek

16
Pajak Bumi dan Bangunan adalah Konstruksi teknik yang ditanamkan atau dilekatkan secara tetap
pada tanah dan/atau perairan di wilayah Republik Indonesia yang diperuntukkan sebagai tempat
tinggal atau tempat usaha. Yang termasuk dalam pengertian bangunan dalam penjelasan Undang-
Undang Pajak Bumi dan Bangunan adalah (Riwu & Josef, 2005:52):

Kolam Renag

Galangan Kapal
Jalan dan Dermaga
tol Tempat Olahraga

Taman Mewah
dll

Pagar Mewah

Apabila seseorang atau badan memiliki rumah (bangunan) yang berada di atas tanah orang
lain sehingga pemilik bangunan terpisah dari pemilik tanah. Undang-undang Pajak Bumi
Bangunan memungkinkan pemilik bangunan dikenakan pajak sendiri terlepas dari pajak yang
dikenakan pada pemilik tanah. Dalam keadaan seperti itu, pengaturan hukum (Undang-Undang
Pokok Agraria) menganut asas “pemisahan horizontal” yang bertumpu pada hukum adat. Masalah
ini sering terjadi di kota-kota besar yang banyak dibangun rumah bertingkat dan di setiap tingkat
dimiliki oleh orang lain. Yang sekarang lebih kita kenal dengan sebutan rumah susun atau
apartemen. Sedangkan untuk bumi atau bangunan yang digunakan oleh negara dalam
menyelenggarakan pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah. Sedangkan mengenai bumi dan /bangunan milik perorangan atau badan
(swasta) yang digunakan oleh pemerintah untuk menyelenggarakan pemerintahan, kewajiban
pajakannya tergantung dari perjanjian.
Berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, menyebabkan
perubahan yang mendasar mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah berupa pengaturan
17
hubungan Pusat dan Daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam
hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pada sisi lain, tuntutan politik yang
berkembang di aras globalisasi ini, kemudian melahirkan reformasi disegala kehidupan bangsa
dan negara, hingga melahirkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Menghadapi tuntutan implementasi Otonomi
Daerah tersebut mengharuskan daerah mengacu kemampuan “self supporting” dalam bidang
keuangan. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan salah satu sumber pendapatan daerah,
yang diharapkan dapat membantu pembiyaan daerah untuk melaksanakan otonominya, yaitu
mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri disamping penerimaan yang berasal
dari pemerintah berupa subsidi/bantuan.
Sumber Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tersebut diharapkan menjadi sumber
pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, dan pembangunan daerah untuk meningkatakan
pemerataan kesejahteraan rakyat. Namun dalam kenyataanya selama ini kontribusi Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB) yang ada tidak pernah mampu mencapai target yang ditetapkan. Salah satu
faktor yang dianggap memberi pengaruh terhadap kondisi demikian adalah belum optimalnya
pelaksanaan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang ada dan bisa dikembangkan
sesuai dengan keadaan dan kondisi di Indonesia. Serta masih lemah dan kurangnya pengawasan
yang dilakukan oleh aparatur petugas pajak di Indonesia.
Sehubungan dengan hal tersebut maka Pemerintah Daerah perlu memikirkan secara serius
masalah-masalah yang erat hubungannya dengan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) khususnya
sektor Perkotaan dan Perdesaan, kemudian berusaha melakukan upaya demi mengoptimalkan
peningkatan penerimaan sehingga dapat memberi kontribusi yang besar dalam meningkatkan
Pendapatan Daerah. Potensi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor perdesaan dan perkotaan di
Kabupaten Kapuas Hulu yang antara lain menyebutkan bahwa keadaan perekonomian masyarakat
yang semakin membaik mempunyai hubungan positif dengan kemampuan membayar Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB).
2.2. Teori Pajak Bumi dan Bangunan
Pajak merupakan suatu iuran wajib bagi wajib pajak yang dipungut oleh pemerintah
berdasarkan Undang-undang (Poterba, 2010). Adanya pajak dapat diharapkan mampu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pajak ini sifatnya tidak dapat dirasakan langsung oleh
masyarakat. Dalam hubungannya dengan adanya suatu wilayah dipermukaan bumi dan segala
sesuatu yang bernilai diatasnya, dalam pelaksanaan pemungutan pajak harus memiliki aturan yang
jelas. Peraturan yang berkaitan dengan pajak ini diatur dalam Undang-undang No.12 tahun 1985

18
yang telah diubah dengan adanya undang-undang No.12 tahun 1994. Dengan adanya peraturan ini
diharapkan adanya pemungutan pajak yang berkaitan dengan bumi dan bangunan dapat dilakukan
sesuai dengan asas-asas yang ada (Arum, 2012).
Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah pajak yang dipungut atas tanah dan bangunan
karena adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau
badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya (Duffy, 2010).
Dasar pengenaan pajak dalam PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP ditentukan
berdasarkan harga pasar per wilayah dan ditetapkan setiap tahun oleh menteri keuangan. Menurut
Gautama (2014), Salah satu tujuan negara Republik Indonesia adalah memajukan kesejahteraan
rakyat, untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah memerlukan dana yang sumber utamanya
merupakan dari pajak. Pajak berfungsi sebagai budgeter-regulerend social. Pajak bumi dan
bangunan (PBB) pengaturannya, terdapat dalam UndangUndang Nomor 12 Tahun 1985, yang
diubah menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
Undang-undang ini merupakan landasan hukum dalam pengenaan pajak sehubungan dengan hak
atas bumi dan /atau perolehan manfaat atas bumi dan/atau kepemilikan, penguasaan dan/atau
perolehaan manfaat atas bangunan (Arum, 2012).
Pada prinsipnya secara administrasi terjadi perpindahan pencatatan hasil pemungutan
PBB, jika sebelumnya penerimaan PBB tercatat pada keuangan negara (APBN) dalam
penerimaan perpajakan, kemudian setelah mekanisme peralihan berjalan akan masuk dalam PAD
khususnya pajak daerah. dengan pengalihan ini maka kegiatan proses pendataan, penilaian,
penetapan, pemugutan /penagihan dan pelayanan pajak bumi dan bangunan sektor Perdesaan dan
Perkotaan juga akan diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota. Dinas
Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset daerah (DPKA) selalu menetapkan suatu target yang
ingin dicapai serta mencatat realisasi penerimaan pajak setiap tahunnya. Berikut ini adalah daftar
target dan realisasi penerimaan pajak bumi dan bangunan di Indonesia dari tahun 2015 sampai
2018 (Listyowati dkk, 2018):

19
Tabel 2.1 Laju Pertumbuhan Target Penerimaan dan Realisasi Jumlah Penerimaan Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB)
Tahun Jumlah Target Realisasi %
Wajib Penerimaan Penerimaan (Persentase)
Pajak
2015 150.333 Rp.30.502. 620.420 Rp.30.064 .000.000 98%

2016 156.378 Rp.35.785. 641.000 Rp.37.779 .285.831 106%

2017 166.286 Rp.38.370. 152.888 Rp.36.863 .795.000 96%

2018 174.805 Rp.39.810. 472.400 Rp.37.765 .800.000 94%

Investasi disuatu daerah merupakan komponen utama dalam mencapai pertumbuhan


ekonomi di daerah tersebut. Dengan arti kata, besarnya laju pertumbuhan ekonomi yang dicapai
salah satunya ditentukan oleh kemampuan investasi, baik investasi secara agregat maupun
investasi pada masing-masing sektor ekonomi, sehingga keberhasilan pertumbuhan PDRB tidak
dapat dipisahkan dari meningkatnya investasi yang akan mendorong kenaikan output secara
signifikan (Husnurrosyidah & Nuraini, 2016). Hal ini juga secara otomatis akan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sebagai konsekuensi dari meningkatnya pendapatan yang diterima
masyarakat. Kopczuk (2015) memaparkan bahwa tercapainya pertumbuhan ekonomi dalam suatu
daerah ditandai dengan meningkatnya nilai PDRB yang selanjutnya akan meningkatkan
pendapatan perkapita masyarakat dalam suatu periode tertentu. Tingginya tingkat pertumbuhan
ekonomi yang ditunjukkan dengan tingginya nilai PDRB menunjukkan bahwa daerah tersebut
mengalami kemajuan atau mengalami pertumbuhan ekonomi.

20
BAB III
PENGERTIAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

3.1.Definisi Pajak Bumi dan Bangunan


Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Permukaan meliputi
tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa, tambak, perairan) serta laut wilayah
Republik Indonesia.1 Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara
tetap pada tanah dan atau perairan. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak negara yang
dikenakan terhadap bumi dan atau bangunan berdasarkan undang-undang No.12 tahun 1985
tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.12
tahun 1994 (Alfiah, 2015).
PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan
oleh keadaan objek yaitu bumi atau tanah dan atau bangunan. Sementara itu keadaan Subjek
(siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak. Menurut Clark dalam Rahayu
(2017) Asas Pajak Bumi dan Bangunan:
1. Memberikan kemudahan dan kesederhanaan
2. Adanya kepastian hukum
3. Mudah dimengerti dan adil
4. Menghindari pajak berganda
Pajak memiliki pengertian atau definisi yang diberikan oleh para ahli, yang satu sama lain
pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu merumuskan pengertian pajak, sehingga mudah
untuk dipahami. Pengertian pajak secara umum adalah iuran wajib dari warga negara kepada
negara berdasarkan undang-undang yang berlaku yang pelaksanaannya dapat dipaksakan tanpa
mendapatkan imbalan secara langsung yang hasilnya digunakan untuk menyelenggarakan
pemerintahan dan pembangunan nasional. Pengertian pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara
berdasarkan undangundang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat balas jasa timbal
(kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk pengeluaran umum
(Jones, 2015).
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan salah satu pajak pusat yang unik karena
sebagian besar dana yang diperoleh diserahkan kembali ke daerah sehingga dapat digunakan
sebagai dana pembangunan bagi daerah tersebut. Menurut Alfiah (2015) Pajak Bumi dan
Bangunan merupakan pajak yang dikenakan atas bumi dan bangunan. Subjek pajak dalam PBB
adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi atau memperoleh

21
manfaat atas bumi atau memiliki, menguasai atau memperoleh manfaat atas bangunan. Objek
pajaknya adalah bumi dan bangunan. Pengertian bumi adalah permukaan dan tubuh bumi yang
ada di bawahnya, sedangkan bangunan adalah kontruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan
secara tetap pada tanah dan perairan.
Salah satu yang menjadi pertimbangan dalam memungut pajak kekayaan baik dalam
bentuk kekayaan berupa tanah maupun bentuk bangunan adalah pertimbangan manfaat dari jasa
pemerintah berupa perlindungan atas kekayaan tersebut. Teori locke (abad 17) mengatakan
Negara adalah pelindung kekayaan warganya, perlindungan ini akan meningkatkan nilai riil tanah
dan bangunan oleh karenanya sepantasnya jika dikenakan pajak terhadapnya. Seperti pemerintah
memperbaiki (mengaspal) jalan maka akan berakibat meningkatnya nilai jual tanah dan bangunan
di sekitarnya, untuk itu pemilik kekayaan tersebut wajib membayar atas manfaat yang diterima
melalui pajak (Jones, 2015).
Menurut Abdul Rahman, pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang
terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat
prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan
pemerintahan. Menurut Undang-undang No.28 Tahun 2007, Pajak adalah kontribusi wajib kepada
negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-
undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan
negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan pengertian pajak tersebut, dapat
disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur sebagai berikut:

d. Digunakan
untuk
a. Iuran dari
pengeluaran
rakyat kepada
umum dan
kas negara,
memakmurkan
rakyat.

c. Tanpa b. Dapat
mendapatkan dipaksakan
balas jasa dalam
(kontraprestasi) pemungutannya,

22
Menurut para ahli yang mendefinisikan pengertian pajak yaitu seperti dibawah ini:
a. Jones (2015), Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh
yang wajib membayarnya menurut peraturan – peraturan, dengan tidak mendapat prestasi
kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai
pengeluaran – pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara yang menyelenggarakan
pemerintah.
b. Piketty & Zucman (2014), pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang
– undang (yang dapat dipaksakan ) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi)
yang langsung dapat ditunjukan, dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
c. Serim, Inam & Murat (2014), pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari
kekayaan kekas negara yang disebabkan suatu keadaan , kejadian, dan perbuatan yang
memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang
ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara
secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum.
d. Husnurrosyidah & Nuraini (2016), pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan
terutang kepada penguasa (menurut norma – norma yang ditetapkan secara umum ), tanpa
adanya kontrapretasi, dan semata – mata digunakan untuk pengeluaran – pengeluaran
umum.
e. Listyowati, Samrotun & Suhendro (2018). Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi
yang ada di bawahnya, bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan
secara tetap pada tanah dan atau perairan, termasuk dalam pengertian bangunan adalah Jalan
lingkungan yang terletak dalam suatu komplek bangunan seperti hotel, pabrik, dan
emplasemenya, jalan tol, kolam renang, pagar mewah, tempat olahraga, galangan kapal,
dermaga, taman mewah, tempat penampungan / kilang minyak, air dan gas, pipa minyak,
fasilitas lian yang memberikan manfaat.
Dari beberapa pengertian pajak yang telah diuraikan, maka dapat penulis simpulkan bahwa
pajak adalah iuran wajib rakyat kepada negara yang bersifat memaksa dan tidak mendapat jasa
imbalan yang langsung digunakan untuk membiayai pengeluaran – pengeluaran negara.
Terdapat dua fungsi pajak menurut bukunya Serim (2014) yaitu sebagai berikut:
a. Fungsi Budgetair ( Sumber Keuangan Negara )
Pajak mempunyai fungsi budgetair artinyan pajak merupakan salah satu sumber
penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun pembangunan.
Sebagai sumber keuangan negara , pemerintah berupaya memasukan uang sebanyak –

23
banyaknya untuk kas negara . Upaya tersebut ditempuh dengan cara ekstensifikasi maupun
intensifikasi pemungutan pajak melalui penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak seperti
Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Lain – lain.
b. Fungsi Regularend ( Pengatur )
Pajak mempunyai fungsi pengatur artinya pajak sebagai alat untuk mengatur atau
melaksakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, serta mencapai tujuan –
tujuan tertentu di luar bidang keuangan. Menurut Rahayu (2017) pelayanan pajak adalah: pada
hakekatnya kepatuhan wajib pajak dipengaruhi oleh kondisi sistem administrasi perpajakan
dimana salah satunya meliputi pelayanan pajak (tax service). Pelayanan yang baik kepada wajib
pajak dilaksanakan agar wajib pajak dapat menjalankan kewajiban perpajakannya dengan mudah.
Wajib pajak patuh karena mendapatkan pelayanan yang baik, cepat dan menyenangkan serta
pajak yang mereka bayar akan bermanfaat bagi pembangunan bangsa.
Menurut Kopczuk (2015) pelayanan pajak adalah: terkait dengan tugas aparatur
pemerintah disebut pelayanan umum. Ada hubungan timbal balik antara kepatuhan membayar
pajak dengan kinerja pemerintah, terutama yang menyangkut jasa pelayanan publik yang
berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat. Kepatuhan masyarakat untuk membayar
pajak dapat ditingkatkan apabila seluruh aparat pemerintah meningkatkan dan memperbaiki
mutu pelayanannya. Dalam hal pelayanan umum yang prima berarti pelayanannya bermutu
maka pelayanan umum harus dilaksanakan dalam suatu rangkaian kegiatan terpadu yang
bersifat:
a. Sederhana, bahwa pelayanan itu tidak menyulitkan, prosedurnya mudah, tidak berbelit-belit,
cepat, mudah dipahami, dan mudah dilaksanakan.
b. Terbuka, yaitu aparatur yang bertugas melayani pelanggan harus memberikan
penjelasan yang sejujur-jujurnya, apa adanya dalam peraturan dan norma, tidak menakut-
nakuti dan tidak mengharapkan imbalan atas pelayanan yang diberikan.
c. Lancar, yaitu adanya prosedur yang tidak berbelit-belit dan memberikan pelayanan dengan
ikhlas.
d. Tepat, yang dimaksud tepat adalah tepat sasaran atau persis dalam arti tidak lebih dan tidak
kurang atau tepat waktu, atau tepat jawabannya, tepat dalam memenuhi janji dan seterusnya.
e. Lengkap, dapat diartikan tersedia apa yang diperlukan pelanggan.
f. Wajar, pelayanan yang wajar artinya tidak ditambah-tambah menjadi pelayanan yang
bergaya mewah sehingga memberatkan pelanggan.

24
g. Terjangkau, artinya harga dari pelayanan tersebut dapat dijangkau oleh pelanggan.
Menurut Kopczuk (2015) jenis-jenis pelayanan di bidang Pajak Bumi dan Bangunan
adalah:
1. Pendaftaran objek pajak
2. Mutasi objek / subjek pajak
3. Pembatalan SPPT / SKP / STP
4. Pembuatan salinan SPPT
5. Keberatan atas penunjukkan sebagai subjek pajak
6. Keberatan atas ketetapan pajak terutang
7. Restitusi dan kompensasi
8. Pengurangan dan penghapusan atas denda administrasi
9. Penetapan kembali jatuh tempo pembayaran
10. Penundaan tanggal pengembalian
11. Pemberian informasi yang berhubungan dengan pajak
Pelayanan pajak yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pelayanan Pajak Bumi dan
Bangunan yang meliputi pelayanan pembayaran, pelayanan keberatan dan pengurangan serta
pelayanan penyampaian informasi yang diberikan oleh petugas yang menangani Pajak Bumi dan
Bangunan kepada Wajib Pajak Pajak Bumi dan Bangunan. Menurut Alfiah (2015), kesadaran
dapat diartikan sebagai suatu keadaan mengetahui atau mengerti, sedangkan perpajakan adalah
perihal pajak. Kesadaran perpajakan adalah kerelaan memenuhi kewajibannya, termasuk rela
memberikan kontribusi dana untuk pelaksanaan fungsi pemerintahan dengan cara membayarkan
kewajiban pajaknya. Variabel ini diukur dengan indikator sebagai berikut:
1. Pajak Bumi dan Bangunan dipergunakan sebagai sumber pendapatan negara
2. Pajak Bumi dan Bangunan harus dibayar tepat waktu untuk pembiayaan pembangunan
3. Pajak Bumi dan Bangunan harus dibayar karena kewajiban warga negara
4. Pajak Bumi dan Bangunan sebagai sumber pendapatan negara
Tercapainya realisasi Pajak Bumi dan Bangunan sangat dipengaruhi oleh sikap kepatuhan
wajib pajak. Gautama (2014) menambahkan, kepatuhan adalah motivasi seseorang, kelompok
atau organisasi untuk berbuat atau tidak berbuat sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.
Perilaku patuh seseorang merupakan interaksi antara perilaku individu, kelompok, dan organisasi.
Kepatuhan wajib pajak dapat dihubungkan misalnya dengan melihat peilaku wajib pajak dalam
membayar PBB tepat pada waktunya, melaporkan setiap perubahan (renovasi) tanah/rumah
sendiri kepada aparat PBB, melaporkan setiap perubahan (renovasi) tanah/rumah tetangga kepada

25
aparat PBB, mengurus dan mengisi Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) dengan benar,
menyerahkan SPOP yang telah diisi kepada petugas PBB (Duffy, 2010).
3.2.Jenis-jenis Pajak Bumi dan Bangunan
Menurut Serim (2014), terdapat berbagai jenis pajak, yang dapat dikelompokan menjadi
tiga, yaitu pengelompokan menurut golongan, menurut sifat, dan menurut lembaga pemungutnya
yaitu akan dijabarkan seperi dibawah ini:
1. Menurut Golongan
Pajak dikelompokan menjadi dua, yaitu:
a. Pajak Langsung
Pajak langsung adalah pajak yang harus dipikul atau ditanggung sendiri oleh Wajib pajak dan
tidak dapat dilimpahkan atau dibebankan kepada orang lain atau pihak lain. Pajak harus
menjadi beban wajib pajak yang bersangkutan, misalnya pajak penghasilan (PPh).
b. Pajak Tidak Langsung
Pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain atau pihak
ketiga. Pajak tidak langsung terjadi jika terdapat suatu kegiatan, peristiwa, atau perbuatan yang
menyebabkan terutangnya pajak, misalnya terjadi penyerahan barang atau jasa, misalnya Pajak
Pertambahan Nilai (PPN).
2. Menurut Sifat
Pajak dikelompokan menjadi dua, yaitu:
a. Pajak Subjektif Pajak Subjektif adalah pajak yang pengenaannya memperhatikan keadaan
pribadi wajib pajak atau pengenaan pajak yang memperhatikan keadaan subjeknya, misalnya
Pajak Penghasilan (PPh).
b. Pajak Objekif Pajak Objektif adalah pajak yang pengenaannya memperhatikan objeknya
baik berupa benda, keadaan, perbuatan , atau peristiwa yang mengakibatkan timbulnya
kewajiban membayar pajak, tanpa peristiwa yang mengakibatkan timbulnya kewajiban
membayar pajak, tanpa memperhatikan keadaan pribadi subjek pajak (wajib pajak) maupun
tempat tinggal, misalnya: Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (PPnBM), serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
3. Menurut Lembaga Pemungut
Pajak dikelompokan menjadi dua, yaitu:
a. Pajak Negara (Pajak Pusat) Pajak Negara (Pajak Pusat) adalah pajak yang dipungut oleh
pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara pada umumnya,
misalnya PPh, PPN dan PPnBM.

26
b. Pajak Daerah Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah baik daerah
tingkat 1 (pajak provinsi) maupun daerah tingkat II (pajak kabupaten /kota) dan digunakan
untuk membiayai rumah tangga daerah masing – masing, misalnya Pajak kendaraan bermotor,
pajak hotel, pajak restoran, pajak air tanah, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
3.3.Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi,
dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh
manfaat atas bangunan. Subyek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib
Pajak berdasarkan UU Pajak Bumi dan Bang unan.Menurut Irianto (2009:7) bahwa: Pajak
meupakan sumber penerimaan pemerintah yang paling aman sehingga pajak dapat menjadi sarana
penting bagi berjalannya dmokrasi. Bila penguatan demokrasi lebih bersifat substantif, keterkaitan
demokrasi dengan kebijakan bisa ditelusuri, ditemukan, dan dipahami”.
Dalam kebijakan perpajakan terlihat jelas bahwa adanya pembagian wewenang atau
kekuasaan antara Negara dengan warganya dan antara pemerintah Pusat dengan pemerintah
Daerah, untuk itu penciptaan relasi antar aktor demokrasi dalam perpajakan harus berhasil
diciptakan. Pajak merupakan salah satu instrumen kebijakan dan bukan sekedar instrumen
ekonomi untuk kebijakan menarik pendapatan. Menurut Guy Peters dalam Irianto (2009:9)
mengungkapkan bahwa: Pajak merupakan instrumen penting bagi pemerintah untuk
melaksanakan dan memenuhi fungsi-fungsi dasarnya dan mencapai tujuan-tujuan substantif dari
kebijakan. Irianto (2009:7-8) menyatakan bahwa: “ kebijakan perpajakan merupakan
resultante( hasil) dan muara dari dua ranah penting dalam proses demokratisasi, yaitu hubungan
Negara –Masyarakat dan Pusat- Daerah”. Gambar: 2.2. berikut ini:
Gambar : 2.2. Pajak Sebagai Muara Hubungan Negara- Rakyat dan Hubungan Pusat-Daerah

Pusat

Negara (Ruler) Pajak Rakyat(Tax payer)

Daerah

Sumber : Irianto (2009:8)

27
Gambar 2.2. tersebut menunjukan bahwa kebijakan tentang pajak akan menentukan
hubungan pajak dengan rakyat, pemerintah daerah dan pemerintah pusat dan Negara. Pajak juga
sebagai jembatan penghubungan antara Negara dengan rakyat, kemudian antara pemerintah
Daerah dengan pemerintah Pusat. Dalam hal ini kebijakan tentang pajak haruslah sebagai
instrumen ekonomis dan menjadi penting untuk meningkatkan penerimaan Negara. Penerimaan
Negara meningkat, akan semakin besar pula pembiayaan Negara serta akan semakin meningkat
pelayanan kepentingan publik, oleh karenanya semakin besar pembiayaan kepentingan publik,
maka akan semakin besar pula penerimaan Negara.
Pembiayaan pelayanan publik melalui penerimaan dari sektor perpajakan sebagai cermin
kemandarian pembiayaan Negara dapat diketahui bahwa rendahnya alokasi Anggaran Pendapatan
dan Belanja untuk mendanai penyediaan barang dan jasa publik merupakan salah satu penyebab
rendahnya tingkat pelayanan publik. Fungsi alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja adalah
untuk mengakolaksikan dana guna memenuhi kebutuhan pelayanan publik yang dibutuhkan oleh
masyarakat. Secara umum, sumber penerimaan yang mendukung anggaran diperoleh antara antara
lain melalui penerimaan pajak serta sumber hutang luar Negeri. Permasalahan klasik dalam
managemen keuangan Negara adalah adanya kebutuhan pengeluaran atau belanja yang terus
meningkat, yang tidak diimbangi dengan sisi penerimaan Negara. Salah satu cara unuk
meningkatkan potensi penerimaan dari sumber perpajakan adalah dengan menciptakan efektifitas
sistem perpajakan. Antara lain sistem perpajakan tersebut adalah melalui pajak bumi dan
bangunan.
Menurut Siahaan (2009: 52) dinyatakan bahwa: “pajak merupakan salah satu sumber
penerimaan Negara yang sangat penting artinya bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan
Nasional”. Peningkatan pembangunan Nasional yang dimaksud adalah bertujuan untuk
meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, dan oleh karena itu perlu dikelola dengan
meningkatkan peran serta masyarakat sesuai dengan kemampuannya. Pajak bumi dan bangunan
adalah bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan atau kedudukan sosial ekonomi yang
lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai hak atasnya atau memperoleh manfaat dari
padanya, dan oleh karena itu wajar apa-bila mereka diwajibkan memberikan sebagian dari
manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada Negara melalui pajak. Dasar hukum pajak
bumi dan bangunan adalah undang-undang nomor : 12 tahun 1985 sebagaimana telah diubah
dengan undang-undang nomor : 12 tahun 1994. Kemudian dalam undang-undang nomor: 28 tahun
2009 tentang pajak Daerah dan retribusi Daerah, dinyatakan bahwa pajak bumi dan bangunan
perdesaan dan perkotaan termasuk jenis pajak kabupaten/kota”.

28
Dalam ketentuan umum undang-undang nomor: 28 tahun 2009 dinyatakan bahwa: Pajak
bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan adalah pajak atas bumi dan /atau bangunan yang
dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang
digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan”. Bumi adalah
permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah kabupaten/kota”.
Kemudian: “bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada
tanah dan/atau perairan pedalaman dan /atau laut.”
Berdasarkan penjelasan dalam undang-undang tersebut di atas, lebih lanjut tentang
bangunan, oleh Mardiasmo (2008: 315) termasuk dalam pengertian “ bangunan adalah : Jalan
lingkungan dalam satu kesatuan dengan komplek bangunan, jalan tol, kolam renang, pagar
mewah, tempat olah raga, galangan kapal, dermaga, taman mewah, tempat penampungan /kilang
minyak, aiar dan gas, pipa minyak dan fasilitas lain yang memberikan manfaat”. Dengan
demikian pengertian tentang bangunan dalam pajak ini lebih luas. Kemudian asas pajak bumi dan
bangunan adalah: “(1). Memberikan kemudahan dan kesedarhanaan, (2). Adanya kepastian
hukum, (3). Mudah dimengerti dan adil, (4). Menghindari pajak berganda”.
Berdasarkan pernyataan Mardiasmo dan penjelasan dalam undang-undang nomor: 28
tahun 2009, maka dapat disimpulkan bahwa asas pajak bumi dan bangunan menghendaki bahwa
obyek pajak adalah bumi dan bangunan dan subyek pajak adalah orang pribadi atau badan harus
didata secera seksama untuk mencitpakan asas kemudahan, kepastian, keadilan dan mengindari
adanya pajak berganda dalam penentuan nilai jual objek pajak. Menurut undang-undang nomor:
28 tahun 2009 tentang pajak Daerah dan retribusi Daerah, dinyatakan bahwa: Nilai objek pajak
adalah rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilama mana
tidak terdapat transaksi jual beli, nilai jual objek pajak ditentukan melalui perbandingan harga
dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau nilai jual objek pajak pengganti”.
Subyek pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenakan pajak. Kemudian wajib pajak
adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak dan pemungut pajak,
yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undang perpajakan daerah. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari perhimpunan
data objek dan subyek pajak atau retribusi, penentuan besarnya pajak atau retribusi yang terutang
sampai kegiatan penagihan pajak atau retribusi kepada wajib pajak atau wajib retribusi serta
pengawasan penyetorannya.
Menurut Mardiasmo (2008: 326) menyebutkan bahwa: Surat pemberitahuan objek pajak
hanya diberikan dalam hal : (1). Objek pajak belum terdaftar/data belum lengkap; (2).Objek pajak

29
telah terdaftar tetapi data belum lengkap;(3). NJOP berubah/pertumbuhan ekonomi; (4). Objek
pajak dimutasikan/laporan dari instansi yang berkaitan langsung dengan objek pajak”. Dengan
demikian SPOP akan dikenal dengan SPOP kembali, SPOP tidak kembali, SPOP kembali tetapi
tidak benar, dan SPOP dintinjau dari Sifat dan fungsinya. Dalam peraturan bupati sintang nomor:
2 tahun 2007 sebagaimana telah dirubah dengan peraturan bupati sintang nomo : 15 tahun 2009
tentang petunjuk pelaksanaan tata cara penyampaian surat pemberitahuan pajak terhutang (SPPT),
penagihan/pembayaran serta pelaporan pajak bumi dan bangunan.
Penerapan sanksi, yaitu bagi wajib pajak pada surat pemberitahuan pajak terhutang telah
dicantumkan tanggal jatuh tempo pembayaran, apabila wajib pajak melakukan pembayaran
setelah lewat tanggal jatuh tempo akan dikenakan denda/sanksi administrasi sebesar 2 % (dua
persen) setiap bulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Bagi wajib
pajak jumlah pajak terhutang berdasarkan surat tanda pajak yang tidak dibayar, dapat ditagih
dengan surat paksa. Jika pajak bumi dan bangunan tidak dibayar wajib pajak, maka akan
dilakukan penyitaan terhadap objek pajak sesuai dengan jumlah pajak terhutang yang
bersangkutan. Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor : 6/PJ/2008 tentang tata cara
pengurangan denda administrasi pajak bumi dan bangunan, atas permintaan wajib pajak dapat
mengurangi denda administrasi karena hal-hal tertentu, yaitu denda yang meliputi :
a). Denda administrasi sebesar 25 % (dua puluh lima persen) dihitung dari pokok pajak
yang tercantum dalam surat keterangan pajak bumi dan bangunan, b). Denda administrasi sebesar
2 % (dua persen) . Implementasi kebijakan pemungutan pajak bumi dan bangunan adalah
berkenaan sebagai usaha untuk menjawab sebagaimana yang tertuang dalam undang-undang
nomor:12 tahun 1994, diimplementasikan kebijakan pemungutan pajak ini, tidak terlepas dari
berbagai kepentingan yang berhubungan dengan dana, material dan orang yang terlibat dalam
rangka meningkatkan penerimaan pemungutan pajak bumi dan bangunan ini. Implementasi
kebijakan pemungutan pajak bumi dan bangunan yang berhubungan dengan dana yang
dimaksudkan adalah menyangkut penerimaan keuangan negara melalui pajak. Material yang
dimaksudkan adalah berbagai sarana dan prasrana penunjang dalam pemungutan maupun material
sebagai obyek pajak. Sementera itu orang yang dimaksudkan adalah orang sebagai pegawai
pelaksana pemungut dan orang sebagai subyek atau sasaran wajib pajak. Andiwinata (Koordinasi
Regional Pajak Bumi dan Bangunan, 1995-5-8) menyatakan bahwa: “peningkatan penerimaan
pajak bumi dan bangunan perlu menggali potensi melalui intensifikasi dan ekstensifikasi
pendataan obyek dan subyek pajak”. Pendataan itu perlu dengan pola system managemen

30
informasi obyek pajak (sismiop) system dan prosedur pemungutan dan pembayaran yang
sistematis, mudah dan aman serta pelayanan yang lebih baik.
Berkaitan dengan pajak, banyak para ahli dalam bidang perpajakan memberikan
pengertian yang berbeda mengenai pajak, namun demikian berbagai pengertian tersebut
mempunyai inti atau tujuan yang sama. Sehubungan dengan definisi pajak, menurut Djadinigrat,
sebagaimana dikutip dalam Munawir (1992: 140) menyatakan bahwa:Tujuan dari pemungutan
pajak untuk biaya pemeliharaan kesejahteraan umum juga memberikan sebab-sebab pengenaan
pajak, karena keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan
hukuman. Pengenaan pajak oleh Adam Smith dalam Suparmoko (1994:97-98) yaitu: “mempunyai
prinsip, yaitu prinsip kesamaan/keadilan, prinsip kepastian, prinsip kecocokan/kelayakan dan
prinsip ekonomi”. Untuk itu pajak hendaknya menimbulkan kerugian yang menimal dalam arti
jangan sampai biaya pemungutannya lebih besar dari pada jumlah penerimaan pajaknya. Dari
sudut pemerintah di kehendaki, agar pajak menunjukan elastisitasnya, yakni kemampuan untuk
menghasilkan tambahan pendapatan agar dapat menutup tuntutan yang sama atas kenaikan
pengeluaran pemerintah, dan dasar pengenaan pajaknya berkembang secara otomatis, misalnya;
apabila harga-harga meningkat, penduduk di suatu daerah berkembang dan pendapatan
bertambah.
Menurut Davey (1988: 41) yaitu: “elastisitas pajak dapat diukur dengan membandingkan
hasil penerimaan selama beberapa tahun dengan perubahan –perubahan dalam indeks harga,
penduduk dan pendapatan”. Gambaran mengenai elastisitas pajak lebih dari sekedar data
penerimaan pajak, karena elastisitas pajak dapat mencerminkan pertumbuhan yang otomatis
dalam potensi pajak, terlepas dari keputusan untuk mengubah tarif pajak. Suatu kebijakan akan
mudah diimplementasikan, apabila manfaatnya segera dirasakan oleh masyarakat sebagai
kelompok sasaran dari kebijaksanaan itu. Program-program pemerintah seperti listrik masuk
Desa, irigasi pertanian, dan perbaikan jalan, mempunyai manfaat yang jelas dan dapat segera
dinikmati masyarakat, sehingga mudah memperoleh dukungan dari mereka. Lain halnya dengan
kebijakan pemungutan pajak bumi dan bangunan . manfaat program ini, meskipun mudah
dijelaskan, tetapi tidak secara langsung dan segera dapat dinikmati oleh kelompok masyarakat.
Bahkan program pemungutan pajak bumi dan bangunan dapat dianggap sebagai beban atas
kepemilikan bumi dan bangun bagi segelintir masyarakat. Akan tetapi bagi masyarakat secara
umum mengganggap bahwa program pemungutan pajak bumi dan bangunan merupakan waujud
kewenangan pemerintah dan mereka wajib mematuhi, tanpa memahami prinsip dan kreteria
program yang berlaku atau dijalankan.

31
Kreteria kebijakan yang berkaitan dengan pajak bumi dan bangunan yang terpenting
adalah yang menyangkut pajak dengan system progresif, yakni kaya membantu yang miskin.
Mardiasmo (2008: 4) menyatakan: Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak, yaitu
memungut pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga
Negara. Selanjutnya Negara akan menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam bentuk
pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian kepentingan seluruh masyarakat lebih
diutamakan. Pendapat Mardiasmo menjelaskan bahwa pajak dilakukan untuk menciptakan rasa
keadilan bagi masyarakat, dengan tidak mengurangi kemampuan masyarakat dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya, dan dampak penarikan atau pemungutan penetapan pajak yang diberlakukan
kepada masyarakat, oleh pemerintah pemungutan tersebut sebagai penerimaan untuk pembiayaan
pembangunan yang mampu meningkatkan kesejahteraaan masyarakat.
Sumitro (1989:86) dinyatakan bahwa: Pajak bumi dan bangunan akan meliputi orang atau
badan yang menguasai tanah atau bangunan bahkan orang atau badan yang memperoleh manfaat
dari tanah atau bangunan, tanpa memiliki atau mempunyai hak yang atas tanah atau bangunan”.
Dasar pengenaan pajak bumi dan bangunan adalah nilai jual obyek pajak, yaitu harga rata-rata
yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar dan bilamana tidak terdapat
transaksi jual beli, maka penentuan nilai jual obyek pajak diperoleh melalui perbandingan harga
dengan obyek lain yang sejenis, atau melalui nilai perolehan baru, atau dengan nilai jual obyek
pajak pengganti. Pengenaan pajak bumi dan bangunan ini, menurut Devas (1989: 128)
dinyatakan bahwa: Ada empat manfaat dari penggunaan nilai jual menurut harga pasar sebagai
dasar pajak. Pertama: perkembangan nilai tanah itu diperhitungkan. Kedua: tidak perlu lagi ada
pajak terpisah untuk tanah kosong. Ketiga: nilai jual tanah akan memungkinkan dasar pajak naik
seiring dengan kenaikan nilai tanah akibat dikembangkan dan Keempat: data mengenai nilai sewa,
jika ada dapat selalu digunakan untuk memeriksa nilai kena pajak berdasarkan nilai jual”.
Dalam prakteknya penetapan besarnya pajak juga mempertimbangkan letak tanah
termasuk kelasnya. Apabila terletak ditepi jalan besar, maka tarifnya akan lebih mahal jika
dibandingkan dengan tanah yang terletak ditengah-tengah kampong. Letak tanah di kota lain
dengan di desa. Bahkan antara desa yang satu dengan yang lain, semakin jauh dari kota, maka
semakin murah nilai jual tanah. Persoalan teknis yang muncul, misalnya pengukuran tanah.
Begitu pula halnya apabila seseorang memiliki tanah pekarangan, kemudian sebagian tanahnya
disumbangkan untuk jalan kampong. akan tetapi pemilik tanah masih dikenakan PBB untu tanah
yang disumbangkan itu, tentu saja yang bersangkutan keberatan, karena telah menyumbang, tetapi
masih dibebani pajak bumi dan bangunan. Pelaksanaan pajak tetap memberikan kesempatan

32
kepada rakyat dalam meningkatkan hidupnya lebih baik, serta pajak harus menjamin kebebasan
individu dalam arti bahwa pajak di jalankan jangan memberatkan beban rakyat. Pajak terlalu berat
sama memberatkan beban rakyat, sehingga mengganggu dan mengurangi kebebasan individu.
Salah satu lingkungan yang sangat besar pengaruhnya terhadap implementasi pungutan pajak
bumi dan bangunan adalah sikap dari kelompok sasaran (wajib pajak), suatu pertanyaan penting
dalam proses pelaksanaan pemungutan PBB adalah apakah ada pihak tertentu sebagai wajib
pajak yang dirugikan dari adanya pungutan PBB yang tidak sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Indrawijaya (1986:43-44) menyatakan bahwa: Sikap seseorang dapat mengalami
perubahan, baik karena proses interaksi dengan lingkungan maupun melalui proses pendidikan.
Pemungutan pajak bumi dan bangunan ini, perubahan sikap dapat saja terjadi sebangun atau tidak
sebangun. Perubahan sebangun adalah perubahan dalam intensitas saja. Contoh; awalnya sikap
sangat setuju menjadi setuju, perubahan tidak sebangun adalah perubahan yang bersifat sangat
setuju dan kebalikannya. Pandangan wajib pajak terhadap beban PBB yang ditanggung, dapat
diketahui melalui pemahaman wajib pajak terhadap perhitungan beban obyek pajak yang mereka
tanggung. Sehingga pemahaman ini dapat mengetahui berat-tidaknya beban pajak bumi dan
bangunan yang ditanggung oleh wajib pajak yang bersangkutan. Berkenaan dengan beban biaya
pajak bumi dan bangunan, persoalan yang mungkin muncul dan harus diperhatikan adalah bahwa
pelaksanaan penetapan perhitungan obyek PBB dilaksanakan secara sunggug-sungguh, sehingga
masyarakat sebagai wajib pajak dapat menerima penetapan tersebut sebagai sesuatu yang adil dan
merata.
Besar kecilnya beban biaya pajak bumi dan bangunan bukan sesuatu yang menjadi
prioritas pelaksanaan pungutan bagi penerimaan pajak , melainkan aturan dan mekanisme
penetapan nilai jual obyek pajak dan nilai jual obyek pajak tidak kena pajak yang harus diterapkan
sesuai dengan realitas obyek pajak yang sesungguhnya. Dalam pemungutan pajak bumi dan
prsoalan kepatuhan wajib pajak membayar pajak bumi dan bangunan merupakan tolak ukur untuk
keberhasilan implementasi kebijakan tentang anggaran yang ditetapkan pemerintah melalui
pelaksanaan pungutan penerimaan pajak bumi dan bangunan. Dimana kepatuhan membayar pajak
bumi dan bangunan, akan menentukan upaya pajak yang ditetapkan, menentukan hasil guna pajak
dan bahkan menentukan dayaguna pajak yang diharapkan. Kepatuhan yang dimaksud untuk
mengetahui kemampuan wajib pajak dalam membayar pajak, sehingga diperoleh penerimaan
pajak bumi dan bangunan secara maksimal.

33
Daftar Pustaka
Abdullah,M.SY.1988.Perkembangan dan Penerapan Studi Implementasi (Action Research and
Cose Studies). Jakarta: Lembaga Administrasi Negara.
Boediono,B. 2003.Pelayanan Prima Perpajakan, Jakarta: Rineka Cipta.
Davey,KJ.1988. Pembiayaan Pemerintah Daerah: Pratek-Praktek Internasional dan
Relevansinya Bagi Dunia Ketiga.Jakarta: UI, Pres.
Davas,N, dkk.1989.Keuangan Pemerintah Daerah Di Indonesia, penerjemah Masri Maris dan
Sri-Ediswasono. Jakarta:UI Pres.
Dunn,William,N.2000. Pengantar Analisis Kebijakan Public, Penerjemah Samodra W dkk,
Penyunting M. Darwin, Edisi Kedua. Yogyakarta: Gajah Mada University Press .
Dwijowijoto, Nugroho, Ryant. 2003. Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi dan
Evaluasi.Jakarta: PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.
Edison, E. 2009. Human Resource Development Pengembangan Sumber Daya Manusia.
Bandung: Alfabeta.
Edwards, III.GC.1980. Implementing Public Policy. Washington: Congressional Quar Terly Press.
Elmore,Richard. 1979. “Backward Mapping Implementation research and policy Dicision”:dalam
political Science Quarterly 94
Gun,L.1978.Why is Implementation so Difficult?",Management Services in Government.
Goode,R.A.1984.Government Finace in Developing Countries.Washington. Booking institution.
Grindle,M.S.1980. Politics and Policy Implementation In The Third World. New Jersey: Princeton
University Press.
Handy,C.1975. Understanding Organizations, Penguin Books,Harmondsworth
Jones, Charles O.1984.An Introduction to the study of Public Policy. Third Edition
Monterey.California: Brooks Cole Publishing Company
--------------------.1991.Pengantar Kebijakan Publik ( Public Policy), Penterjemah Ricky Istanto,
Editor Nashir Budiman. Jakarta: Rajawali Press.
Jones,Gareth. R.1995.Organizational Theory, Text and Cases.Texas: University by Addison-
Wesley Publishing Company, Inc.
Koordinasi Regional PBB. 1995. Sekalimantan- Samarinda 27 Januari 1995
Mangkosoebroto,G.1996. Insedin PBB; Pendekatan Keseimbangan Umum, disunting Herry N,
Jurnal Ekonomi dan Industri, Yogyakarta: PAU SE UGM, Edisi 2.
Mardiasmo. 2008. Perpajakan Edisi Revisi 2008. Yogyakarta: Andi.
-------------- 2011.Perpajakan Edisi Revisi 2011. Yogyakarta: Andi
Mazmanian,D. A, and Paul A.Sabatier.1983. Implementation and Public Policy. London:
Scott,Foresman and Company.
Munawir,S.1992. Perpajakan. Edisi Keempat. Yogyakarta: Liberty.
Nagel, Stuart,S.1994. Encyclopedia of Policy Studies,ed.New York: Marcel Dekker, Inc.
Pressman,JL.& Aaron, Wildavsky.1984. Implementation How Great Expectation In Washington
Are Dased In Oakland.London: California Press.
Quade,E.S.1977. Analysis For Public Decisions. New York: Elsevier.
Ruky S. Achmad. 2006. Sistem manajemen Kinerja Performance Management Sistem Panduan
Praktis untuk Merancang dan Meraih Kinerja Prima.Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Sharkansky,I.1975.Public Administration Policy Makin In Gavernment Agencies.Third Edition
Chicago: College Publishing Company.
Siahaan, Pahala, Marihot. 2009. Pajak Bumi dan Bangunan Di Indonesia Teori dan Praktek.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Soenarko. 2000. Public Policy, Pengertian Pokok Untuk Memahami dan Analisa Kebijakan
Pemerintah. Surabaya: Airlangga University Press .
34
Soemitro,R. 1989. Pajak Bumi dan Bangunan, Bandung :PT Eresco.
Suandi, Erly. 2000. Hukum Pajak. Jakarta: Salemba Empat.
Suparmoko. 2000. Keuangan Negara teori dan Praktek, Edisi lima, Yogyakarta: BPFE UGM.
Supriatna,Tjahya.1997. Birokrasi Pemberdayaan dan Pengentasan Kemiskinan. Bandung:
Humaniora Utama Pres.
Syamsi.1994.Dasar-Dasar Kebijaksanaan Keuangan Negara, Edisi Revisi . Jakarta: Reneka
Cipta.
Tachjan,H.2008.Implementasi Kebijakan Publik. Bandung: AIPI dan Puslit KP2W Lembaga
Penelitian Unpad.
Tangkilisan, Hesel Nogi S.2003. Kebijakan Publik yang Membumi. Yogyakarta: Yayasan
Pembaharuan Administrasi Publik dan Lukman Ofset.
Thoha,Miftah.2008. Ilmu Administrasi Publik Kontemporer. Jakarta: kencan Prenada Media
Group.
-------------------. 1994. Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasi. Jakarta: Managemen PT.
Raja Grafindo Persada.
Van Meter D And C.Van Horn.1975.The Policy Implementation Process: A.Conseptual
Framework. Administration anda Society.
Wahab.S.Abdul.1979. Analisis Kebijaksana; dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan
Negara. Jakarta: Penerbit PT Bumi Aksara.
Widodo,Joko.2008.Analisis Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikasi Analisis Proses Kebijakan
Publik. Malang: Bayumedia Publishing.
Winarno,B.1989.Teori Kebijaksanaan Publik, Yogyakarta. UGM:Bina Aksara University Studi
Sosial.
----------------.2002.Teori dan Proses Kebijakan Publik.Yogyakarta: Media Presindo.
Yuniarsih,Tjutju & Suwatno.2008.Managemen Sumber Daya Manusia Teori, Aplikasi dan Isu
Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Dokumen-Dokumen dan Peraturan-Peraturan
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 085/WPJ.13/BD.03/2009. Tentang
Penetapan Besarnya Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak Sebagai Dasar
Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan Kabupaten Sintang. Jakarta: Depkeu.
Peraturan Pemerintah Nomor:104 tahun 2000.Tentang Dana Perimbangan. Jakarta: Menkeu.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor:6/PJ/2008.Tentang Tata cata Pengurangan Denda
Administrasi Pajak Bumi dan Bangunan. Jakarta: Dirjen Pajak.
Pokok-Pokok Penyelenggaraan Pemerintahan Umum Republik Indonesia, Dirjen Pemerintahan
Umum Tahun 2004. Jakarta: Dirjen PUOD.
Undang-Undang Repbulik Indonesia Nomor:28 Tahun 2009.Tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah. Jakarta: Novindo Pustaka Mandiri.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor:32 Tahun 2004.Tentang Pemerintah Daerah.Jakarta:
Restu Agung.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor:33 Tahun 2004.Tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Jakarta: Restu Agung.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor:12 Tahun 1994.Tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
Jakarta: Dirjen.Pajak.

35

Anda mungkin juga menyukai