Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
.Kontrak internasional adalah suatu kontrak yang di dalamnya ada
atau terdapat unsur asing (foreign element) (Huala Adolf, 2008 : 1).
Unsur asing dalam hal ini adalah adanya keterkaitan sistem hukum
dari (negara) salah satu pihak yang terlibat dalam kegiatan kontrak
tersebut sebagaimana pilihan hukum (choice of law) yang disepakati
diantara keduanya.
Dari sekian banyak unsur asing tersebut, paling mendasar sebagai
unsur asing adalah kebangsaan berbeda. Perbedaan kebangsaan atau
kewarganegaraan ini merupakan fakta yang menimbulkan
konsekuensi bahwa dalam suatu kontrak internasional dimungkinkan
adanya dua sistem hukum berbeda sehingga bidang hukum kontrak
internasional memang merupakan hal yang tidak mudah. Secara
umum, dalam hukum kontrak internasional terdapat dua prinsip
fundamental hukum kontrak internasional yang terdiri dari:
1) prinsip kedaulatan/supremasi hukum nasional; dan
2) Prinsip dasar kebebasan berkontrak (freedom of the contract
atau the
party’s autonomy).
Hal ini mencerminkan bahwa hukum nasional memegang peranan
sangat penting dalam pembentukan kontrak internasional dan tidak
dapat diganggu gugat keberadaannya. Kekuatan mengikat hukum
nasional adalah mutlak dan kedudukannya adalah sebagai hukum
paling diutamakan.
Untuk menemukan dasar pengaturan kontrak internasional ini kita
dapat meninjau sumber hukum kontrak internasional itu sendiri
digolongkan ke dalam 7 (tujuh) bentuk hukum sebagai berikut:
Hukum nasional (termasuk peraturan perundang-undangan suatu
negara baik secara langsung atau tidak langsung terkait dengan
kontrak);
Dokumen kontrak;
Kebiasaan-kebiasaan di bidang perdagangan internasional terkait
dengan kontrak;
Prinsip-prinsip hukum umum mengenai kontrak;
Putusan pengadilan;
Doktrin;
Perjanjian internasional (mengenai kontrak). (Huala Adolf, 2008 : 69)
Pilihan hukum berkenaan dengan hukum mana yang berlaku untuk
suatu perjanjian yang melibatkan lebih dari satu hukum dari negara
yang berbeda. Pilihan Hukum berakar dari prinsip Freedom Of
Contract yang diterima hampir di seluruh system hukum melalui
prinsip ini. Dalam batas-batas tertentu para pihak diperkenankan
untuk menentukan sendiri hal – hal yang mereka perjanjikan.
Pilihan hukum yang jatuh pada hukum suatu negara tidak
selamanya berarti bahwa pengadilan negara tersebut yang berwenang
memeriksa / mengadili perkara yang bersangkutan. Untuk mengindari
kesulitan – kesulitan, maka dalam naskah kontrak sebaiknya kedua
macam pilihan tersebut dinyatakan secara tegas.
Meskipun pilihan hukum berakar dari prinsip freedom of contract,
tidak berarti bahwa para pihak bebas sebebas bebasnya melakukan

2
pilihan hukum. Di samping itu hakim yang memeriksa perselisihan
yang lahir dari sebuah kontrak tidak dengan sendirinya harus
menerima hukum yang telah dipillih oleh para pihak dalam kontrak-
kontrak bisnis yang mereka sepakati.
Pilihan hukum memiliki berbagai batasan. Secara umum diterima
bahwa pilihan hukum hanya dibenarkan dalam lapangan hukum
perjanjian (kontrak). Hal ini pun mendapat pembatasan, antara lain
terhadap perjanjian kerja (perburuhan) dan perjanjian mengenai
perkawinan tidak diperkenankan melakukan pilihan hukum.
Pembatasan lain terhadap kebebasan melakukan pilihan hukum
adalah public policy dan ketertiban umum. Pilihan hukum tidak
dibenarkan apabila terhadap masalah yang diperjanjikan telah terdapat
public policy atau orde public yang sifatnya memaksa. Dalam hal
yang demikian, hakim akan menolak pilihan hukum apabila terhadap
persoalan yang diperjanjikan para pihak terhadap hukum atau
kebijakan publik yang bersifat memaksa.
Hakim juga akan menolak pilihan hukum apabila penerapan
pilihan hukum tersebut justru mengakibatkan terlanggarnya ketertiban
umum atau prinsip-prinsip keadilan dalam yurisdksi pengadilan yang
mengadili perkara tersebut.
Pilihan hukum terhadap hukum negara kita, Pada dasarnya pilihan
hukum dilakukan atas hukum nasional salah satu pihak yang
melakukan kontrak bisnis. Namun adakalanya para pihak memilih
hukum negara lain diluar hukum negara para pihak. Sebagian
berpendapat bahwa pilihan hukum yang demikian dibenarkan,
sepanjang batas-batas mengenai pilihan hukum tidak dilanggar.

3
Ada juga yang berpendapat bahwa pilihan hukum yang demikian
dibenarkan sepanjang hukum negara ketiga yang dipilih memiliki
keterkaitan khusus dengan transaksi yang dilakukan para pihak dalam
kontrak.
Misalnya perjanjian yang menyangkut kerjasama pertambangan
minyak memilih hukum negara bagian Texas atau California
mengingat kedua negara bagian tersebut memiliki hukum tentang
pertambangan dan perminyakan yang lebih baik dan lebih lengkap
dari negara-negara lain. Atau hukum Inggris untuk persoalan-
persoalan yang berhubungan dengan perkapalan.
Apakah hakim akan menerima atau menolak pilihan hukum yang
demikian, sangat tergantung pada paham yang dianut oleh hakim yag
memeriksa sengketa kontrak yang bersangkutan.
Beberapa perjanjian internasional mengatur mengenai masalah
hukum yang akan diterapkan apabila para pihak tidak secara spesifik
menunjuk hukum negara tertentu dalam kontrak-kontrak mereka.
Pasal 8 The New Haque Convention on the Law Applicable to
Contracts for the International Sale of Goods (1986) menentukan
bahwa untuk memperluas hukum yang berlaku dalam suatu kontrak
penjualan, yang tidak dipilih oleh para pihak sesuai dengan Pasal 7,
kontrak diatur oleh hukum negara dimana tempat kedudukan bisnis
penjual pada saat kontrak dibuat.
Namun kontrak diatur oleh hukum negara dimana pembeli memilih
tempat bisnisnya pada saat kontrak dibuat, jika :
Negosiasi – negosiasi diadakan, dan kontrak ditandatangani oleh dan
dalam kehadiran para pihak, dalam suatu negara ; atau

4
Kontrak menentukan secara tegas bahwa penjual harus memenuhi
kewajibannya untuk mengirim barang dal;am suatu negara ; atau
Kontrak ditandatangani dengan syarat yang ditentukan sebagian besar
oleh pembeli dan dalam tanggapan atas suatu undangan oleh pembeli
ditujukan kepada orang yang diundang untuk mengajukan penawaran.
Pasal 13 kemudian menentukan, bahwa dalam hal tidak adanya
pilihan hukum yang tegas, maka berlaku hukum negara dimana
pemeriksaan barang dilakukan. Penyelesaian sengketa bisnis yang
lahir dari kontrak-kontrak bisnis internasional akan lebih mudah
diselesaikan apabila para pihak secara tegas menentukan pilihan
hukum. Namun adakalanya dalam kontrak-kontrak bisnis yang
demikian para pihak tidak membuat klausula pilihan hukum.
Masalah yang terjadi kemudian jika terjadi perselisihan adalah
hukum mana yang akan digunakan untuk menyelesaikan perselisihan
tersebut. Masalah penentuan hukum seperti ini merupakan ruang
lingkup hukum perdata internasional.
Oleh karena itu teori-teori dalam hukum perdata internasional akan
sangat berperan dalam menentukan hukum yang berlaku apabila para
pihak tidak menentukan pilihan hukum.
Dalam hukum perdata internasional dikenal beberapa teori untuk
menentukan hukum yang berlaku, antara lain teori penentuan hukum
berdasarkan tempat dimana kontrak di buat (lex loci contractus), lex
fory (hukum nasional dari hakim) dan hukum dari pihak yang paling
bermakna terhadap kontrak (the most significant contract
relationship).

5
B. Rumusan Masalah
1. Definisi Hukum Kontrak Internasional ?
2. Karakteristik Kontrak Internasional ?
3. Prinsip-prinsip Hukum Dalam Kontrak Internasional ?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Hukum Kontrak Internasional
Dikatakan Kontrak Internasional adalah apabila para pihak yang
mengikatkan diri pada suatu kontrak adalah warga negara atau badan
hukum asing. Dikenal juga, kontrak internasional berdimensi publik,
yaitu suatu kontrak yang salah satu atau para pihaknya adalah
pemerintah atau aparatnya. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa
kontrak internasional yang berdimensi publik berbeda dengan
perjanjian internasional.

Dari beberapa sistem hukum yang ada di dunia, sistem hukum yang
potensinya sangat berpengaruh terhadap kontrak internasional adalah
sistem hukum common law dan civil law. Sehingga sebelum
membahas mengenai kontrak internasional, perlu untuk diketahui

6
berdasarkan pembentukan hukum dan sifat dari kedua sistem hukum
tersebut.

Sistem Hukum Common Law


Sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, bersumber dari
keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar
putusan hakim-hakim selanjutnya. Menurut definisinya, sistem hukum
common law adalah hukum yang dibuat berdasarkan putusan-putusan
hakim terdahulu yang selanjutnya putusan-putusan tersebut berlaku
sebagai hukum dalam masyarakat. berdasarkan pembentukan
hukumnya, sistem hukum Common Law Sifatnya tidak tertulis yang
memperoleh kekuasaan mengikatnya dari putusan dari hakim yang
terdahulu.

Sistem Hukum Civil Law


Sistem hukum yang dikodifikasi, hukum dasar dituangkan dalam kitab
undang-undang (codes), dalam memutuskan suatu perkara, hakim
tidak terikat kepada asas preseden sehingga Undang-Undang menjadi
sumber utama, dan sistem peradilan bersifat inkuisitorial yaitu hakim
memiliki peranan mengarahkan dan memutuskan perkara. Menurut
definisinya civil law adalah hukum yang dibuat berdasarkan
kodifikasi hukum yang dilakukan lembaga legislatif yang sifatnya
tertulis

Secara ringkas perbedaan sistem hukum Common Law dan sistem


hukum Civil Law dalam sistem peraturannya dijelaskan pada table

7
sebagai berikut :
Common Law Civil Law
Didominasi oleh hukum yang Hukum tertulis
tidak tertulis melalui putusan-
putusan hakim terdahulu
Tidak ada pemisahan yang tegas Ada pemisahan yang tegas dan
antara hukum publik dan hukum jelas antara hukum publik dan
privat hukum privat

Pemahaman mengenai kedua sistem tersebut sangat penting


dalam hal penyusunan kontrak internasional. Selaras dengan
perbedaan kedua sistem tersebut pada prinsip keabsahan
kontrak juga berbeda sebagaimana di jelaskan pada tabel
berikut ini :
Common Law Civil Law
Kesepakatan (Bargain) (offer and Kesepakatan
acceptance)

Cakap dalam melakukan Cakap (Begwam)


perbuatan hukum (Capacity)
Adanya objek Suatu hal tertentu

Consideration Sebab yang diperbolehkan

8
Perhatikan pada sistem hukum Common Law terdapat syarat
consideration, syarat ini yang sangat membedakan dari kedua
sistem tersebut. Dalam sistem hukum Common Law suatu
kontrak dapat dikatakan sah apa bila memiliki manfaat bagi
para pihak yang mengikatkan diri. Hal ini disebabkan karena
dalam sistem hukum Common Law terdapat perbedaan antara
Contract dengan Agreement. Poin penting perbedaan antara
Contract dengan Agreement terdapat pada syarat
considerationsebagai salah satu syarat keabsahan kontrak pada
sistem hukum ini.

Kontrak (contract) pada sistem hukum Common Law pada


dasarnya berangkat dari perjanjian (Agreement) namun terdapat
syarat yang utama dalam kontrak yaitu adanya kemanfaatan,
benefit, kontra prestasi (Consideration) dari suatu hubungan
hukum, contoh kontrak jual beli, sewa-menyewa, dan lain
sebagainya.

Perjanjian (Agreement) hubungan hukum antara dua belah


pihak atau lebih dalam suatu hubungan hukum namun tidak
selalu terdapat Consideration di dalamnya. Hukum di Inggris
menggunakan pendekatan Obyektif untuk mengidentifikasi
agreement. Dapat dikatakan bahwa perjanjian satu arah, tidak
ada kontra prestasi dari pihak lain, contohnya hibah.

9
Disamping itu, pada sistem hukum ini tidak mengatur mengenai
sebab yang diperbolehkan sebagaimana syarat keabsahan
kontrak pada sistem hukum Civil Law, dengan kata lain bahwa
sekali pun tidak ada syarat keabsahan kontrak berupa sebab
yang diperbolehkan, tidak serta merta segala hal dapat
diperjanjikan dan dituangkan dalam suatu kontrak.

Pada sistem hukum Civil Law mengatur syarat keabsahan


kontrak berupa sebab yang diperbolehkan, sebab yang
diperbolehkan disini yang dimaksud adalah tanpa ada paksaan
(dwang), kekilafan (dwaling), Bedrog (penipuan),
penyalahgunaan keadaan (onrechtmatigdaad).

Harmonisasi Hukum Kontrak Negara ASEAN

Harmonisasi hukum kontrak negara ASEAN pada dasarnya


bertujuan untuk mewujudkan kondisi yang kondusif dengan
adanya latar belakang pengaturan hukum negara-negara
ASEAN yang berbeda-beda di masing-masing negara.
Harmonisasi hukum dagang ASEAN termasuk di dalamnya
harmonisasi hukum dagang internasional, sedang dilakukan
oleh ASEAN Senior Law Official Meeting (ASLOM) bertugas
mengkaji dan membahas harmonisasi hukum kontrak telah
merekomendasikan kepada negara-negara ASEAN untuk
mengubah atau membuat hukum kontrak sesuai dengan aturan
yang berlaku secara universal. ASLOM Merekomendasikan

1
0
untuk mengadopsi prinsip-prinsip hukum kontrak internasional
uang ada dalam United Nations Convention on contracts for
International Sale of Goods (CISG 1980) dan UNIDROIT
Principles of International Commercial Contract (UPICC 1994)
yang kemudian telah direvisi pada tahun 2010.

Latar Belakang dibentuknya United Nations Convention on


contracts for International Sale of Goods (CISG 1980)

Selain dari UNIDROIT Principles, konvensi PBB lainnya yang


memberikan pengaruh besar dalam rangka harmonisasi hukum
kontrak yaitu United Nations Commission on International
Trade Law (UNCITRAL) menghasilkan kesepakatan mengenai
hukum materiil yang mengatur perjanjian jual beli. Convention
Relating to a Uniform Law on The International Sales of Goods
1964 yang Terdiri dari 2 buah Konvensi, masing-masing:
Convention relating to a Uniform Law on the International
Sales of Goods (ULIS); dan Convention relating to a Uniform
Law on the Formation of Contracts for International Sales of
Goods (ULF). ULIS dan ULF berupaya memperbaiki konvensi
sebelumnya, yaitu Convention on the Law Applicable to
International Sales of Goods 1955. Kelemahan 2 (dua)
Konvensi Den Haag 1964 yaitu Konvensi tentang hukum yang
berlaku terhadap jual-beli internasional (The Convention
Relating to a Uniform Law on The International sale of Goods
(ULIS)) dan Konvensi tentang Pembentukan kontrak jual beli

1
1
internasional (The Convention Relating to a Uniform Law on
The Formation of Contract for the International Sale of Goods).
Kedua konvensi ini kurang disambut baik oleh banyak
pengamat hukum, karena ketentuan-ketentuan yang terkandung
dalam kedua konvensi ini dipandang semata-mata
mencerminkan tradisi-tradisi hukum dan ekonomi yang berlaku
pada Negara-negara Eropa Kontinental. United Nations
Convention on contracts for International Sale of Goods (CISG
1980) merupakan pengganti ULIS. Konvensi ini mengenai
kontrak jual beli barang secara internasional yang disahkan di
kota Wina pada 1980.

CISG 1980 dipandang sebagai suatu perjanjian internasional


pertama yang sifatnya komprehensif di bidang kontrak yang
dibuat oleh Negara-negara di dunia sejak Perang Dunia II. Latar
belakang hadirnya CISG 1980 diantaranya karena
meningkatnya transaksi perdagangan internasional yang
memerlukan suatu konvensi yang menyeluruh, adanya berbagai
sistem hukum yang berbeda yang mengatur kontrak
perdagangan yang dipandang tidak begitu kondusif bagi
perdagangan internasional

Latar Belakang Dibentuknnya UNIDROIT

Perbedaan aturan serta sistem hukum di setiap negara yang


melatarbelakangi adanya unifikasi dan harmonisasi kontrak

1
2
bisnis internasional. Tujuan utamanya melakukan kajian untuk
memodernisasi, mengharmonisasi dan mengkoordinasikan
hukum privat, khususnya hukum komersial (dagang) di antara
negara atau di antara sekelompok negara. UNIDROIT pada
tahun 1994 berhasil menyusun prinsip-prinsip umum yang
dikenal dengan UNIDROIT Principles of International
Commercial Contract (UPICC 1994) yang kemudian telah
direvisi pada tahun 2010.

Keberlakuan UPICC dalam kontrak bisnis Internasional berlaku


terhadap negara-negara yang meratifikasinya, ada sekitar 62
negera sampai pada saat ini yang yang tergabung dalam
UNIDROIT
Negara indonesia masuk dalam keanggotaan UNIDROIT secara resmi
pada tanggal 1 Januari 2009 berdasarkan Perpres No. 59 Tahun 2008
tentang Pengesahan Statute of International Institute for the
Unification of Private Law. Merujuk pada UPICC, tahapan pembuatan
kontrak internasional dapat dilihat pada skema berikut ini :

Tahapan pembuatan kontrak Internasional

ALUR KONTRAK

1
3
B. Karakteristik Kontrak Internasional
Sebagai suatu landasan, kontrak internasional bukanlah suatu
persoalan sederhana. Hal ini menyangkut perbedaan sistem,
paradigma, dan aturan hukum yang berlaku sebagai suatu aturan
bersifat memaksa untuk dipatuhi oleh para pihak di masing-masing
negara. Dalam rangka harmonisasi dan unifikasi hukum di bidang
kontak internasional di Indonesia sudah meratifikasi perjanjian

1
4
UNIDROIT yang diterapkan jika terjadi wanprestasi dalam kontrak
internasional. Pada perjanjian UNIDROIT tersebut berisi tentang
prinsip-prinsip kontrak internasional yang harus diterapkan kepada
para pelaku bisnis dalam transaksi perdagangan.

Karakteristik yang pasti dari suatu kontrak intenasional adalah


terdapat unsur asing (foreign element). Unsur asing dalam hal ini
adalah adanya keterkaitan sistem hukum dari (negara) salah satu pihak
yang terlibat dalam kegiatan kontrak tersebut sebagaimana pilihan
hukum (choice of law) yang disepakati di antara keduanya.

Secara teoritis, unsur asing dapat menajdi indikator suatu kontrak


adalah kontrak internasional yaitu:

Kebangsaan berbeda;
Domisili hukum berbeda dari para pihak;
Hukum yang dipilih, salah satu aturan negara akan menjadi pilihan
hukum jika terjadi sengketa dari kontrak internasional tersebut;
Penandatanganan kontrak dilakukan di luar negeri;
Objek kontrak berada di luar negeri;
Bahasa yang digunakan dalam kontrak adalah bahasa asing;
Digunakannya mata uang asing dalam kontrak tersebut.
Hukum kontrak internasional terwujud dalam lex mercantoria (hukum
kebiasaan dagang) dimaksudkan guna menyelaraskan berbagai sistem
hukum yang ada di dunia. Akibat dari Indonesia telah mengesahkan
Statuta UNIDROIT dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59

1
5
Tahun 2008 tentang Pengesahan Statute of The International Institute
for The Unification of Private Law, artinya Indonesia tunduk terhadap
substansi yang tertuang di dalam UNIDROIT.
Prinsip hukum kontrak internasional berdasarkan UNIDROIT, yaitu:

Prinsip kebebasan berkontrak


Prinsip kebebasan diwujudkan dalam 5 (lima) bentuk prinsip hukum,
di antaranya:

Kebebasan menentukan isi kontrak;


Kebebasan menentukan bentuk kontrak;
Kontrak mengikat sebagai undang-undang;
Aturan memaksa (mandatory rules) sebagai pengecualian;
Sifat internasional dan tujuan prinsip-prinsip UNIDROIT yang harus
diperhatikan dalam penafsiran kontrak.
Prinsip pengakuan hukum terhadap kebiasaan dagang
Prinsip kedua, prinsip kekuatan mengikat praktik kebiasaan dagang,
merupakan prinsip yang disebut pula sebagai keterbukaan ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa kebiasaan dagang bukan saja
secara fakta mengikat tetapi juga karena ia berkembang dari waktu ke
waktu.

Prinsip itikad baik (good faith) dan transaksi jujur (fair dealing)
Terdapat tiga unsur dari prinsip itikad baik dan transaksi jujur, yaitu:

Itikad baik dan transaksi jujur sebagai prinsip dasar yang melandasi

1
6
kontrak;
Prinsip ini juga ditekankan pada praktik perdagangan internasional;
Prinsip itikad baik dan transaksi jujur bersifat memaksa
Prinsip force majure
Bunyi pengaturan artikel tersebut adalah rumusan yang umum,
termasuk dalam hukum nasional kita. Rumusan tersebut adalah
peristiwa yang menyebabkan force majure adalah peristiwa yang di
luar kemampuannya; adanya peristiwa tersebut mewajibkan pihak
yang mengalaminya untuk memberitahukan pihak lainnya mengenai
telah terjadinya force majure.
Bagi mereka yang ingin memahami dan memperdalam kemampuan
pembuatan kontrak internasional bisa mengikuti training tentang
Teknik Perancangan Kontrak. Training ini didesain secara khusus
untuk memberikan pemahaman komprehensif tentang metode
penyusunan kontrak-kontrak bisnis di Indonesia dan kontrak
internasional. Training ini akan mengupas tuntas bagaimana aspek
hukum perjanjian, teori, praktek dan teknik penyusunan perjanjian
disertai dengan contoh-contoh bentuk perjanjian berdasarkan praktek
terbaik (best practice).

1
7

Anda mungkin juga menyukai