Anda di halaman 1dari 11

DOSEN PENGAMPU

Bapak Dr. Lucky Dafira Nugroho, SH.,MH

PERBANDINGAN HUKUM KEPAILITAN


DI INDONESIA, MALAYSIA DAN
SINGAPURA
Oleh Mochammad Aliviareza H.P ( 150111100256)
A. PERKEMBANGAN HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA.
Mempelajari perkembangan hukum kepailitan yang berlaku di Indonesia tidak terlepas
dari kondisi perekonomian nasional khususnya yang terjadi pada pertengahan tahun 1997. Dari
sisi ekonomi patut disimak data yang dikemukakan oleh Lembaga Konsultan (think tank)
Econit Advisory Group, yang menyatakan bahwa tahun 1997 merupakan ‘Tahun Ketidak
pastian” (A Year of Uncertainty). Sementara itu, Tahun 1998 merupakan “Tahun Koreksi” (A Year of
Correction). Pada pertengahan tahun 1997 terjadi depresiasi secara drastis nilai tukar rupiah terhadap
mata uang asing, khususnya US $ dari sekitar Rp. 2300,00 pada sekitar bulan Maret menjadi sekitar
Rp. 5000,00 per US $ pada akhir tahun 1997. Bahkan pada pertengahan tahun 1998 nilai tukar
rupiah sempat menyentuh Rp. 16.000,00 per US $.
Kondisi perekonomian ini mengakibatkan keterpurukan terhadap pertumbuhan ekonomi
yang sebelumnya positif sekitar 6 – 7 % telah terkontraksi menjadi minus 13-14 %. Tingkat inflasi
meningkat dari di bawah 10 % menjadi sekitar 70 %. Banyak perusahaan yang kesulitan
membayar kewajiban utangnya terhadap para kreditor dan lebih jauh lagi banyak perusahaan
mengalami kebangkrutan (Pailit).
Terperosoknya nilai tukar rupiah, setidaknya telah memunculkan 3 (tiga) negatif terhadap
7
perekonomian nasional, yaitu :
1) negative balance of payments,
2) negative spread, dan
3) negative equity.

Neraca pembayaran negatif terutama terjadi karena melonjaknya nilai tukar utang dalam
valuta asing (valas) kalau dirupiahkan. Utang perusahaan swasta dan pemerintah yang cukup besar
telah memperberat beban neraca pembayaran sementara kenaikan nilai ekspor sebagai akibat
“bonanza” dari terdepresiasinya nilai rupiah tidak dapat dengan segera dinikmati.
Negative spread terutama terjadi pada industri keuangan. Kebijakan pemerintah untuk
menaikkan suku bunga untuk mengerem laju permintaan valas telah menyebabkan naiknya
bunga bank. Sementara itu, dana yang terkumpul dari masyarakat sulit disalurkan karena jarang ada
perusahaan yang mampu memperoleh margin di atas suku bunga. Perusahaan yang terlanjur
memperoleh kredit bank mengalami negative equity karena nilai kekayaannya dalam rupiah
tidak cukup lagi dan bahkan berbeda jauh apabila dipersandingkan dengan nilai rupiah dari
utang valas.
Kondisi di atas mengakibatkan banyaknya perusahaan-perusahaan yang diancam
kebangkrutan karena kondisi perekonomian nasional dan ketidak mampuan untuk
membayar utang-utang perusahaan yang pada umumnya dilakukan dalam bentuk dollar. Dari segi
hukum diperlukan suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah utang piutang ini
secara cepat, efektif, efisien dan adil. Undang-undang kepailitan yang lama dianggap tidak
mampu memenuhi kebutuhan para pelaku bisnis untuk menyelesaikan masalah utang
piutang mereka secara cepat, efektif, efisien dan adil. Hal ini disebabkan bahwa hukum
kepailitan yang selama ini berlaku Faillisement Verordening Stb. 1905 No. 217 jo Stb 1906
No. 348 merupakan hukum kepailitan
warisan pemerintah kolonial Belanda yang diciptakan sesuai dengan kondisi
perekonomian pada masa itu.
Mengingat hal di atas pemerintah perlu melakukan revisi terhadap hukum kepailitan untuk
mengantisipasi banyaknya perusahaan yang mengalami kebangkrutan. Melalui Perpu No. 1
Tahun 1998 yang kemudian dikuatkan menjadi UU No. 4 Tahun 1998 pemerintah telah
melakukan perubahan, penambahan dan penyempurnaan pasal-pasal yang terdapat dalam
Faillisement Verordening Stb. 1905 No. 217 Jo. Stb.1906 No. 348. Namun perubahan dan
penyempurnaan tersebut dirasakan masih mengandung beberapa kelemahan terutama yang timbul
dalam prakteknya.

Bagir Manan menyebutkan bahwa keadaan hukum (the existing legal system)
Indonesia dewasa ini menunjukkan hal-hal sebagai berikut :

1. Dilihat dari substansi hukum – asas dan kaedah – hingga saat ini terdapat berbagai sistem hukum
yang berlaku – sistem hukum adat, sistem hukum agama, sistem hukum barat, dan sistem
hukum nasional. Tiga sistem hukum yang pertama merupakan akibat politik hukum
masa penjajahan. Secara negatif, politik hukum tersebut dimaksudkanuntuk membiarkan
rakyat tetap hidup dalam lingkungan hukum tradisional dan sangat dibatasi untuk memasuki
sistem hukum yang diperlukan bagi suatu pergaulan yang modern.

2. Ditinjau dari segi bentuk… sistem hukum yang berlaku lebih mengandalkan pada bentuk-
bentuk hukum tertulis. Para pelaksana dan penegak hukum senantiasa mengarahkan
pikiran hukum pada peraturan-peraturan tertulis. Pemakaian kaidah hukum adat atau hukum
Islam hanya dipergunakan dalam hal-hal yang secra hukum ditentukan harus diperiksa dan
diputus menurut kedua hukum tersebut. Penggunaan Yurisprudensi dalam mempertimbangkan
suatu putusan hanya sekedar untuk mendukung peraturan hukum tertulis yang menjadi tumpuan
utama.

3. Hingga saat ini masih cukup banyak hukum tertulis yang dibentuk pada masa
Pemerintahan Hindia Belanda. Hukum-hukum ini bukan saja dalam banyak hal tidak sesuai
dengan alam kemerdekaan, tetapi telah pula ketinggalan orientasi dan mengandung
kekosongan-kekososngan baik ditinjau dari sudut kebutuhan dan fungsi hukum maupun
perkembangan masyarakat.
4. Keadaan hukum kita dewasa ini menunjukkan pula banyak aturan kebijakan
(beleidsregel). Peraturan-peraturan kebijakan ini tidak saja berasal dari administrasi negara,
bahkan ada pula dari badan justisial.
5. Keadaan hukum kita dewasa ini adalah sifat departemental centris. Hukum-
khususnya peraturan perundang-undangan- sering dipandang sebagai urusan
departemen yang bersangkutan.
6. Tidak pula jarang dijumpai inkonsistensi dalam penggunaan asas-asas hukum atau landasan
teoretik yang dipergunakan.
Keadaan hukum kita- khususnya peraturan perundang-undangan yang dibuat dalam kurun
waktu dua puluh lima tahu terkahir- sangat mudah tertelan masa, mudah aus (out of date). Secara
obyektif hal ini terjadi karena perubahan masyarakat di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya
berjalan begitu cepat, sehingga hukum mudah sekali tertinggal di belakang. Secara subyektif,
berbagai peraturan perundang-undangan dibuat untuk mengatasi keadaan seketika sehingga
kurang memperhatikan wawasan ke depan. Kekurangan ini sebenarnya dapat dibatasi apabila
aparat penegak hukumberperan aktif mengisi berbagai kekososngan atau memebrikan
pemahaman baru suatu kaidah. Kenyatan menunjukkan bahwa sebagian penegak hukum lebih
suka memilih sebagai “aplikator” daripada sebagai “dinamisator” peraturan perundang-undangan.
Dalam rangka untuk penyempurnaan aturan hukum kepailitan perlu dilakukan
perbandingan-perbandingan sistem hukum (Comparative Legal System). Oleh karena itu kajian
terhadap perbandingan hukum di Indonesia khususnya hukum kepailitan selalu menarik untuk
pelajari lebih mendalam.

B. PENGERTIAN PERBANDINGAN HUKUM.

Bagi yang pertama sekali mempelajari perbandingan hukum, timbul pertanyaan apakah
perbandingan hukum itu merupakan metode ataukah ilmu. Bila perbandingan hukum
merupakan suatu disiplin ilmiah, kiranya saat ini belum mendapat banyak dukungan Dalam
Introduction to the Study of Comparative Law, Rahmatullah Khan with of Susshil Kumar
disebutkan bahwa It is self evident that comparative law is not a subject but a method. With a
preliminary remark that legal definitions are not notoriously unsatisfactory, H.C. Gutteridge, the
doyen of the discipline, dismisses the question of definition thus : since the subject- matter is non
11
existent it defies definition.
Terdapat berbagai istilah dalam perbandingan hukum perbandingan hukum yaitu :
1. Comparative Law

Mempelajari berbagai sistem hukum asing dengan maksud untuk


membandingkannya.
2. Foreign Law
Mempelajari hukum asing dengan maksud semata-mata mengetahui sistem hukum asing itu
sendiri dengan tidak secara nyata bermaksud untuk membandingkannya dengan sistem
hukum yang lain.

3. Comparative Jurisprudence
Adalah suatu studi mengenai prinsip-prinsip ilmu hukum dengan melakukan
perbandingan berbagai macam sistem hukum. (The study of principles of legal science
12
by the comparison of various system of law).
Tentang pengertian perbandingan hukum itu sendiri banyak dijumpai pendapat dari beberapa
ahli antara lain :

1. Rudolf D. Schlessinger.

Dalam bukunya Comparative Law 1959 mengemukakan :


a. Comparative Law, merupakan metode penyelidikan dengan tujuan untuk memperoleh
pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum tertentu.

b. Comparative Law, bukanlah suatu perangkat peraturan dan asas-asas hukum, bukan
suatu cabang hukum.
c. Comparative Law, adalah tehnik atau cara menggarap unsur hukum asing
yang aktual dalam suatu masalah hukum.

2. Dr. G. Guitens Bourgois.

Perbandingan hukum adalah metode perbandingan yang diterapkan pada ilmu hukum.
Perbandingan hukum bukanlah ilmu hukum, melainkan hanya suatu metode studi, suatu
metode untuk meneliti sesuatu, suatu cara kerja, yakni perbandingan. Perbandingan
hukum sebagai suatu metode mengandung arti, bahwa ia merupakan suatu cara
pendekatan untuk lebih memahami suatu objek atau masalah yang diteliti. Oleh karena
itu sering digunakan istilah metode perbandingan hukum.

3. Sunaryati Hartono.

Perbandingan hukum bukanlah suatu bidang hukum tertentu seperti misalnya hukum
tanah, hukum perburuhan atau hukum acara, akan tetapi sekedar merupakan cara
penyelidikan suatu metode untuk membahas suatu persoalan hukum dalam bidang
manapun juga.

4. Van Apeldoorn

Objek ilmu hukum adalah hukum sebagai gejala kemasyarakatan. Untuk mencapai
tujuannya maka digunakan :

a. Metode Sosiologis

Dimaksud untuk meneliti hubungan antara hukum dengan gejala-gjala sosial lainnya.

b. Metode Sejarah, untuk meneliti perkembangan hukum.

c. Metode perbandingan hukum, untuk membandingkan berbagai tertib hukum dan


bermacam-macam masyarakat

5. Soerjono Soekanto.

Mengemukakan ketiga metode itu saling berkaitan dan hanya dapat dibedakan tetapi tidak dapat
dipishkan antara lain :
a. Metode Sosiologis.
Tidak dapat diterapkan tanpa metode sejarah, karena hubungan antara hukum dengan
gejala-gejala sosial lainnya merupakan hasil dari suatu perkembangan (dari zaman
dahulu), metode perbandingan hukum juga tidak boleh diabaikan, karena hukum
merupakan gejala dunia.

b. Metode Sejarah.
Memerlukan bantuan dari metode sosiologis, karena perlu diteliti faktor-faktor sosial yang
mempengaruhi perkembangan hukum.

c. Metode Perbandingan

Tidak akan membatasi diri pada perbandingan yang bersifat deskriptif, tetapi juga
diperlukan data tentang berfungsinya atau efektifitas hukum, sehingga diperlukan
metode sosiologis, juga diperlukan metode sejarah untuk mengetahui
perkembangan dari hukum yang diperbandingkan.

Dari beberapa pendapat sarjana di atas dapat diperoleh gambaran bahwa :

1. Perbandingan hukum bukanlah suatu cabang hukum, bukan suatu perangkat peraturan.

2. Perbandingan hukum merupakan cabang ilmu hukum.

3. Perbandingan hukum merupakan metode penelitian hukum.

Alan watson berusaha menginventarisasi pendekatan-pendekatan yang bisa


diharapkan untuk memperluas cara pandang terhadap perbandingan hukum.

E. Lambert, sebagai misal, mengetengahkan 3 (tiga) bagian yang bisa dimasukkan dalam terminologi
perbandingan hukum, yakni :

1. Deskriptive comparative law.

Deskriptive ini berkenaan dengan inventarisasi sistem pada masa lalu dan kini sebagai
suatu keseluruhan, seperti aturan-aturan individual yang mana sistem ini ditegakkan untuk
beberapa kategori hubungan-hubungan hukum.

2. Comparative history of law.

Comparative history of law secara tertutup berkaitan dengan ilmu hukum etnologis
(ethnological jurisprudence), folklore, sosiologi hukum, dan filsafat hukum.

3. Comparative legislation (atau tepatnya comparative jurisprudence).

Comparative legislation mempresentasikan usaha untuk mendefinisikan ruang umum yang


menjadi doktrin hukum nasional, sebagai hasil pembangunan studi hukum sebagai suatu
ilmu dan usaha membangunkan kesadaran hukum internasional.
C. Perbandingan Hukum Kepailitan Indonesia, Malaysia dan
Singapura
No Indonesia Malaysia Singapura
1. Jika di indonesia Sebelum krisis ekonomi Kewenangan untuk
sampai dengan tahun 1997 berlangsung, perkara memeriksa dan memutus
1970 masih banyak Kepailitan diperiksa di sengketa Kepailitan berada
perkara Kepailitan Pengadilan. Tetapi pada pengadilan Tinggi
Indonesia dimohonkan pertambahan jumlah perkara (High Court) di Singapura
putusannya ke kepailitan yang dimohonkan seluruh kasus Kepailitan
Pengadilan di seluruh putusannya ke pengadilan lintas batas yang didaftarkan
Indonesia. Namun tidak sebanyak oleh kreditur terhadap
demikian, mulai tahun dibandingkan dengan debitur yang hendak
1980 sudah tidak ada jumlah perkara kepailitan dipailitkan. Pada dasarnya,
lagi perkara Kepailitan yang diajukan ke pengadilan hukum kepailitan Singapura
diperiksa di Pengadilan. setelah berlakunya krisis tidaklah membedakan baik
ekonomi 1997 berlangsung. kreditur lokal maupun
kreditur asing sehingga
keduanya berhak untuk
mendaftarkan permohonan
pailit di Pengadilan Tinggi
Singapura.

2. Pengadilan yang Dalam system kekuasaan Kewenangan Pengadilan


mempunyai kehakiman di Malaysia Tinggi Singapura terhadap
kewenangan memeriksa kewenangan memeriksa dan aset debitur tergantung
dan memutus perkara memutus perkara Kepailitan kepada domisili debitur
Kepailitan adalah ada pada Bagian Kepailitan pailit itu sendiri. Dalam hal
Pengadilan Niaga. Mahkamah Tinggi. Yang debitur lokal,
Diatur dalam Undang- diatur dalam undang- berkewarganegaraan
undang Republik undang Kepailitan Malaysia Singapura serta berdomisili
Indonesia Nomor 37 yang dikenal dengan Akta di Singapura maka
Tahun 2004 Kebankrapan Malaysia kewenangan Pengadilan
1967. menurut peraturan hukum
kepailitan Singapura
mencakup seluruh aset yang
dimilikinya, dimanapun aset
tersebut berada. Sedangkan,
dalam hal debitur adalah
debitur asing yang
berdomisili serta melakukan
kegiatan usaha di
Singapura, maka
kewenangan Pengadilan
Singapura menurut
peraturan hukum kepailitan
Singapura hanya mencakup
sejumlah aset debitur pailit
yang berada di dalam
wilayah Singapura.
Meskipun demikian,
kewenangan Pengadilan
Tinggi Singapura beserta
akibat hukum yang timbul
terhadap putusan pailit
Pengadilan Tinggi
Singapura hanya dapat
diakui di wilayah hukum
Malaysia, dengan adanya
Mutual Recognition and
Mutual Enforcement
Agreement of Republic of
Singapore and Malaysia.
Berdasarkan perjanjian
bilateral dalam hal
kepailitan lintas batas
tersebut, maka kewenangan
Pengadilan Singapura
terhadap suatu putusan pailit
yang ditetapkannya diakui
di negara Malaysia
sepanjang tidak
bertentangan dengan HPI
Malaysia dan conflict of law
principles.

3. Sistem Hukum Sistem Hukum Malaysia Singapura masih belum


Indonesia bersumberkan kepada mengadopsi Model Law
bersumberkan kepada sistem Common Law UNCITRAL dalam
Civil Law system System peraturan Kepailitannya.
4. Di Indonesia, jumlah Mahkamah Tinggi diakui Singapura mengakui
pengadilan Niaga hanya lebih efektif memeriksa dan putusan pengadilan asing
lima Pengadilan Niaga. memutus perkara sepanjang adanya
Kelima Pengadialn Kepailitan, karena permohonan dari pihak
Niaga tersebut adalah kewenangan memeriksa dan asing kepada Pengadilan
Pengadilan Niaga memutus perkara Kepailitan Tinggi di Singapura.
Medan, Pengadilan merupakan kewenangan Adapun pengakuan akan
Niaga Semarang, Mahkamah Tinggi yang diberikan apabila (1)
Pengadilan Niaga terdapat di setiap negara putusan pengadilan asing
Surabaya, Pengadilan bagian yang ada di ditetapkan oleh pengadilan
Niaga Ujung Pandang malaysia. Bahkan negara yang berwenang untuk
dan Pengadilan Niaga bagian yang wilayahnya memeriksa dan memutus
Jakarta Pusat. Kelima luas terdapat dua mahkamah putusan tersebut; (2)
Pengadilan Niaga tinggi bagi kemudahan putusan pengadilan asing
tersebut mempunyai pencari keadilan tidak menimbulkan suatu
kewenangan wilayah menyelesaikan perkaranya pelanggaran hukum; dan (3)
yang sangat luas. di pengadilan. Maka hal itu putusan pengadilan asing
Persoalan wilayah yang lebih efektif untuk tidak bertentangan dengan
sangat luas ini dapat menyelesaikan perkara ketertiban umum di
menyebabkan kurang Kepailitan. Singapura. Meskipun
efektif di masing- demikian, hal ini hanya
masing Pengadilan berlaku bagi Negara lain
Niaga dalam yang telah melakukan
menyelesaikan perkara perjanjian bilateral dengan
kepailitan di Singapura.
wilayahnya. Pencari
keadilan yang
berdomisili jauh dari
kelima pengadilan
niaga tersebut akan
berhadapan dengan
kesulitan ketika harus
menyelesaikan
perkaranya ke
Pengadilan Niaga.
5. Syarat materiil Syarat materiil permohonan Syarat materiil permohonan
permohonan Pailit Pailit yakni minimal 2 Pailit yakni minimal 2
yakni minimal 2 Kreditor yang memiliki Kreditor yang memiliki
Kreditor yang memiliki utang. utang.
utang.
6. Menurut sistem HPI Singapura yang menganut
Indonesia, keputusan prinsip teritorialitas
Kepailitan memakai sehingga putusannya hanya
Prinsip teritorialitas berlaku di wilayah sendiri
sehingga suatu dan putusan asing pun
keputusan pailit yang menjadi tidak berlaku di
diucapkan di luar negeri Negara tersebut, kecuali
tidak mempunyai akibat melakukan perjanjian
hukum di dalam negeri. bilateral seperti antara
Singapura dan Malaysia.

D. PENUTUP

Hukum kepailitan di Indonesia yang termasuk ke dalam kelompok negara dengan


Civil Law System tentu berbeda dengan Hukum Kepailitan di Malaysia dan Singapura yang
termasuk ke dalam kelompok negara dengan Common Law System.
Perbedaan tersebut meliputi perbedaan sistematika dalam hukum kepailitan yang diatur dalam
UU No. 4 Tahun 1998 dengan hukum kepailitan di Malaysia dan Singapura. Demikian pula
perbedaan tentang pihak-pihak yang dapat dinyatakan pailit, pihak-pihak yang dapat
mengajukan permohonan pailit, prosedure permohonan kepailitan, Penundaan kewajiban
Pembayaran Utang, jangka waktu yang harus ditempuh, hukum acara yang dipergunakan, Re
organisasi Perusahaan dan lain-lain.
Perbedaan ini disebabkan faktor sejarah lahirnya hukum kepailitan itu sendiri baik di
Indonesia maupun Amerika, Selain itu perbedaan ini juga disebabkan oleh sistem hukum yang
dianut oleh masing-masing negara yang berbeda. Namun dalam perkembangan hukum
yang terjadi saat ini terlihat adanya suatu convergemcy pada seluruh bidang hukum
baik negara-negara penganut Civil law System maupun Common Law System demi untuk
menuju harmonisasi hukum.

Anda mungkin juga menyukai