Neraca pembayaran negatif terutama terjadi karena melonjaknya nilai tukar utang dalam
valuta asing (valas) kalau dirupiahkan. Utang perusahaan swasta dan pemerintah yang cukup besar
telah memperberat beban neraca pembayaran sementara kenaikan nilai ekspor sebagai akibat
“bonanza” dari terdepresiasinya nilai rupiah tidak dapat dengan segera dinikmati.
Negative spread terutama terjadi pada industri keuangan. Kebijakan pemerintah untuk
menaikkan suku bunga untuk mengerem laju permintaan valas telah menyebabkan naiknya
bunga bank. Sementara itu, dana yang terkumpul dari masyarakat sulit disalurkan karena jarang ada
perusahaan yang mampu memperoleh margin di atas suku bunga. Perusahaan yang terlanjur
memperoleh kredit bank mengalami negative equity karena nilai kekayaannya dalam rupiah
tidak cukup lagi dan bahkan berbeda jauh apabila dipersandingkan dengan nilai rupiah dari
utang valas.
Kondisi di atas mengakibatkan banyaknya perusahaan-perusahaan yang diancam
kebangkrutan karena kondisi perekonomian nasional dan ketidak mampuan untuk
membayar utang-utang perusahaan yang pada umumnya dilakukan dalam bentuk dollar. Dari segi
hukum diperlukan suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah utang piutang ini
secara cepat, efektif, efisien dan adil. Undang-undang kepailitan yang lama dianggap tidak
mampu memenuhi kebutuhan para pelaku bisnis untuk menyelesaikan masalah utang
piutang mereka secara cepat, efektif, efisien dan adil. Hal ini disebabkan bahwa hukum
kepailitan yang selama ini berlaku Faillisement Verordening Stb. 1905 No. 217 jo Stb 1906
No. 348 merupakan hukum kepailitan
warisan pemerintah kolonial Belanda yang diciptakan sesuai dengan kondisi
perekonomian pada masa itu.
Mengingat hal di atas pemerintah perlu melakukan revisi terhadap hukum kepailitan untuk
mengantisipasi banyaknya perusahaan yang mengalami kebangkrutan. Melalui Perpu No. 1
Tahun 1998 yang kemudian dikuatkan menjadi UU No. 4 Tahun 1998 pemerintah telah
melakukan perubahan, penambahan dan penyempurnaan pasal-pasal yang terdapat dalam
Faillisement Verordening Stb. 1905 No. 217 Jo. Stb.1906 No. 348. Namun perubahan dan
penyempurnaan tersebut dirasakan masih mengandung beberapa kelemahan terutama yang timbul
dalam prakteknya.
Bagir Manan menyebutkan bahwa keadaan hukum (the existing legal system)
Indonesia dewasa ini menunjukkan hal-hal sebagai berikut :
1. Dilihat dari substansi hukum – asas dan kaedah – hingga saat ini terdapat berbagai sistem hukum
yang berlaku – sistem hukum adat, sistem hukum agama, sistem hukum barat, dan sistem
hukum nasional. Tiga sistem hukum yang pertama merupakan akibat politik hukum
masa penjajahan. Secara negatif, politik hukum tersebut dimaksudkanuntuk membiarkan
rakyat tetap hidup dalam lingkungan hukum tradisional dan sangat dibatasi untuk memasuki
sistem hukum yang diperlukan bagi suatu pergaulan yang modern.
2. Ditinjau dari segi bentuk… sistem hukum yang berlaku lebih mengandalkan pada bentuk-
bentuk hukum tertulis. Para pelaksana dan penegak hukum senantiasa mengarahkan
pikiran hukum pada peraturan-peraturan tertulis. Pemakaian kaidah hukum adat atau hukum
Islam hanya dipergunakan dalam hal-hal yang secra hukum ditentukan harus diperiksa dan
diputus menurut kedua hukum tersebut. Penggunaan Yurisprudensi dalam mempertimbangkan
suatu putusan hanya sekedar untuk mendukung peraturan hukum tertulis yang menjadi tumpuan
utama.
3. Hingga saat ini masih cukup banyak hukum tertulis yang dibentuk pada masa
Pemerintahan Hindia Belanda. Hukum-hukum ini bukan saja dalam banyak hal tidak sesuai
dengan alam kemerdekaan, tetapi telah pula ketinggalan orientasi dan mengandung
kekosongan-kekososngan baik ditinjau dari sudut kebutuhan dan fungsi hukum maupun
perkembangan masyarakat.
4. Keadaan hukum kita dewasa ini menunjukkan pula banyak aturan kebijakan
(beleidsregel). Peraturan-peraturan kebijakan ini tidak saja berasal dari administrasi negara,
bahkan ada pula dari badan justisial.
5. Keadaan hukum kita dewasa ini adalah sifat departemental centris. Hukum-
khususnya peraturan perundang-undangan- sering dipandang sebagai urusan
departemen yang bersangkutan.
6. Tidak pula jarang dijumpai inkonsistensi dalam penggunaan asas-asas hukum atau landasan
teoretik yang dipergunakan.
Keadaan hukum kita- khususnya peraturan perundang-undangan yang dibuat dalam kurun
waktu dua puluh lima tahu terkahir- sangat mudah tertelan masa, mudah aus (out of date). Secara
obyektif hal ini terjadi karena perubahan masyarakat di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya
berjalan begitu cepat, sehingga hukum mudah sekali tertinggal di belakang. Secara subyektif,
berbagai peraturan perundang-undangan dibuat untuk mengatasi keadaan seketika sehingga
kurang memperhatikan wawasan ke depan. Kekurangan ini sebenarnya dapat dibatasi apabila
aparat penegak hukumberperan aktif mengisi berbagai kekososngan atau memebrikan
pemahaman baru suatu kaidah. Kenyatan menunjukkan bahwa sebagian penegak hukum lebih
suka memilih sebagai “aplikator” daripada sebagai “dinamisator” peraturan perundang-undangan.
Dalam rangka untuk penyempurnaan aturan hukum kepailitan perlu dilakukan
perbandingan-perbandingan sistem hukum (Comparative Legal System). Oleh karena itu kajian
terhadap perbandingan hukum di Indonesia khususnya hukum kepailitan selalu menarik untuk
pelajari lebih mendalam.
Bagi yang pertama sekali mempelajari perbandingan hukum, timbul pertanyaan apakah
perbandingan hukum itu merupakan metode ataukah ilmu. Bila perbandingan hukum
merupakan suatu disiplin ilmiah, kiranya saat ini belum mendapat banyak dukungan Dalam
Introduction to the Study of Comparative Law, Rahmatullah Khan with of Susshil Kumar
disebutkan bahwa It is self evident that comparative law is not a subject but a method. With a
preliminary remark that legal definitions are not notoriously unsatisfactory, H.C. Gutteridge, the
doyen of the discipline, dismisses the question of definition thus : since the subject- matter is non
11
existent it defies definition.
Terdapat berbagai istilah dalam perbandingan hukum perbandingan hukum yaitu :
1. Comparative Law
3. Comparative Jurisprudence
Adalah suatu studi mengenai prinsip-prinsip ilmu hukum dengan melakukan
perbandingan berbagai macam sistem hukum. (The study of principles of legal science
12
by the comparison of various system of law).
Tentang pengertian perbandingan hukum itu sendiri banyak dijumpai pendapat dari beberapa
ahli antara lain :
1. Rudolf D. Schlessinger.
b. Comparative Law, bukanlah suatu perangkat peraturan dan asas-asas hukum, bukan
suatu cabang hukum.
c. Comparative Law, adalah tehnik atau cara menggarap unsur hukum asing
yang aktual dalam suatu masalah hukum.
Perbandingan hukum adalah metode perbandingan yang diterapkan pada ilmu hukum.
Perbandingan hukum bukanlah ilmu hukum, melainkan hanya suatu metode studi, suatu
metode untuk meneliti sesuatu, suatu cara kerja, yakni perbandingan. Perbandingan
hukum sebagai suatu metode mengandung arti, bahwa ia merupakan suatu cara
pendekatan untuk lebih memahami suatu objek atau masalah yang diteliti. Oleh karena
itu sering digunakan istilah metode perbandingan hukum.
3. Sunaryati Hartono.
Perbandingan hukum bukanlah suatu bidang hukum tertentu seperti misalnya hukum
tanah, hukum perburuhan atau hukum acara, akan tetapi sekedar merupakan cara
penyelidikan suatu metode untuk membahas suatu persoalan hukum dalam bidang
manapun juga.
4. Van Apeldoorn
Objek ilmu hukum adalah hukum sebagai gejala kemasyarakatan. Untuk mencapai
tujuannya maka digunakan :
a. Metode Sosiologis
Dimaksud untuk meneliti hubungan antara hukum dengan gejala-gjala sosial lainnya.
5. Soerjono Soekanto.
Mengemukakan ketiga metode itu saling berkaitan dan hanya dapat dibedakan tetapi tidak dapat
dipishkan antara lain :
a. Metode Sosiologis.
Tidak dapat diterapkan tanpa metode sejarah, karena hubungan antara hukum dengan
gejala-gejala sosial lainnya merupakan hasil dari suatu perkembangan (dari zaman
dahulu), metode perbandingan hukum juga tidak boleh diabaikan, karena hukum
merupakan gejala dunia.
b. Metode Sejarah.
Memerlukan bantuan dari metode sosiologis, karena perlu diteliti faktor-faktor sosial yang
mempengaruhi perkembangan hukum.
c. Metode Perbandingan
Tidak akan membatasi diri pada perbandingan yang bersifat deskriptif, tetapi juga
diperlukan data tentang berfungsinya atau efektifitas hukum, sehingga diperlukan
metode sosiologis, juga diperlukan metode sejarah untuk mengetahui
perkembangan dari hukum yang diperbandingkan.
1. Perbandingan hukum bukanlah suatu cabang hukum, bukan suatu perangkat peraturan.
E. Lambert, sebagai misal, mengetengahkan 3 (tiga) bagian yang bisa dimasukkan dalam terminologi
perbandingan hukum, yakni :
Deskriptive ini berkenaan dengan inventarisasi sistem pada masa lalu dan kini sebagai
suatu keseluruhan, seperti aturan-aturan individual yang mana sistem ini ditegakkan untuk
beberapa kategori hubungan-hubungan hukum.
Comparative history of law secara tertutup berkaitan dengan ilmu hukum etnologis
(ethnological jurisprudence), folklore, sosiologi hukum, dan filsafat hukum.
D. PENUTUP