Anda di halaman 1dari 4

Metode Penelitian Hukum - HKUM4306.

200001
Dashboard / My courses / HKUM4306.200001 / Sesi 3 / Tugas.1

Tugas.1
Opened: Sunday, 11 April 2021, 11:59 PM
Due: Tuesday, 20 April 2021, 2:59 PM
To do: Make a submission

Permasalahan 1

MENEMUKAN FORMULASI DIET REGULASI

Persoalan “bawaan” negara hukum adalah potensi disharmonis regulasi yang mengakibatkan apa yang disebut Richard Susskind sebagai hyper
regulations atau istilah yang kemudian populer disebut obesitas hukum. Selain meningkatnya peran pengadilan dalam menentukan validitas
setiap regulasi maupun kebijakan negara, ternyata penyusunan regulasi yang dilakukan secara TSM (tidak terstruktur dan tidak sistematis namun
masif) merupakan bom waktu bagi penyelenggaraan negara hukum yang demokratis. Dengan dianutnya konsepsi negara hukum yang berarti
berujung kepada kepastian hukum, persamaan di hadapan hukum, dan perlindungan hak asasi manusia akan menjadi ilusi semata apabila tatanan
regulasi mengalami obesitas. Regulasi yang saling tumpang (dan tumbang) tindih (serta menindih) merupakan faktor akut yang justru melahirkan
ke (tidak) pastian hukum, kesenjangan perlakuan dihadapan hukum, dan alienisasi HAM.

Dalam kurun 2000-2017 terdapat 35.901 peraturan, terdiri 1 UUD yaitu UUD 1945. Sedangkan jumlah terbanyak adalah Peraturan Daerah (Perda)
yaitu sebanyak 14.225 Perda. Disusul dengan Peraturan Menteri (Permen) sebanyak 11.873 Permen. Dan di tempat ketiga diduduki peraturan
lembaga non kementerian sebanyak 3.163 peraturan. Masih tercatat pula peraturan peninggalan Penjajah Belanda sebanyak 36 peraturan.Jumlah
kuantitas yang demikian itu tidak berjalan lurus dengan kualitas regulasi, hal ini nampak dari banyaknya kaidah-kaidah hukum yang timbul dari
proses pengujian norma di kekuasaan kehakiman. Tercatat, hingga Maret 2017 terdapat 802 putusan Mahkamah Konstitusi, 203 putusan
Mahkamah Agung, dan kaidah hukum melalui menafsiran hukum seperti yang terdapat dalam putusan pengadilan niaga yang berjumlah 168
putusan. Dengan kontur yang demikian itu, nampak bahwa penerbitan regulasi di Indonesia masih belum sepenuhnya terencana. Apabila
penerbitan regulasi tidak segera diselesaikan maka tentu akan berakibat kontraproduktif dengan upaya meningkatkan pergerakan dan
pertumbuhan ekonomi. Parahnya, problem

ini seolah tidak terselesaikan dari tahun ke tahun sehingga regulasi kian menumpuk dan tak terkendali meskipun dalam sejarah kebijakan
penataan regulasi yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan kesejahteraan kerap dilakukan.

Di sisi lain peran Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pembentukan perundang-undangan, sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 20 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), seolah tak mampu membendung besarnya keinginan pembentukan
perundang-undangan yang diajukan oleh pemerintah maupun yang rancangan undang-undang tersebut merupakan inisiatif DPR. Alhasil, fungsi
sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan pun tak berjalan optimal. Masing-masing pihak memiliki argumen yang kuat dalam
mempertahankan suatu peraturan dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Prolegnas yang semestinya bisa menciptakan
perencanaan dan arahan yang sistematis dalam program pembangunan hukum nasional, sekaligus menjadi pintu utama guna menyaring
kebutuhan peraturan perundangundangan yang menjadi aspirasi sekaligus kebutuhan hukum masyarakat, justru menjadikan faktor ”kepentingan”
sebagai tolak ukur pembentukan regulasi. Akibatnya Kondisi ini akan melahirkan situasi hukum yang serba multitafsir, kon[iktual, dan tidak taat
asas. Hal ini juga mengakibatkan lemahnya efektivitas implementasi regulasi yang pada ujungnya menciptakan tidak harmonisnya antara satu
peraturan dan peraturan yang lain.

Jelaskan ragam metode pendekatan penelitian dan tentukan pendekatan penelitian yang paling relevan digunakan pada wacana diatas?

Dalam konteks permasalahan yang dijelaskan di atas, metode penelitian yang relevan untuk digunakan adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan
ini memungkinkan peneliti untuk memahami secara mendalam kompleksitas masalah regulasi yang dihadapi di Indonesia, termasuk faktor-faktor
penyebab terjadinya obesitas hukum dan dampaknya terhadap kepastian hukum, kesenjangan perlakuan di hadapan hukum, dan alienisasi HAM.

Berikut adalah beberapa metode pendekatan penelitian yang dapat digunakan dalam pendekatan kualitatif:

1. Studi kasus: pendekatan ini memungkinkan peneliti untuk mempelajari secara mendalam permasalahan regulasi di Indonesia melalui analisis
kasus-kasus konkret.

2. Analisis kebijakan: pendekatan ini memungkinkan peneliti untuk menganalisis secara kritis kebijakan regulasi yang ada dan mencari solusi
alternatif yang lebih baik.

3. Wawancara: pendekatan ini memungkinkan peneliti untuk mendapatkan sudut pandang dari para pemangku kepentingan terkait permasalahan
regulasi di Indonesia, termasuk pemerintah, DPR, pengadilan, dan masyarakat sipil.

4. Observasi: pendekatan ini memungkinkan peneliti untuk mengamati langsung bagaimana regulasi diterapkan di lapangan dan bagaimana
pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat.

Dalam konteks permasalahan yang dijelaskan di atas, pendekatan penelitian yang paling relevan adalah kombinasi antara studi kasus, analisis
kebijakan, dan wawancara. Pendekatan ini memungkinkan peneliti untuk memahami secara mendalam permasalahan regulasi di Indonesia
melalui analisis kasus-kasus konkret, menganalisis kebijakan regulasi yang ada, dan mendapatkan sudut pandang dari para pemangku
kepentingan terkait permasalahan regulasi di Indonesia.

Permasalahan 2

MENGHARMONISKAN UNDANG-UNDANG MELALUI OMNIBUS LAW MODEL INDONESIA

Setiap negara yang dibentuk, selalu memiliki tujuan. Indonesia salah satunya, dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945,
menjelaskan tujuan negara Indonesia, yaitu:

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah


Indonesia memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia

Dari keempat tujuan negara Indonesia, upaya memajukan kesejahteraan umum, merupakan ide Welfare State (negara kesejahteraan). Dengan
begitu, negara mewujudkan kesejahteraan masyarakat, melalui pemenuhan kebutuhan hidup sandang, pangan dan papan. Tentunya upaya ini
dilakukan dengan meningkatkan pembangunan ekonomi di segala bidang, dengan mengupayakan peningkatan pendapatan negara.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019 mengenai kebijakan umum pembangunan nasional, menekankan
pada visi “Terwujudnya Indonesia Yang Berdaulat, Mandiri, Dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong-Royong”. Lebih lanjut diaktualisasikan
dengan 7 misi pembangunan, yang salah satunya “Mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju, dan sejahtera.” Guna
mewujudkan hal tersebut, maka dibentuklah NAWA CITA yang merupakan 9 agenda priotitas pembangunan, salah satunya Mewujudkan
kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Upaya mewujudkan agenda priotitas Nawa Cita tersebut,
dilakukan melalui peningkatan investasi, guna mewujudkan kesejahteraan nasional.

Indonesia merupakan negara hukum, sesuai Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat
dengan UUD NRI 1945). Secara historis diartikan dalam Penjelasan UUD 1945 (sebelum amandemen), sebagai Negara yang berdasar atas Hukum
(Rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machtsstaat). Pemahaman akan konsep negara hukum itu menjadi suatu pandangan bahwa
segala tindakan dalam penyelenggaraan negara haruslah berdasarkan hukum. Hal ini juga dikenal dengan asas legalitas yang berarti keabsahan
tindakan pemerintah harus dilihat dari acuan peraturan perundang- undangan yang mengatur. Sejarah Singkat Asas Legalitas berawal dari
pungutan Pajak. Di AS dikenal dengan istilah “taxation without representation is robbery” di Inggris dikenal dengan istilah “no taxation without
representation”.

Eksistensi asas legalitas, merupakan aktualisasi dari sistem hukum Eropa Kontinental “Rechstaat”. Kemudian berdampak pada hadirnya setiap
peraturan perundang-undangan sebagai acuan dari setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan. Secara faktual di Indonesia, Kementerian
Hukum dan HAM RI pada akhir tahun 2016 lalu memberikan informasi mengenai “obesitas” peraturan perundang-undangan di Indonesia. Kurang
lebih 62 ribu-an peraturan tersebar di berbagai instansi berdampak pada hambatan percepatan pembangunan.482. Kondisi ini juga memunculkan
ketidakpastian hukum dalam menggunakan suatu peraturan perundang- undangan sebagai dasar hukum oleh pemerintah dan pemerintah daerah.
Pasalnya, ketentuan tersebut bertentangan dengan ketentuan yang sejajar atau dengan yang lebih tinggi.

Kenyataannya, banyak peraturan di level undang-undang yang tumpang tindih sehingga mengubah satu undang-undang belum tentu kemudian
akan bisa menyelesaikan suatu masalah. Misalnya dalam hal penanaman modal, seorang investor tidak hanya terpaku dalam Undang Undang
Nomor 25
Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal saja, melainkan juga dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-
Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(berkaitan perizinan oleh Provinsi dan Kabupaten/Kota terhadap penanaman modal), Undang-Undang yang menyangkut Perpajakan, serta
Peraturan Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan perizinan. Hal ini menunjukkan bahwa suatu undang-undang (UU Penanaman
Modal) belum mampu memberikan kepastian usaha kepada penanam modal (investor), melainkan juga harus menyesuaikan dengan aturan-
aturan lain. Mengingat jangka waktu aturan-aturan itu dibuat berbeda-beda, maka sudut pandang pemikiran masing-masing undang- undang juga
berbeda, antara undangundang satu dengan yang lainnya. Ditambah lagi, dasar dlosod dan sosiologis pembentukan masing-masing undang-
undang berbeda. Hal ini akan berdampak pada kemungkinan pertentangan diantara undang-undang tersebut.

Selain itu ada pula undang-undang yang saling bertentangan, sehingga pemerintah daerah menjadi kebingungan dalam implementasinya. Seperti
halnya dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a, b dan c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan
Batubara, menentukan: Kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam memberikan ijin usaha pertambangan (IUP) dan ijin pertambangan
rakyat (IPR) serta pengelolaan pertambangan mineral dan batubara yang kegiatannya berada di wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut
sampai dengan 4 (empat) mil. Akan tetapi dalam bagian Lampiran CC. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Energi Dan Sumber Daya Mineral
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, tidak lagi memberikan kewenangan kepada Kabupaten/Kota dalam
mengeluarkan Izin, dan mengalihkan semuanya ke Pemerintah Daerah Provinsi. Menariknya Undang- Undang No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, tidak mencabut Pasal 8 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dalam bagian ketentuan
penutup. Sehingga memunculkan perdebatan sampai saat ini di daerah, terkait dengan pemberian kewenangan terhadap ijin galian C, yang selama
ini dilakukan oleh kabupaten/kota.

Jelaskan menurut saudara, berdasarkan latar Belakang diatas pendekatan penelitian apa yang paling cocok dalam melakukan penelitian tersebut!

Model Omnibus Law di Indonesia bertujuan untuk menyelaraskan dan menyederhanakan peraturan perundang-undangan yang ada yang seringkali
tumpang tindih dan menimbulkan hambatan bagi pembangunan negara. Tujuan Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945
adalah untuk memajukan kesejahteraan rakyat yang sejalan dengan konsep negara kesejahteraan. Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2015-2019 menegaskan visi Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan unggul yang berlandaskan gotong royong. Salah satu
prioritas pembangunan adalah mewujudkan taraf hidup rakyat yang setinggi-tingginya, yang dapat diwujudkan dengan mendorong investasi dan
kemandirian ekonomi. Indonesia adalah negara hukum, artinya segala tindakan pemerintah harus berdasarkan hukum. Namun, terdapat lebih dari
62.000 peraturan perundang-undangan yang seringkali tumpang tindih dan menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga menghambat
pembangunan negara. Misalnya, investor harus mempelajari berbagai undang-undang dan peraturan saat berinvestasi di Indonesia, termasuk
undang-undang tentang investasi, tenaga kerja, pertanahan, perpajakan, dan izin pemerintah daerah. Untuk mengatasi masalah ini, model
Omnibus Law bertujuan untuk menyelaraskan dan menyederhanakan undang-undang dan peraturan yang ada antara lain terkait dengan masalah
investasi, ketenagakerjaan dan lingkungan. Model Omnibus Law diimplementasikan pada tahun 2020 untuk memfasilitasi investasi dan
penciptaan lapangan kerja, yang penting untuk pembangunan negara. Undang-undang tersebut bertujuan untuk merampingkan peraturan dan
mengurangi birokrasi, sehingga memudahkan bisnis untuk beroperasi di Indonesia. Kritik terhadap model Omnibus Law berpendapat bahwa hal itu
merusak perlindungan lingkungan dan hak-hak pekerja. Undang-undang tersebut memicu protes dan kontroversi, dengan beberapa mengatakan
bahwa undang-undang tersebut menguntungkan perusahaan dengan mengorbankan pekerja dan lingkungan. Pendukung undang-undang
berpendapat bahwa perlu menarik lebih banyak investasi dan menciptakan lapangan kerja, yang pada akhirnya akan menguntungkan rakyat.
Kesimpulannya, model Omnibus Law di Indonesia bertujuan untuk menyelaraskan dan menyederhanakan peraturan perundang-undangan yang
ada untuk mendorong investasi dan penciptaan lapangan kerja, yang sangat penting bagi pembangunan negara. Meskipun ada kritik dan
kontroversi seputar undang-undang tersebut, efektivitasnya dalam mencapai tujuannya masih harus dilihat.

Permasalahan 3

KONSTITUSIONALITAS PEMBATALAN PERATURAN DAERAH DAN URGENSI REVISI PENGATURAN PENGUJIAN PERATURAN
PERUNDANGUNDANGAN

Dimulai dari inisiatif Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), dkk., dilakukanlah pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah terhadap UUD 1945. Hasilnya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan para Pemohon untuk
sebagian, khususnya terkait norma pengujian atau pembatalan Perda kabupaten/kota. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan 137/PUU-XIII/2015,
bertanggal 5 April 2017 tegas menyatakan pengujian atau pembatalan peraturan daerah (Perda) kabupaten/kota menjadi ranah kewenangan
konstitusional Mahkamah Agung.

Inisiatif tersebut dilanjutkan oleh Abda Khair Mufti, dkk yang menguji norma pengujian atau pembatalan Perda provinsi pada undang-undang yang
sama. Dengan mendasarkan pada pertimbangan hukum Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015, pembatalan Perda provinsi melalui mekanisme
executive review juga dinyatakan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945). Hal demikian tertuang dalam Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016, bertanggal 14 Juni 2017.

Putusan yang menguatkan posisi kewenangan konstitusional Mahkamah Agung tersebut akan dipastikan memberi perhatian khusus publik
terhadap hukum acara yang diterapkan oleh Mahkamah Agung khususnya mengenai pengujian peraturan perundang-undangan (judicial review)
terhadap undang-undang sebagaimana termaktub dalam Pasal 24 UUD 1945.

Pada prinsipnya, setelah Perubahan UUD 1945, yang berwenang melakukan judicial review tersebut adalah:

Mahkamah Konstitusi dengan kewenangan menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945 [vide Pasal 24C ayat (1) UUD 1945]; dan

KONSTITUSIONALITAS PEMBATALAN PERATURAN DAERAH DAN URGENSI REVISI PENGATURAN PENGUJIAN PERATURAN
PERUNDANGUNDANGAN

Dimulai dari inisiatif Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), dkk., dilakukanlah pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah terhadap UUD 1945. Hasilnya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan para Pemohon untuk
sebagian, khususnya terkait norma pengujian atau pembatalan Perda kabupaten/kota. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan 137/PUU-XIII/2015,
bertanggal 5 April 2017 tegas menyatakan pengujian atau pembatalan peraturan daerah (Perda) kabupaten/kota menjadi ranah kewenangan
konstitusional Mahkamah Agung.

Inisiatif tersebut dilanjutkan oleh Abda Khair Mufti, dkk yang menguji norma pengujian atau pembatalan Perda provinsi pada undang-undang yang
sama. Dengan mendasarkan pada pertimbangan hukum Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015, pembatalan Perda provinsi melalui mekanisme
executive review juga dinyatakan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945). Hal demikian tertuang dalam Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016, bertanggal 14 Juni 2017.
Putusan yang menguatkan posisi kewenangan konstitusional Mahkamah Agung tersebut akan dipastikan memberi perhatian khusus publik
terhadap hukum acara yang diterapkan oleh Mahkamah Agung khususnya mengenai pengujian peraturan perundang-undangan (judicial review)
terhadap undang-undang sebagaimana termaktub dalam Pasal 24 UUD 1945.

Pada prinsipnya, setelah Perubahan UUD 1945, yang berwenang melakukan judicial review tersebut adalah:

1. Mahkamah Konstitusi dengan kewenangan menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945 [vide Pasal 24C ayat (1) UUD 1945]; dan

2. Mahkamah Agung dengan kewenangan menguji peraturan perundang- undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang [vide

Pasal 24A ayat (1) UUD 1945].

Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 memang tegas menyatakan, “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan

perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”.

Dari ketentuan tersebut maka kewenangan Mahkamah Agung mengadili peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang terhadap
UndangUndang merupakan perintah langsung dari UUD 1945.

Hingga saat ini, banyak kritik yang timbul khususnya terkait dengan mekanisme beracara pengujian peraturan perundang-undangan oleh
Mahkamah

Agung, bahkan sebelum kedua putusan terkait Perda tersebut menjadi dnal dan mengikat. Khususnya terkait dengan konstitusionalitas
mekanisme

pembatalan Perda baik provinsi maupun kabupaten/kota dan pengaturan mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan yang dilakukan
oleh

Mahkamah Agung.

Selain itu, tulisan ini bermaksud untuk mengkaji Putusan 30/PUU-XIII/2015 yang menguji ketentuan yang mengatur mekanisme

pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Agung seperti yang tercantum dalam Pasal 31A ayat (4) huruf h Undang-Undang No. 3

Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA).

Jelaskan menurut saudara,

berdasarkan latar belakang diatas pendekatan penelitian apa yang paling cocok dalam melakukan

penelitian tersebut!

Submission status

Berdasarkan latar belakang di atas, pendekatan penelitian yang paling cocok untuk dilakukan adalah pendekatan hukum normatif. Pendekatan ini
memfokuskan pada pengkajian peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, dan dokumen hukum lainnya sebagai objek penelitian.

Penelitian dengan pendekatan hukum normatif akan memberikan analisis terhadap substansi peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan yang
terkait dengan pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Selain itu, pendekatan hukum normatif juga
dapat memberikan rekomendasi terhadap pengaturan mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan agar lebih efektif dan efisien.

Anda mungkin juga menyukai