KONTROVERSI RANCANGAN
UNDANG UNDANG KUHP
1
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Alinea Ke Empat.
2
Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 1980, hlm. 140.
3
C.F. Strong, Modern Political Constitutions Konstitusi-Konstitusi Politik Modern Studi
Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk, Nusa Media, Bandung, 2010, hlm. 6
cita-cita atau tujuan bangsanya atau dapat juga dikatakan bahwa tujuan negara
berhubungan dengan hakekat suatu negara.4
Dalam praktek empiris masih banyak terdapat peraturan perundang-
undangan yang terjadi kekacauan dalam tata urutannya, banyak materi yang
seharusya diatur dalam undang-undang tapi diatur dalam Penetapan Presiden atau
Peraturan Presiden ataupun Peraturan Pemerintah. Bahkan diatas itu semua,
banyak peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang ataupun di
bawah undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945. Penyimpangan-
penyimpangan ini hendaknya segera disikapi dengan responsif sehingga tidak
berdampak kepada tidak berjalannya sistem hukum serta mekanisme yang
ditetapkan dalam UUD 1945.
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah pembentuk
peraturan perundang-undangan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.
Presiden sebagai perwakilan pemerintah yang menjalankan roda pemerintahan
(eksekutif) dan DPR sebagai wakil rakyat yang membidangi Legislasi pasti
mempunyai kepentingan-kepentingan politis yang pada titik-titik tertentu
kepentingan-kepentingan politik tersebut dapat terkonkritisasi dalam peraturan
perundang-undangan. Apabila aroma politis sangat kuat tercium dalam peraturan
perundang-undangan maka yang sangat dikhawatirkan adalah timbulnya
pengkaburan terhadap tujuan dibentuknya hukum itu sendiri yaitu untuk keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum rakyat. Apabila pengkaburan tujuan hukum ini
terjadi terus-menerus dan berulang-ulang, maka tujuan negara tidak akan dapat
terwujud sebagaimana yang diharapkan oleh rakyat.
Sebagaimana kita ketahui,bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan
pada suata masa (pemerintahan) tertentu dapat berbeda dengan bentuk-bentuk
peraturan perundang-undangan pada masa yang lain, hal ini sangat tergantung
pada penguasa dan kewenangannya untuk membentuk suatu keputusan yang
berbentuk peraturan-perundang-undangan.5 Oleh karena itu diupayakan
semaksimal mungkin walaupun terjadi perubahan kekuasaan negara, jangan
4
Ibid Op.Cit, Soehino, hlm. 146
5
Soehino, Hukum Tata Negara Teknik Perundang-Undangan, Liberty, Yogyakarta, 2008, hlm. 1.
sampai mengkaburkan tujuan hukum yang pada akhirnya akan mempersulit
pencapaian tujuan negara.
Produk-produk hukum di Indonesia merupakan produk politik. Dewan
Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang dan setiap
rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden
untuk mendapat persetujuan bersama.6 Begitupula Presiden, berhak mengajukan
rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.7 Sehingga
pengesahan seuatu Rancangan Peraturan Perundang-Undangan menjadi Undang-
undangan adalah suatu bentuk kesepakatan bersama antara Presiden (Eksekutif)
dan Dewan Perwakilan Rakyat (Legislatif).
Hukum pidana dikaji dari fungsinya tentu memiliki peranan yang sangat
penting di dalam mengatur kehidupan masyarakat, untuk mencapai keamanan,
ketentraman, kesejahteraan, dan kebahagiaan di dalam masyarakat. Dapat
dikatakan bahwa, hukum pidana memiliki arti yang penting dalam lingkup hukum
publik. Sebagaimana yang telah kita ketahui, secara yuridis hukum pidana
(materiil) yang berlaku hingga saat kini adalah Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) atau Wetboek van Strafrechts (W.v.S) sebagai hukum pidana
materiil.
Seiring dengan perkembangan zaman, teknologi, dan arus globalisasi
mengharuskan hukum pidana juga berkembang mengikuti perkembangan zaman
dan perkembangan masyarakat. Perkembangan ini juga berdampak terhadap
bervariasinya dan berkembangnya tindak pidana dari masa ke masa. Dalam
penegakan hukum, hal ini juga harus diimbangi dengan produk hukum yang
progresif dan responsif. Mengingat bahwa hukum tidaklah statis, demikian pula
masyarakat yang terus berkembang dan dinamis. Oleh sebab itu, hukum haruslah
dinamis dengan melakukan perubahan-perubahan sejalan dengan perkembangan
zaman dan dinamika kehidupan masyarakat. Mengacu pada KUHP, KUHP yang
berlaku saat ini tentu juga perlu diperbaharui.
6
Pasal 20 ayat (1) dan (2) Batang Tubuh UUD 1945.
7
Ibid, Pasal 5 ayat (1).
Memiliki KUHP nasional atau Hukum Pidana Indonesia dalam sistem
hukum nasional tentu merupakan harapan besar bagi bangsa Indonesia. Dapat
dikatakan bahwa, sejak kemerdekaan hingga sampai saat ini keinginan
mewujudkan sistem hukum nasional merupakan agenda utama dalam
pembanguan hukum nasional. Politik hukum pidana dalam hal ini tentu memiliki
andil dalam setiap proses pembaharuan hukum pidana Indonesia.
Sangat besar harapan bangsa Indonesia untuk memiliki KUHP Indonesia
yang mencerminkan nilai-nilai, pandangan, konsep, ide, gagasan, cita-cita, dan
ideologi bangsa Indonesia. Namun, senyatanya hingga kini hal tersebut belum
dapat terwujud, walaupun proses pembaharuannya telah berjalan sudah sangat
lama namun belum disahkan hingga saat ini.
Rancangan Undang-Undang KUHP yang merupakan produk hukum, yang
juga merupakan produk politik pemerintah saat ini menuai banyak polemik dan
pada akhirnya mahasiswa melakukan demonstrasi menolak beberapa pasal dalam
Rancangan Undang-Undang KUHP yang melibatkan ribuan massa, dan meluas di
Semarang, Palembang, Makassar, Solo, Medan dan sejumlah kota lainnya. Di ibu
kota, ribuan mahasiswa mengepung Gedung DPR. Sementara di banyak kota lain,
gedung DPRD digeruduk demonstran.
Pada akhirnya Presiden Republik Indonesia meminta DPR RI menunda
pengesahan RUU KUHP. Permasalahan yang sedang terjadi adalah masalah
tentang pembaharuan/pergantian Undang-undang KUHP yang diduga memiliki
pasal-pasal yang menyeleweng dari dasar negara kita yaitu Pancasila.
Terdapat banyak pasal-pasal yang tdak masuk akal yang dimasukkan ke
dalam Rancangan Undang-Undang ataupun sebagai pengganti dari Undang-
undang yang lama. Salah satunya adalah pasal mengenai korupsi, lalu mengapa
pasal tentang korupsi dalam RUU KUHP menjadi polemik di masyarakat? Dan
pasal-pasal apakah yang dinilai paling kontroversial oleh masyarakat di dalam
RUU KUHP yang dinilai bermasalah dan memantik demo ribuan mahasiswa di
berbagai kota?
B. Pembahasan
Satjipto Rahardjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih
dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum
tertentu dalam masyarakat.8 Menurut Satjipto Rahardjo, terdapat beberapa
pertanyaan mendasar yang muncul dalam studi politik hukum, yaitu: (1) tujuan
apa yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang ada; (2) cara-cara apa dan
yang mana, yang dirasa paling baik untuk bisa dipakai mencapai tujuan tersebut;
(3) kapan waktunya hukum itu perlu diubah dan melalui cara-cara bagaimana
perubahan itu sebaiknya dilakukan; dan (4) dapatkah dirumuskan suatu pola yang
baku dan mapan, yang bisa membantu memutuskan proses pemilihan tujuan serta
cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut secara baik.9
Adapun penjabaran lain mengenai Politik hukum yaitu Politik Hukum
sebagai sebuah alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh
pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki dan
dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia.10
Berdasarkan beberapa definisi politik hukum yang telah dikemukakan di
atas, dapat disimpulkan bahwa politik hukum adalah kebijakan sebagai dasar
untuk menyelenggarakan negara khususnya dalam bidang hukum mengenai
hukum yang akan berjalan, sedang berjalan dan telah berlaku yang diambil dari
nilai-nilai yang tumbuh dan hidup serta berlaku dalam masyarakat untuk
mencapai tujuan negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945
alinea 4.
Oleh karena itu beberapa pasal dalam Rancangan Undang-Undang KUHP
mendapat resistensi dari berbagai golongan masyarakat. Pasal-pasal tersebut,
diantaranya adalah:
1. Pasal RUU KUHP tentang Korupsi
8
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet. III, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991, hlm. 352.
9
Ibid, hlm 352-353.
10
C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu sistem Hukum Nasional, Bandung:
Alumni, 1991, hlm. 1.
Sejumlah pasal di RUU KUHP memuat hukuman bagi pelaku
korupsi yang lebih rendah daripada UU Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Hal ini bisa memicu praktik 'jual-beli' pasal. Misalnya, pasal
603 RUU KUHP mengatur pelaku korupsi dihukum seumur hidup
atau paling sedikit 2 tahun penjara dan maksimal 20 tahun. Pasal 604
RUU KUHP mengatur hukuman sama persis bagi pelaku
penyalahgunaan wewenang untuk korupsi. Lalu, pasal 605 mengatur
hukuman ke pemberi suap minimal 1 tahun penjara dan maksimal 5
tahun. Pasal 605 pun mengancam Aparatur Sipil Negara dan
penyelenggara negara penerima suap dengan penjara minimal 1 tahun,
serta maksimal 6 tahun. Sedangkan pasal 2 UU Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, mengatur hukuman bagi pelaku korupsi ialah pidana
seumur hidup atau penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun.
UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 5 memang memuat
aturan hukuman bagi pemberi suap mirip dengan pasal 605 RUU
KUHP. Akan tetapi, pasal 6 UU Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi mengatur hukuman lebih berat bagi penyuap hakim, yakni 3-
15 tahun penjara. Bahkan, Pasal 12 UU Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi huruf (a) mengatur hukuman bagi pejabat negara atau hakim
penerima suap dengan pidana seumur hidup atau penjara 4-20 tahun.
Oleh karena itu, RUU KUHP merupakan salah satu rancangan beleid
yang, “memanjakan para koruptor".
2. Pasal RUU KUHP tentang Penghinaan Presiden
Pasal kontroversial RUU KUHP yang lain terkait penghinaan
terhadap presiden dan wakil presiden. Pasal 218 mengancam pelaku
dengan penjara maksimal 3,5 tahun. Di pasal 219, pelaku penyiaran
hinaan itu diancam 4,5 tahun penjara. Di pasal 220 RUU KUHP,
dijelaskan bahwa perbuatan ini menjadi delik apabila diadukan oleh
presiden atau wakil presiden. Selain itu, pasal 353-354 mengatur
hukuman bagi pelaku penghinaan terhadap kekuasaan umum dan
lembaga negara. Pelakunya terancam 1,5 tahun penjara. Bila
penghinaan itu memicu kerusuhan, pelakunya bisa dihukum 3 tahun
penjara. Dan jika hal itu disiarkan, peluiaku terancam 2 tahun penjara.
Ketentuan ini ada di KUHP lama dan dinilai merupakan warisan
kolonial. Pasal ini bisa bersifat 'karet' dan menjadi alat
mengkriminalisasi warga. Potensi kriminalisasi justru ketika ada kritik
kepada kebijakan presiden. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada
2006 sebenarnya sudah membatalkan pasal-pasal penghinaan terhadap
presiden karena dinilai tidak sesuai dengan prinsip kepastian hukum
dan demokrasi.
3. Pasal RUU KUHP tentang Makar
RUU KUHP mengatur pidana makar melalui pasal 167, 191,
192 dan 193. Pelaku makar terhadap presiden dan NKRI diancam
hukuman mati, seumur hidup atau penjara 20 tahun. Makar terhadap
pemerintah yang sah, juga diancam penjara 12 dan 15 tahun. Pasal
167 menyebut: “Makar adalah niat untuk melakukan suatu perbuatan
yang telah diwujudkan dengan adanya permulaan pelaksanaan
perbuatan tersebut.” Definisi makar di dalam RUU KUHP itu tak
sesuai dengan akar katanya pada bahasa Belanda, yakni ‘aanslag’
yang berarti penyerangan. Masalah definisi ini dinilai berpotensi
membikin pasal makar bersifat karet dan memberangus kebebasan
berekspresi masyarakat sipil.
4. Pasal RUU KUHP tentang Penghinaan Bendera
RUU KUHP juga mengatur pemidanaan terkait penghinaan
bendera negara. Ketentuan ini diatur pasal 234 dan 235. Di pasal 235,
diatur pidana denda maksimal Rp. 10.000.000,- bagi mereka yang: (a)
memakai bendera negara untuk reklame/iklan komersial; (b)
mengibarkan bendera negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau
kusam; (c) mencetak, menyulam dan menulis huruf, angka, gambar
atau tanda lain, atau memasang lencana atau benda apa pun pada
bendera negara; dan (d) memakai bendera negara untuk langit-langit,
atap, pembungkus barang, tutup barang, yang menurunkan
kehormatannya.
Pasal 235 dinilai memuat ancaman kriminalisasi perbuatan formil
(tanpa memandang niat yang harusnya berupa penodaan bendera).
Ancaman penjara di pasal 234 pun dinilai terlalu tinggi (5 tahun).
5. Pasal RUU KUHP terkait Alat Kontrasepsi
Pasal kontroversial lainnya di RUU KUHP ialah soal
pemidanaan promosi kontrasepsi. Pasal 414 mengatur: orang yang
mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, menunjukkan
untuk bisa memperoleh alat pencegah kehamilan (kontrasepsi) kepada
Anak dipidana denda maksimal Rp. 1.000.000,- (kategori I). Pasal 414
menghambat penyebaran info soal alat kontrasepsi dan kesehatan
reproduksi. Pasal ini pun bertentangan dengan program KB
pemerintah. Apalagi, pasal ini bisa menjerat pengusaha retail yang
memajang alat kontrasepsi di toko. Jurnalis yang menulis konten soal
alat kontrasepsi pun bisa terkena pidana. Sekalipun pasal 416
mengecualikan pejabat berwenang dan aktivitas pendidikan, pidana ini
dinilai tidak sesuai era keterbukaan informasi. Di sisi lain, di
Indonesia terdapat 6 peraturan tentang penanggulangan HIV/AIDS
yang memuat aturan “kampanye penggunaan kondom” yang isinya
mengizinkan penyebaran luas info soal alat kontrasepsi. Jaksa Agung
(tahun 1978) dan BPHN (1995) juga telah mendekriminalisasi
perbuatan ini mengingat kondom menjadi salah satu alat efektif untuk
mencegah penyebaran HIV.
6. Pasal RUU KUHP soal Aborsi
Pemidanaan terkait aborsi diatur pasal 251, 415, 469 dan 470.
Misalnya, pasal 469 mengatur hukuman bagi perempuan yang
menggugurkan kandungannya, maksimal 4 tahun penjara. Orang yang
menggugurkan kandungan perempuan dengan persetujuannya juga
bisa dipenjara maksimal 5 tahun, sesuai isi pasal 470 RUU KUHP.
Pasal ini dinilai berpotensi mengkriminalisasi korban perkosaan yang
hamil dan memutuskan untuk menggugurkan kandungannya. Kondisi
mental korban perkosaan seharusnya menjadi perhatian bagi negara
untuk memberikan perlindungan hukum seadil-adilnya, bukan malah
melakukan kriminalisasi. Isi pasal-pasal itu pun tidak sesuai dengan
UU Kesehatan pasal 75 ayat 2 yang mengecualikan tindakan aborsi
jika dalam keadaan darurat medis atau mengalami kehamilan sebab
perkosaan. Pasal ini juga dinilai mengabaikan fakta tingginya angka
kematian ibu akibat aborsi tidak aman.
7. Pasal RUU KUHP soal Gelandangan
RUU KUHP juga mengatur pemidanaan gelandangan. Pasal 431
mengancam gelandangan dengan denda maksimal Rp. 1.000.000,-.
Penghapusan pasal tersebut menjadi salah satu yang menjadi sorotan
sebab gelandangan merupakan warisan kolonial yang menilai
gelandangan sebagai: Orang tidak berguna akibat kesalahan dalam
hidupnya. Pasal ini juga bukan solusi atas masalah gelandangan,
sekaligus aneh. Lagipula gelandangan, tentu saja merupakan
masyarakat miskin, mana sanggup mereka bayar denda. Kalau tidak
mampu membayar denda, kemudian harus bagaimana?
8. Pasal RUU KUHP tentang Zina dan Kohabitasi
Pasal 417 dan 419 mengatur pidana perzinaan dan kohabitasi
(hidup bersama sebagai suami-istri di luar ikatan perkawinan). Pasal
417 mengatur hukuman bagi mereka yang berzina maksimal penjara 1
tahun atau denda Rp. 10.000.000,-. Pidana ini diatur sebagai delik
aduan dari suami, istri, orang tua dan anak. Sementara pasal 418
mengancam pelaku kohabitasi dengan penjara 6 bulan dan denda Rp.
10.000.000,-. Pidana ini delik aduan. Kepala desa termasuk yang bisa
mengadukan tindak kohabitasi ke polisi. Kriminalisasi perzinaan dan
kohabitasi (yang dilakukan orang dewasa secara konsensual dan tanpa
paksaan) dinilai mengancam privasi warga. Delik aduan terkait
kohabitasi yang memasukkan kepala desa sebagai pihak pelapor bisa
memicu kesewenang-wenangan dan praktik kriminalisasi berlebihan.
Dua pasal itu juga dianggap mengabaikan fakta jutaan masyarakat
adat dan warga miskin yang masih kesulitan mengakses dokumen
perkawinan resmi.
C. Kesimpulan
Sebaiknya, KPK, Jaksa, Polisi sebagai stake holder harus bahu membahu
dalam pembahasan RUU KUHP ini. Hal ini tentunya peran yang sangat penting.
Jika KPK, Jaksa, Polisi sama-sama bersatu menolak memasukkan UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang kedalam RUU KUHP maka akan membuka
pikiran dari dewan legislatif, bahwa penegak hukum yang akan menangani kasus
korupsi ini, dengan terang menolak adanya rancangan untuk memasukkan UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang ke dalam RUU KUHP.
Dimana implikasi yang dilakukan stake holder ini akan membawa aura
yang positif didalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Disini akan terlihat
jelas, bahwa ternyata aparat penegak hukum terkhususnya Jaksa, Polisi dan KPK
sangat menolak pelemahan terhadap UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dan UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang
akan dimasukkan ke dalam RUU KUHP, karena hal ini mengakibatkan pelemahan
dalam menegakan tindak pidana korupsi, serta akan menggambarkan kepastian
hukum yang semakin tidak tertata dengan baik. Cita-cita dan tujuan hukum itu
akan menjadi luntur dan tidak berguna lagi.
Dari kritisi masyarakat terhadap RUU KUHP terhadap diantaranya
beberapa pasal di atas, maka sebaiknya Undang-Undang yang dibuat oleh
pemerintahan negara Indonesia berfungsi untuk menciptakan sebuah keadilan bagi
seluruh masyarakat Indonesia. Dengan wewenangnya melakukan perubahan
terhadap undang-undang, pemerintah merubah undang-undang menjadi tidak
sesuai dengan kaidah-kaidah dan fungsi dari undang-undang itu sendiri,
pemerintah justru melemahkan fungsi utama dari undang-undang itu sendiri. Ini
menimbulkan polemik bagi masyarakat dikarenakan memiliki pasal-pasal yang
tidak masuk akal.
Undang-undang yang seharusnya dibuat untuk tujuan negara yaitu untuk
menciptakan sebuah keadilan bagi masyarakat suatu negara. Keadilan ini menjadi
poin utama dalam pembangunan negara. Negara yang bisa menciptakan keadilan
bagi masyarakatnya adalah negara yang mampu mengorganisir seluruh tata hidup
negara.
Sebelum melakukan pengesahan terhadap RUU KUHP yang baru
sebaiknya pemerintah melakukan evaluasi dan merevisi kembali pasal-pasal
tersebut agar mampu diterima oleh seluruh masyarakat Indonesia. Undang-undang
harus bersifat menciptakan keadilan. Dengan keadilan maka negara Indonesia
dipastikan akan menjadi negara maju suatu saat nanti. Tanpa adanya perpecah
belahan dan berbagai macam konflik dan menciptakan kedamaian bagi bangsa ini.
Dengan demikian sudah tepat bahwa Presiden Republik Indonesia
meminta DPR RI menunda pengesahan RUU KUHP.
DAFTAR PUSTAKA