Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH POLITIK HUKUM

KONTROVERSI RANCANGAN
UNDANG UNDANG KUHP

Oleh: Farid Teguh Prasetiawan


N P M: 2020010262047
A. Latar Belakang
Indonesia menegaskan tujuan negara atas tujuan didirikannya Negara
Kesatuan Republik Indonesia dalam Kontstitusinya, tepatnya pada Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945). Di
dalam Pembukaan UUD 1945 yang mana merupakan Staatfundamentanorm
disebutkan bahwa tujuan dibentuknya Negara Kesatuan Republik adalah; (1)
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia, (2)
memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, (4) ikut
serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial.1
Sebagai Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan bukan atas
dasar kekuasaan (machstaat) Indonesia menuangkan cita-cita ataupun tujuan
negara melalui hukum sebagai sarananya dengan kata lain hukum adalah sarana
yang digunakan dalam mencapai tujuan negara yang sudah di cita-citakan.Hukum
yang ada di Indonesia menurut bentuknya dibedakam menjadi hukum tertulis dan
tidak tertulis. Hukum tidak tertulis adalah hukum kebiasaan (customary law) dan
hukum adat. Sedangkan Hukum tertulis salah satunya dalam bentuk peraturan
perundang-undangan.
Ditinjau dari sudut hukum tatanegara, negara adalah suatu organisasi
kekuasaan, dan organisasi kekuasaan, dan organisasi itu merupakan tata kerja dari
pada alat-alat kelengkapan negara yang merupakan suatu keutuhan, tata kerja
dimana melukiskan hubungan serta pembagian tugas dan kewajiban antara
masing-masing alat perlengkapan negara itu untuk mencapai suatu tujuan yang
tertentu.2 Menurut Woodrow Wilson, Negara adalah orang-orang yang diatur
menurut hukum dalam suatu batas wilayah teritorial tertentu. 3 Sedangkan apabila
kita tinjau dari sudut Hakekat Negara, negara adalah suatu wadah daripada suatu
bangsa yang diciptakan oleh negara untuk batas wilayah dalam suatu mencapai

1
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Alinea Ke Empat.
2
Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 1980, hlm. 140.
3
C.F. Strong, Modern Political Constitutions Konstitusi-Konstitusi Politik Modern Studi
Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk, Nusa Media, Bandung, 2010, hlm. 6
cita-cita atau tujuan bangsanya atau dapat juga dikatakan bahwa tujuan negara
berhubungan dengan hakekat suatu negara.4
Dalam praktek empiris masih banyak terdapat peraturan perundang-
undangan yang terjadi kekacauan dalam tata urutannya, banyak materi yang
seharusya diatur dalam undang-undang tapi diatur dalam Penetapan Presiden atau
Peraturan Presiden ataupun Peraturan Pemerintah. Bahkan diatas itu semua,
banyak peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang ataupun di
bawah undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945. Penyimpangan-
penyimpangan ini hendaknya segera disikapi dengan responsif sehingga tidak
berdampak kepada tidak berjalannya sistem hukum serta mekanisme yang
ditetapkan dalam UUD 1945.
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah pembentuk
peraturan perundang-undangan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.
Presiden sebagai perwakilan pemerintah yang menjalankan roda pemerintahan
(eksekutif) dan DPR sebagai wakil rakyat yang membidangi Legislasi pasti
mempunyai kepentingan-kepentingan politis yang pada titik-titik tertentu
kepentingan-kepentingan politik tersebut dapat terkonkritisasi dalam peraturan
perundang-undangan. Apabila aroma politis sangat kuat tercium dalam peraturan
perundang-undangan maka yang sangat dikhawatirkan adalah timbulnya
pengkaburan terhadap tujuan dibentuknya hukum itu sendiri yaitu untuk keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum rakyat. Apabila pengkaburan tujuan hukum ini
terjadi terus-menerus dan berulang-ulang, maka tujuan negara tidak akan dapat
terwujud sebagaimana yang diharapkan oleh rakyat.
Sebagaimana kita ketahui,bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan
pada suata masa (pemerintahan) tertentu dapat berbeda dengan bentuk-bentuk
peraturan perundang-undangan pada masa yang lain, hal ini sangat tergantung
pada penguasa dan kewenangannya untuk membentuk suatu keputusan yang
berbentuk peraturan-perundang-undangan.5 Oleh karena itu diupayakan
semaksimal mungkin walaupun terjadi perubahan kekuasaan negara, jangan

4
Ibid Op.Cit, Soehino, hlm. 146
5
Soehino, Hukum Tata Negara Teknik Perundang-Undangan, Liberty, Yogyakarta, 2008, hlm. 1.
sampai mengkaburkan tujuan hukum yang pada akhirnya akan mempersulit
pencapaian tujuan negara.
Produk-produk hukum di Indonesia merupakan produk politik. Dewan
Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang dan setiap
rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden
untuk mendapat persetujuan bersama.6 Begitupula Presiden, berhak mengajukan
rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.7 Sehingga
pengesahan seuatu Rancangan Peraturan Perundang-Undangan menjadi Undang-
undangan adalah suatu bentuk kesepakatan bersama antara Presiden (Eksekutif)
dan Dewan Perwakilan Rakyat (Legislatif).
Hukum pidana dikaji dari fungsinya tentu memiliki peranan yang sangat
penting di dalam mengatur kehidupan masyarakat, untuk mencapai keamanan,
ketentraman, kesejahteraan, dan kebahagiaan di dalam masyarakat. Dapat
dikatakan bahwa, hukum pidana memiliki arti yang penting dalam lingkup hukum
publik. Sebagaimana yang telah kita ketahui, secara yuridis hukum pidana
(materiil) yang berlaku hingga saat kini adalah Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) atau Wetboek van Strafrechts (W.v.S) sebagai hukum pidana
materiil.
Seiring dengan perkembangan zaman, teknologi, dan arus globalisasi
mengharuskan hukum pidana juga berkembang mengikuti perkembangan zaman
dan perkembangan masyarakat. Perkembangan ini juga berdampak terhadap
bervariasinya dan berkembangnya tindak pidana dari masa ke masa. Dalam
penegakan hukum, hal ini juga harus diimbangi dengan produk hukum yang
progresif dan responsif. Mengingat bahwa hukum tidaklah statis, demikian pula
masyarakat yang terus berkembang dan dinamis. Oleh sebab itu, hukum haruslah
dinamis dengan melakukan perubahan-perubahan sejalan dengan perkembangan
zaman dan dinamika kehidupan masyarakat. Mengacu pada KUHP, KUHP yang
berlaku saat ini tentu juga perlu diperbaharui.

6
Pasal 20 ayat (1) dan (2) Batang Tubuh UUD 1945.
7
Ibid, Pasal 5 ayat (1).
Memiliki KUHP nasional atau Hukum Pidana Indonesia dalam sistem
hukum nasional tentu merupakan harapan besar bagi bangsa Indonesia. Dapat
dikatakan bahwa, sejak kemerdekaan hingga sampai saat ini keinginan
mewujudkan sistem hukum nasional merupakan agenda utama dalam
pembanguan hukum nasional. Politik hukum pidana dalam hal ini tentu memiliki
andil dalam setiap proses pembaharuan hukum pidana Indonesia.
Sangat besar harapan bangsa Indonesia untuk memiliki KUHP Indonesia
yang mencerminkan nilai-nilai, pandangan, konsep, ide, gagasan, cita-cita, dan
ideologi bangsa Indonesia. Namun, senyatanya hingga kini hal tersebut belum
dapat terwujud, walaupun proses pembaharuannya telah berjalan sudah sangat
lama namun belum disahkan hingga saat ini.
Rancangan Undang-Undang KUHP yang merupakan produk hukum, yang
juga merupakan produk politik pemerintah saat ini menuai banyak polemik dan
pada akhirnya mahasiswa melakukan demonstrasi menolak beberapa pasal dalam
Rancangan Undang-Undang KUHP yang melibatkan ribuan massa, dan meluas di
Semarang, Palembang, Makassar, Solo, Medan dan sejumlah kota lainnya. Di ibu
kota, ribuan mahasiswa mengepung Gedung DPR. Sementara di banyak kota lain,
gedung DPRD digeruduk demonstran.
Pada akhirnya Presiden Republik Indonesia meminta DPR RI menunda
pengesahan RUU KUHP. Permasalahan yang sedang terjadi adalah masalah
tentang pembaharuan/pergantian Undang-undang KUHP yang diduga memiliki
pasal-pasal yang menyeleweng dari dasar negara kita yaitu Pancasila.
Terdapat banyak pasal-pasal yang tdak masuk akal yang dimasukkan ke
dalam Rancangan Undang-Undang ataupun sebagai pengganti dari Undang-
undang yang lama. Salah satunya adalah pasal mengenai korupsi, lalu mengapa
pasal tentang korupsi dalam RUU KUHP menjadi polemik di masyarakat? Dan
pasal-pasal apakah yang dinilai paling kontroversial oleh masyarakat di dalam
RUU KUHP yang dinilai bermasalah dan memantik demo ribuan mahasiswa di
berbagai kota?
B. Pembahasan
Satjipto Rahardjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih
dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum
tertentu dalam masyarakat.8 Menurut Satjipto Rahardjo, terdapat beberapa
pertanyaan mendasar yang muncul dalam studi politik hukum, yaitu: (1) tujuan
apa yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang ada; (2) cara-cara apa dan
yang mana, yang dirasa paling baik untuk bisa dipakai mencapai tujuan tersebut;
(3) kapan waktunya hukum itu perlu diubah dan melalui cara-cara bagaimana
perubahan itu sebaiknya dilakukan; dan (4) dapatkah dirumuskan suatu pola yang
baku dan mapan, yang bisa membantu memutuskan proses pemilihan tujuan serta
cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut secara baik.9
Adapun penjabaran lain mengenai Politik hukum yaitu Politik Hukum
sebagai sebuah alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh
pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki dan
dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia.10
Berdasarkan beberapa definisi politik hukum yang telah dikemukakan di
atas, dapat disimpulkan bahwa politik hukum adalah kebijakan sebagai dasar
untuk menyelenggarakan negara khususnya dalam bidang hukum mengenai
hukum yang akan berjalan, sedang berjalan dan telah berlaku yang diambil dari
nilai-nilai yang tumbuh dan hidup serta berlaku dalam masyarakat untuk
mencapai tujuan negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945
alinea 4.
Oleh karena itu beberapa pasal dalam Rancangan Undang-Undang KUHP
mendapat resistensi dari berbagai golongan masyarakat. Pasal-pasal tersebut,
diantaranya adalah:
1. Pasal RUU KUHP tentang Korupsi

8
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet. III, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991, hlm. 352.
9
Ibid, hlm 352-353.
10
C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu sistem Hukum Nasional, Bandung:
Alumni, 1991, hlm. 1.
Sejumlah pasal di RUU KUHP memuat hukuman bagi pelaku
korupsi yang lebih rendah daripada UU Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Hal ini bisa memicu praktik 'jual-beli' pasal. Misalnya, pasal
603 RUU KUHP mengatur pelaku korupsi dihukum seumur hidup
atau paling sedikit 2 tahun penjara dan maksimal 20 tahun. Pasal 604
RUU KUHP mengatur hukuman sama persis bagi pelaku
penyalahgunaan wewenang untuk korupsi. Lalu, pasal 605 mengatur
hukuman ke pemberi suap minimal 1 tahun penjara dan maksimal 5
tahun. Pasal 605 pun mengancam Aparatur Sipil Negara dan
penyelenggara negara penerima suap dengan penjara minimal 1 tahun,
serta maksimal 6 tahun. Sedangkan pasal 2 UU Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, mengatur hukuman bagi pelaku korupsi ialah pidana
seumur hidup atau penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun.
UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 5 memang memuat
aturan hukuman bagi pemberi suap mirip dengan pasal 605 RUU
KUHP. Akan tetapi, pasal 6 UU Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi mengatur hukuman lebih berat bagi penyuap hakim, yakni 3-
15 tahun penjara. Bahkan, Pasal 12 UU Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi huruf (a) mengatur hukuman bagi pejabat negara atau hakim
penerima suap dengan pidana seumur hidup atau penjara 4-20 tahun.
Oleh karena itu, RUU KUHP merupakan salah satu rancangan beleid
yang, “memanjakan para koruptor".
2. Pasal RUU KUHP tentang Penghinaan Presiden
Pasal kontroversial RUU KUHP yang lain terkait penghinaan
terhadap presiden dan wakil presiden. Pasal 218 mengancam pelaku
dengan penjara maksimal 3,5 tahun. Di pasal 219, pelaku penyiaran
hinaan itu diancam 4,5 tahun penjara. Di pasal 220 RUU KUHP,
dijelaskan bahwa perbuatan ini menjadi delik apabila diadukan oleh
presiden atau wakil presiden. Selain itu, pasal 353-354 mengatur
hukuman bagi pelaku penghinaan terhadap kekuasaan umum dan
lembaga negara. Pelakunya terancam 1,5 tahun penjara. Bila
penghinaan itu memicu kerusuhan, pelakunya bisa dihukum 3 tahun
penjara. Dan jika hal itu disiarkan, peluiaku terancam 2 tahun penjara.
Ketentuan ini ada di KUHP lama dan dinilai merupakan warisan
kolonial. Pasal ini bisa bersifat 'karet' dan menjadi alat
mengkriminalisasi warga. Potensi kriminalisasi justru ketika ada kritik
kepada kebijakan presiden. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada
2006 sebenarnya sudah membatalkan pasal-pasal penghinaan terhadap
presiden karena dinilai tidak sesuai dengan prinsip kepastian hukum
dan demokrasi.
3. Pasal RUU KUHP tentang Makar
RUU KUHP mengatur pidana makar melalui pasal 167, 191,
192 dan 193. Pelaku makar terhadap presiden dan NKRI diancam
hukuman mati, seumur hidup atau penjara 20 tahun. Makar terhadap
pemerintah yang sah, juga diancam penjara 12 dan 15 tahun. Pasal
167 menyebut: “Makar adalah niat untuk melakukan suatu perbuatan
yang telah diwujudkan dengan adanya permulaan pelaksanaan
perbuatan tersebut.” Definisi makar di dalam RUU KUHP itu tak
sesuai dengan akar katanya pada bahasa Belanda, yakni ‘aanslag’
yang berarti penyerangan. Masalah definisi ini dinilai berpotensi
membikin pasal makar bersifat karet dan memberangus kebebasan
berekspresi masyarakat sipil.
4. Pasal RUU KUHP tentang Penghinaan Bendera
RUU KUHP juga mengatur pemidanaan terkait penghinaan
bendera negara. Ketentuan ini diatur pasal 234 dan 235. Di pasal 235,
diatur pidana denda maksimal Rp. 10.000.000,- bagi mereka yang: (a)
memakai bendera negara untuk reklame/iklan komersial; (b)
mengibarkan bendera negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau
kusam; (c) mencetak, menyulam dan menulis huruf, angka, gambar
atau tanda lain, atau memasang lencana atau benda apa pun pada
bendera negara; dan (d) memakai bendera negara untuk langit-langit,
atap, pembungkus barang, tutup barang, yang menurunkan
kehormatannya.
Pasal 235 dinilai memuat ancaman kriminalisasi perbuatan formil
(tanpa memandang niat yang harusnya berupa penodaan bendera).
Ancaman penjara di pasal 234 pun dinilai terlalu tinggi (5 tahun).
5. Pasal RUU KUHP terkait Alat Kontrasepsi
Pasal kontroversial lainnya di RUU KUHP ialah soal
pemidanaan promosi kontrasepsi. Pasal 414 mengatur: orang yang
mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, menunjukkan
untuk bisa memperoleh alat pencegah kehamilan (kontrasepsi) kepada
Anak dipidana denda maksimal Rp. 1.000.000,- (kategori I). Pasal 414
menghambat penyebaran info soal alat kontrasepsi dan kesehatan
reproduksi. Pasal ini pun bertentangan dengan program KB
pemerintah. Apalagi, pasal ini bisa menjerat pengusaha retail yang
memajang alat kontrasepsi di toko. Jurnalis yang menulis konten soal
alat kontrasepsi pun bisa terkena pidana. Sekalipun pasal 416
mengecualikan pejabat berwenang dan aktivitas pendidikan, pidana ini
dinilai tidak sesuai era keterbukaan informasi. Di sisi lain, di
Indonesia terdapat 6 peraturan tentang penanggulangan HIV/AIDS
yang memuat aturan “kampanye penggunaan kondom” yang isinya
mengizinkan penyebaran luas info soal alat kontrasepsi. Jaksa Agung
(tahun 1978) dan BPHN (1995) juga telah mendekriminalisasi
perbuatan ini mengingat kondom menjadi salah satu alat efektif untuk
mencegah penyebaran HIV.
6. Pasal RUU KUHP soal Aborsi
Pemidanaan terkait aborsi diatur pasal 251, 415, 469 dan 470.
Misalnya, pasal 469 mengatur hukuman bagi perempuan yang
menggugurkan kandungannya, maksimal 4 tahun penjara. Orang yang
menggugurkan kandungan perempuan dengan persetujuannya juga
bisa dipenjara maksimal 5 tahun, sesuai isi pasal 470 RUU KUHP.
Pasal ini dinilai berpotensi mengkriminalisasi korban perkosaan yang
hamil dan memutuskan untuk menggugurkan kandungannya. Kondisi
mental korban perkosaan seharusnya menjadi perhatian bagi negara
untuk memberikan perlindungan hukum seadil-adilnya, bukan malah
melakukan kriminalisasi. Isi pasal-pasal itu pun tidak sesuai dengan
UU Kesehatan pasal 75 ayat 2 yang mengecualikan tindakan aborsi
jika dalam keadaan darurat medis atau mengalami kehamilan sebab
perkosaan. Pasal ini juga dinilai mengabaikan fakta tingginya angka
kematian ibu akibat aborsi tidak aman.
7. Pasal RUU KUHP soal Gelandangan
RUU KUHP juga mengatur pemidanaan gelandangan. Pasal 431
mengancam gelandangan dengan denda maksimal Rp. 1.000.000,-.
Penghapusan pasal tersebut menjadi salah satu yang menjadi sorotan
sebab gelandangan merupakan warisan kolonial yang menilai
gelandangan sebagai: Orang tidak berguna akibat kesalahan dalam
hidupnya. Pasal ini juga bukan solusi atas masalah gelandangan,
sekaligus aneh. Lagipula gelandangan, tentu saja merupakan
masyarakat miskin, mana sanggup mereka bayar denda. Kalau tidak
mampu membayar denda, kemudian harus bagaimana?
8. Pasal RUU KUHP tentang Zina dan Kohabitasi
Pasal 417 dan 419 mengatur pidana perzinaan dan kohabitasi
(hidup bersama sebagai suami-istri di luar ikatan perkawinan). Pasal
417 mengatur hukuman bagi mereka yang berzina maksimal penjara 1
tahun atau denda Rp. 10.000.000,-. Pidana ini diatur sebagai delik
aduan dari suami, istri, orang tua dan anak. Sementara pasal 418
mengancam pelaku kohabitasi dengan penjara 6 bulan dan denda Rp.
10.000.000,-. Pidana ini delik aduan. Kepala desa termasuk yang bisa
mengadukan tindak kohabitasi ke polisi. Kriminalisasi perzinaan dan
kohabitasi (yang dilakukan orang dewasa secara konsensual dan tanpa
paksaan) dinilai mengancam privasi warga. Delik aduan terkait
kohabitasi yang memasukkan kepala desa sebagai pihak pelapor bisa
memicu kesewenang-wenangan dan praktik kriminalisasi berlebihan.
Dua pasal itu juga dianggap mengabaikan fakta jutaan masyarakat
adat dan warga miskin yang masih kesulitan mengakses dokumen
perkawinan resmi.

9. Pasal RUU KUHP tentang Pencabulan


Pasal 420 menjadi bermasalah karena mengatur pemidanaan
pencabulan dengan memberikan tekanan kata: “terhadap orang lain
yang berbeda atau sama jenis kelaminnya”. Penyebutan kata “sama
jenis” tidak perlu, penyebutan spesifik “sama jenis kelaminnya” malah
menjadi bentuk diskriminasi terhadap kelompok minoritas seksual.
Pasal ini dikhawatirkan membuat kelompok orientasi seksual yang
berbeda rentan dikriminalisasi dan semakin distigma negatif. Apalagi,
kekerasan ke komunitas LGBT selama ini sudah sering terjadi. Kritik
juga menyoroti ketentuan pencabulan yang dipidana jika dilakukan di
muka umum (pasal 420 huruf a). Bagaimana kalau orang tidak
berdaya ini dicabuli bukan di muka umum? Kalau ini terjadi, maka
tidak akan dilakukan pemidanaan karena tidak dilakukan di muka
umum.
10. Pasal RUU KUHP tentang Pembiaran Unggas dan Hewan Ternak
Pasal 278 RUU KUHP secara khusus mengatur: orang yang
membiarkan unggas miliknya berjalan di kebun atau tanah telah
ditaburi benih/tanaman milik orang lain terancam denda sampai Rp.
10.000.000,-. Lalu, pasal 279 juga mengancam setiap orang yang
membiarkan hewan ternaknya berjalan di kebun, tanah perumputan,
tanah yang ditaburi benih, atau tanah yang disiapkan untuk ditaburi
benih atau ditanami, dengan pidana denda maksimal Rp. 10.000.000,-
(kategori II). Bahkan pasal 279 ayat 2 menyatakan, hewan ternak yang
dilibatkan dalam pelanggaran ini dapat dirampas negara. Pasal ini
dikutip dari KUHP lama tanpa evaluasi terkait relevansinya. Pidana
ini dinilai lebih tepat menjadi pelanggaran administratif yang diatur
Perda, jika memang dibutuhkan.
11. Pasal RUU KUHP tentang Tindak Pidana Narkoba
Pasal 611-616 RUU KUHP terkait narkotika, juga dikritik sebab
membuat pendekatan pidana semakin diutamakan di penanganan
masalah narkoba. Pasal-pasal tersebut menguatkan stigma narkotika
sebagai masalah pidana saja. Padahal, banyak negara di dunia
memproklamirkan pembaruan kebijakan narkotika dengan pendekatan
kesehatan warga. Di samping itu, pendekatan pidana yang berfokus
pada pemberantasan suplai narkoba dianggap tidak efektif. RUU
KUHP pun dinilai masih memuat ketentuan pasal karet yang diadopsi
langsung dari UU 35/2009 tentang narkotika tanpa perbaikan yang
lebih memadai.
12. Pasal RUU KUHP tentang Contempt of Court
Pasal di RUU KUHP tentang penghinaan terhadap badan
peradilan atau contempt of court juga dikritik. Pasal 281 huruf b
mengatur pidana denda Rp. 10.000.000,- bagi mereka yang: “Bersikap
tak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas
hakim dalam sidang pengadilan”. Unsur “bersikap tidak homat” di
Pasal 281 huruf b tidak dijabarkan secara terang pada bagian
penjelasan. Selain itu, menuduh hakim bersikap memihak atau tidak
jujur, mestinya sah sebagai kritik.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, korupsi adalah
tindakan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Korupsi juga diartikan
sebagai tindakan setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi. Juga menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Pencelaan masyarakat terhadap korupsi menurut konsepsi yuridis
dimanifestasikan dalam rumusan hukum sebagai suatu bentuk tindak pidana. Di
dalam politik hukum pidana Indonesia, korupsi itu bahkan dianggap sebagai suatu
bentuk tindak pidana yang perlu didekati secara khusus, dan diancam dengan
pidana yang berat. Hal ini juga dikuatkan dengan pernyataan tindak pidana
korupsi yang terjadi saat ini sudah memasuki tahap akut, karena perilaku tersebut
tidak hanya dilakukan oleh pegawai negeri pada level menegah ke bawah tetapi
sudah mencapai pejabat tinggi. Bahkan pada level aparat penegak hukum perlaku
tersebut sudah marak terjadi, baik ditingkat penyidikan, penuntutan, maupun
pemeriksaan persidangan. Cukup banyak perkara korupsi yang melibatkan aparat
penegak hukum, meskipun kasusnya jarang sekali diselesaikan hingga tuntas.
Salah satu kelemahan aparat penegak hukum untuk menyeret pelaku tindak pidana
korupsi adalah kurangnya alat bukti yang dapat mendukung penjatuhan pidana
secara maksimal dalam suatu proses peradilan. Berbagai macam kasus yang
ditangani oleh KPK mendapatkan apresiasi dari kalangan masyarakat bahkan
dianggap sebagai superhero untuk menyelamatkan bangsa ini dari para koruptor,
tetapi didalam dinamika perjalanan KPK mendapatkan berbagai macam
permasalahan yang harus dihadapi baik secara internal maupun secara eksternal.
Meskipun lembaga ini dianggap sebagai institusi superbody yang memiliki
kewenangan extraordinary tetapi itu tidak menjamin KPK akan mampu
menyelesaikan korupsi di Indonesia yang notabenenya sebagai negara korupsi
ditambah lagi berbagai macam intervensi dari berbagai pihak lain yang merasa
tidak senang dengan eksistensi KPK. Namun hal ini menjadi gaduh, ketika ada
rencana pengkodifikasian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang kedalam RUU KUHP.
Dengan pengkodifikasian UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ke dalam
RUU KUHP membawa dampak tindak pidana korupsi dan tindak pidana
pencucian uang adalah tindak pidana umum. Sehingga korupsi bukan lagi hal
yang dikhususkan didalam pemberantasannya, karena nantinya proses
persidangannya akan dibawa ke pengadilan negeri. Namun hal ini menurut
pemerintah, dengan dimasukkannya UU Korupsi dan UU Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ke dalam RUU KUHP tidaklah
langsung menghilangkan kewenangan KPK dalam menangani kasus korupsi
sebagai negara darurat korupsi/tindak pidana khusus yang sangat merugikan
banyak pihak, baik negara dan masyarakat.
Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
menyatakan bahwa terhadap kasus tindak pidana korupsi dan pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang ini, dalam menagani kasus ini masih
bisa menggunakan asas lex specialis derograt legi generali, dalam ilmu
perundang-undangan memberikan pandangan bahwa aturan hukum yang khusus
akan mengesampingkan aturan hukum yang umum. Dimana hal ini memberikan
indikasi UU Korupsi dan UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uangtetap akan dipakai terhadap pelaku tindak pidana yang
bersentuhan dengan tindak pidana ini. Namun hal ini tidak bisa dilihat dari teknik
perundang-undangan saja, tetapi harus melihat politik hukum nasional kedepan.

C. Kesimpulan
Sebaiknya, KPK, Jaksa, Polisi sebagai stake holder harus bahu membahu
dalam pembahasan RUU KUHP ini. Hal ini tentunya peran yang sangat penting.
Jika KPK, Jaksa, Polisi sama-sama bersatu menolak memasukkan UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang kedalam RUU KUHP maka akan membuka
pikiran dari dewan legislatif, bahwa penegak hukum yang akan menangani kasus
korupsi ini, dengan terang menolak adanya rancangan untuk memasukkan UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang ke dalam RUU KUHP.
Dimana implikasi yang dilakukan stake holder ini akan membawa aura
yang positif didalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Disini akan terlihat
jelas, bahwa ternyata aparat penegak hukum terkhususnya Jaksa, Polisi dan KPK
sangat menolak pelemahan terhadap UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dan UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang
akan dimasukkan ke dalam RUU KUHP, karena hal ini mengakibatkan pelemahan
dalam menegakan tindak pidana korupsi, serta akan menggambarkan kepastian
hukum yang semakin tidak tertata dengan baik. Cita-cita dan tujuan hukum itu
akan menjadi luntur dan tidak berguna lagi.
Dari kritisi masyarakat terhadap RUU KUHP terhadap diantaranya
beberapa pasal di atas, maka sebaiknya Undang-Undang yang dibuat oleh
pemerintahan negara Indonesia berfungsi untuk menciptakan sebuah keadilan bagi
seluruh masyarakat Indonesia. Dengan wewenangnya melakukan perubahan
terhadap undang-undang, pemerintah merubah undang-undang menjadi tidak
sesuai dengan kaidah-kaidah dan fungsi dari undang-undang itu sendiri,
pemerintah justru melemahkan fungsi utama dari undang-undang itu sendiri. Ini
menimbulkan polemik bagi masyarakat dikarenakan memiliki pasal-pasal yang
tidak masuk akal.
Undang-undang yang seharusnya dibuat untuk tujuan negara yaitu untuk
menciptakan sebuah keadilan bagi masyarakat suatu negara. Keadilan ini menjadi
poin utama dalam pembangunan negara. Negara yang bisa menciptakan keadilan
bagi masyarakatnya adalah negara yang mampu mengorganisir seluruh tata hidup
negara.
Sebelum melakukan pengesahan terhadap RUU KUHP yang baru
sebaiknya pemerintah melakukan evaluasi dan merevisi kembali pasal-pasal
tersebut agar mampu diterima oleh seluruh masyarakat Indonesia. Undang-undang
harus bersifat menciptakan keadilan. Dengan keadilan maka negara Indonesia
dipastikan akan menjadi negara maju suatu saat nanti. Tanpa adanya perpecah
belahan dan berbagai macam konflik dan menciptakan kedamaian bagi bangsa ini.
Dengan demikian sudah tepat bahwa Presiden Republik Indonesia
meminta DPR RI menunda pengesahan RUU KUHP.
DAFTAR PUSTAKA

C.F. Strong, Modern Political Constitutions Konstitusi-Konstitusi Politik Modern


Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk, Nusa Media, Bandung, 2010.
C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu sistem Hukum Nasional,
Bandung: Alumni, 1991.
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Alinea
Ke Empat.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet. III, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991.
Soehino, Hukum Tata Negara Teknik Perundang-Undangan, Liberty, Yogyakarta,
2008.
Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 1980.

Anda mungkin juga menyukai