Anda di halaman 1dari 7

A.

Latar Belakang
Secara konstitusional, sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar
1945 pasal 1 ayat (3), negara Indonesia adalah negara hukum (rechstaat), bukan
negara berdasarkan kekuasaan (maachtstaat). Membangun negara hukum yang
berkeadilan bagi Indonesia adalah amanah konstitusi.
Hukum diciptakan sebagai instrumen pengatur hak dan kewajiban subjek
hukum agar masing-masing subjek hukum dapat menjalankan kewajibannya
dengan baik dan mendapatkan haknya secara wajar.1
Dalam negara hukum akan ada satiu kesatuan sistem hukum yang harus
diikuti yaitu konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Maka dalam sebuah negara,
hukum harus ditegakkan, dihormati dan ditaati oleh siapapun juga, tujuan
keberadaan hukum yaitu memberikan keadilan, kepastian dan kemanfaatan bagi
setiap warga negara tanpa terkecuali. Negara memiliki kewajiba memberikan
perlindungan kepada siapa saja mengenai persoalan apapun yang bersinggungan
dengan hukum, termasuk persoalan anak.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), anak adalah generasi
kedua atau keturunan pertama dan manusia yang masih kecil.2 Pasal 330
KUHPerdata memberikan pengertian anak adalah orang yang belum dewasa dan
seseorang yang belum mencapai usia batas legitimasi hukum sebagai subyek
hukum atau layaknya subyek hukum nasional yang ditentukan oleh perundang-
undangan perdata. Anak adalah bagian dari generasi muda yang merupakan salah
satu sumber daya yang berpotensi dan penerus cita-cita pejuang bangsa yang
memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan
pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan
perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang.3
Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa yang
harus senantiasa dijaga dan dilindungi, karena dalam dirinya melekat harkat,
martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi.

1
Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta,1992 hlm. 10
2
KBBI Daring, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/anak, diakses pada tanggal 04-05-2021
3
Mohammnad Taufik Makarao, dkk, Hukum Perlindungan Anak dan Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga, Cetakan Pertama, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 1
Perlindungan dan pembinaan yang dibutuhkan anak-anak merupakan hak
asasi anak. Anak-anak mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan khusus
dari segala pihak yakni keluarga, masyarakat dan pemerintah. Anak-anak harus
memperoleh kesempatan dan fasilitas yang dijamin oleh hukum dan sarana lain
sehingga secara jasmani, mental, akhlak, rohani, dan sosial, mereka dapat
berkembang dengan sehat dan wajar dalam keadaan bebas dan bermanfaat.
Pada kenyataannya, kekerasan terhadap anak masih marak terjadi bahkan
terus meningkat walaupun beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia
secara jelas dan gamblang telah mengatur tentang perlindungan terhadap anak.
Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah yang
mengakibatkan memar, trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan
perkembangan atau perampasan hak. Kekerasan terhadap anak dibagi dalam empat
bagian utama, yaitu kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasankarena diabaikan
dan kekerasan emosi.
Anak-anak Indonesia masih banyak yang belum merdeka untuk menikmati
dunianya. Anak-anak yang seharusnya bisa menikmati waktu bermain, belajar dan
berinteraksi dengan teman-teman seusianya justru sebaliknya menikmati hidup di
jalanan menjadi pengamen, pengemis, dan pedagang asongan. Banyak anak-anak
yang dipaksa bekerja oleh orang tuanya untuk menafkahi keluarga seperti bekerja
sebagai buruh tambang, buruh pabrik, dan di tempat produktif lainnya. Sebagian
besar dari anak-anak tersebut melakukan pekerjaan karena dengan sengaja dipaksa
oleh orang tua atau pihak ketiga untuk melakukan pekerjaan tersebut. Kemerdekaan
anak-anak Indonesia untuk menikmati pendidikan dan menikmati waktu luangnya
untuk bergaul dan bertumbuh kembang selayaknya anak-anak pada umumnya telah
dengan sengaja disimpangi oleh keluarga maupun beberapa kelompok masyarakat.
Keterlibatan anak dalam aktivitas ekonomi sejak dini dikhawatirkan akan
memberikan dampak negatif bagi anak yang rentan terhadap tindakan eksploitasi,
tindakan sewenang-wenang pengusaha, upah yang rendah dan mengganggu
perkembangan fisik, psikologis, mental dan sosial anak.
Permasalahan pekerja anak menjadi dilematis ketika di satu sisi anak dapat
membantu menafkahi dirinya sendiri ataupun keluarganya akan tetapi disisi lain
pekerjaan yang dilakukannya akan menghambat waktunya untuk belajar, bermain,
dan beristirahat, serta menghambat kesempatannya mengembangkan diri untuk
menggapai impian dan cita-citanya. Keadaan ini menjadikan pekerja anak masuk
kategori yang memerlukan perlindungan khusus (children in need of special
protection) yang menuntut penanganan serius dari orang tua, keluarga, masyarakat,
dan kelompok terkait serta Pemerintah sebagai pembuat kebijakan.
Eksploitasi dan pemanfaatan anak-anak adaalah karena minimnya
perlindungan terhadap mereka, padahal mereka masih membutuhkan perlindungan,
karena pemiskinan menimbulkan keretanan ganda bagi mereka dan pada keluarga
mereka. Karena itu mereka tidak punya pilihan lain. Nasib ini menimpa berjuta
anak. Posisi pinggiran juga menjadikan mereka hanya mementingkan bagaimana
mereka sekedar bertahan hidup saja, akaan tetapi mendatangkan keuntungan bagi
orang-orang yang mengeksploitasi mereka.4

B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan diatas, maka yang
menjadi permasalahan adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap pekerja anak menurut
Undang-undang Ketenagakerjaan?
2. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap eksploitasi pekerja anak?

C. Pembahasan
Pengertian pekerja atau buruh anak sendiri secara umum adalah anak-anak
yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orang tuanya, untuk orang lain, atau
untuk dirinya sendiri yang membutuhkan sejumlah besar waktu, dengan menerima
imbalan atau tidak.5
Pengaturan tenaga kerja bila dilihat dari segi hukum ketenagakerjaan adalah
untuk memberikan kepastian hukum pelaksanaan tenaga kerja dan dalam waktu

4
Peter Davies, Hak-Hak Asasi Manusia, diterjemahkan oleh A. Rahman Zainuddin Jakarta:Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 66
5
Bagong suyanto, Masalah Sosial Anak, Kencana, Jakarta, 2010, Hlm. 111
bersamaan memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh, dengan demikian
adanya anggapan bahwa hubungan kerja pada tenaga kerja selalu menggunakan
perjanjian kerja waktu tertentu/kontrak.6
Masa anak-anak merupakan hadiah terbaik bagi seorang anak. Masa anak-
anak ini merupakan masa bermain dan bercanda secara bebas dan berkesempatan
untuk belajar semaksimal mungkin. Dalam konteks perkembangan anak ketika ia
terlibat dalam suatu permainan, hal ini bukanlah sekedar bermain semata melainkan
justru dengan bermain inilah sebenarnya seorang anak dapat belajar untuk menjadi
pintar dalam berbagai macam hal. Orang tua dapat mendorong anaknya untuk
bekerja karena kuatnya anggapan yang ada di dalam masyarakat kita bahwa anak
merupakan aset keluarga sehingga segala hal yang berkaitan dengan si anak
menjadi urusan pribadi dari orangtuanya atau dengan kata lain orangtua berhak
seutuhnya atas diri si anak. Dorongan anak untuk bekerja semakin diperkuat dengan
tidak adanya akses pendidikan bagi mereka. Tidak hanya persoalan biaya,
melainkan juga kondisi mental, intelektual dan fisik yang dibutuhkan seorang anak
untuk dapat memahami pelajaran yang diberikan di sekolah. Anak-anak yang telah
terlibat secara aktif di dalam kegiatan perekonomian demi menjalankan perannya
sebagai pekerja, bukanlah suatu fenomena yang baru di Indonesia.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 68
menyatakan bahwa: “Pengusaha dilarang mempekerjakan anak.”, akan tetapi dalam
Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
menyatakan bahwa: “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat
dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan
15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak
mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial.” Dengan
demikian anak dapat bekerja dengan syarat usia antara 13 tahun sampai dengan 15
tahun dan sepanjang pekerjaan yang dilakukannya tidak mengganggu
perkembangan dan membayakan kesehatan fisik, mental dan moral anak. Dengan
persyaratan tertentu seperti yang dinyatakan dalam Pasal 69 ayat (2) Nomor 13

6
Adrian sutedi, Hukum Perburuhan. PT. Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 222
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu: “Pengusaha yang mempekerjakan
anak pada pekerjaan ringan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi
persyaratan:
a) izin tertulis dari orang tua atau wali;
b) perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
c) waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
d) dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
e) keselamatan dan kesehatan kerja;
f) adanya hubungan kerja yang jelas; dan
g) menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.”
Sementara dalam pasal 72 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, menyatakan bahwa: “Dalam hal anak dipekerjakan bersama-
sama dengan pekerja/buruh dewasa, maka tempat kerja anak harus dipisahkan dari
tempat kerja pekerja/buruh dewasa.”
Juga larangan mutlak mempekerjakan anak tanpa pengecualian ditegaskan
dalam Pasal 74 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
ada 4 macam pekerjaan-pekerjaan terburuk bagi anak, diantaranya:
a) segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;
b) segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan
anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau
perjudian;
c) segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, melibatkan anak
untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya, dan atau
d) semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau
moral anak.
Dengan demikian hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh pekerja anak
sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan yaitu meliputi:
1. Hak mendapatkan gaji yang layak
Pekerja/buruh anak harus mendapatkan gaji yang sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga pengusaha
dilarang membayar lebih rendah dari ketentuan upah minimum yang
telah ditetapkan pemerintah setempat sebagaimana yang telah diatur
dalam Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Apabila
pengusaha memperjanjikan pembayaran upah yang lebih rendah dari
upah minimum, maka kesepakatan tersebut batal demi hukum yang
diatur dalam Pasal 91 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
2. Hak mendapatkan waktu kerja yang sesuai
Pasal 69 dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 telah
memberikan ketentuan pengecualian yang membolehkannya dengan
syarat berusia 13 sampai dengan 15 tahun, waktu kerja tidak boleh lebih
dari 3 jam, dilakukan pada siang hari, tidak mengganggu waktu
sekolahnya, ada izin tertulis dari orang tua atau walinya, ada perjanjian
kerja dengan orangtua atau walinya, dan diberikan upah sesuai aturan
perundang-undangan. Apabila pengusaha melanggar Pasal 69 dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 maka dapat dikenakan sanksi
pidana sebagaimana diatur di dalam Pasal 185.
3. Hak mendapatkan waktu istirahat dan cuti yang cukup
Dalam Pasal 79 ayat (1) telah dijelaskan bahwa Pengusaha wajib
memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh. Selain hal itu,
setiap pekerja wajib memperoleh sedikitnya 12 hari untuk cuti tahunan,
namun dengan kondisi pekerja tersebut harus sudah bekerja minimal 1
tahun atau 12 bulan lamanya di suatu perusahaan. Pada Pasal 79 ayat (2)
dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
pekerja yang berhak mendapat cuti tahunan 12 hari adalah pekerja yang
sudah bekerja minimum 1 tahun di perusahaan.
4. Hak mendapatkan pendidikan
Menurut Pasal 9 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak telah dijelaskan bahwa setiap anak berhak
memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan
pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
Selain itu Setiap anak juga berhak mendapatkan perlindungan di satuan
pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh
pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
Selain itu, dalam Pasal 69 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 telah dijelaskan pula bahwa pengusaha yang
mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan harus dilakukan pada siang
hari dan tidak mengganggu waktu sekolah.
5. Hak mendapatkan keselamatan dan kesehatan kerja
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 telah diatur
mengenai segala hal yang berhubungan dengan ketenagakerjaan mulai
dari upah kerja, jam kerja, hak maternal, cuti sampai dengan keselamatan
dan kesehatan kerja. Berdasarkan pada Pasal 74 di dalam Undang-
Undang ini telah disebutkan secara jelas bahwa siapapun dilarang
mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan terburuk
yang dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak.

Anda mungkin juga menyukai