Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak asasi sebagaimana

manusia lainnya, sehingga tidak ada manusia ataupun pihak lain yang boleh

merampas hak tersebut. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah

masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa sehingga setiap anak

berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta

berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil

dan kebebasan.

Pandangan yang visioner, anak merupakan bentuk investasi yang menjadi


indikator keberhasilan suatu bangsa dalam melaksanakan pembangunan.
Keberhasilan pembangunan anak akan menentukan kualitas sumber daya manusia
di masa yang akan datang. Dalam Pasal 28 B ayat (2) Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disingkat UUDNRI 1945) berbunyi
bahwa : Anak memiliki peran strategis dan negara menjamin hak setiap anak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas pelindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.Oleh karena itu, kepentingan terbaik bagi anak patut
dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia.

Akhir-akhir ini banyak terjadi kasus kekerasan terhadap anak dimana pelakunya

adalah orang tua sendiri. Secara umum kekerasan terhadap anak melampiasan

emosi dari orang tuanya sendiri. Dalam suatu kehidupan berbangsa dan bernegara

dikenal institusi terkecil yaitu sebuah keluarga yang merupakan unit terkecil

dalam masyarakat tempat anak tumbuh dan berkembang secara wajar menuju

generasi muda yang potensial untuk pembangunan nasional. Pada dasarnya anak

adalah tuas harapan bangsa yang akan melanjutkan eksistensi bangsa Indonesia.
1
Pada anak-

2
anak terletak masa depan bangsa, anakpun menjadi dambaan keluarga diharapkan

dapat meneruskan keturunan dengan kualitas yang lebih baik, anak merupakan

aset bangsa sebagian dari generasi berperan sangat strategis sebagai penerus suatu

bangsa, peran strategis ini didasari oleh masyarakat internasional untuk

melahirkan sebuah konvensi yang intinya menekankan posisi anak sebagai

makhluk manusia yang harus mendapat perlindungan atas hak-hak yang

dimilikinya.

Indonesia merupakan salah satu dari 192 negara yang telah meratifikasi Konvensi

Hak-Hak Anak(convention on the rights of the child) pada Tahun 1990. Dengan

meratifikasi konvensi ini, Indonesia memiliki kewajiban untuk memenuhi hak-hak

anak bagi semua anak tanpa terkecuali. Salah satu hak anak untuk memperoleh

proses hukum yang adil (due process of law) dan bermartabat, hal ini berpendapat

bahwa kewajiban utama negara peserta ialah memasukkan hasil Konvensi

dimaksud ke dalam lingkungan nasional dalam arti antara lain melaksanakan

ratifikasi terlebih dahulu atas hasil Konvensi, sebelum dituangkan dalam bentuk

suatu undang-undang khusus.1

Anak adalah anugerah dan amanah dari allah swt yang wajib dirawat dan
dilindungi, anak merupakan generasi penerus pembangunan dan cita-cita
bangsa, negara dan agama karena anak tersebut kelak akan memelihara,
mempertahankan, serta mengembangkan hasil dari pendahulunya seorang
anak pada dasarnya membutuhkan perawatan, perlindungan, pengajaran,
dan kasih sayang. Hal ini dilakukan untuk menjamin pertumbuhan fisik
dan mental mereka.Setiap anak kelak akan memikul tanggung jawab maka
untuk bisa memikul tanggung jawab tersebut mereka perlu mendapat
keselamatan untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik,
mental, maupun sosial, melalui upaya perlindungan untuk mewujudkan
kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-
hak tanpa adanya perlakuan diskriminasi, pelecehan, penelantaran, dan
kekerasan.

1
. Romli Atmasasmita. 2000. Pengantar Hukum Pidana Internasional, Refika Aditama,
Bandung, hlm. 52
3
Perlindungan hukum terhadap anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan

hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and

freedom of children) serta berbagai kepentingan yang behubungan dengan

kesejahteraan anak.2 Perhatian dalam bidang perlindungan anak menjadi salah satu

tujuan pembangunan.Didasari bahwa dalam proses pembangunan, akibat tidak

adanya perlindungan anak akan menimbulkan bebagai masalah sosial yang dapat

mangganggu jalannya pembangunan, mengganggu ketertiban dan keamanan.3

Perlindungan anak berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar konvensi hak anak,
meliputi antara lain.

a. Non Diskriminasi

b. Kepentingan yang terbaik bagi anak

c. Hak untuk hidup,kelangsungan hidup dan perkembangan

d. Penghargaan terhadap pendapat anak

Pengertian asas kepentingan terbaik bagi anak adalah bahwa suatu tindakan yang

menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif

dan badan yudikatif. Maka kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi

pertimbangan utama, pengertian asas untuk hidup, kelansungan hidup dan

perkembangan adalah bahwa hak-hak asasi yang mendasar bagi anak wajib

dilindungi oleh pemerintah, negara, masyarakat, keluarga dan orang tua.

Artinya pihak-pihak tersebut tidak meniadakan hak-hak yang dimaksud.

Pengertian asas penghargaan terhadap pendapat anak adalah adanya

penghormatan atas hak

2
. Waluyadi. 2009. Hukum Perlindungan Anak, Mandar Maju, Bandung, hlm. 1
3
Irma Setyo Wati Soemitro. 1990. Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara,
Jakarta, hlm. 10
4
untuk mengambil keputusan, terutama terhadap hal yang berkaitan dengan

kehidupannya. Betapa pentingnya hak-hak anak untuk diperhatikan juga

dinyatakan dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang

perlindungan anak yang menyatakan bahwa negara, pemerintah, masyarakat,

keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap

penyelengaraan perlindungan anak.

Lebih spesifik lagi mengenai kewajiban memelihara dan mendidik anak, Pasal 45

ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan menyatakan bahwa :

Pasal 45 ayat (1)

Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik
baiknya.

Pasal 45 ayat (2)

Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku
sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku
terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Anak merupakan subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban. Hak itu

memberi kenikmatan dan keluasan kepada individu dan melaksanakannya,

sedangkan kewajiban merupakan pembatasan dan beban.4 Upaya perlindungan

dan kesejahteraan anak dapat diwujudkan dengan dukungan kelembagaan dan

peraturan, anak dalam pengertian yang umum mendapat perhatian tidak saja

dalam ilmu pengetahuan, tetapi dapat diperhatikan dari sisi pandang sentralistis

kehidupan, seperti agama, hukum dan sisiologis yang menjadikan anak semakin

4
. Salim HS. 2005. Pengantar Hukum Perdata Tertulis, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 33

5
nasional dan aktual dalam lingkungan sosial.5

Tanggung jawab orang tua tidak hanya terbatas pada segi fisik semata tetapi yang

lebih penting adalah usaha peningkatan potensi positif agar menjadi manusia

berkualitas. Orang tua bertanggung jawab agar anak tidak menyimpang karena

setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kuatnya hubungan emosional ibu

dalam membentuk jiwa anak itu sendiri. Di dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat

(9) berpesan kepada orang tua, agar jangan sampai meninggalkan generasi yang

lemah : Hendaklah mereka takut kepada Allah jika meninggalkan generasi yang

lemah dibelakang mereka, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraannya,

hendak mereka bertaqwa pada Allah dan mengucapkan perkataan yang baik.

Tanggung jawab orang tua tidak hanya menjaga dan membesarkan secara fisik

tetapi juga membutuhkan potensi dan cita-cita anak, artinya jika anak hidup secara

fisik tetapi secara fisikologis, moral, keilmuan, kehidupan ekonomi, dan sosial

lemah dan tidak berdaya. Potensi anak yang baik harus dihidupkan, orang tua

dituntut memiliki perhatian khusus dan serius dalam mendidik anaknya. Orang tua

bertanggung jawab memenuhi kebutuhan anak, kecerdasan kognitif (intelectual

intelligence) emosi (emotional inteligence), dan spiritual (spiritual intelligence).

Orang tua harus menjadi teladan yang baik, satu kata dan perbuatan, adil dan tidak
membeda bedakan anak baik dari segi usia, jenis kelamin, kelebihan maupun
kekurangananya serta menghargai potensi anak dengan sikap kasih dan saying.
Fenomena kelalain dan penelantaran anak merupakan permasalahan yang sering
terjadi dimasyarakat, anak yang menjadi korban penelantaran sering kurang
memperoleh perhatian publik secara serius karena penderitaan yang dialami
korban

5 Maulana Hasan Wadang. 2003. Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Gramedia
Widiasarana, Jakarta, hlm. 1

6
dianggap tidak dramatis sebagaimana layaknya anak-anak yang teraniaya secara
fisik.6

Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang terbaru

mengenai Perlindungan Anak, mempunyai landasan hukumnya secara yuridis.

Kepedulian Pemerintah Indonesia terhadap harkat dan martabat anak

sudah sejak Tahun 1979 ketika membuat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979

tentang Kesejahteraan Anak. Namun, hingga keluarnya Undang-Undang tentang

Perlindungan Anak dan sampai sekarang kesejahteraan dan pemenuhan hak-hak

anak masih jauh dari apa yang diharapkan, hal tersebut mebuktikan bahwa

sebenarnya masalah kedudukan anak dan kewajiban orang tua terhadap anak ini

telah diatur dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan. Akan tetapi

penelantaran anak masih banyak terjadi.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang

terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengasaraan atau penderitaan

secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk

ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan

secara melawan hukum dan lingkup rumah tangga. Sebagaimana diatur dalam

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak hanya dimotivasi oleh diskriminasi atau

kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga, menurut Undang-Undang

6
Bintania, Aris. 2008. Hak Dan Kedudukan Anak Dalam Keluarga Dan Setelah Terjadinya
Perceraian, Majalah Hukum Islam Volume.VIII Nomor 2 Desember 2008., hlm. 154

6
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Penghapusan Dalam Rumah Tangga (selanjutnya

disebut Undang-Undang KDRT) hal tersebut juga di inspirasi Undang- Undang

Perlindungan Anak mengingat anak dalam keluarga juga memungkinkan sebagai

sasaran yang rentan terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Berdasarkan pembahasan peneliti bermaksud melakukan penelitian untuk

pembuatan skripsi dengan judul : Analisis Pertimbangan Hakim Dalam

Menjatuhkan Putusan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Dalam

Rumah Tangga Yang Dilakukan Orang Tua Terhadap Anak Kandung

(Studi Putusan Nomor 444/Pid.Sus/2020/PN. Tjk).

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan Penelitian

Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan ini dirumuskan sebagai

berikut :

a. Apakah yang menjadi Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana

Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang Dilakukan Orang Tua Terhadap

Anak Kandung (Studi Putusan Nomor 444/Pid.Sus/2020/PN. Tjk) ?

b. Bagaimanakah Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan

Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang

Dilakukan Orang Tua Terhadap Anak Kandung (Studi Putusan Nomor

444/Pid.Sus/2020/PN. Tjk) ?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Berdasarkan uraian pada permasalahan penelitian di atas maka perlu dilakukan

pembatasan pada ruang lingkup penelitian ini adalah :

7
a. Apa yang menjadi Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Kekerasan

Dalam Rumah Tangga Yang Dilakukan Orang Tua Terhadap Anak

Kandung (Studi Putusan Nomor 444/Pid.Sus/2020/PN. Tjk).

b. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Pelaku

Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang Dilakukan Orang

Tua Terhadap Anak Kandung (Studi Putusan Nomor

444/Pid.Sus/2020/PN. Tjk).

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitiaan

Berdasarkan permasalahan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis apa yang menjadi Faktor

Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang

Dilakukan Orang Tua Terhadap Anak Kandung (Studi Putusan Nomor

444/Pid.Sus/2020/PN. Tjk.

b. Untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis Pertimbangan Hakim

Dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kekerasan

Dalam Rumah Tangga Yang Dilakukan Orang Tua Terhadap Anak Kandung

(Studi Putusan Nomor 444/Pid.Sus/2020/PN. Tjk).

2. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan permasalahan diatas, maka kegunaan penelitian ini adalah sebagai

berikut :

8
a. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan penelitian ini dapat berguna sebagai upaya

pengembangan kompetensi penulis dalam rangka pengembangan wawasan

ilmu hukum serta sebagai bahan penyuluhan hukum, dan bahan acuan bagi

para pihak yang berminat dalam pengembangan hukum, khususnya dalam

bidang hukum pidana.

b. Kegunaan Praktis

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan bacaan baru bagi yang

berkepentingan sekaligus sebagai sumbangan pemikiran bagi masyarakat

dan aparat penegak hukum.

2. Sebagai salah satu syarat untuk dapat menyelesaiakan studi dan meraih gelar

Magister Hukum pada Program Studi Magiter Hukum Pasca Sarjana

Universitas Bandar Lampung.

D. Kerangka Pemikiran

1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang suatu aturan hukum, larangan yang

mana disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi barang siapa

melanggar larangan tersebut7.

Menurut Moelyatno unsur-unsur tindak pidana yaitu :

a. Perbuatan (manusia);

b. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil);

7
Moeljatno. 2003. Asas – asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 9

9
c. Bersifat melawan hukum obyektif dan subyektif (syarat materiil);8

Tindak Pidana atau straafbarfeit dalam Kamus Hukum artinya adalah suatu
perbuatan yang merupakan suatu tindak pidana yang dapat dijatuhi hukuman. 9
Tiap-tiap perbuatan pidana harus terdiri atas unsur-unsur lahir, oleh karena itu
perbuatan yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan adalah suatu
kejadian dalam alam lahir. Di samping kelakuan dan akibat untuk adanya
perbuatan pidana, biasanya diperlukan juga adanya hal ihwal atau keadaan tertentu
yang menyertai perbuatan.10

Menurut Van Hamel Strafbaar Feit adalah kelakuan (Menselijke Gedraging)


orang yang dirumuskan dalam WET yang bersifat melawan hukum, yang patut
dipidana (Staff Waardig) dan dilakukan dengan kesalahan. Unsur-unsur tindak
pidana:

a. Perbuatan Manusia
b. Yang dirumuskan dalam Undang-Undang
c. Dilakukan dengan kesalahan
d. Patut dipidana11.

Menurut W.P.J. Pompe pengertian Strafbaar Feit dibedakan antara definisi yang
bersifat teoritis dan yang bersifat Undang-Undang. Menurut Teori : Strafbaar Feit
adalah suatu pelanggaran terhadap norma yang dilakukan karena kesalahan si
pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan
menyelamatkan kesejahteraan umum. Menurut Undang-Undang / Hukum Positif
Strafbaar Feit adalah suatu kejadian (Feit) yang oleh peraturan perundang-
undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.12

2. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004


tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang, yang berakibatkan timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaaan, atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

8
Ibid hlm. 69.
9
J.C.T. Simorangkir, Rudi T. Erwin dan J.T. Prasetyo. 2006. Kamus Hukum, Edisi
Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 161
10
Leden Marpaung. 2005. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Cetakan Keenam, Sinar
Grafika, Jakarta, hlm. 10
11
Ibid, hlm. 61
12
Bambang Purnomo. 1985. Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, hlm. 91

10
Adapun yang termasuk ruang lingkup rumah tangga yaitu Suami, istri, serta anak,

orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga baik karena hubungan darah,

perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwaalian yang menetap dalam rumah

tangga dan/atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam

rumah tangga tersebut selalu berada dalam rumah tangga bersangkutan. Adapun

bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga antara lain, sebagaimana diatur

dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004.

a. Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh


sakit atau luka berat (Pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004).
b. Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakuan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa
tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Pasal 7
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004).
c. Kekerasan seksual ( Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004)
1) Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam rumah tangga;
2) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam linkup
rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau
tujuan tertentu;
d. Penelantaran rumah tangga adalah perbuatan setiap orang yang;
1) Menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal
menurut hukum yang berlaku dia wajib memberikan kehidupan, perawatan,
atau pendidikan kepada orang tersebut (Pasal 9 ayat 1 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004)
2) Termasuk perbuatan penelantaran rumah tangga adalah perbuatan
setiap
orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomis dengan cara
membatasi dan /atau melarang mereka bekerja layak dalam atau diluar
rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang (Pasal 9 ayat 2
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004).

3. Teori Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana

Perkembangan ilmu kriminologi bahwa pembahasan mengenai sebab-sebab

kejahatan secara sistematis merupkan hal baru, meskipun sebenarnya hal tersebut

11
telah dibahas oleh banyak ahli kriminologi. Di dalam kriminologi dikenal beberapa

teori yaitu :

1. Teori yang menjelaskan dari perspektif biologis dan psikologis

Para tokoh biologis dan psikologis tertarik pada perbedaan-perbedaan yang


terdapat pada individu. Para tokoh psikologis mempertimbangkan suatu
variasi dari kemungkinan-cacat dalam kesadaran, ketidakmatangan emosi,
sosialisasi yang tidak memadai di masa kecil, kehilangan hubungan dengan
ibu, perkembangan moral yang lemah. Mereka mengkaji bagaimana agresi
dipelajari, situasi apa yang mendorong kekerasan atau reksi delinkuen,
bagaimana kejahatan berhubungan dengan faktor kepribadian serta asosiasi
antara beberapa kerusakan mental dan kejahatan.13

a. Teori Psikoanalisa, Sigmund Freud (1856-1939)

Teori psikoanalisa tentang kriminalitas menghubungkan delinquent dan


prilaku kriminal dengan suatu “conscience” (hati nurani) yang baik dia begitu
menguasai sehingga menimbulkan perasaan bersalah atau ia begitu lemah
sehingga tidak dapat mengontrol dorongan-dorongan individu dan bagi suatu
kebutuhan yang harus dipenuhi segera. Sigmund freud, penemu dari
psychoanalysis, berpendapat bahwa kriminalitas mungkin hasil dari “an
overactive conscience” yang menghasilkan perasaan bersalah yang berlebih.
Freud menyebut bahwa mereka yang mengalami perasaan bersalah yang tak
tertahankan akan melakukan kejahatan dengan tujuan agar ditangkap dan
dihukum. Begitu mereka di hukum maka perasaan bersalah mereka akan reda.
Seseorang melakukan perbuatan bersalah karena hati nurani atau superego-
nya begitu lemah atau tidak sempurna sehingga ego-nya tidak mampu
mengontrol dorongan-dorongan dari id (bagian dari kepribadian yang
mengandung keinginan dan dorongan yang kuat untuk dipuaskan dan
dipenuhi).

b. Social Learning Theory

Albert Bandura (Observational Learning) berpendapat bahwa individu


mempelajari kekerasan dan agresi melalui behavioral modeling: anak belajar
bagaimana bertingkah laku melalui peniruan tingkah laku orang lain. jadi
tingkah laku secara sosial di trasmisikan melalui contoh-contoh yang terutama
datang dari keluarga, sub-budaya dan media massa.

2. Teori-teori yang menjelaskan kejahatan dari perspektif sosiologi

Berbeda dengan teori-teori tersebut di atas, teori-teori sosiologis mencari


alasanalasan perbedaan dalam hal angka kejahatan didalam lingkungan sosial.
Objek utama sosiologi kriminal adalah mempelajari masyarakat dengan
anggotanya antara kelompok baik karena hubungan tempat atau etnis
13
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa. 2014. Kriminologi, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hlm. 35

12
dengan anggotanya antara kelompok dengan kelompok sepanjang hubungan
itu dapat menimbulkan kejahatan. Terjadinya suatu kejahatan sangatlah
berhubungan dengan kemiskinan, pendidikan, pengangguran dan faktor-
faktor sosial ekonomi lainnya. Utamanya pada Negara-negara berkembang,
dimana pelanggaran norma dilatarbelakangi oleh hal-hal tersebut. Disamping
faktor ekonomi, faktor yang berperan dalam menyebabkan kejahatan adalah
faktor pendidikan yang dapat juga bermakna.14

a. Anomie: Emile Durkheim

Suatu cara dalam mempelajari suatu masyarakat adalah dengan melihat pada
bagian-bagian komponennya dalam usaha mengetahui bagaimana masing-
masing berhubungan satu sama lain. Dengan kata lain, kita melihat kepada
struktur dari suatu masyarakat guna melihat bagaimana ia berfungsi. Jika
masyarakat itu stabil, Bagian-bagiannya beroperasi secara lancar, susunan-
susunan sosial berfungsi. Masyarakat seperti itu ditandai dengan kepaduan,
kerjasama, dan kesepakatan. Namun jika bagian-bagian komponennya tertata
dalam satu keadaan yang membahayakan keteraturan/ketertiban sosial,
susunan masyarakat itu tidak berfungsi.

b. Strain Theory Robert K. Merton

Seperti halnya Durkheim, Robert K. Merton mengaitkan masalah kejahatan


dengan anomie, tetapi konsep Merton tentang anomie agak berbeda dengan
konsepsi anomie dari Durkheim. Masalah sesungguhnya, menurut Merton
tidak diciptakan oleh sudden social change (perubahan sosial yang cepat)
tetapi oleh social structure (struktur sosial) yang menawarkan tujuan-tujuan
yang sama untuk semua anggotanya tanpa memberi sarana yang merata untuk
mencapainya. Kekurangpaduan antara apa yang diminta oleh budaya (yang
mendorong kesuksesan) dengan apa yang diperbolehkan oleh struktur (yang
mencegahnya memperoleh kesuksesan), dapat menyebabkan norma-norma
runtuh karena tidak lagi efektif untuk membimbing tingkah laku. Menurut
Merton, didalam suatu masyarakat yang berorientasi kelas kesempatan untuk
menjadi yang teratas tidaklah dibagikan secara merata. Sangat sedikit anggota
kelas bawah yang mencapainya. Sarana harus ada bagi setiap individu guna
mencapai tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Berdasarkan perspektif tersebut,
struktur sosial merupakan akar dari masalah kejahatan. Strain theory ini
berasumsi bahwa orang itu taat hukum, tetapi dibawah tekanan besar mereka
akan melakukan kejahatan, disparitas antara tujuan dan sarana inilah yang
memberikan tekanan tadi.15

Menurut J.E Sahetapy faktor penyebab tindak pidana adalah pendekatan sobural,
yaitu akronim dari nilai-nilai sosial, aspek budaya, dan faktor struktur yang
merupakan elemen-elemen yang terdapat dalam setiap masyarakat. Aspek budaya
dan faktor struktural merupakan dua elemen yang saling berpengaruh dalam
14
Ibid, hlm. 54-56
15
Ibid, hlm. 59

13
masyarakat. Oleh karena itu, kedua elemen tersebut bersifat dinamis sesuai
dengan dinamisasi dalam masyarakat yang bersangkutan. Ini berarti, kedua
elemen tersebut tidak dapat dihindari dari adanya pengaruh luar seperti ilmu
pengetahuan dan teknologi dan sebagainya. Kedua elemen yang saling
mempengaruhi nilai-nilai sosial yang terdapat dalam masyarakat. Dengan
demikian, maka nilai-nilai sosial pun akan bersifat dinamis sesuai dengan
perkembangan aspek budaya dan faktor struktural dalam masyarakat yang
bersangkutan.16

4. Teori Sistem Peradilan Pidana

Istilah sistem peradilan pidana (criminal justice system) menunjukan mekanisme

kerja dalam penanggulangan kejahatan yang menggunakan dasar pendekatan

sistem. Pendekatan sistem adalah pendekatan yang menggunakan segenap unsur

yang terlibat di dalamnya sebagai suatu kesatuan dan saling berhubungan

(interelasi) dan saling mempengaruhi satu sama lain. Melalui pendekatan ini

Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan merupakan

unsur penting dan berkaitan satu sama lain.17

Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu sistem pada dasarnya merupakan suatu

open system. Open system merupakan suatu sistem yang di dalam gerakan

mencapai tujuan baik tujuan jangka pendek (resosialisasi), jangka menegah

(pencegahan kejahatan) maupun jangka panjang (kesejahteraan sosial) sangat

dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan bidang-bidang kehidupan manusia,

maka sistem peradlian pidana dalam geraknya akan selalu mengalami interface

(interaksi, interkoneksi, interdependensi) dengan lingkungannya dalam peringkat -

peringkat, masyarakat, ekonomi, politik, pendidikan dan teknologi, serta subsistem

16
JE Sahetapy. 1992. Paradoks dalam Kriminologi, Jakarta, hlm. 3.
17
. Rusli Muhammad. 2011. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, UII Press, Yogyakarta,
hlm. 13

14
subsistem dari sistem peradilan pidana itu sendiri (subsystem of criminal justice

system).18

Pengertian Sistem Peradilan Pidana menurut beberapa ahli, diantaranya:

a. Mardjono Reksodiputro

Sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri

dari lembaga–lembaga kepolisian. Kejaksaan, pengadilan dan


19
permasyarakatan terpidana. Dikemukakan pula bahwa sistem peradilan

pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat

untuk menanggulangi kejahatan.20

Menanggulangi diartikan sebagai mengendalikan kejahatan agar berada

dalam batas-batas toleransi masyarakat. Pengendalian kejahatan agar

masih dalam batas toleransi masyarakat tidak berarti memberikan toleransi

terhadap suatu tindak kejahatan tertentu atau membiarkannya untuk

terjadi. Toleransi tersebut sebagai suatu kesadaran bahwa kejahatan akan

tetap ada selama masih ada manusia di dalam masyarakat. Jadi, dimana ada

masyarakat pasti tetap akan ada kejahatan.

b. Muladi

Sistem Peradilan Pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan

yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum

pidana

18
. Ibid, hlm. 15
19
. Mardjono Reksodiputro. 1993. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada
Kejahatan Dan Penegakan Hukum Dalam Batas–Batas Toleransi), Fakultas Hukum Unversitas
Indonesia, Jakarta, hlm. 1
15
20
Romli Atmasasmita. 1996. Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System)
Perspektif Eksistensialisme Dan Abolisionalisme, Bina Cipta, Jakarta, hlm. 15

16
materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana.21

Namun demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam

kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila

dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa

kepada ketidakadilan.22

c. Remington dan Ohlin

Mengartikan sistem peradilan pidana sebagai pemakaian pendekatan

sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana dan peradilan

pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan

perundang- undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku

sosial.23

Adapun tujuan sistem peradilan pidana menurut Mardjono Reksodiputro adalah :

a. Mencegah masyarakat menjadi objek/korban.


b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakan dan yang bersalah dipidana.
c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatannya.24

E. Pengertian Dan Dasar Hukum Tindak Pidana Penganiayaan

Secara umum tindak pidana terhadap tubuh dalam KUHP disebut penganiayaan.
Dari segi tata bahasa, penganiayaan adalah suatu kata jadian atau kata sifat yang
berasal dari kata dasar ”aniaya” yang mendapat awalan “pe” dan akhiran “an”
sedangkan penganiayaan itu sendiri berasal dari kata benda yang berasal dari kata
aniaya yang menunjukkan subyek atau pelaku penganiayaan itu.25

M.H.Tirtaamidjaja membuat pengertian “penganiayaan” sebagai berikut.


“menganiaya” ialah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain.

16
21
. Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang, hlm. 18
22
. Ibid, hlm. 4
23
. Ibid, hlm. 14
24
. Romli Atmasasmita, Op-cit, hlm. 15
25
. Muladi, Op.cit, hlm. 20

16
Akan tetapi suatu perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain
tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk
26
menjaga keselamatan badan.

Tindak Pidana penganiayaan adalah kejahatan yang dilakukan terhadap tubuh

dalam segala perbuatan-perbuatannya sehingga menjadikan luka atau rasa sakit

pada tubuh bahkan sampai menimbulkan kematian. Penganiayaaan dimuat dalam

BAB XX II, Pasal 351s/d Pasal 355 adalah sebagai berikut :

1. Penganiayaan Biasa Pasal 351 KUHP :

Pasal 351 KUHP mengenai Penganiayaan biasa merumuskan sebagai berikut:


a. Penganiayaan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah.
b. Jika perbuatan itu menyebabkan luka-luka berat, yang bersalah dipidana
dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
c. Jika mengakibatkan mati, dipidana dengan pidana penjara paling lama
tujuh tahun.
d. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
e. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak di pidana.

2. Penganiayaan Ringan Pasal 352 KUHP :


Penganiayaan yang merupakan suatu tindakan yang melawan hukum. Disebut
penganiayaan ringan karena penganiayaan ini tidak menyebabkan luka atau
penyakit dan tidak menyebabkan si korban tidak bisa menjalankan aktivitas
sehari- harinya. Tindak pidana penganiayaan ringan diatur dalam Pasal 352
KUHP sebagai berikut :
a. Kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 dan Pasal 356, maka penganiayaan
yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau pencaharian, dipidana sebagai penganiayaan ringan,
dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang
yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya atau
menjadi bawahannya.
b. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. Melihat Pasal
352 KUHP ayat (2) bahwa “percobaan melakukan kejahatan itu
(penganiayaan ringan) tidak dapat di pidana” meskipun dalam
pengertiannya menurut para ahli hukum, percobaan adalah menuju kesuatu
hal,tetapi tidak sampai pada sesuatu hal yang di tuju, atau hendak berbuat
sesuatu dan sudah dimulai akan tetapi tidak sampai selesai. Disini yang
dimaksud adalah percobaan untuk melakukan kejahatan yang bisa
membahayakan orang lain dan yang

17
26
Leden Marpaung. 2002. Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh (Pemberantas dan
Prevensinya), Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 5

18
telah diatur dalam Pasal 53 ayat (1). Sedangkan percobaan yang ada dalam
penganiayaan ini tidak akan membahayakan orang lain.

3. Penganiyaan Berencana Pasal 353 KUHP :

Pasal 353 KUHP mengenai penganiayaan berencana merumuskan sebagai

berikut :

a. Penganiayaan dengan berencana lebih dulu, di pidana dengan pidana


penjara paling lama empat tahun.
b. Jika perbuatan itu menimbulkan luka-luka berat, yang bersalah di pidana
dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
c. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah di pidana
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

4. Penganiayaan Berat Pasal 354 KUHP :

Penganiayaan berat dirumuskan dalam Pasal 354 KUHP yang rumusannya adalah
sebagai berikut :
a. Siapa sengaja melukai berat orang lain, dipidana kerena melakukan
penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.
b. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah di pidana
dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.

5. Penganiayaan Berat Berencana Pasal 355 KUHP :

Penganiayaan berat berencana, dimuat dalam Pasal 355 KUHP yang rumusannya
adalah sebagai berikut :
a. Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu,
dipidana dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
b. Jika perbuatan itu menimbulkan kematian yang bersalah di pidana dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Penganiayan berat (zwar lichamelijk letsel toebrengt) atau dapat disebut juga

menjadikan berat pada tubuh orang lain haruslah dilakukan dengan sengaja.

Kesengajaan itu harus mengenai ketiga unsur dari tindak pidana yaitu, pebuatan

yang dilarang, akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larang itu dan bahwa

perbuatan itu melanggar hukum.

F. Teori Pertimbangan Hakim

Menurut Moeljatno dalam bukunya A. Rivai bahwa proses atau tahapan


penjatuhan putusan oleh hakim dalam memutuskan perkara pidana, dilakukan
19
dalam beberapa
tahap, yaitu :

1. Tahap Menganalisis Perbuatan Pidana Pada saat hakim menganalisis, apakah


terdakwa melakukan perbuatan pidana atau tidak, yang dipandang primer
adalah segi masyarakat, yaitu perbuatan tersebut sebagai dalam rumusan
suatu aturan pidana.
2. Tahap Menganalisis Tanggungjawab Pidana Jika seorang terdakwa
dinyatakan terbukti melakukan perbuatan pidana melanggar suatu Pasal
tertentu, hakim menganalisis apakah terdakwa dapat dinyatakan bertanggung
jawab atas perbuatan pidana yang dilakukannya.
3. Tahap Penentuan Pemidanaan Hakim akan menjatuhkan pidana bila unsur-
unsur telah terpenuhi dengan melihat Pasal Undang-Undang yang dilanggar
oleh Pelaku. Dengan dijatuhkannya pidana, Pelaku sudah jelas sebagai
Terdakwa. 27

Seorang Hakim dalam memutus suatu perkara di dalamnya ada beberapa teori

yang digunakan oleh Hakim tersebut. Menurut Mackenzie dalam bukunya A.

Rivai, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh Hakim

dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai

berikut:

1. Teori Keseimbangan yang dimaksud dengan keseimbangan disini adalah


keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan
kepentingan pihakpihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara.

2. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi Pejatuhan putusan oleh hakim merupakan
diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan
putusan, hakim akan menyesuaikan dengan keadaan dan hukuman yang wajar
bagi setiap pelaku tindak pidana atau dalam perkara perdata, hakim akan
melihat keadaan pihak yang berperkara, yaitu penggugat dan tergugat, dalam
perkara perdata, pihak terdakwa atau Penuntut Umum dalam perkara pidana.
Penjatuhan putusan, hakim mempergunakan pendekatan seni, lebih ditentukan
oleh instink atau intuisi daripada pengetahuan dari hakim.

3. Teori Pendekatan Keilmuwan Titik tolak dari ilmu ini adalah pemikiran
bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh
kehati- hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu
dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim.

4. Teori Pendekatan Pengalaman Pengalaman dari seorang hakim merupakan


hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang
dihadapinya sehari-hari.

20
27 Ahmad Rifai. 2005, Penemuan Hukum Oleh Hakim, Sinar Grafika, Yogyakarta, hlm.
96

21
5. Teori Ratio Decindendi. Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang
mendasar yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan
pokok perkara yang disengketakan kemudian mencari peraturan perundang-
undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai
dasar hukum dalam penjatuhan putusan serta pertimbangan hakim harus
didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan
memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.

6. Teori Kebijaksanaan Aspek teori ini menekankan bahwa pemerintah,


masyarakat, keluarga dan orang tua ikut bertanggung jawab untuk
membimbing, membina, mendidik dan melindungi terdakwa, agar kelak dapat
menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan bangsanya28

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan Masalah

a. Pendekatan Yuridis Normatif

Pedekatan dengan melihat hukum sebagai kaidah yang dianggap sesuai

dengan penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif ini

dilakukan studi pepustakaan (library research) terhadap hal-hal yang

bersifat teoritis yaitu suatu pendekatan yang dilakukan dengan

mempelajari asas-asas hukum dalam teori/ pendapat sarjana dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

b. Pendekatan Empiris

Pendekatan yang dilakukan dengan cara melihat dan mengamati secara

langsung terhdap objek penelitian mengenai Pertimbangan Hakim Dalam

Menjatuhkan Putusan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Dalam

Rumah Tangga Yang Di Lakukan Orang Tua Terhadap Anak Kandung

(Studi Putusan No.444/Pid.Sus/2020/PN. Tjk).

28
Ibid, hlm.102

20
2. Sumber dan Jenis data

a. Sumber Data

Dalam melakukan penelitian ini, diperlukan data yang bersumber dari

literatur-literatur, kamus hukum, surat kabar, media cetak dan media

elektronik dan hasil penelitian dilapangan secara langsung.

b. Jenis Data

Jenis data pokok yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah :

1) Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan

(library research) seperti buku-buku literatur dan karya ilmiah yang

berkaitan dengan permasalahan penelitian, data sekunder terdiri dari 3

(tiga) data hukum, yaitu :

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum hukum yang mengikat,

seperti:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(Hasil Amandemen);

2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo. Undang Undang

Nomor 73 Tahun1958 Tentang Pemberlakuan Kitab Undang

Undang Hukum Pidana (KUHP);

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981

Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;

4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak;

5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga;

21
6. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak;

7. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 jo Peraturan

Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 jo Peraturan Pemerintah

Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Pelaksanaan Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);

8. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor

6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan

terhadap bahan hukum primer seperti buku-buku bacaan, tulisan-tulisan

ilmiah dan hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan masalah yang

diteliti, jurnal hukum dan lain-lain.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberi petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan-bahan hukum sekunder dan primer seperti

Rancangan Undang-Undang (RUU), Kamus Hukum seperti Black Law

Dictionary, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, dan Ensiklopedia.

2) Data Primer adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan

secara langsung pada objek penelitian (field research) yang dilakukan

dengan cara observasi dan wawancara secara langsung mengenai Analisis

Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Pelaku

Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang Di Lakukan Orang

Tua Terhadap Anak Kandung (Studi Putusan No.444/Pid.Sus/2020/PN.

Tjk).

22
3. Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data

a. Prosedur Pengumpulan Data

1) Prosedur Pengumpulan Data Skunder

Data penelitian ini, prosedur pengumpulan data dilakukan dengan Studi Pustaka

dan Studi Dokumen serta Wawancara.

1) Studi Kepustakaan (library research)

Mencari dan mengumpulkan bahan-bahan teoritis dengan cara

mempelajari melalui studi literatur dan Ketentuan Perundang-undangan

yang mempunyai hubungan dengan permasalahan yang dibahas.

2) Studi Lapangan (field research)

Pengumpulan data lapangan (field research) dilakukan dengan 2 (dua) cara

yaitu :

a. Pengamatan ( Observation)

Pengumpulan data secara langsung terhadap objek penelitian untuk

memperoleh data yang valid dengan melakukan pengamatan langsung

sesuai dengan permasalahan di Polresta Bandar Lampung, Kejaksaan

Negeri Bandar Lampung, dan Pengadilan Negeri Tanjung Karang.

b. Wawancara (Interview)

Pengumpulan dengan cara melakukan wawancara secara langsung

dengan alat bantu daftar pertanyaan yang bersifat terbuka, terhadap

narasumber yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.

Wawancara dilakukan terhadap:

23
1. Penyidik Unit PPA Polresta Bandar Lampung : 1 Orang

2. Jaksa Penuntut Umum Pada Kejaksaan Negeri : 1 Orang

Bandar Lampung

3. Hakim Pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 1 Orang +

Jumlah 3 Orang

B. Prosedur Pengolahan Data

Setelah data sekunder dan data primer diperoleh, selanjutnya diolah dengan

menggunakan tahap-tahap sebagai berikut:

1) Klasifikasi data, yaitu mengoreksi apakah data yang terkumpul sudah

cukup lengkap, sudah benar dan sudah sesuai/ relevan dengan masalah.

2) Inventarisasi data, yaitu menyusun ulang data secara teratur, berurutan,

logis sehingga mudah dipahami dan diintepretasikan.

3) Sistematisasi data, yaitu menempatkan data menurut kerangka sistematika

bahasan berdasarkan urutan masalah.

4. Analisis Data

Apabila semua data sekunder telah didapatkan melalui studi pustaka (library

research), studi dokumen (document research) serta data pendukung yang

diperoleh dari hasil wawancara, selanjutnya dilakukan analisis data dengan

menggunakan analisis yuridis kualitatif dengan cara menafsirkan, serta

memperhatikan sinkronisasi antara ketentuan peraturan hukum yang satu dengan

ketentuan peraturan hukum yang lain, selanjutnya di analisis tersebut

24
memperhatikan hierarki Peraturan Perundang-undangan yang kemudian diuraikan

dalam kalimat perkalimat, dari pokok masalah yang ada dan disusun secara

sistematis. Kemudian hasil analisis data tersebut dimuka perbaikan

keadaan dalam bentuk kesimpulan yang bersifat deduktif yang merupakan

jawaban dari permasalahan berdasarkan hasil penelitian.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan tesis ini disesuaikan dengan format yang telah ditentukan

oleh program studi ilmu hukum di Magister Hukum Pasca Sarjana Universitas

Bandar Lampung, dengan urutan sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan, Bab ini berisi latar belakang masalah, permasalahan dan

ruang lingkup penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka konsepsional

dan sistematika penulisan.

Bab II Konsepsi Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di

Indonesia, Bab ini berisi tentang Pengertian Tindak Pidana, Pertanggungjawaban

Pidana, Pengertian dan Dasar Hukum Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Faktor

Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Hak dan Perlindungan

Hukum Terhadap Anak, Teori Petimbangan Hakim, serta Sistem Peradilan

Pidana.

Bab III Gambaran Umum Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjungkarang, Bab

ini berisi tentang Tugas dan Fungsi Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjung Karang,

Struktur Organisasi Pengadilan Negeri Tanjung Karang, serta Gambaran Umum

Putusan Nomor : 444/Pid.Sus/2020/PN. Tjk.

25
Bab IV Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan

Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang Di

Lakukan Orang Tua Terhadap Anak Kandung (Studi Putusan Nomor

444/Pid.Sus/2020/PN. Tjk). Bab ini berisi Faktor Penyebab Terjadinya Tindak

Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang Dilakukan Orang Tua Terhadap

Anak Kandung (Studi Putusan Nomor 444/Pid.Sus/2020/PN. Tjk, Pertimbangan

Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kekerasan

Dalam Rumah Tangga Yang Dilakukan Orang Tua Terhadap Anak Kandung

(Studi Putusan No.444/Pid.Sus/2020/PN. Tjk)

Bab V Penutup Bab ini berisi kesimpulan penelitian sebagai jawaban

permasalahan dan saran-saran yang diajukan kepada berbagai pihak yang

berkaitan dengan penelitian demi perbaikan di masa mendatang.

26

Anda mungkin juga menyukai