Anda di halaman 1dari 28

AKIBAT PERCERAIAN PADA HAK ASUH ANAK, WARIS, DAN

PENDIDIKAN ANAK

LAPORAN PRAKTIK PERADILAN AGAMA

DI PENGADILAN AGAMA KABUPATEN MALANG

KOORDINATOR TEMPAT PRAKTIK: _________________________

DOSEN PEMBIMBING: Dr. Mahir Amin, M.Fil.I

NAMA KELOMPOK:

1. Amri Hikari NIM C93218065

2. Achmad Imaduddin NIM C02218003

3. Varul Efandi NIM C72218102

4. Alif Ahmad Maulana NIM C02218006

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SUNAN AMPEL SURABAYA

2021
PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING LAPANGAN

Dengan ini kami menyatakan bahwa laporan Praktik Peradilan


Agama di Pengadilan Agama kabupaten malang kelas 1 A yang bertempat
di kabupaten malang, yang Berjudul AKIBAT PERCERAIAN PADA HAK
ASUH ANAK, WARIS, DAN PENDIDIKAN ANAK dinyatakan telah
memenuhi syarat untuk diserahkan ke fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Sunan Ampel Surabaya.

Dosen Pembimbing Lapangan

Dr. Mahir Amin, M.Fil.I

NIP. 197212042007011027
AKIBAT PERCERAIAN PADA HAK ASUH ANAK, WARIS, DAN
PENDIDIKAN ANAK

Oleh: Amri Hikari (C93218065), Achmad Imaduddin (C02218003), Varul Efandi


(C72218102), Alif Ahmad Maulana (C02218006)

Abstrak

Anak adalah suatu hal yang sangat didambakan oleh semua pasangan pernikahan, pada
dasarnya seorang anak adalah seseorang yang dapat dinyatakan secara sah dan benar melalui
nasapnya. Pendidikan karakter seorang anak juga ditentukan oleh keadaan keluarganya
karena Pendidikan berbasis keluarga adalah Pendidikan paling utama dalam mendidik
karakter dan sikap sang anak. Begitu juga dengan hak warisnya yang harus disesuaikan
dengan nasapnya sendiri yang menajdi tumpuan dari pembagian waris sesuai dengan aturan.
Dikarenakan hal ini maka kelurga adalah hal yang penting, lalu jika keadaan dalam keadaan
yang kurang baik atau broken home yang disebabkan oleh perceraikan akan membuat kurang
maksimal dari setiap bagian dari anak itu sendiri

Pendahuluan

Status hak asuh anak yang terjadi akibat perceraian adalah suatu hal yang menajdi
momok selama ini bagi pasangan yang sudah melakukan cerai, mantan suami dan mantan
istri sama-sama memperebutkan tentang siapa yang berhak untuk mengasuh anak hasil
dari perkawinan mereka berdua yang pernah terjadi dahulu.
Dalam perihal hak asuh anak ini, kedua mantan pasangan ini sama-sama bersikukuh
bahwasannya dirinya berhak dan pantas dalam mengasuh anaknya tampa sadar atas
kemampuan baik dari segi kemampuan dirinya untuk membimbing sang anak dari segi
Pendidikan formal, Pendidikan kepribadian, Pendidikan agama, dan juga Pendidikan
karakter. Yang mana hal ini yang menjadi momok terbesar bagi perkara hak asuh anak ini
Perihal kemampuan orang tua dalam mendidik anak ini adalah hal utama yang harus
dipikirkan sebelum meminta haknya dalam mengasuh anak-anak hasil pernikahan mereka
ini. banyak kasus yang terjadi di dunia nyata, yang mana anak dari orang tua yang broken
home atau bisa disebut juga dengan orang tua yang sudah bercerai mengalami kerusakan
pisikis akhirnya berakibat fatal kepada dunia sosialnya.
Atas hal ini juga banyak anak yang akhirnya jatuh kedalam dunia gelap yaitu
criminalitas, narkoba, dan hal buruk lainnya. Maka dari hal ini dapat dikatakan
bahwasannya anak-anak yang berasal dari keluarga yang broken home atau disebut juga
dengan orang tua yang sudah cerai merupakan salah satu dampak paling besar dari orang
yang melakukan Tindakan kejahatan.
Dalam hal ini kita juga harus tau, bahwasannya anak adalah generasi penerus dari
estafet kepemimpinana bangs aini. Atas dasar ini lah seharusnya perihal Pendidikan
berbasi keluarga sang anak harus diperhatikan secara menyeluruh, dikarenakan yang
membentuk pola piker dan pola sikap anak pada dunia soasilnhya adalah dari kelurga
yang menjadi contoh paling utama bagi pertumubuhan sang anak, dalam hal ini yang
menjadi titik tumpu dalam Pendidikan berbasis keluarga adalah kedua orang tua sang anak
Dengan kata lain bahwa anak merupakan tunas, potensi, dan generasi muda pewaris
cita-cita perjuangan bangsa, mempunyai andil strategis dan memiliki ciri dan sifat khusus
yang menanggung keberlangsungan keberadaan suatu bangsa dan negara pada masa yang
akan datang. Oleh sebab itu agar anak-anak pada masa yang akan datang sanggup
memikul tanggung jawab tersebut, maka mereka harus memperoleh kesempatan yang
sebanyak-banyaknya agar tumbuh dan berkembang secara optimal, baik mental, fisik,
sosial, dan berakhlak baik, harus dilaksanakan upaya perlindungan demi untuk
menciptakan kesejahteraan bagi anak dengan perlakuan tanpa diskriminasi serta adanya
memberikan perlindungan kepada pemenuhan hak-haknya.1
Dari penjelasan di atas, bisa dilihat bahwa pembuat undang-undang (DPR dan
Pemerintah) mempunyai politik hukum yang responsif terhadap perlindungan anak. Anak
diletkakan pada tempat yang mulia sebagai amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang
mempunyai peran strategis untuk menjamin kelanjutan eksistensi bangsa ini. Lewat UU
No. 35tahun 2014 tersebut, telah dilindungi jaminan hak anak, dengan dibentuknya
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang mempunyai tanggung jawab agar
perlindungan anak berjalan dengan efektif.
Pada dasarnya status hak asuh anak juga akan berefek pada hak waris sang anak yang
apabila terjadi salah satu dari orang tua ini mengalami nikah Kembali dengan orang lain
dan mempunyai anak juga baik kandung maupun tiri akan menjadi suatu permasalahan
siapa yang nantinya akan berhak dalam permasalahan waris anak tersebut.
Rumusan masalah

1. Status anak
2. Pendidikan berbasis keluarga
3. Status waris anak dari hukum positif dan islam

Pembahasan

A. Status Anak
Definisi anak dalam bahasa adalah keturunan kedua dari hasil antara hubungan suami
dan istri. Dalam konsideran Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan

1 Ibid, hlm. 8.
anak, menyatakan bahwa anak adalah amanah dan karuni Tuhan Yang Maha Esa, yang
dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya2.
Dengan kata lain bahwa anak merupakan tunas, potensi, dan generasi muda pewaris
cita-cita perjuangan bangsa, mempunyai andil strategis dan memiliki ciri dan sifat khusus
yang menanggung keberlangsungan keberadaan suatu bangsa dan negara pada masa yang
akan datang. Oleh sebab itu agar anak-anak pada masa yang akan datang sanggup
memikul tanggung jawab tersebut, maka mereka harus memperoleh kesempatan yang
sebanyak-banyaknya agar tumbuh dan berkembang secara optimal, baik mental, fisik,
sosial, dan berakhlak baik, harus dilaksanakan upaya perlindungan demi untuk
menciptakan kesejahteraan bagi anak dengan perlakuan tanpa diskriminasi serta adanya
memberikan perlindungan kepada pemenuhan hak-haknya.3
Dari penjelasan di atas, bisa dilihat bahwa pembuat undang-undang (DPR dan
Pemerintah) mempunyai politik hukum yang responsif terhadap perlindungan anak. Anak
diletkakan pada tempat yang mulia sebagai amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang
mempunyai peran strategis untuk menjamin kelanjutan eksistensi bangsa ini. Lewat UU
No. 35tahun 2014 tersebut, telah dilindungi jaminan hak anak, dengan dibentuknya
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang mempunyai tanggung jawab agar
perlindungan anak berjalan dengan efektif.
Selain itu, berpedoman kepada Konvensi PBB tentang Hak Anak (convention on the
Right of the Child), maka definisi anak: “Anak berarti setiap manusia di bawah umur 18
tahun, kecuali menurut undang-undang yang belraku pada anak, kedewasaan dicapai lebih
awal”. Untuk itu, UU No.35 Tahun 2014 tentang perlindungan Anak memberikan definisi
anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan.Hadi Supeno berpendapat bahwa seharusnya UU Perlindungan
Anak setelah dibentuk yang pada strata hukum dikategorikan sebagai lex specialist, semua
ketetapan lainnya mengenai pengertian anak mesti disepadankan, termasuk yang
berhubungan dengan pemenuhan hak anak serta kebijakan yang diciptakan.3
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin danmelindungi anak dan
hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembangdan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat danmartabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dandiskriminasi.4Anak yang termasuk golongan muda membutuhkan

2 M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 8.
3
Ibid, hlm. 8.
3 Ibid, hlm 10.
4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, Pasal 1 Ayat 2
hakhaknya untuk dilindungi. Seperti yang diketahui manusia ialah pendukung hak sejak
lahir, dan dalam hak itu memiliki hak yang bersifat mutlak sehingga harus dilindungi dan
dijaga oleh manusia. Hak yang demikian itu tidak terkecuali juga dimiliki oleh anak,
namun anak memiliki hak-hak khusus yang ditimbulkan oleh kebutuhan-kebutuhan
khusus akibat keterbatasan kemampuan sebagai anak. kekurangan itu yang itu
membangunkan dunia bahwa diperlukannya perlindungan terhadap hak anak untuk
membuat masa depan kemanusiaan yang lebih baik.5
Selanjutnya, dengan terpenuhi haknya, setiap anak tidak dapat melakukan sendiri
dikarenakan masih keterbatasannya kemampuan dan pengalamannya. Orang dewasa,
khususnya orang tua memegang peranan penting dalam memenuhi hak-hak anak.6
Konstitusi Indonesia, UUD 1945 sebagai norma hukum teringgi telah menjelaskan
bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Dengan dikaitkan hak anak
tersebut dalam batang tubuh konstitusi, maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan dan
perlindungan hak anak ialah hal penting yang harus dijelaskan lebih lanjut dan dilakukan
dalam kenyataan sehari-hari.
Sejak seorang anak dilahirkan dalam Islam, telah memilki hak-hak dari kedua orang
tuanya antara lain:
1) Hak Nasab
Hak anak yang terpenting dari ayah adalah kepastian mengenai nasab, sebagai
buah perkawinan antara ibu-bapaknya. Nasab dapat diperoleh dengan cara sebagai
berikut:
a) Karena Perkawinan
Perkawinan merupakan jalan yang dibenarkan oleh Allah, untuk menetapkan
nasab, apabila syarat-syarat kehamilan perempuan itu telah terpenuhi, yaitu si
anak dilahirkan dalam masa tertentu. Dalam hal ini, Islam telah memberikan
batasan minimal kehamilan yaitu 6 bulan terhitung dari masa penetapan
perkawinan yang syah.
b) Karena Pengakuan

5 Solehuddin, Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak yang Bekerja di Bidang
Konstruksi (Studi di Proyek Pembangunan CV. Karya Sejati Kabupaten Sampang), Jurnal Universitas
Brawijaya, Malang, 2013, hlm. 5.
6 M.Nasir Djamil, Op. Cit., hlm 12
Pengakuan yang dimaksudkan di sini adalah pengakuan yang diberikan oleh
ayah kepada anaknya, ketika sebelumnya ia tidak mengakui si anak adalah
keturunannya. Menurut ahli fiqih ada dua jenis pengakuan:7
c) Karena Pembuktian
Apabila seorang anak, nasabnya tidak dapat ditetapkan dengan akad
perkawinan dan pengakuan, karena syarat-syarat tidak lengkap, maka nasab
anak boleh ditetapkan dengan cara pembuktian.
2) Hak Susuan
Sejak dilahirkan seorang anak telah memiliki hak perlindungan, pemeliharaan dan
pendidikan. Diantara proses pemeliharaan itu salah satunya adalah penyusuan. 14
Orang tua, yang dalam hal ini menunjuk ibu, berkewajiban memberikan
penyusuan pada anak, bagaimanapun caranya, secara langsung atau melalui ibu
susu sewaan.
3) Hak Pemeliharaan
Memberikan pendidikan dan memenuhi seluruh keperluan anak termasuk dalam
pemeliharan anak. Oleh sebab itu, syara’ memperhatikan apa yang sekiranya lebih
layak dan bermanfaat bagi anak kecil.Mengenai lama jangka waktu maksimal
pemeliharaan, alQur‟an tidak memberikan batasannya, oleh karena itu, batasan
tersebut diserahkan atas kemampuan kedua orang tua.
4) Hak Kewalian
Kewalian terhadap diri anak ini menyangkut persoalan pendidikan, pengawasan
dan perkawinan. Kewalian terhadap harta, terbatas pada urusan harta benda, yaitu
orang tua harus menyantuni si anak dan mengatur seluruh harta benda yang
dimiliki oleh anak, agar harta tersebut dapat bermanfaat dan maslahat bagi anak
sampai dengan kebutuhan masa depannya.
5) Hak Waris
Ahli waris adalah seorang yang memiliki hubungan nasab dengan si mati atau
yang meinggalkan harta untuk diberikan waris, karena ada mempunyai sebab dari
beberapa sebab mendapatkan warisan. Salah satu ahli waris dari orang yang
meninggal adalah anaknya, yaitu sebagai keturunan si mati yang sudah pasti garis
nasabnya. Dalam Kompilasi Hukum Islam ditegaskan bahwa anak mempunyai
hak pemeliharaan, khususnya penyusuan. Semua biaya penyusuan anak
dipertanggungjawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahnya telah meninggal dunia,

7 M.Nasir Djamil, Op. Cit., hlm. 33.


maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang brekewajiban memberi
nafkah kepada ayahnya atau walinya. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz
atau belum berumur12 (dua belas) tahun adalah hak ibunya. Pemeliharaan anak
yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau
ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya, sedangkan biaya pemeliharaan
sepenuhnya ditanggung oleh pihak ayah.

Memebesarkan dan merawat anak merupakan tugas dan kewajiban kedua orang tua,
karena anak yang belum cukup umur (ghair mumayiz) sangat membutuhkan pengasuhan,
bimbingan, dan pendidikan dari kedua orang tuanya. Menurut Sayyid Sabiq, ḥaḍānah adalah
melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, laki-laki maupun perempuan atau yang
sudah besar tetapi belum tamyiz, bisa menjaga dirinya dari sesuatu yang menyakitinya dan
merusaknya, bisa mendidik jasmani dan rohani serta akalnya yang mampu berdiri sendiri
menghadapi persoalan hidup dan memikul suatu tanggung jawabnya.8

Menurut Rahmat Hakim (2000), ḥaḍānah bermakna memelihara anak-anak yang


masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau menjaga kepentingannya karena belum
dapat berdiri sendiri, serta melindungi diri dari segala yang membahayakan dirinya sesuai
dengan kadar kemampuannya.10

Keharusan membesarkan anak yang masih kecil tidak hanya berlangsung selama
kedua orang tua masih menjalin ikatan pernikahan, tetapi berlangsung dari berlakunya
perceraian. Jika terjadi perceraian antara kedua orang tua, selama mereka memiliki anak yang
masih kecil, maka ibu lebih pantas dibandingkan ayah untuk merawat anak tersebut, selama
tidak terdapat suatu yang melarangnya.

memrioritaskan pemberian hak asuh terhadap ibu, karena ibu bisa menyusui dan lebih
dari sekedar cakap untuk membesarkan dan mengasuhnya. Seorang ibu juga akan sabar dan
mempunyai kemampuan melaksanakan hal-hal seperti itu. Daripada itu pada dasarnya ibu
memiliki banyak waktu dan kesempatan, sedangkan bapak tidak demikian. Berdasarkan
sebab-sebab itulah, ibu didahulukan daripada bapak dalam membesarkan dan mengasuh anak.
Sebab itu sesuuai dengan kandungan hadis riwayat Abu Daud dari Abdullah bin Umar, yang
terjemahannya sebagai berikut:

8 Sayyid Sabiq, Fiqhi Al-Sunnah, Jilid 1 (Beirut: Dar al-Kitab al-„Arabi, 1398/1969), h.173
10
Sayyid Sabiq, Fiqhi Sunnah, h. 173.
“Telah menceritakan kepada kami Rauh dan telah menceritakan pula kepada kami Ibnu Juraij
dari „Amru bin Syuaib dari bapaknya dari Abdullah bin „Amru, dia berkata: bahwa ada
seorang wanita datang kepada Nabi Shallallahu „Alaihi Wasallam, lalu berkata: “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, dulu perutku adalah tempat baginya, pangkuanku
adalah rumah baginya, dan payudaraku adalah tempat minum baginya, tapi bapaknya ingin
merebutnya dariku?” Beliau menjawab: “Kamu lebih berhak atasnya (anakmu) selama kamu
belum menikah (lagi).” (HR. Ahmad dari Abdullah ibnu Umar)

Hadis tersebut memuat kandungan hukum yang menerangakan bahwa seorang ibu
lebih pantas mengasuh anak daripada bapak, jika bapak berkeninginan mencabut hak
pengasuhan dari tangan ibunya. Dalam riwayat hadis diatas, wanita itu telah mengemukakan
berbagai alasan yang menyebabkan ibu lebih berhak daripada bapak:

“Dulu perut sang ibu adalah tempat bagi anaknya, pangkuan sang ibu adalah rumah bagi
anaknya, dan payudara sang ibu adalah tempat minum bagi anaknya”. Hal itu disahuti dan
dibenarkan oleh Nabi Muhammad saw. Mengenai kewenangan ḥaḍānah ibu yang disebut
lebih kuat daripada bapaknya itu, di kalangan para ulama pun tidak terjadi silang pendapat.
Demikian pula di level sahabat, dan itu ditunjukkan dengan telah dipraktikkannya hal tersebut
oleh Abu Bakar Ash Shidiq dan Umar Ibn Khattab.

Berdasarkan kalangan jumhur ulama,jika ibu dari anak tersebut itu sudah menikah lagi
dengan laki-laki lain, maka gugurlah hak ḥaḍānah dari seorang ibunya.

Pendapat jumhur fuqaha tersebut bertolak belakang dengan pendapat Al-Hasan dan
Ibnu Hazm. Keduanya berpendapat, bahwa hak ḥaḍānah tidak akan hilang dari seorang ibu
meskipun telah menikah dengan laki-laki lain. Diantaranya yang menjadi dasarnya ialah suatu
riwayat yang menceritakan bahwa Anas bin Malik diasuh oleh ibunya, meskipun ia sudah
kawin. Demikian pula Ummi Salamah memelihara anak laki-lakinya setelah ia kawin dengan
Rasulullah saw., dan anak perempuan Hamzah diasuh oleh saudara dari ibunya, sedang ia
sudah kawin, berdasarkan keputusan yang ditetapkan oleh Rasulullah saw.9

B. Pendidikan berbasis keluarga


Makna Pendidikan Karakter Berbasis Keluarga Ada banyak ahli yang mengutarakan
pendapat mengenai pendidikan karakter. Thomas Lickona mengatakan bahwa pendidikan
karakter itu merupakan sebuah proses mendidik yang meliputi knowing the good, desiring the

9 Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam: Setiap Ada Pintu Masuk Tentu Ada Jalan Keluar
(Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1994), h. 216.
good dan doing the good. Secara khusus kita akan melihat Pendidikan Karakter Berbasis
Keluarga pendapat ahli mengenai keluarga sebagai salah satu basis pendidikan karakter.
Keluarga adalah salah satu locus implementasi pendidikan karakter berbasis komunitas.
Proses pembentu kan nilainilai dan perilaku yang baik bermula dari keluarga karena keluarga
merupakan komunitas terkecil di masyarakat. Keluarga akan berkontribusi memberikan
dukungan kepada anak ketika anak terjun di masyarakat.
Dukung an tersebut sangat penting bagi seorang anak termasuk pembentukan karakter
yang dapat diterima di masyarakat. Paul Suparno, dalam bukunya Pendidikan Karakter di
Sekolah, mengatakan bahwa orang tua merupakan salah satu faktor yang turut mempengaruhi
pendidikan karakter anak,1 mulai dari kandungan sampai pertumbuhan dan perkembangan
anak menjadi dewasa.
Bagaimana suasana kehidupan keluarga sehari harinya menjadi sangat penting bagi
perkem bangan karakter anak Melalui keluarga, anak memperoleh sosialisasi nilai dan
perilaku lingkungan yang hangat dan ramah merupakan prasyarat utama bagi pertumbuhan
dan perkembangan seorang anak dengan demikian pendidikan karakter berbasis keluarga
merupakan usaha orangtua dalam menciptakan atmosfer nilai-nilai dan psikologis yang
mendukung perkembangan anak menjadi anak yang memahami nilai-nilai.
menyesuaikan atau komitmen terhadap nilai nilai, dan kemudian memberlakukannya
dalam kehidupan mereka di tengah keluarga, masyarakat dan dunia. Pendidikan karakter
berbasis keluarga ini bukan hanya ditujukan kepada anak di dalam keluarga, tetapi kepada
orang tua yang merupakan pelaku pendidikan karakter yang utama bagi anak.
1. Keluarga sebagai Salah Satu Locus Pendidikan
Keluarga sebagai Tempat Pendidikan Karakter Keluarga merupakan
lingkungan pertama tempat anak belajar nilai, sikap, keyakinan dan perilaku yang
akan mempengaruhi pembentukan kepribadian dan karakternya.
Keluarga adalah titik awal dimana segala sesuatu dimulai, anak dididik dan
dididik. Keluarga memiliki berbagai peran, yaitu mempersiapkan anak untuk
memasuki lingkungan sekolah, membimbing perjalanan anak melalui sekolah, dan
mendukung anak ketika anak tumbuh dan menjadi orang dewasa yang sukses.
Oleh karena itu, ada beberapa hal yang berkaitan dengan strategi pendidikan
karakter dalam keluarga, yaitu keteladanan keramahan dan komunikasi orang tua-
anak.
2. Orangtua Sebagai Model Peran (Role Model)
Perhatikan dua pernyataan berikut. "Anak-anak dapat menutup telinga mereka
untuk nasihat, tetapi membuka mata mereka, misalnya." “Jangan khawatir bahwa
anak-anak tidak akan pernah mendengarkan Anda; Maaf mereka selalu
memandangmu "Proses pendidikan yang paling efektif adalah dengan memberi
contoh atau teladan.
Orang tua adalah panutan dan merupakan guru pertama dan terpenting bagi
pengembangan karakter anak. Rumah adalah "ruang kelas" bagi anak-anak, di
mana karakter ditanamkan, dibina dan dikembangkan disinilah letak peran orang
tua.
Jika kita perhatikan pernyataan di atas, meskipun anak tampak tidak
mendengarkan nasehat orang tuanya, namun anak selalu memperhatikan perilaku
orang tuanya. Perilaku orang tua, di rumah sebagai “ruang kelas”, menjadikannya
panutan bagi anak, karena setiap hari anak bertemu dan belajar dari orang tuanya.

Pendidikan karakter dimulai dari masyarakat terkecil dalam masyarakat yaitu


keluarga, kemudian akan berpengaruh terhadap karakter bangsa dan negara, Seorang anak
akan memulai pengembangan karakter dari keluarga. Orang tua memiliki pengaruh paling
besar terhadap pengasuhan dan perkembangan karakter anak dalam keluarga. Karakter anak
akan tumbuh dan berkembang dalam keluarga apabila keberadaannya dijaga, diterima dan
diakui, serta kebutuhan dasarnya dipenuhi oleh orang tuanya.

Pendidikan karakter berbasis keluarga dimulai dengan orang tua memahami iman
Kristen sehingga karakter Kristen dapat diajarkan. Keluarga mempersiapkan tempat yang baik
untuk pengembangan karakter. Anak akan belajar melalui contoh yang diberikan oleh orang
tua. Proses komunikasi antara orang tua anak akan mempengaruhi karakter yang berkembang
dari anak dan keluarga akan dipahami sebagai sekolah cinta. Pendidikan karakter berbasis
keluarga bertujuan untuk membawa perubahan.

C. harta warisan menurut hukum perdata

Hukum waris yang ada dan berlaku di Indonesia sebagai hukum positif belum
tersusun dalam suatu peraturan yang terunifikasi. Sehingga dalam hukum kewarisan di
Indonesia dapat menggunakan berbagaimacam sistem pewarisan antara lain: sistem hukum
kewarisan menurut KUH Perdata, sistem kewarisan menurut hukum adat dan sistem Hal ini di
karenakan belum adanya keseragaman terhadap kemajemukan bentuk dan sistem hukum
waris yang ada di indonesia. Hukum waris yang ada di indonesia saat ini diantaranya adalah
yang diatur oleh sistem hukum adat, sistem hukum Islam dan sistem hukum Barat
(KUHPerdata).10 Hukum Waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara
keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum Waris sangat
erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan
mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum selanjutnya timbul,
dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang, diantaranya ialah masalah bagaimana
pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal
dunia tersebut. Penyelesaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggal
seseorang, diatur oleh hukum waris

Hukum warisan terdapat di Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


(KUHPerdata) atau populernya disebut hukum waris perdata barat. Dalam pasal tersebut
ditegaskan pembagian harta warisan baru bisa dilakukan setelah terjadi kematian. Jadi, kalau
pemilik harta masih hidup, harta yang dimilikinya tidak dapat dialihkan melalui pengesahan
prosedur atau ketentuan waris.

Hak hakpenerima waris menurut hukum perdata

Dalam undang-undang terdapat dua cara untuk mendapatkan suatu warisan yaitu sebagai
berikut:11

a. Secara Ab Intestato (ahli waris menurut Undang-Undang dalam Pasal 832 KUH
Perdata) Menurut ketentuan undang undang, yang berhak menerima bagian warisan
adalah para keluarga sedarah, baik sah maupun luar kawin dan suami istri yang hidup
terlama. Keluarga sedarah yang menjadi ahli waris dibagi dalam empat golongan yang
masing-masing merupakan ahli waris golongan pertama, kedua, ketiga dan golongan
keempat. Mengenai golongan ahli waris ini akan dijelaskan lebih lanjut pada
pembahasan cara pembagian hak ahli waris menurut cara Ab Intestato.
b. b. Secara testamentair (ahli waris karena ditunjuk dalam surat wasiat atau testament)
hal ini di atur dalam pasal 899 KUH Perdata

10 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, Rajawali Press, Bandung, 2005, Hlm. 12
11 Lihat lebih lanjut Efendi Perangin, Hukum Waris, Rajawali Pers, Jakarta, hal 4 dan lihat juga Pasal
832 KUH Perda ta dan pasal 899 KUH Perdata.
Pihak yang menjadi ahli waris secara alami

Mereka yang ditunjuk sesuai undang-undang, antara lain suami/istri, anak, kakek/nenek, dan
lainnya sebagaimana termasuk dalam Golongan I hingga Golongan IV. Hak ini disebut
dengan abintestato.

Pihak yang ditunjuk secara khusus sebagai ahli waris sesuai isi wasiat milik pewaris.
Umumnya disebut surat wasiat, surat ini tetap perlu disahkan oleh notaris. Hak ini disebut
dengan testamenter.

Anak yang masih berada di dalam kandungan. Walau belum dilahirkan, statusnya bisa
disahkan langsung sebagai ahli waris jika diperlukan. Hak ini diperkuat oleh ketentuan Pasal
2 KUHPerdata.

Pasal 838 KUHPerdata menyatakan pihak-pihak yang akan dicoret sebagai ahli waris jika
melakukan tindakan kriminal seperti berikut.

1. Melakukan pencegahan untuk mengesahkan atau mencabut surat wasiat.


2. Memalsukan, merusak, atau menggelapkan keberadaan surat wasiat.
3. Berupaya membunuh atau telah membunuh pewaris.
4. Terbukti bersalah berusaha merusak nama baik pewaris.
Pembagian Waris

Pasal 1066 KUHPerdata menentukan/isinya dapat disimpulkan :

a. Tidak seorang ahli waris yang dapat dipaksa membiarkan harta warisan tidak terbagi
b. Pembegian harta warisan dapat dibagi sewktu-waktu
c. Dibuka kemungkinan untuk mempertangguhkan pembagian harta warisan dengan
jangka waktu 5 tahun, tenggang waktu ini dapat diperpanjang 5 tshun lagi dengn
persetujuan sebua ahli waris

KUHPerdata Belum menjelaskan cara tentang pembagian warisan, jika ternyat semua ahli
waris cakap untuk bertindak sendiri dan semuanya hadir ditempat pada saat pembagian
warisan tersebut maka cara pembagian warisan diberikan kepada mereka sendiri, tetapi
dalam hal ada dianrata ahli waris anak-anak di bawah umur atau ada yang ditaruh di
bawah curatele (pengampuan), maka pembagian warisan harus dilakukan dengan suatu
akta notaries dan dihadapan wees kamer (Balai Harta peninggalan).
Inbreng yaitu mengembalikan benda-benda ke dalam boedel. Masalah ini timbul jika
ternyata pewaris semasa hidupnya telah memberikan benda-benda secara schenking
kepada sementara ahli waris yang dianggapnya sebagai suatu voorschot atas bagian
warisan yang akan diperhitungkan kemudian.

Menurut UU yang diharuskan melakukan inbreng adalah para ahli waris dalam garis lurus
kebawah, dengan tidak membedakan apakah mewaris secara penuh atau menerima dengan
catatan, tetapi pewaris berhak untuk menentukan bahwa ahli waris yang telah menerima
pemberian-pemberian pada saat pewaris hidup dibebaskan dari inbreng.

Sifat peraturan inbreng berbeda dengan peraturan legitieme protie : untuk melindungi
kepentingan ahli waris yang mempunyai hubungan yang sngat rapat dengan pewaris
karenanya peraturan tersebut bersifat memaksa artinya tidak dapat disingkirkan.

Seseorang yang pernah menerima pemberian benda sewaktu hidup tidak perlu melakukan
inbreng jika ia bukan ahli waris, ia hanya dapat dituntut pengurangan jika ternyata
pemberian itu melanggar legitieme portie.

Pasal 1079 KUHPerdata, cara pembagian warisan :


1. Masing-masing ahli wris menerima barang tertentu dengan harga/nilai sama rata
seperti misalnya seperdua harta warisan jika ahli waris hanya terdiri dari dua orang
saja, seperlima jika ahli waris terdiri dari lima orang, demikian selanjutnya.
2. Bila diantara ahli waris ada yang menerima barang/harta waris lebih dari bagiannya, di
pihak lain di antara ahli waris menerima kurang dari bagiannya maka ahli waris yang
menerima bagian yang lebih diharuskan memberikan sejumlah uang tunai pada yang
mendapat kurang dari bagiannya.
Jika terjadi perselisihan di antara mereka yang mendapat barang tertentu selaku
bagiannya, maka hal tersebut harus diundi. Apabila tidak ada kata sepakat mengenai
penentuan barang-barang tertentu yang akan dibagikan kepada masingmasing ahli
waris maka dapat dimintakan keputusan pengadilan negeri.
Setelah menerima penentuan barang-barang tertentu, Pasal 1080 KUHPerdata
membuka kemungkinan tukar menukar bagian masing-masing di antara para ahli
waris
Dijelaskan pada Pasal 1083 KUHPerdata : apabila pembagian warisan sudah terjadi,
maka masing-masing ahli waris dinggap sebagai pemilik barang yang diterimanya
sejak saat pewaris meninggal.
D. KEWARISAN HUKUM ISLAM

Pengertian kewarisan Islam

Kewarisan menurut hukum Islam adalah hukum yang mengatur peralihan harta
kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli
warisnya. dan juga berbagai aturan tentang perpidahan hak milik dan hak guna, hak milik
yang dimaksud adalah berupa harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia kepada
ahli warisnya12. Dalam pengertian atau pemahaman lain, waris disebut juga dengan fara‟id.
Yang memiliki arti dari bagian tertentu yang dibagi menurut agama Islam kepada semua yang
berhak menerimanya dan yang telah di tetapkan Bagian bagiannya 13. Adapun beberapa istilah
tentang waris yaitu :

1. Waris Yaitu orang yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan. Ada ahli
waris yang sesungguhnya yang memiiki hubungan kekerabatan yang dekat akan tetapi
tidak berhak menerima warisan. Hak-hak Waris bisa ada karena hubungan darah,
karena hubungan perkawinan, dan karena akibat memerdekakan hamba atau budak.
2. Mawarrits, ialah orang yang diwarisi harta benda peninggalan. Yaitu orang yang
meninggal baik itu meninggal secara hakiki, secara taqdiry (perkiraan), atau melalui
keputusan hakim. Seperti orang yang hilang (al-mafqud), dan tidak tahu kabar
beritanya setelah melalui pencaharian dan persaksian, atau tenggang waktu tertentu
hakim memutuskan bahwa ia dinyatakan meninggal dunia melalui keputusan hakim.
3. Al-Irts, yaitu harta warisan yang siap dibagi kepada ahli waris sesudah diambil untuk
keperluan pemeliharaan zenazah (tajhiz al-janazah), pelunasan utang, serta
pelaksanaan wasiat.
4. Waratsah, yaitu suatu harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris. Ini berbeda
dengan harta pusaka yang di beberapa daerah tertentu tidak bisa dibagi-bagi, karena
menjadi milik kolektif semua para ahli waris.
5. Tirkah, ialah semua harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum diambil
untuk kepentingan pemeliharaan zenazah, pelunasan utang, dan pelaksanaan wasiyat
yang dilakukan oleh orang yang meninggal ketika masih hidup.14

12 Effendi Perangin, Hukum Waris,(Jakarta: Rajawali Pers ,2008), h.3


13 Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, (Bandung :Pustaka setia, 2012), h 13.
14 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta Utara: PT Raja Grafindo
Persada,2005), h.4
Asas-asas hukum kewarisan Islam

Dalam kewarisan Islam ada beberapa asas yang berkaitan dengan peralihan harta kepada
ahli warist, cara pemililkan harta oleh yang menerima kadar jumlah harta dan waktu terjdinya
peralihan harta. Asas-asas tersebut yaitu:

1. Asas Ijbari
Asas Ijbari ialah pengalihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada
ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah. Tanpa
digantungkan kepada kehendak pewaris dan ahli warisnya dan asas ini dapat dilihat
dari berbagai segi yaitu15:
Dari segi pewaris, mengandung arti bahwa sebelum meninggal ia tidak dapat
menolak peralihan harta tersebut. Apa pun kemauan pewaris terhadap hartanya, maka
kemauannya dibatasi oleh ketentuan yang di tetapkan oleh Allah. Oleh karena itu
sebelum meninggal Ia tidak perlu memikirkan atau merencanakan sesuatu terhadap
hartanya, kerena dengan meninggalnya seseorang secara otomatis hartanya beralih
kepada ahli warisnya.
Dari segi peralihan harta, mengandung arti bahwa harta orang yang meninggal
itu beralih dengan sendirinya, bukan dialihkan oleh siapa-sapa kecuali oleh Allah.
Oleh karena itulah kewarisan dalam Islam diartikan dengan peralihan harta, bukan
pengalihan harta karena pada peralihan berarti beralih dengan sendirinya sedangkan
pada kata pengalihan ialah usaha seseorang.
Dari segi jumlah harta yang beralih, dari segi jumlah dapat dilihat dari kata
“mafrudan” secara etimologis berarti telah ditentukan atau telah diperhitungkan,
katakata tersebut dalam terminologi Ilmu Fikih, berarti sesuatu yang telah diwajibkan
Allah kepadanya, yaitu berarti bagian waris sudah ditentukan.
Dari segi penerima peralihan harta itu, yaitu bahwa penerima harta, dan
mereka yang berhak atas harta peninggalan itu sudah ditentukan secara pasti.
Ketentuan asas Ijbari ini dapat dilihat antara lain dalam ketentuan al-Quran
surat An-nisa ayat : 7

Artinya: Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa
dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
15 Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika , Tahun
2008).h.39
ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah
ditetapkan.
Ayat di atas menjelaskan bahwa: “bagi seorang laki-laki maupun perempuan
ada nasib dari harta peninggalan orang tuanya atau dari karib kerabatnya, kata nasib
dalam ayat tersebut dalam arti saham, bagian atau jatah dari harta peninggalan
sipewaris.

2. Asas Bilateral
Yang dimaksud dengan asas bilateral dalam hukum kewarisan Islam adalah
seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak kerabat, yaitu dari garis
keturunan perempuan maupun keturunan laki-laki. Untuk lebih jelasnya asas bilateral
in dapat dilihat dalam surah an-Nisa ayat :7, dan 11. Dalam ayat 7 dijelaskan
dikemukakan bahwa seorang laki-laki berhak memperoleh warisan dari pihak ayahnya
maupun ibunya. Begitu juga dengan perempuan mendapat warisan dari kedua belah
pihak orang tuanya. Ayat ini merupakan dasar bagi kewarisan bilateral selanjutnya di
pertegas dalam surah an-Nisa: 11

Artinya: “Allah mensyari´atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)


anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja,
maka ia memperoleh setengah dari harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi
oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagianpembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau
(dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu
tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya
bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana”.
3. Asas Individual
Yang dimaksud asas individual ini yaitu, setiap ahli waris (secara individu)
berhak atas bagian yang didapatkan tanpa terikat kepada ahli waris lainya. Dengan
demikian bagian yang diperoleh oleh ahli waris secara individu berhak mendapatkan
semua harta yang telah menjadi bagianya. Ketentuan ini dapat dijumpai dalam
ketentuan Alquran surat an-Nisa ayat 7 yang secara garis besar menjelaskan tentang
anak laki-laki maupun prempuan berhak meerima warisan dari orang tuanya dan karib
kerabatnya, terlepas dari jumlah haran yang yang telah ditentukan. yang
mengemukakan bahwa bagian masing-masing ahli waris ditentukan.
4. Asas Keadilan Berimbang
Yang dimaksud asas keadilan berimbang yaitu keseimbangan antara hak
dengan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan kebutuhan dan
kegunaan. Dengan perkataan lain dapat dikemukakan bahwa faktor jenis kelamin tidak
menentukan dalam hak kewarisan.
5. Kewarisan Akibat Kematian
Hukum waris Islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta hanya
semata-mata karena adanya kematian. Dengan perkataan lain harta seseorang tidak
dapat beralih apabila belum ada kematian. Apabila pewaris masih hidup maka
peralihan harta tidak dapat dilakukan dengan sistem pewarisan pada umumnya yang di
atur dalam Islam.16

Sumber sumber hukum kewarisan

Ada beberapa Sumber hukum ilmu faraidh adalah alQur’an, as- Sunnah Nabi saw, dan
ijma para ulama17.

1. Al-Qur’an
Dari sumber hukum yang pertama al-Qur’an, setidaknya ada tiga ayat yang
memuat tentang hukum waris. Ada beberapa ayat yang berkaitan dengan kewarisan
yaitu: tersebut dalam surat An-Nisa ayat 11:

16 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam,( Jakarta: Prenada Media tahun 2004) h.19
17 Addys Aldizar, Faturraman, Hukum Waris, ( Jakarta: Senayan Abadi Publisbing, 2004) h.14
Artinya: “Allah mensyari´atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anakanakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka
dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka
ia memperoleh setengah dari harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi
masingmasingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi
oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagianpembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau
(dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu
tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya
bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana”.
Q.s. An-Nisa ayat: 12
Artinya : Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-
isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak,
maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi
wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu
mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar
hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara
laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-
masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudarasaudara seibu
itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah
dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak
memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)
syari´at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Penyantun.
Ayat yang lebih menegaskan warisan laki-laki dan perempuan dalam Q.s an-Nisa ;176
Artinya; Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan
ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya
yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang
laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai
anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu
terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara
lakilaki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan
(hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.

2. Hadis
Ada beberapa hadis yang memaparkan tentang sistem pembagian harta waris
antara lain:
Yang Artinya: dari Ibnu Abbas ra. Nabi Muhammad Saw bersabda” berikanlah
harta pusaka kepada orangorang yang berhak sesudah itu sisanya untuk laki-laki yang
lebih utama.(Hr.Muslim).18
Yang Artinya: Dari Usamah bin Said ra. Bahwasanya Nabi saw bersabda:
tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir
mewaisi ( Hr. Bukhari dan Muslim)
Yang Artinya “ Serahkanlah bagian-bagian kepada ahlinya, maka apa yang
lebih adalah bagi laki-laki yang lebih dekat.( Bukhari dan Muslim)19
Hadis diatas menjelaskan bawa bagian anak laki-laki lebih besar dari bagian
anak perempperempua
3. Ijma dan Ijtihad
Para sahabat, tab‟in, generasi pasca sahabat dan tabi‟it tabi‟in dan generasi
pasca tabi‟in. Telah berijma atau bersepakat tentang legalitas ilmu faraid dan tidak ada
yang dapat menyalahinya. Imamimam mazhab yang berperan dalam
pemecahanpemecahan masalah waris yang belum dijelaskan dalam nash-nash shorih.

Sebab-sebab Adanya Hak Kewarisan Dalam Islam.

18 Imam Az-Zabidi, Shahih Al- Bukori Ringkasan Hadis , ( Jakarta: Pustaka Amani Thun 2002) h.035
19 Muhammad bin Ismail al –Bukhari, Jus IV, ahli bahasa Zainuddi, Hamidy, DKK, Terjemah
Shahih Bukhari , hadis no 1799 ( Jakarta: Widajaya, thun 1992) h. 91
Ada beberapa faktor kewarisan dalam islam terkait hak seseorang mendapatkan harta
warisan yaitu hubungan kekerabatan dan hubungan perkawinan. Kedua bentuk hubungan itu
adalah sebagai berikut.

1. Hubungan Kekerabatan.
Hubungan kekerabatan bisa disebut juga dengan hubungan nasab ditentukan
oleh adanya hubungan darah, dan adanya hubungan darah dapat diketahui pada saat
adanya kelahiran di dalam suatu pernikahan yang sah, seorang ibu mempunyai
hubungan kerabat dengan anak yang dilahirkannya dan si anak mempunyai hubungan
kekerabatan dengan kedua orang tuanya.
Hubungan kekerabatan antara anak dengan ayahnya ditentukan Adanya
pernikahan yang sah antara ibunya dengan ayahnya, dengan mengetahui hubungan
kekerabatan antara ibu dengan anaknya dan anak dengan ayahnya, dapat pula
diketahui hubungan kekerabatan ke atas yaitu kepada ayah atau ibu dan seterusnya,
kebawah, kepada anak beserta cucu cucu atau keturunannya yang lain. Dari hubungan
kerabat yang demikian, dapat juga diketahui struktur kekerabatan yang tergolong ahli
waris apabila seorang mninggal dunia dan telah meninggalkan harta warisan.
Hubungan kerabata tersebut, bila dianalisis pengelompokannya menurut
Hazairin yang mengelompokannya kedalam tiga kelompok ahli waris, yaitu dzawul
faraid, dzawul qarabat dan mawali. Yang dimaksud mawali ialah ahli waris pengganti,
atau dapat juga diartikan sebagai orang-orang yang menjadi ahli waris dikarenakan
tidak lagi penghubung antara mereka dengan pewaris. Demikian pendapat ahlus sunna
yang mengelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu dzawul faraid, ashabah, dan
dzawul arham.
2. Hubungan Perkawinan.
Kaitan hubungan perkawinan dengan hukum kewarisan Islam, berarti
hubungan perkawinan yang sah menurut Islam. Apabila seorang suami meninggalkan
harta warisan dan janda, maka istri yang dinggalkan itu termasuk ahli warisnya
demikian pula sebaliknya .
Al-Wala‟ (Memerdekakan Hamba Sahaya atau Budak) yaitu kewarisan akibat
seseorang memerdekakan hamba (budak), atau melelui perjanjian tolong menolong.
Untuk yang terakhir ini, agaknya jarang dilakukan jika malah tidak ada sama sekali.
Adapun al-wala‟ yang pertama disebut dengan wala‟ al-„ataqah atau „ushubah
sababiyah, dan yang kedua disebut dengan wala‟ al-mualah, yaitu wala‟yang timbul
akibat kesedihan seseorang untuk tolong menolong dengan yang lain melalui suatu
perjanjian perwalian. Orang yang memerdekakan hamba sahaya, jika laki-laki disebut
dengan al-mu‟tiq dan jika perempuan al-mu‟tiqah. Wali penolong disebut maula’ dan
orang yang ditolong yang disebut dengan mawali.
Adapun bagian orang yang telah memerdekakan hamba sahaya adalah 1/6 dari
harta peninggalan. Jika kemudian ada pertanyaan apakah sekarang masih ada hamba
sahaya, maka jawabanya adalah bahwa hapusnya perbudakan merupakan salah satu
keberhasilan misi orang orang Islam. Karena memang imbalan warisan kepada
almu‟tiq dan atau al-mu‟tiqah salah satu tujuanya adalah untuk memberikan motifasi
kepada siapa saja yang mampu, agar membantu dan mengembalikan hak-hak budak
atau hamba agar menjadi orang yang merdeka20.

Sebab –Sebab Hilangnya Hak Kewarisan Dalam Islam.

Adapun yang dimaksud sebab sebab hilangnya hak keawarisan adalah menggugurkan
hak ahli waris untuk mendapatkan harta tinggalan atau warisan dari pewaris. Ada beberapa
faktor yang dapat menimbulkan ahli waris kehilangan haknya yaitu:

1. Perbudakan
Seorang yang berstatus sebagai budak tidaklah mempunyai hak untuk mewarisi atau
sekalipun dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak menjadi milik
majikannya juga.
2. Perbedaan Agama21.
Adapun yang dimaksud perbedaan agama ialah keyakinan yang dianut antara ahli
waris dan muaris (orang yang mewarisi) ini menjadi penyebab hilangnya hak
kewarisan sebagaimana ditegaskan dalam hadis Rasulullah dari Usama bin Zaid,
diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tirmizi dan Ibn Majah. Yang telah
dijelaskan bahwa seorang muslim tidak bisa menerima warisan dari yang bukan
muslim22. Dari hadis tersebut dapat dipahami bahwa hubungan antara kerabat yang
berbeda agama dalam kehidupan sehari-hari hanya nenyangkut hubungan sosial saja.
3. Pembunuhan

20 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta Utara: PT Raja Grafindo Persada,2005), h.45
21 Muhammad Muslih, Fiqih (Bogor: Yudhistira, thun 2007) h. 126
22 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta; Sinar Grafika tahun 2007) h.112.
Pembunuhan menghalangi seseorang untuk mendapatkan warisan dari pewaris yang
dibunuhnya. Ini berdasarkan hadis Rosulullah dari Abu Hurairah yang di riwayatkan
oleh Ibn Majah, bahwa seseorang yang membunuh pewarisannya tidak berhak
menerima warisan dari orang yang dibunuhnya. Dari hadis tersebut menegaskan
bahwa pembunuhan menggugurkan hak kewarisan.
4. Berlainan Negara
Yang dimaksud dengan beralih atau pindah negara dalam hal ini ialah ibarat suatu
daerah yang ditempat tinggali oleh muarris dan ahli waris, baik daerah itu
pemerintahan nya berbentuk kesultanan, kerajaan, maupun republik23.
5. Murtad
Yang di maksud Murtad ialah orang yang keluar dari agama Islam, dan tidak dapat
menerima harta pusaka dari keluarganya yang muslim. Begitu pula sebaliknya24.

Rukun Dan Syarat Kewarisan

Pada dasarnya persoalan waris-mewarisi selalu identik dengan perpindahan kepemilikan


sebuah harta benda, hak dan tanggung jawab dari pewaris kepada ahli warisnya. Dan dalam
hukum waris Islam penerimaan harta warisan didasarkan pada asas ijbari, yaitu harta warisan
berpindah dengan sendirinya menurut ketetapan Allah swt tanpa digantungkan pada kehendak
pewaris atau ahli waris. Pengertian tersebut akan terwujud jika syarat dan rukun mewarisi
telah terpenuhi dan tidak terhalang mewarisi. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam
pembagian harta warisan. Syarat-syarat tersebut selalu mengikuti rukun, akan tetapi sebagian
ada yang berdiri sendiri25. Ada tiga rukun warisan yang telah disepakati oleh para ulama, tiga
syarat tersebut adalah:

1. Pewaris baik secara haqiqy, hukmy (misalnya dianggap sudah meninggal) maupun
secara takdir.
2. Adanya ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menerima harta penenggalan
pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab),atau ikatan pernikahan, atau
lainnya.
3. Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalankan pewaris
baik berupa uang, tanah ataupun aset yang lainnya. Bahkan hutang juga termasuk
waris yang harus di tanggung oleh ahli waris.

23 Fahtur Rahman, Ilmu Waris (Bandung:PT Alma’arif thun 1981) h. 33


24 Muhammad Ali As-Shabuni, Hukum Kewarisan Menurut AlQur‟an Dan Sunnah ( Jakarta: Cv
Diponegoro, thun 2004) h.64
25 Muhammad Daut Ali, Asas Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali press thn 1990) h. 129
Adapun syarat waris harus terpenuhi pada saat pembagian harta warisan. Rukun
waris dalam hukum kewarisan Islam, diketahui ada tiga macam, yaitu:

1. Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang, yang
mewariskan hartanya. Syaratnya adalah muwaris benar-benar telah meninggal dunia.
Kematian seorang muwaris itu, menurut ulama dibedakan menjadi 3 macam:
1) Mati Haqiqy (mati sejati).
Mati haqiqy (mati sejati) adalah matinya muwaris yang diyakini tanpa
membutuhkan putusan hakim dikarenakan kematian tersebut disaksikan oleh
orang banyak dengan panca indera dan dapat dibuktikan dengan alat bukti
yang jelas dan nyata.
2) Mati Hukmy ( mati menurut putusan hakim atau yuridis).
Mati Hukmy (mati menurut putusan hakim atau yuridis) adalah suatu kematian
yang dinyatakan atas dasar putusan hakim karena adanya beberapa
pertimbangan. Maka dengan putusan hakim secara yuridis muwaris dinyatakan
sudah meninggal meskipun terdapat kemungkinan muwaris masih hidup.
Menurut pendapat Malikiyyah dan Hambaliyah, apabila lama meninggalkan
tempat itu berlangsung selama 4 tahun, sudah dapat dinyatakan mati. Menurut
pendapat ulama mazhab lain, terserah kepada ijtihad hakim dalam melakukan
pertimbangan dari berbagai macam segi kemungkinannya.
3) Mati Taqdiry (mati menurut dugaan).
Mati taqdiry (mati menurut dugaan) adalah sebuah kematian (muwaris)
berdasarkan dugaan yang sangat kuat, misalnya dugaan seorang ibu hamil
yang dipukul perutnya atau dipaksa minum racun. Ketika bayinya lahir dalam
keadaan mati, maka dengan dugaan kuat kematian itu diakibatkan oleh
pemukulan terhadap ibunya26.

2. Waris (ahli waris)


Yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik
hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau perkawinan, atau karena
memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya adalah pada saat meninggalnya muwaris,
ahli waris diketahui benar-benar dalam keadaan hidup. Termasuk dalam hal ini adalah

26 Addys Aldizar, Faturraman, Hukum Waris, ( Jakarta: Senayan Abadi Publisbing, 2004) h.28
bayi yang masih dalam kandungan (al-haml). Terdapat juga syarat lain yang harus
dipenuhi, yaitu, antara muwaris dan ahli waris tidak ada halangan saling mewarisi.27
3. Al –Mauruts
Adalah segala sesuatu harta benda yang menjadi warisan. Baik berupa harta
atau hak yang termasuk dalam kategori warisan.
Golongan waris

Golongan ahli waris

Adapun ahli waris dari kalangan dari kalangan laki-laki ada sepuluh yaitu:
1) Anak laki-laki
2) Cucu laki-laki dari anak laki-laki
3) Ayah
4) Kakek dan terus ke atas
5) Saudara laki-laki sekandung
6) Saudara laki-laki dari ayah
7) Paman
8) Anak laki-laki
9) suami
10) Tuan laki-laki yang memerdekakan budak

Ada tujuh ahli waris dari dari kalangan perempuan


1) Anak perempuan
2) Anak perempuan dari anak laki-laki
3) Ibu
4) Nenek
5) Saudara perempuan
6) Istri
7) Tuan wanita yang memerdekakan budak

Adapun lima ahli waris yang yang tidak perna gugur


mendapatkan mendapatkan hak waris
1) Suami
2) Istri
27 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta Utara: PT Raja Grafindo Persada,2005), h.28
3) Ibu
4) Ayah

Anak yang langsung dari pewaris Dan ashabah yang paling dekat yaitu:
1) Anak laki-laki
2) Cucu dari anak laki-laki
3) Ayah
4) Kakek dari pihak ayah
5) Saudara laki-laki seayah dan seibu
6) Saudara laki-laki seayah
7) Anak laki-laki dari saudara laki seayah dan seibu
8) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
9) Paman
10) Anak laki-laki paman
11) Jika Ashabah tidak ada, maka tuan yang memerdekakan budaklah yang
mendapatkannya28.

Kesimpulan

pada dasarnya Pendidikan seorang anak sangat berpengaruh pada Pendidikan berbasis
kelurga, yang mana Pendidikan ini dilakukan pada keluarga masing-masing sebagai tumpuan
Pendidikan paling utama pada karakter dan perkembangan sikap sang anak. Akan hal ini
orang tua secara langsunglah yang menjadi tenaga Pendidikan bagi anak-anak mereka sendiri.

Dari pada itu maka sangat menjadi dampak besar bagi anak dalam pertumubuhannya
dalam segi apapun baik itu karakter, sikap, dan juga mentalnya. Dikarenakan ini maka segala
apapun yang terjadi di kelurga adalah Pendidikan bagi sang anak, jika keluarga berada dalam
keadaan yang tidak baik atau broken home maka Pendidikan berbasis keluarga akan tidak
berjalan dengan semestinya.

Begitu juga pada kewarisan dari segi hukum positif dan hukum islam yang mana
dalam hal ini menjadi pertimbangan tambahan dalam membagi jumlah waris pada setiap
anak, yang dimana diawal dengan kelurga yang harmonis sang anak mendapatkan pembagian
harta waris yang bisa dibagi dengan ketentuan yang sudah diatur dalam hukum positif dan
hukum islam.

28 Mustafa Bid Al-Bugha, Fiqih Islam Lengkap, (Surakarta: Media Zikir thun 2009) h.327
Sebab perceraian ini dan juga salah satu orang tua yang bercerai menikah lagi maka
akan semakin pelik bagi pewaris dalam menentukan besaran hak waris yang harus dibagi
untuk semua pewaris yang sah, dan juga menjadi kebingungan dalam status hak warisnya
sehingga dapat menciptakan pertikaian antara hak waris dari anak hasil pernikahan pertama
dan kedua.
DAFTAR PUSTAKA

M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2013,

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, Pasal 1 Ayat 2

Solehuddin, Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak yang Bekerja di


Bidang Konstruksi (Studi di Proyek Pembangunan CV. Karya Sejati Kabupaten
Sampang), Jurnal Universitas Brawijaya, Malang, 2013

Sayyid Sabiq, Fiqhi Al-Sunnah, Jilid 1 (Beirut: Dar al-Kitab al-„Arabi, 1398/1969), h.173.

F Said, Perceraian Menurut Hukum Islam: Setiap Ada Pintu Masuk Tentu Ada Jalan Keluar
(Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1994),

Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, Rajawali Press, Bandung, 2005, Hlm. 12

Lihat lebih lanjut Efendi Perangin, Hukum Waris, Rajawali Pers, Jakarta, hal 4 dan lihat juga
Pasal 832 KUH Perda ta dan pasal 899 KUH Perdata.

Effendi Perangin, Hukum Waris,(Jakarta: Rajawali Pers ,2008), h.3

Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, (Bandung :Pustaka setia, 2012), h 13.

A Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta Utara: PT Raja Grafindo Persada,2005), h.4

Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika
Tahun 2008).h.39

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam,( Jakarta: Prenada Media tahun 2004) h.19

Addys Aldizar, Faturraman, Hukum Waris, ( Jakarta: Senayan Abadi Publisbing, 2004) h.14

Imam Az-Zabidi, Shahih Al- Bukori Ringkasan Hadis , ( Jakarta: Pustaka Amani Thun 2002)
h.035

Muhammad bin Ismail al –Bukhari, Jus IV, ahli bahasa Zainuddi, Hamidy, DKK, Terjemah
Shahih Bukhari , hadis no 1799 ( Jakarta: Widajaya, thun 1992) h. 91

Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta Utara: PT Raja Grafindo Persada,2005), h.45
Muhammad Muslih, Fiqih (Bogor: Yudhistira, thun 2007) h. 126

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta; Sinar Grafika tahun 2007) h.112.

Fahtur Rahman, Ilmu Waris (Bandung:PT Alma’arif thun 1981) h. 33

Muhammad Ali As-Shabuni, Hukum Kewarisan Menurut AlQur‟an Dan Sunnah ( Jakarta: Cv
Diponegoro, thun 2004) h.64

Muhammad Daut Ali, Asas Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali press thn 1990) h. 129

Addys Aldizar, Faturraman, Hukum Waris, ( Jakarta: Senayan Abadi Publisbing, 2004) h.28

A Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta Utara: PT Raja Grafindo Persada,2005), h.28

Mustafa Bid Al-Bugha, Fiqih Islam Lengkap, (Surakarta: Media Zikir thun 2009) h.327

Anda mungkin juga menyukai