Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PRAKTIK PERADILAN AGAMA

DI PENGADILAN AGAMA KABUPATEN MALANG

AKIBAT PERCERAIAN PADA HAK ASUH ANAK, WARIS, DAN


PENDIDIKAN ANAK

KOORDINATOR TEMPAT PRAKTIK:

Drs. H. Muh. Kasyim, M.H.

DOSEN PEMBIMBING:

Dr. Mahir Amin, M.Fil.I

NAMA KELOMPOK:

1. Amri Hikari (C93218065)


2. Achmad Imaduddin (C02218003)

3. Varul Efandi (C72218102)

4. Alif Ahmad Maulana (C02218006)

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SUNAN AMPEL SURABAYA

2021
PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING LAPANGAN

Dengan ini kami menyatakan bahwa laporan Praktik Peradilan Agama di Pengadilan
Agama kabupaten malang kelas 1 A yang bertempat di kabupaten malang, yang Berjudul
AKIBAT PERCERAIAN PADA HAK ASUH ANAK, WARIS, DAN PENDIDIKAN
ANAK dinyatakan telah memenuhi syarat untuk UIN SunanAmpel Surabaya.

DosenPembimbingLapangan

Dr. Mahir Amin, M.Fil.I

NIP. 197212042007011027
DAFTAR NILAI PRAKTIK PERADILAN AGAMA
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SUNAN AMPEL SURABAYA
2021

Kelompok: PA Kab. Malang II

NILAI
NO NIM NAMA TOTAL
Keaktifan Laporan
(50%) (50%)

1. C93218065 Amri Hikari

2. C0221800 Ahmad Imaduddin

3. C72218102 Varul Efandi

4. C0221800 Alif Ahmad Maulan

Surabaya, 17 Oktober 2021


Dosen Pembimbing Tempat Praktik

Drs. H. Muh. Kasyim, M.H.


NIP. 196012311994031027
Biodata peserta praktik

NO Foto Keterangan

1. Amri Hikari C93218065

Hukum pidana Islam

Jl. Margorejo 1f no.66 Margorejo, wonocolo,


Surabaya

085643207389

Ketossomplak@gmail.com

2. AchmadImaduddinC02218003

Hukum Ekonomi Syariah

Ds. Plumbungan RT 05 RW 02, Kec. Sukodono,


Kab. Sidoarjo

081330102183

Achmadimad793@gmail.com

3. Varul EfandiC72218102

Hukum ekonomi syariah

Kab. Gresik, Wringinanom, tanggungan

089685587371

Varulefandi321@gmail.com

4. Alif Ahmad MaulanaC02218006

Hukum Ekonomi Syariah

Jl. Ngingas Selatan no.44, Ngingas, Waru,


Sidoarjo

081234044034

Alifahmadmaulana38@gmail.com
AKIBAT PERCERAIAN PADA HAK ASUH ANAK, WARIS, DAN
PENDIDIKAN ANAK

Amri Hikari (C93218065), Achmad Imaduddin (C02218003), Varul Efandi


(C72218102), Alif Ahmad Maulana (C02218006)

UIN SUNAN AMPEL SURABAYA

e-mail : varulefandi321@gmail.com

Abstrak

Anak adalah suatu hal yang sangat di dambakan oleh semua pasangan pernikahan, pada
dasarnya seorang anak adalah seseorang yang dapat dinyatakan secara sah dan benar melalui
nasapnya. Pendidikan karakter seorang anak juga ditentukan oleh keadaan keluarganya
karena Pendidikan berbasis keluarga adalah Pendidikan paling utama dalam mendidik
karakter dan sikap sang anak. Begitu juga dengan hak warisnya yang harus disesuaikan
dengan nasapnya sendiri yang menajdi tumpuan dari pembagian waris sesuai dengan aturan.
Dikarenakan hal ini maka kelurga adalah hal yang penting, lalu jika keadaan dalam keadaan
yang kurang baik atau broken home yang disebabkan oleh perceraikan akan membuat kurang
maksimal dari setiap bagian dari anak itu sendiri

Pendahuluan

Status hak asuh anak yang terjadi akibat perceraian adalah suatu hal yang menajdi
momok selama ini bagi pasangan yang sudah melakukan cerai, mantan suami dan mantan
istri sama-sama memperebutkan tentang siapa yang berhak untuk mengasuh anak hasil
dari perkawinan mereka berdua yang pernah terjadi dahulu.
Dalam perihal hak asuh anak ini, kedua mantan pasangan ini sama-sama bersikukuh
bahwasannya dirinya berhak dan pantas dalam mengasuh anaknya tampa sadar atas
kemampuan baik dari segi kemampuan dirinya untuk membimbing sang anak dari segi
Pendidikan formal, Pendidikan kepribadian, Pendidikan agama, dan juga Pendidikan
karakter. Yang mana hal ini yang menjadi momok terbesar bagi perkara hak asuh anak ini
Perihal kemampuan orang tua dalam mendidik anak ini adalah hal utama yang harus
dipikirkan sebelum meminta haknya dalam mengasuh anak-anak hasil pernikahan mereka
ini. Banyak kasus yang terjadi di dunia nyata, yang mana anak dari orang tua yang broken
home atau bias disebut juga dengan orang tua yang sudah bercerai mengalami kerusakan
pisikis akhirnya berakibat fatal kepada dunia sosialnya.
Atas hal ini juga banyak anak yang akhirnya jatuh kedalam dunia gelap yaitu
criminalitas, narkoba, dan hal buruk lainnya. Maka dari hal ini dapat dikatakan
bahwasannya anak-anak yang berasal dari keluarga yang broken home atau disebut juga
dengan orang tua yang sudah cerai merupakan salah satu dampak paling besardari orang
yang melakukan Tindakan kejahatan.
Dalam hal ini kita juga harus tau, bahwasannya anak adalah generasi penerus dari
estafet kepemimpinan bangsa ini. Atas dasar ini lah seharusnya perihal Pendidikan
berbasi keluarga sang anak harus diperhatikan secara menyeluruh, dikarenakan yang
membentuk pola piker dan polasi kapanak pada dunia soasilnhya adalah dari kelurga yang
menjadi contoh paling utama bagi pertumubuhan sang anak, dalam hal ini yang menjadi
titik tumpu dalam Pendidikan berbasis keluarga adalah kedua orang tua sang anak
Dengan kata lain bahwa anak merupakan tunas, potensi, dan generasi muda pewaris
cita-cita perjuangan bangsa, mempunyai andil strategis dan memiliki ciri dan sifat khusus
yang menanggung keberlangsungan keberadaan suatu bangsa dan negara pada masa yang
akan datang. Oleh sebab itu agar anak-anak pada masa yang akan datang sanggup
memikul tanggung jawab tersebut, maka mereka harus memperoleh kesempatan yang
sebanyak-banyaknya agar tumbuh dan berkembang secara optimal, baik mental, fisik,
sosial, dan berakhlak baik, harus dilaksanakan upaya perlindungan demi untuk
menciptakan kesejahteraan bagi anak dengan perlakuan tanpa diskriminasi serta adanya
memberikan perlindungan kepada pemenuhan hak-haknya.1
Dari penjelasan di atas, bisa dilihat bahwa pembuat undang-undang (DPR dan
Pemerintah) mempunyai politik hukum yang responsif terhadap perlindungan anak. Anak
diletkakan pada tempat yang mulia sebagai amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang
mempunyai peran strategis untuk menjamin kelanjutan eksistensi bangsa ini. Lewat UU
No. 35tahun 2014 tersebut, telah dilindungi jaminan hak anak, dengan dibentuknya
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang mempunyai tanggung jawab agar
perlindungan anak berjalan dengan efektif.
Pada dasarnya status hak asuh anak juga akan berefek padaha kwaris sang anak yang
apabila terjadi salah satu dari orang tua ini mengalami nikah Kembali dengan orang lain

1
Ibid, hlm. 8.
dan mempunyai anak juga baik kandung maupun tiri akan menjadi suatu permasalahan
siapa yang nantinya akan berhak dalam permasalahan warisan akta tersebut.

Rumusan masalah

1. Status anak
2. Pendidikan berbasis keluarga
3. Status warisan dari hokum positif dan islam

Pembahasan

A. Status Anak
Definisi anak dalam bahasa adalah keturunan kedua dari hasil antara hubungan suami
dan istri. Dalam konsideranUndang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan
anak, menyatakan bahwa anak adalah amanah dan karuni Tuhan Yang Maha Esa, yang
dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya2.
Dengan kata lain bahwa anak merupakan tunas, potensi, dan generasi muda pewaris
cita-cita perjuangan bangsa, mempunyai andil strategis dan memiliki ciri dan sifat khusus
yang menanggung keberlangsungan keberadaan suatu bangsa dan negara pada masa yang
akan datang. Oleh sebab itu agar anak-anak pada masa yang akan datang sanggup
memikul tanggung jawab tersebut, maka mereka harus memperoleh kesempatan yang
sebanyak-banyaknya agar tumbuh dan berkembang secara optimal, baik mental, fisik,
sosial, dan berakhlak baik, harus dilaksanakan upaya perlindungan demi untuk
menciptakan kesejahteraan bagi anak dengan perlakuan tanpa diskriminasi serta adanya
memberikan perlindungan kepada pemenuhan hak-haknya.3
Dari penjelasan di atas, bisa dilihat bahwa pembuat undang-undang (DPR dan
Pemerintah) mempunyai politik hukum yang responsif terhadap perlindungan anak. Anak
diletkakan pada tempat yang mulia sebagai amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang
mempunyai peran strategis untuk menjamin kelanjutan eksistensi bangsa ini. Lewat UU
No. 35tahun 2014 tersebut, telah dilindungi jaminan hak anak, dengan dibentuknya
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang mempunyai tanggung jawab agar
perlindungan anak berjalan dengan efektif.
Selain itu, berpedoman kepada Konvensi PBB tentang Hak Anak
(conventionontheRightoftheChild), maka definisi anak: “Anak berarti setiap manusia di

2
M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 8.
3
Ibid, hlm. 8.
bawah umur 18 tahun, kecuali menurut undang-undang yang belraku pada anak,
kedewasaan dicapai lebih awal”. Untuk itu, UU No.35 Tahun 2014 tentang perlindungan
Anak memberikan definisi anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.Hadi Supeno berpendapat bahwa
seharusnya UU Perlindungan Anak setelah dibentuk yang pada strata hukum
dikategorikan sebagai lexspecialist, semua ketetapan lainnya mengenai pengertian anak
mesti disepadankan, termasuk yang berhubungan dengan pemenuhan hak anak serta
kebijakan yang diciptakan.4
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin danmelindungi anak dan
hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembangdan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat danmartabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dandiskriminasi.5Anak yang termasuk golongan muda membutuhkan hak-
haknya untuk dilindungi. Seperti yang diketahui manusia ialah pendukung hak sejak lahir,
dan dalam hak itu memiliki hak yang bersifat mutlak sehingga harus dilindungi dan
dijaga oleh manusia. Hak yang demikian itu tidak terkecuali juga dimiliki oleh anak,
namun anak memiliki hak-hak khusus yang ditimbulkan oleh kebutuhan-kebutuhan
khusus akibat keterbatasan kemampuan sebagai anak. kekurangan itu yang itu
membangunkan dunia bahwa diperlukannya perlindungan terhadap hak anak untuk
membuat masa depan kemanusiaan yang lebih baik.6
Selanjutnya, dengan terpenuhi haknya, setiap anak tidak dapat melakukan sendiri
dikarenakan masih keterbatasannya kemampuan dan pengalamannya. Orang dewasa,
khususnya orang tua memegang peranan penting dalam memenuhi hak-hak anak.7
Konstitusi Indonesia, UUD 1945 sebagai norma hukum teringgi telah menjelaskan
bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Dengan dikaitkan hak anak
tersebut dalam batang tubuh konstitusi, maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan dan
perlindungan hak anak ialah hal penting yang harus dijelaskan lebih lanjut dan dilakukan
dalam kenyataan sehari-hari.

4
Ibid, hlm 10.
5
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, Pasal 1 Ayat 2
6
Solehuddin, Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak yang Bekerja di Bidang Konstruksi
(Studi di Proyek Pembangunan CV. Karya Sejati Kabupaten Sampang), Jurnal Universitas Brawijaya, Malang,
2013, hlm. 5.
7
M.Nasir Djamil, Op. Cit., hlm 12
Sejak seorang anak dilahirkan dalam Islam, telah memilki hak-hak dari kedua orang
tuanya antara lain:
1) Hak Nasab
Hak anak yang terpenting dari ayah adalah kepastian mengenai nasab, sebagai
buah perkawinan antara ibu-bapaknya. Nasab dapat diperoleh dengan cara sebagai
berikut:
a) Karena Perkawinan
Perkawinan merupakan jalan yang dibenarkan oleh Allah, untuk menetapkan
nasab, apabila syarat-syarat kehamilan perempuan itu telah terpenuhi, yaitu si
anak dilahirkan dalam masa tertentu. Dalam hal ini, Islam telah memberikan
batasan minimal kehamilan yaitu 6 bulan terhitung dari masa penetapan
perkawinan yang syah.
b) Karena Pengakuan
Pengakuan yang dimaksudkan di sini adalah pengakuan yang diberikan oleh
ayah kepada anaknya, ketika sebelumnya ia tidak mengakui si anak adalah
keturunannya. Menurut ahli fiqih ada dua jenis pengakuan:8
c) Karena Pembuktian
Apabila seorang anak, nasabnya tidak dapat ditetapkan dengan akad
perkawinan dan pengakuan, karena syarat-syarat tidak lengkap, maka nasab
anak boleh ditetapkan dengan cara pembuktian.
2) Hak Susuan
Sejak dilahirkan seorang anak telah memiliki hak perlindungan, pemeliharaan dan
pendidikan. Diantara proses pemeliharaan itu salah satunya adalah penyusuan. 14
Orang tua, yang dalam hal ini menunjuk ibu, berkewajiban memberikan
penyusuan pada anak, bagaimanapun caranya, secara langsung atau melalui ibu
susu sewaan.
3) Hak Pemeliharaan
Memberikan pendidikan dan memenuhi seluruh keperluan anak termasuk dalam
pemeliharan anak. Oleh sebab itu, syara’ memperhatikan apa yang sekiranya lebih
layak dan bermanfaat bagi anak kecil.Mengenai lama jangka waktu maksimal
pemeliharaan, alQur‟an tidak memberikan batasannya, oleh karena itu, batasan
tersebut diserahkan atas kemampuan kedua orang tua.

8
M.Nasir Djamil, Op. Cit., hlm. 33.
4) Hak Kewalian
Kewalian terhadap diri anak ini menyangkut persoalan pendidikan, pengawasan
dan perkawinan. Kewalian terhadap harta, terbatas pada urusan harta benda, yaitu
orang tua harus menyantuni si anak dan mengatur seluruh harta benda yang
dimiliki oleh anak, agar harta tersebut dapat bermanfaat dan maslahat bagi anak
sampai dengan kebutuhan masa depannya.
5) Hak Waris
Ahli waris adalah seorang yang memiliki hubungan nasab dengan si mati atau
yang meinggalkan harta untuk diberikan waris, karena ada mempunyai sebab dari
beberapa sebab mendapatkan warisan. Salah satu ahli waris dari orang yang
meninggal adalah anaknya, yaitu sebagai keturunan si mati yang sudah pasti garis
nasabnya. Dalam Kompilasi Hukum Islam ditegaskan bahwa anak mempunyai
hak pemeliharaan, khususnya penyusuan. Semua biaya penyusuan anak
dipertanggungjawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahnya telah meninggal dunia,
maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang brekewajiban memberi
nafkah kepada ayahnya atau walinya. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz
atau belum berumur12 (dua belas) tahun adalah hak ibunya. Pemeliharaan anak
yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau
ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya, sedangkan biaya pemeliharaan
sepenuhnya ditanggung oleh pihak ayah.

Memebesarkan dan merawat anak merupakan tugas dan kewajiban kedua orang tua,
karena anak yang belum cukup umur (ghairmumayiz) sangat membutuhkan pengasuhan,
bimbingan, dan pendidikan dari kedua orang tuanya. Menurut SayyidSabiq, ḥaḍānah adalah
melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, laki-laki maupun perempuan atau yang
sudah besar tetapi belum tamyiz, bisa menjaga dirinya dari sesuatu yang menyakitinya dan
merusaknya, bisa mendidik jasmani dan rohani serta akalnya yang mampu berdiri sendiri
menghadapi persoalan hidup dan memikul suatu tanggung jawabnya.9

Menurut Rahmat Hakim (2000), ḥaḍānah bermakna memelihar aanak-anak yang


masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau menjaga kepentingannya karena belum

9
Sayyid Sabiq, Fiqhi Al-Sunnah, Jilid 1 (Beirut: Dar al-Kitab al-„Arabi, 1398/1969), h.173
dapat berdiri sendiri, serta melindungi diri dari segala yang membahayakan dirinya sesuai
dengan kadar kemampuannya.10

Keharusan membesarkan anak yang masih kecil tidak hanya berlangsung selama
kedua orang tua masih menjalin ikatan pernikahan, tetapi berlangsung dari berlakunya
perceraian. Jika terjadi perceraian antara kedua orang tua, selama mereka memiliki anak yang
masih kecil, maka ibu lebih pantas dibandingkan ayah untuk merawat anak tersebut, selama
tidak terdapat suatu yang melarangnya.

memrioritaskan pemberian hak asuh terhadap ibu, karena ibu bisa menyusui dan lebih
dari sekedar cakap untuk membesarkan dan mengasuhnya. Seorang ibu juga akan sabar dan
mempunyai kemampuan melaksanakan hal-hal seperti itu. Daripada itu pada dasarnya ibu
memiliki banyak waktu dan kesempatan, sedangkan bapak tidak demikian. Berdasarkan
sebab-sebab itulah, ibu didahulukan daripada bapak dalam membesarkan dan mengasuh
anak. Sebabitusesuuaidengankandunganhadisriwayat Abu Daud dari Abdullah bin Umar,
yang terjemahannya sebagai berikut:

“Telah menceritakan kepada kami Rauh dan telah menceritakan pula kepada kami
IbnuJuraijdari „Amru bin Syuaib dari bapaknya dari Abdullah bin „Amru, diaberkata: bahwa
ada seorang wanita dating kepada Nabi Shallallahu „AlaihiWasallam, laluberkata:
“WahaiRasulullah, sesungguhnya anak ku ini, dulu perutku adalah tempat baginya,
pangkuanku adalah rumah baginya, dan payudaraku adalah tempat minum baginya, tapi
bapaknya ingin merebutnya dariku?” Beliau menjawab: “Kamu lebih berhak atasnya
(anakmu) selama kamu belum menikah (lagi).” (HR. Ahmad dari Abdullah ibnu Umar)

Hadis tersebut memuatkan dungan hukum yang menerangakan bahwa seorang ibu
lebih pantas mengasuh anak daripada bapak, jika bapak berkeningina nmencabut hak
pengasuhan dari tangan ibunya. Dalam riwayat hadis diatas, wanita itu telah mengemukakan
berbagai alasan yang menyebabkan ibu lebih berhak daripada bapak:

“Dulu perut sang ibu adalah tempat bagi anaknya, pangkuan sang ibu adalah rumah bagi
anaknya, dan payudara sang ibu adalah tempat minum bagi anaknya”. Hal itu disahuti dan
dibenarkan oleh Nabi Muhammad saw. Mengenai kewenangan ḥaḍānahibu yang disebut
lebih kuat dari pada bapaknya itu, di kalangan para ulama pun tidak terjadi silang pendapat.

10
Sayyid Sabiq, Fiqhi Sunnah, h. 173.
Demikian pula di level sahabat, dan itu ditunjukkan dengan telah dipraktikkannya hal
tersebut oleh Abu Bakar Ash Shidiqdan Umar Ibn Khattab.

Berdasarkan kalangan jumhur ulama,jika ibu dari anak tersebut itu sudah menikah
lagi dengan laki-laki lain, maka gugurlah hak ḥaḍānah dari seorang ibunya.

Pendapat jumhur fuqaha tersebut bertolak belakang dengan pendapat Al-Hasan dan
Ibnu Hazm. Keduanya berpendapat, bahwah akḥaḍānah tidak akan hilang dari seorang ibu
meskipun telah menikah dengan laki-laki lain. Diantaranya yang menjadidasarnya ialah suatu
riwayat yang menceritakan bahwa Anas bin Malik diasuh oleh ibunya, meskipun ia sudah
kawin. Demikian pula Ummi Salamah memelihara anak laki-lakinya setelah ia kawin dengan
Rasulullah saw., dan anak perempuan Hamzah diasuh oleh saudara dari ibunya, sedang ia
sudah kawin, berdasarkan keputusan yang ditetapkan oleh Rasulullah saw.11

B. Pendidikanberbasiskeluarga
Makna Pendidikan Karakter Berbasis Keluarga Ada banyak ahli yang mengutarakan
pendapat mengenai pendidikan karakter. Thomas Lickona mengatakan bahwa pendidikan
karakter itu merupakan sebuah proses mendidik yang meliputi knowingthegood,
desiringthegood dan doingthegood. Secara khusus kita akan melihat Pendidikan Karakter
Berbasis Keluarga pendapat ahli mengenai keluarga sebagai salah satu basis pendidikan
karakter.
Keluarga adalah salah satu locus implementasi pendidikan karakter berbasis komunitas.
Proses pembentu kan nilainilai dan perilaku yang baik bermula dari keluarga karena keluarga
merupakan komunitas terkecil di masyarakat. Keluarga akan berkontribusi memberikan
dukungan kepada anak ketika anak terjun di masyarakat.
Dukung an tersebut sangat penting bagi seorang anak termasuk pembentukan karakter
yang dapat diterima di masyarakat. Paul Suparno, dalam bukunya Pendidikan Karakter di
Sekolah, mengatakan bahwa orang tua merupakan salah satu faktor yang turut mempengaruhi
pendidikan karakter anak,1 mulai dari kandungan sampai pertumbuhan dan perkembangan
anak menjadi dewasa.
Bagaimana suasana kehidupan keluarga sehari harinya menjadi sangat penting bagi
perkem bangan karakter anak Melalui keluarga, anak memperoleh sosialisasi nilai dan
perilaku lingkungan yang hangat dan ramah merupakan prasyarat utama bagi pertumbuhan
dan perkembangan seorang anak dengan demikianpendidikan karakter berbasis keluarga
11
Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam: Setiap Ada Pintu Masuk Tentu Ada Jalan Keluar (Jakarta:
Pustaka Al-Husna, 1994), h. 216.
merupakan usaha orangtua dalam menciptakan atmosfer nilai-nilai dan psikologis yang
mendukung perkembangan anak menjadi anak yang memahami nilai-nilai.
menyesuaikan atau komitmen terhadap nilai nilai, dan kemudian memberlakukannya
dalam kehidupan mereka di tengah keluarga, masyarakat dan dunia. Pendidikan karakter
berbasis keluarga ini bukan hanya ditujukan kepada anak di dalam keluarga, tetapi kepada
orang tua yang merupakan pelaku pendidikan karakter yang utama bagi anak.
1. Keluarga sebagai Salah Satu Locus Pendidikan
Keluarga sebagai Tempat Pendidikan Karakter Keluarga merupakan
lingkungan pertama tempat anak belajar nilai, sikap, keyakinan dan perilaku yang
akan mempengaruhi pembentukan kepribadian dan karakternya.
Keluarga adalah titik awal dimana segala sesuatu dimulai, anak di didik dan
dididik. Keluarga memiliki berbagai peran, yaitu mempersiapkan anak untuk
memasuki lingkungan sekolah,
Membimbing perjalanan anak melalui sekolah, dan mendukung anak ketika
anak tumbuh dan menjadi orang dewasa yang sukses. Oleh karena itu, ada
beberapa hal yang berkaitan dengan strategi pendidikan karakter dalam keluarga,
yaitu keteladanan keramahan dan komunikasi orang tua-anak.
2. Orangtua Sebagai Model Peran (Role Model)
Perhatikan dua pernyataan berikut. "Anak-anak dapat menutup telinga mereka
untuk nasihat, tetapi membuka mata mereka, misalnya." “Jangan khawatir bahwa
anak-anak tidak akan pernah mendengarkan Anda; Maaf mereka selalu
memandangmu "Proses pendidikan yang paling efektif adalah dengan memberi
contoh atau teladan.
Orang tua adalah panutan dan merupakan guru pertama dan terpenting bagi
pengembangan karakter anak. Rumah adalah "ruang kelas" bagi anak-anak, di
mana karakter ditanamkan, dibina dan dikembangkan disinilah letak peran orang
tua.
Jika kita perhatikan pernyataan di atas, meskipun anak tampak tidak
mendengarkan nasehat orang tuanya, namun anak selalu memperhatikan perilaku
orang tuanya. Perilaku orang tua, di rumah sebagai “ruang kelas”, menjadikannya
panutan bagi anak, karena setiap hari anak bertemu dan belajar dari orang tuanya.

Pendidikan karakter dimulai dari masyarakat terkecil dalam masyarakat yaitu


keluarga, kemudian akan berpengaruh terhadap karakter bangsa dan negara, Seorang anak
akan memulai pengembangan karakter dari keluarga. Orang tua memiliki pengaruh paling
besar terhadap pengasuhan dan perkembangan karakter anak dalam keluarga. Karakter anak
akan tumbuh dan berkembang dalam keluarga apabila keberadaannya dijaga, diterima dan
diakui, serta kebutuhan dasarnyadipenuhi oleh orang tuanya.

Pendidikan karakter berbasis keluarga dimulai dengan orang tua memahami iman
Kristen sehingga karakter Kristen dapat diajarkan. Keluarga mempersiapkan tempat yang
baik untuk pengembangan karakter. Anak akan belajar melalui contoh yang diberikan oleh
orang tua. Proses komunikasi antara orang tua anak akan mempengaruhi karakter yang
berkembang dari anak dan keluarga akan dipahami sebagai sekolah cinta. Pendidikan
karakter berbasis keluarga bertujuan untuk membawa perubahan.

C. harta warisan menurut hukum perdata

Hukum waris yang ada dan berlaku di Indonesia sebagai hokum positif belum
tersusun dalam suatu peraturan yang terunifikasi. Sehingga dalam hokum kewarisan di
Indonesia dapat menggunakan berbagai macam system pewarisan antara lain: system hokum
kewarisan menurut KUH Perdata, system kewarisan menurut hokum adat dan sistem Hal ini
di karenakan belum adanya keseragaman terhadap kemajemukan bentuk dan system hokum
waris yang ada di indonesia. Hukum waris yang ada di Indonesia saat ini diantaranya adalah
yang diatur oleh system hokum adat, system hukum Islam dan system hukum Barat
(KUHPerdata).12Hukum Waris merupakan salah satu bagian dari hokum perdata secara
keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hokum kekeluargaan. Hukum Waris sangat
erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan
mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hokum selanjutnya timbul,
dengan terjadinya peristiwa hokum kematian seseorang, diantaranya ialah masalah
bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kwajiban-kewajiban seseorang yang
meninggal dunia tersebut. Penyelesaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat
meninggal seseorang, diatur oleh hokum waris

Hukum warisan terdapat di Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


(KUHPerdata) atau populernya disebut hokum waris perdata barat. Dalam pasal tersebut
ditegaskan pembagian harta warisan baru bias dilakukan setelah terjadi kematian. Jadi, kalau
pemilik harta masih hidup, harta yang dimilikinya tidak dapat dialihkan melalui pengesahan
prosedur atau ketentuan waris.

12
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, Rajawali Press, Bandung, 2005, Hlm. 12
Hak hak penerima waris menurut hokum perdata

Dalam undang-undang terdapat dua cara untuk mendapatkan suatu warisan yaitu sebagai
berikut:13

a. Secara Ab Intestato (ahli waris menurut Undang-Undang dalam Pasal 832 KUH
Perdata) Menurut ketentuan undang undang, yang berhak menerima bagian warisan
adalah para keluarga sedarah, baik sah maupun luar kawin dan suami istri yang hidup
terlama. Keluarga sedarah yang menjadi ahli waris dibagi dalam empat golongan yang
masing-masing merupakan ahli waris golongan pertama, kedua, ketiga dan golongan
keempat. Mengenai golongan ahli waris ini akan dijelaskan lebih lanjut pada
pembahasan cara pembagian hak ahli waris menurut cara Ab Intestato.
b. b. Secara testamentair (ahli waris karena ditunjuk dalam surat wasiat atau testament)
hal ini di atur dalam pasal 899 KUH Perdata

Pihak yang menjadiahliwarissecaraalami

Mereka yang ditunjuk sesuai undang-undang, antara lain suami/istri, anak,


kakek/nenek, dan lainnya sebagaimana termasuk dalam Golongan I hingga Golongan IV.
Hak ini disebut dengan abintestato. Pihak yang ditunjuk secara khusus sebagai ahli waris
sesuai isi wasiat milik pewaris. Umumnya disebut surat wasiat, surat ini tetap perlu disahkan
oleh notaris. Hak ini disebut dengan testa menter. Anak yang masih berada di dalam
kandungan. Walau belum dilahirkan, statusnya bias disahkan langsung sebagai ahli waris jika
diperlukan. Hak ini diperkuat oleh ketentuan Pasal 2 KUHPerdata. Pasal 838 KUHPerdata
menyatakan pihak-pihak yang akan dicoret sebagai ahli waris jika melakukan tindakan
criminal seperti berikut.

1. Melakukan pencegahan untuk mengesahkan atau mencabut surat wasiat.


2. Memalsukan, merusak, atau menggelapkan keberadaan surat wasiat.
3. Berupaya membunuh atau telah membunuh pewaris.
4. Terbukti bersalah berusaha merusak nama baik pewaris.

Pembagian Waris

Pasal 1066 KUHPerdata menentukan/isinya dapat disimpulkan :

13
Lihat lebih lanjut Efendi Perangin, Hukum Waris, Rajawali Pers, Jakarta, hal 4 dan lihat juga Pasal 832 KUH
Perda ta dan pasal 899 KUH Perdata.
a. Tidak seorang ahli waris yang dapat dipaksa membiarkan harta warisan tidak terbagi
b. Pembegian harta warisan dapat dibagi sewktu-waktu
c. Dibuka kemungkinan untuk mempertangguhkan pembagian harta warisan dengan
jangka waktu 5 tahun, tenggang waktu ini dapat diperpanjang 5 tshun lagi dengn
persetujuan sebua ahli waris

KUHPerdata Belum menjelaskan cara tentang pembagian warisan, jika ternyata semua
ahli waris cakap untuk bertindak sendiri dan semuanya hadir ditempat pada saat
pembagian warisan tersebut maka cara pembagian warisan diberikan kepada mereka
sendiri, tetapi dalam hal ada diantara ahli warisan anak di bawah umur atau ada yang
ditaruh di bawah curatele (pengampuan), maka pembagian warisan harus dilakukan
dengan suatu akta notaries dan di hadapan weeskamer (Balai Harta peninggalan).

Inbreng yaitu mengembalikan benda-benda kedalam boedel. Masalah ini timbul jika
ternyata pewaris semasa hidupnya telah memberikan benda-benda secara schenking
kepada sementara ahli waris yang dianggapnya sebagai suatu voorschot atas bagian
warisan yang akan diperhitungkan kemudian.

Menurut UU yang diharuskan melakukan inbrenga dalah para ahli waris dalam garis
lurus kebawah, dengan tidak membedakan apakah mewaris secara penuh atau menerima
dengan catatan, tetapi pewaris berhak untuk menentukan bahwa ahli waris yang telah
menerima pemberian-pemberian pada saat pewaris hidup dibebaskan dari inbreng. Sifat
peraturan inbreng berbeda dengan peraturan legitiemeprotie : untuk melindungi
kepentingan ahli waris yang mempunyai hubungan yang sngat rapat dengan pewaris
karenanya peraturan tersebut bersifat memaksa artinya tidak dapat disingkirkan.

Seseorang yang pernah menerima pemberian benda sewaktu hidup tidak perlu melakukan
inbreng jika ia bukan ahliwaris, ia hanya dapat dituntut pengurangan jika ternyata
pemberian itu melanggar legitiemeportie.

Pasal 1079 KUHPerdata, cara pembagian warisan :

1. Masing-masing ahli wris menerima barang tertentu dengan harga/nilai sama rata
seperti misalnya seperdua harta warisan jika ahli waris hanya terdiri dari dua orang
saja, seperlima jika ahli waris terdiri dari lima orang, demikian selanjutnya.
2. Bila diantara ahli waris ada yang menerima barang/harta waris lebih dari bagiannya,
di pihak lain di antara ahli waris menerima kurang dari bagiannya maka ahli waris
yang menerima bagian yang lebih diharuskan memberikan sejumlah uang tunai pada
yang mendapat kurang dari bagiannya.
Jika terjadi perselisihan di antara mereka yang mendapat barang tertentu selaku
bagiannya, maka hal tersebut harus diundi. Apabila tidak ada kata sepakat mengenai
penentuan barang-barang tertentu yang akan dibagikan kepada masingmasing ahli
waris maka dapat dimintakan keputusan pengadilan negeri.
Setelah menerima penentuan barang-barang tertentu, Pasal 1080 KUHPerdata
membuka kemungkinan tukar menukar bagian masing-masing di antara para ahli
waris
Dijelaskan pada Pasal 1083 KUHPerdata : apabila pembagian warisan sudah terjadi,
maka masing-masing ahli waris dinggap sebagai pemilik barang yang diterimanya
sejak saat pewaris meninggal.
D. KEWARISAN HUKUM ISLAM

Pengertian kewarisan Islam

Kewarisan menurut hukum Islam adalah hukum yang mengatur peralihan harta
kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli
warisnya. Dan juga berbagai aturan tentang perpidahan hak milik dan hak guna, hak milik
yang dimaksud adalah berupa harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia kepada
ahli warisnya14. Dalam pengertian atau pemahaman lain, waris disebut juga dengan fara‟id.
Yang memiliki arti dari bagian tertentu yang dibagi menurut agama Islam kepada semua
yang berhak menerimanya dan yang telah di tetapkan Bagian bagiannya15. Adapun beberapa
istilah tentang waris yaitu :

1. Waris Yaitu orang yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan. Ada ahli
waris yang sesungguhnya yang memiiki hubungan kekerabatan yang dekat akan
tetapi tidak berhak menerima warisan. Hak-hak Waris bisa ada karena hubungan
darah, karena hubungan perkawinan, dan karena akibat memerdekakan hamba atau
budak.
2. Mawarrits, ialah orang yang diwarisi harta benda peninggalan. Yaitu orang yang
meninggal baik itu meninggal secara hakiki, secara taqdiry (perkiraan), atau melalui
keputusan hakim. Seperti orang yang hilang (al-mafqud), dan tidak tahu kabar

14
Effendi Perangin, Hukum Waris,(Jakarta: Rajawali Pers ,2008), h.3
15
Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, (Bandung :Pustaka setia, 2012), h 13.
beritanya setelah melalui pencaharian dan persaksian, atau tenggang waktu tertentu
hakim memutuskan bahwa ia dinyatakan meninggal dunia melalui keputusan hakim.
3. Al-Irts, yaitu harta warisan yang siap dibagi kepada ahli waris sesudah diambil untuk
keperluan pemeliharaan zenazah (tajhizal-janazah), pelunasan utang, serta
pelaksanaan wasiat.
4. Waratsah, yaitu suatu harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris. Ini berbeda
dengan harta pusaka yang di beberapa daerah tertentu tidak bisa dibagi-bagi, karena
menjadi milik kolektif semua para ahli waris.
5. Tirkah, ialah semua harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum diambil
untuk kepentingan pemeliharaan zenazah, pelunasan utang, dan pelaksanaan wasiyat
yang dilakukan oleh orang yang meninggal ketika masih hidup.16

Asas-asas hokum kewarisan Islam

Dalam kewarisan Islam ada beberapa asas yang berkaitan dengan peralihan harta kepada ahli
warist, cara pemilikan harta oleh yang menerima kadar jumlah harta dan waktu terjdinya
peralihan harta. Asas-asas tersebut yaitu:

1. Asas Ijbari
Asas Ijbari ialah pengalihan harta dari seseorang yang meninggal dunia
kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah. Tanpa
digantungkan kepada kehendak pewaris dan ahli warisnya dan asas ini dapat dilihat
dari berbagai segi yaitu17:
Dari segi pewaris, mengandung arti bahwa sebelum meninggal ia tidak dapat
menolak peralihan harta tersebut. Apa pun kemauan pewaris terhadap hartanya, maka
kemauannya dibatasi oleh ketentuan yang di tetapkan oleh Allah. Oleh karena itu
sebelum meninggal Ia tidak perlu memikirkan atau merencanakan sesuatu terhadap
hartanya, kerena dengan meninggalnya seseorang secara otomatis hartanya beralih
kepada ahli warisnya.
Dari segi peralihan harta, mengandung arti bahwa harta orang yang
meninggal itu beralih dengan sendirinya, bukan dialihkan oleh siapa-sapa kecuali oleh
Allah. Oleh karena itulah kewarisan dalam Islam diartikan dengan peralihan harta,

16
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta Utara: PT Raja Grafindo
Persada,2005), h.4
17
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika , Tahun 2008).h.39
bukan pengalihan harta karena pada peralihan berarti beralih dengan sendirinya
sedangkan pada kata pengalihan ialah usaha seseorang.
Dari segi jumlah harta yang beralih, dari segi jumlah dapat dilihat dari kata
“mafrudan” secara etimologis berarti telah ditentukan atau telah diperhitungkan, kata-
kata tersebut dalam terminologi Ilmu Fikih, berarti sesuatu yang telah diwajibkan
Allah kepadanya, yaitu berarti bagian waris sudah ditentukan.
Dari segi penerima peralihan harta itu, yaitu bahwa penerima harta, dan
mereka yang berhak atas harta peninggalan itu sudah ditentukan secara pasti.
Ketentuan asas Ijbari ini dapat dilihat antara lain dalam ketentuan al-Quran
surat An-nisa ayat : 7
ِ ‫اْل ْق َرب ُْونَمِ َّماقَلَّمِ ْن ُها َ ْو َكث ُ َر ۗ ن‬
‫َص ْيبًا َّم ْف ُر ْوضًا‬ ِ ‫س ۤاءِ ن‬
َ ْ ‫َص ْيبٌمِ َّمات ََرك َْال َوا ِل ٰدن َِو‬ َ ْ ‫َص ْيب ٌِم َّمات ََرك َْال َوا ِل ٰدن َِو‬
َ ِ‫اْل ْق َرب ُْونَ َولِلن‬ ِ ‫ِلر َجا ِلن‬
ِ ‫ل‬
Artinya: Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa
dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah
ditetapkan.
Ayat di atas menjelaskan bahwa: “bagi seorang laki-laki maupun perempuan
ada nasib dari harta peninggalan orang tuanya atau dari karib kerabatnya, kata nasib
dalam ayat tersebut dalam arti saham, bagian atau jatah dari harta peninggalan
sipewaris.

2. Asas Bilateral
Yang dimaksud dengan asas bilateral dalam hukum kewarisan Islam adalah
seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak kerabat, yaitu dari garis
keturunan perempuan maupun keturunan laki-laki. Untuk lebih jelasnya asas bilateral
in dapat dilihat dalam surah an-Nisa ayat :7, dan 11. Dalam ayat 7 dijelaskan
dikemukakan bahwa seorang laki-laki berhak memperoleh warisan dari pihak
ayahnya maupun ibunya. Begitu juga dengan perempuan mendapat warisan dari
kedua belah pihak orang tuanya. Ayat ini merupakan dasar bagi kewarisan bilateral
selanjutnya di pertegas dalam surah an-Nisa: 11
ْ ‫س ۤا ًء فَ ْوقَ اثْنَتَي ِْن فَلَ ُه َّن ثُلُثَا َما ت ََركَ ۚ َوا ِْن كَان‬
‫َت َواحِ دَةً فَلَ َها‬ َ ِ‫ّٰللاُ فِ ْْٓي ا َ ْو ََل ِد ُك ْم لِلذَّك َِر مِ ثْ ُل َح ِظ ْاَلُ ْنث َ َيي ِْن ۚ فَا ِْن ُك َّن ن‬
‫ص ْي ُك ُم ه‬
ِ ‫ي ُْو‬
‫ث ۚ فَا ِْن‬ُ ُ‫ُس مِ َّما ت ََركَ ا ِْن َكانَ لَهٗ َولَدٌ ۚ فَا ِْن لَّ ْم يَ ُك ْن لَّهٗ َولَدٌ َّو َو ِرثَ ٗ ْٓه اَبَ ٰوهُ فَ ِِلُ ِم ِه الثُّل‬ ُ ‫سد‬ ُّ ‫ف ۗ َو َِلَبَ َو ْي ِه ِل ُك ِل َواحِ ٍد ِم ْن ُه َما ال‬
ُ ‫ص‬ ْ ِ‫الن‬
ۗ ‫ص ْي بِ َها ْٓ ا َ ْو دَي ٍْن ۗ ٰابَ ۤا ُؤ ُك ْم َواَ ْبن َۤا ُؤ ُك ۚ ْم ََل تَد ُْر ْونَ اَيُّ ُه ْم اَ ْق َربُ لَ ُك ْم نَ ْفعًا‬
ِ ‫صيَّ ٍة ي ُّْو‬ِ ‫ُس مِ ْۢ ْن بَ ْع ِد َو‬
ُ ‫سد‬ ُّ ‫َكانَ لَهٗ ْٓ ا ِْخ َوة ٌ فَ ِِلُ ِم ِه ال‬
ِ ‫ضةً ِمنَ ه‬
َ ‫ّٰللا ۗ ا َِّن ه‬
َ َ‫ّٰللا َكان‬
‫ع ِل ْي ًما َح ِك ْي ًما‬ َ ‫فَ ِر ْي‬
Artinya: “Allah mensyari´atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang
saja, maka ia memperoleh setengah dari harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi
oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-
pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui
siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

3. Asas Individual
Yang dimaksud asas individual ini yaitu, setiap ahli waris (secara individu)
berhak atas bagian yang didapatkan tanpa terikat kepada ahli waris lainya. Dengan
demikian bagian yang diperoleh oleh ahli waris secara individu berhak mendapatkan
semua harta yang telah menjadi bagianya. Ketentuan ini dapat dijumpai dalam
ketentuan Alquran surat an-Nisa ayat 7 yang secara garis besar menjelaskan tentang
anak laki-laki maupun prempuan berhak meerima warisan dari orang tuanya dan
karib kerabatnya, terlepas dari jumlah haran yang yang telah ditentukan. yang
mengemukakan bahwa bagian masing-masing ahli waris ditentukan.
4. Asas Keadilan Berimbang
Yang dimaksud asas keadilan berimbang yaitu keseimbangan antara hak
dengan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan kebutuhan dan
kegunaan. Dengan perkataan lain dapat dikemukakan bahwa faktor jenis kelamin
tidak menentukan dalam hak kewarisan.
5. Kewarisan Akibat Kematian
Hukum waris Islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta hanya
semata-mata karena adanya kematian. Dengan perkataan lain harta seseorang tidak
dapat beralih apabila belum ada kematian. Apabila pewaris masih hidup maka
peralihan harta tidak dapat dilakukan dengan sistem pewarisan pada umumnya yang
di atur dalam Islam.18

Sumber sumber hokum kewarisan

Ada beberapa Sumber hokum ilmu faraidh adalah AlQur’an, as- Sunnah Nabi saw, dan
ijma para ulama19.

1. Al-Qur’an
Dari sumber hukum yang pertama al-Qur’an, setidaknya ada tiga ayat yang
memuat tentang hukum waris. Ada beberapa ayat yang berkaitan dengan kewarisan
yaitu: tersebut dalam surat An-Nisa ayat 11:
ْ ‫س ۤا ًء فَ ْوقَ اثْنَتَي ِْن فَلَ ُه َّن ثُلُثَا َما ت ََركَ ۚ َوا ِْن كَان‬
‫َت َواحِ دَة ً فَلَ َها‬ َ ِ‫ّٰللاُ فِ ْْٓي ا َ ْو ََل ِد ُك ْم لِلذَّك َِر مِ ثْ ُل َح ِظ ْاَلُ ْنث َ َيي ِْن ۚ فَا ِْن ُك َّن ن‬
‫ص ْي ُك ُم ه‬
ِ ‫ي ُْو‬
‫ث ۚ فَا ِْن‬ُ ُ‫ُس مِ َّما ت ََركَ ا ِْن َكانَ لَهٗ َولَدٌ ۚ فَا ِْن لَّ ْم يَ ُك ْن لَّهٗ َولَدٌ َّو َو ِرث َ ٗ ْٓه اَبَ ٰوهُ فَ ِِلُ ِم ِه الثُّل‬ ُ ‫سد‬ ُّ ‫ف ۗ َو َِلَبَ َو ْي ِه ِل ُك ِل َواحِ ٍد ِم ْن ُه َما ال‬
ُ ‫ص‬ ْ ِ‫الن‬
ۗ ‫ص ْي بِ َها ْٓ ا َ ْو دَي ٍْن ۗ ٰابَ ۤا ُؤ ُك ْم َواَ ْبن َۤا ُؤ ُك ۚ ْم ََل تَد ُْر ْونَ اَيُّ ُه ْم اَ ْق َربُ لَ ُك ْم نَ ْفعًا‬
ِ ‫صيَّ ٍة ي ُّْو‬ِ ‫ُس مِ ْۢ ْن بَ ْع ِد َو‬
ُ ‫سد‬ ُّ ‫َكانَ لَهٗ ْٓ ا ِْخ َوة ٌ فَ ِِلُ ِم ِه ال‬
ِ ‫ضةً ِمنَ ه‬
َ ‫ّٰللا ۗ ا َِّن ه‬
َ َ‫ّٰللا َكان‬
‫ع ِل ْي ًما َح ِك ْي ًما‬ َ ‫فَ ِر ْي‬
Artinya: “Allah mensyari´atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka
dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka
ia memperoleh setengah dari harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-
masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi
oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-
pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui
siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Q.s. An-Nisa ayat: 12
َ‫صيْن‬ ِ ‫الربُ ُع مِ َّما ت ََر ْكنَ مِ ْۢ ْن بَ ْع ِد َو‬
ِ ‫صيَّ ٍة ي ُّْو‬ ُّ ‫ف َما ت ََركَ ا َ ْز َوا ُج ُك ْم ا ِْن لَّ ْم يَ ُك ْن لَّ ُه َّن َولَدٌ ۚ فَا ِْن َكانَ لَ ُه َّن َولَدٌ فَلَ ُك ُم‬ ُ ‫ص‬ ْ ِ‫َولَ ُك ْم ن‬
ِ ‫الربُ ُع مِ َّما ت ََر ْكت ُ ْم ا ِْن لَّ ْم يَ ُك ْن لَّ ُك ْم َولَدٌ ۚ فَا ِْن َكانَ لَ ُك ْم َولَدٌ فَلَ ُه َّن الثُّ ُم ُن مِ َّما ت ََر ْكت ُ ْم ِم ْۢ ْن بَ ْع ِد َو‬
‫صيَّ ٍة‬ ُّ ‫بِ َها ْٓ ا َ ْو دَي ٍْن ۗ َولَ ُه َّن‬

18
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam,( Jakarta: Prenada Media tahun 2004) h.19
19
Addys Aldizar, Faturraman, Hukum Waris, ( Jakarta: Senayan Abadi Publisbing, 2004) h.14
‫ُس فَا ِْن كَانُ ْْٓوا ا َ ْكثَ َر‬ ُّ ‫ث ك َٰل َلةً اَ ِو ا ْم َراَة ٌ َّو َل ٗ ْٓه ا َ ٌخ ا َ ْو ا ُ ْختٌ فَ ِل ُك ِل َواحِ ٍد ِم ْن ُه َما ال‬
ُ ۚ ‫سد‬ ُ ‫ص ْونَ ِب َها ْٓ ا َ ْو دَي ٍْن ۗ َواِ ْن َكانَ َر ُج ٌل ي ُّْو َر‬
ُ ‫ت ُ ْو‬
‫ع ِل ْي ٌم َح ِل ْي ۗ ٌم‬
َ ُ‫ّٰللا‬ ِ ‫صيَّةً ِمنَ ه‬
‫ّٰللا ۗ َو ه‬ ِ ‫ض ۤا ٍر ۚ َو‬َ ‫غي َْر ُم‬ َ ‫صيَّ ٍة ي ُّْوصٰ ى ِب َها ْٓ ا َ ْو دَي ٍۙ ٍْن‬ ِ ‫ث مِ ْۢ ْن َب ْع ِد َو‬
ِ ُ‫ش َرك َۤا ُء فِى الثُّل‬
ُ ‫مِ ْن ٰذلِكَ فَ ُه ْم‬
Artinya : Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai
anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah
dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai
anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan)
sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan
(seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.
Tetapi jika saudarasaudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam
yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar
hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan
yang demikian itu sebagai) syari´at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Penyantun.
Ayat yang lebih menegaskan warisan laki-laki dan perempuan dalam Q.san-Nisa ;176
‫ف َما ت ََر ۚكَ َوه َُو يَ ِرث ُ َها ْٓ ا ِْن لَّ ْم يَ ُك ْن لَّ َها‬ َ ‫ّٰللاُ يُ ْفتِ ْي ُك ْم فِى ْالك َٰللَ ِة ۗا ِِن ا ْم ُرؤٌا َهلَكَ لَي‬
ْ ِ‫ْس لَهٗ َولَدٌ َّولَ ٗ ْٓه ا ُ ْختٌ فَلَ َها ن‬
ُ ‫ص‬ ‫يَ ْست َ ْفت ُ ْون َۗكَ قُ ِل ه‬
َ ِ‫َولَدٌ ۚ فَا ِْن كَانَت َا اثْنَتَي ِْن فَلَ ُه َما الثُّلُ ٰث ِن مِ َّما ت ََركَ َۗوا ِْن كَانُ ْْٓوا اِ ْخ َوة ً ِر َج ًاَل َّون‬
‫س ۤا ًء فَلِلذَّك َِر مِ ثْ ُل َح ِظ ْاَلُ ْنثَيَي ۗ ِْن يُبَيِ ُن ه‬
‫ّٰللاُ لَ ُك ْم اَ ْن‬
‫ع ِل ْي ٌم‬
َ ٍ‫ش ْيء‬ ‫َضلُّ ْوا ۗ َو ه‬
َ ‫ّٰللاُ بِ ُك ِل‬ ِ ‫ت‬
Artinya; Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan
ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya
yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang
laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai
anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu
terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara
lakilaki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan
(hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.
2. Hadis
Ada beberapa hadis yang memaparkan tentang sistem pembagian harta waris
antara lain:
Yang Artinya: dari Ibnu Abbas ra. Nabi Muhammad Saw bersabda”
berikanlah harta pusaka kepada orangorang yang berhak sesudah itu sisanya untuk
laki-laki yang lebih utama.(Hr.Muslim).20
Yang Artinya: Dari Usamah bin Said ra. Bahwasanya Nabi saw bersabda:
tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir
mewaisi ( Hr. Bukhari dan Muslim)
Yang Artinya “ Serahkanlah bagian-bagian kepada ahlinya, maka apa yang
lebih adalah bagi laki-laki yang lebih dekat.( Bukhari dan Muslim)21
Hadis diatas menjelaskan bawa bagian anak laki-laki lebih besar dari bagian
anak perempperempua
3. Ijma dan Ijtihad
Para sahabat, tab‟in, generasi pasca sahabat dan tabi‟ittabi‟in dan generasi
pasca tabi‟in. Telah berijma atau bersepakat tentang legalitas ilmu faraid dan tidak
ada yang dapat menyalahinya. Imamimam mazhab yang berperan dalam
pemecahanpemecahan masalah waris yang belum dijelaskan dalam nash-nashshorih.

Sebab-sebab Adanya Hak Kewarisan Dalam Islam.

Ada beberapa factor kewarisan dalam islam terkait hak seseorang mendapatkan harta
warisan yaitu hubungan kekerabatan dan hubungan perkawinan. Kedua bentuk hubungan itu
adalah sebagai berikut.

1. Hubungan Kekerabatan.
Hubungan kekerabatan bisa disebut juga dengan hubungan nasab ditentukan
oleh adanya hubungan darah, dan adanya hubungan darah dapat diketahui pada saat
adanya kelahiran di dalam suatu pernikahan yang sah, seorang ibu mempunyai
hubungan kerabat dengan anak yang dilahirkannya dan si anak mempunyai hubungan
kekerabatan dengan kedua orang tuanya.
Hubungan kekerabatan antara anak dengan ayahnya ditentukan Adanya
pernikahan yang sah antara ibunya dengan ayahnya, dengan mengetahui hubungan

20
Imam Az-Zabidi, Shahih Al- Bukori Ringkasan Hadis , ( Jakarta: Pustaka Amani Thun 2002) h.035
21
Muhammad bin Ismail al –Bukhari, Jus IV, ahli bahasa Zainuddi, Hamidy, DKK, Terjemah Shahih Bukhari ,
hadis no 1799 ( Jakarta: Widajaya, thun 1992) h. 91
kekerabatan antara ibu dengan anaknya dan anak dengan ayahnya, dapat pula
diketahui hubungan kekerabatan ke atas yaitu kepada ayah atau ibu dan seterusnya,
kebawah, kepada anak beserta cucu cucu atau keturunannya yang lain. Dari hubungan
kerabat yang demikian, dapat juga diketahui struktur kekerabatan yang tergolong ahli
waris apabila seorang mninggal dunia dan telah meninggalkan harta warisan.
Hubungan kerabata tersebut, bila dianalisis pengelompokannya menurut
Hazairin yang mengelompokannyakedalam tiga kelompok ahli waris, yaitu dzawul
faraid, dzawulqarabat dan mawali. Yang dimaksud mawali ialah ahli waris pengganti,
atau dapat juga diartikan sebagai orang-orang yang menjadi ahli waris dikarenakan
tidak lagi penghubung antara mereka dengan pewaris. Demikian pendapat ahlussunna
yang mengelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu dzawul faraid, ashabah, dan
dzawularham.
2. Hubungan Perkawinan.
Kaitan hubungan perkawinan dengan hukum kewarisan Islam, berarti
hubungan perkawinan yang sah menurut Islam. Apabila seorang suami meninggalkan
harta warisan dan janda, maka istri yang dinggalkan itu termasuk ahli warisnya
demikian pula sebaliknya .
Al-Wala‟ (Memerdekakan Hamba Sahaya atau Budak) yaitu kewarisan akibat
seseorang memerdekakan hamba (budak), atau melelui perjanjian tolong menolong.
Untuk yang terakhir ini, agaknya jarang dilakukan jika malah tidak ada sama sekali.
Adapun al-wala‟ yang pertama disebut dengan wala‟ al-„ataqah atau
„ushubahsababiyah, dan yang kedua disebut dengan wala‟ al-mualah, yaitu
wala‟yang timbul akibat kesedihan seseorang untuk tolong menolong dengan yang
lain melalui suatu perjanjian perwalian. Orang yang memerdekakan hamba sahaya,
jika laki-laki disebut dengan al-mu‟tiq dan jika perempuan al-mu‟tiqah. Wali
penolong disebut maula’ dan orang yang ditolong yang disebut dengan mawali.
Adapun bagian orang yang telah memerdekakan hamba sahaya adalah 1/6 dari
harta peninggalan. Jika kemudian ada pertanyaan apakah sekarang masih ada hamba
sahaya, maka jawabanya adalah bahwa hapusnya perbudakan merupakan salah satu
keberhasilan misi orang orang Islam. Karena memang imbalan warisan kepada al-
mu‟tiq dan atau al-mu‟tiqah salah satu tujuanya adalah untuk memberikan motifasi
kepada siapa saja yang mampu, agar membantu dan mengembalikan hak-hak budak
atau hamba agar menjadi orang yang merdeka22.

Sebab –Sebab Hilangnya Hak Kewarisan Dalam Islam.

Adapun yang dimaksud sebab sebab hilangnya hak keawarisan adalah menggugurkan
hak ahli waris untuk mendapatkan harta tinggalan atau warisan dari pewaris. Ada beberapa
faktor yang dapat menimbulkan ahli waris kehilangan haknya yaitu:

1. Perbudakan
Seorang yang berstatus sebagai budak tidaklah mempunyai hak untuk mewarisi atau
sekalipun dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak menjadi milik
majikannya juga.
2. Perbedaan Agama23.
Adapun yang dimaksud perbedaan agama ialah keyakinan yang dianut antara ahli
waris dan muaris (orang yang mewarisi) ini menjadi penyebab hilangnya hak
kewarisan sebagaimana ditegaskan dalam hadis Rasulullah dari Usama bin Zaid,
diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tirmizi dan IbnMajah. Yang telah
dijelaskan bahwa seorang muslim tidak bisa menerima warisan dari yang bukan
muslim24. Dari hadis tersebut dapat dipahami bahwa hubungan antara kerabat yang
berbeda agama dalam kehidupan sehari-hari hanya nenyangkut hubungan sosial saja.
3. Pembunuhan
Pembunuhan menghalangi seseorang untuk mendapatkan warisan dari pewaris yang
dibunuhnya. Ini berdasarkan hadis Rosulullah dari Abu Hurairah yang di riwayatkan
oleh IbnMajah, bahwa seseorang yang membunuh pewarisannya tidak berhak
menerima warisan dari orang yang dibunuhnya. Dari hadis tersebut menegaskan
bahwa pembunuhan menggugurkan hak kewarisan.
4. Berlainan Negara
Yang dimaksud dengan beralih atau pindah negara dalam hal ini ialah ibarat suatu
daerah yang ditempat tinggali oleh muarris dan ahli waris, baik daerah itu
pemerintahan nya berbentuk kesultanan, kerajaan, maupun republik25.

22
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta Utara: PT Raja Grafindo Persada,2005), h.45
23
Muhammad Muslih, Fiqih (Bogor: Yudhistira, thun 2007) h. 126
24
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta; Sinar Grafika tahun 2007) h.112.
25
Fahtur Rahman, Ilmu Waris (Bandung:PT Alma’arif thun 1981) h. 33
5. Murtad
Yang di maksud Murtad ialah orang yang keluar dari agama Islam, dan tidak dapat
menerima harta pusaka dari keluarganya yang muslim. Begitu pula sebaliknya26.

Rukun Dan Syarat Kewarisan

Pada dasarnya persoalan waris-mewarisi selalu identik dengan perpindahan kepemilikan


sebuah harta benda, hak dan tanggung jawab dari pewaris kepada ahli warisnya. Dan dalam
hokum waris Islam penerimaan harta warisan didasarkan pada asasij bari, yaitu harta warisan
berpindah dengan sendirinya menurut ketetapan Allah swt tanpa digantungkan pada
kehendak pewaris atau ahliwaris. Pengertian tersebut akan terwujud jika syarat dan rukun
mewarisi telah terpenuhi dan tidak terhalang mewarisi. Ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi dalam pembagian harta warisan. Syarat-syarat tersebut selalu mengikuti rukun, akan
tetapi sebagian ada yang berdiri sendiri27. Ada tiga rukun warisan yang telah disepakati oleh
para ulama, tiga syarat tersebut adalah:

1. Pewaris baik secara haqiqy, hukmy (misalnya dianggap sudah meninggal) maupun
secara takdir.
2. Adanya ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menerima harta penenggalan
pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab),atau ikatan pernikahan, atau
lainnya.
3. Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalankan pewaris
baik berupa uang, tanah ataupun aset yang lainnya. Bahkan hutang juga termasuk
waris yang harus di tanggung oleh ahli waris.

Adapun syarat waris harus terpenuhi pada saat pembagian harta warisan. Rukun
waris dalam hukum kewarisan Islam, diketahui ada tiga macam, yaitu:

1. Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang, yang
mewariskan hartanya. Syaratnya adalah muwaris benar-benar telah meninggal dunia.
Kematian seorang muwaris itu, menurut ulama dibedakan menjadi 3 macam:
1) Mati Haqiqy (mati sejati).
Mati haqiqy (mati sejati) adalah matinya muwaris yang diyakini tanpa
membutuhkan putusan hakim dikarenakan kematian tersebut disaksikan oleh

26
Muhammad Ali As-Shabuni, Hukum Kewarisan Menurut AlQur‟an Dan Sunnah ( Jakarta: Cv Diponegoro,
thun 2004) h.64
27
Muhammad Daut Ali, Asas Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali press thn 1990) h. 129
orang banyak dengan pancaindera dan dapat dibuktikan dengan alat bukti yang
jelas dan nyata.
2) Mati Hukmy ( mati menurut putusan hakim atau yuridis).
Mati Hukmy (mati menurut putusan hakim atau yuridis) adalah suatu kematian
yang dinyatakan atas dasar putusan hakim karena adanya beberapa
pertimbangan. Maka dengan putusan hakim secara yuridis muwaris
dinyatakan sudah meninggal meskipun terdapat kemungkinan muwaris masih
hidup. Menurut pendapat Malikiyyah dan Hambaliyah, apabila lama
meninggalkan tempat itu berlangsung selama 4 tahun, sudah dapat dinyatakan
mati. Menurut pendapat ulama mazhab lain, terserah kepada ijtihad hakim
dalam melakukan pertimbangan dari berbagai macam segi kemungkinannya.
3) Mati Taqdiry (mati menurut dugaan).
Mati taqdiry (mati menurut dugaan) adalah sebuah kematian (muwaris)
berdasarkan dugaan yang sangat kuat, misalnya dugaan seorang ibu hamil
yang dipukul perutnya atau dipaksa minum racun. Ketika bayinya lahir dalam
keadaan mati, maka dengan dugaan kuat kematian itu diakibatkan oleh
pemukulan terhadap ibunya28.

2. Waris (ahli waris)


Yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik
hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau perkawinan, atau karena
memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya adalah pada saat meninggalnya muwaris,
ahli waris diketahui benar-benar dalam keadaan hidup. Termasuk dalam hal ini adalah
bayi yang masih dalam kandungan (al-haml). Terdapat juga syarat lain yang harus
dipenuhi, yaitu, antara muwaris dan ahli waris tidak ada halangan saling mewarisi.29
3. Al –Mauruts
Adalah segala sesuatu harta benda yang menjadi warisan. Baik berupa harta
atau hak yang termasuk dalam kategori warisan.

Golongan waris

Golongan ahli waris

28
Addys Aldizar, Faturraman, Hukum Waris, ( Jakarta: Senayan Abadi Publisbing, 2004) h.28
29
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta Utara: PT Raja Grafindo Persada,2005), h.28
Adapun ahli waris dari kalangan dari kalangan laki-laki ada sepuluh yaitu:
1) Anak laki-laki
2) Cucu laki-laki dari anak laki-laki
3) Ayah
4) Kakek dan terus ke atas
5) Saudara laki-laki sekandung
6) Saudara laki-laki dari ayah
7) Paman
8) Anak laki-laki
9) suami
10) Tuan laki-laki yang memerdekakan budak

Ada tujuh ahli waris dari dari kalangan perempuan


1) Anak perempuan
2) Anak perempuan dari anak laki-laki
3) Ibu
4) Nenek
5) Saudara perempuan
6) Istri
7) Tuan wanita yang memerdekakan budak

Adapun lima ahli waris yang yang tidak perna gugur mendapatkan
mendapatkan hak waris
1) Suami
2) Istri
3) Ibu
4) Ayah

Anak yang langsung dari pewaris Dan ashabah yang paling dekat yaitu:
1) Anak laki-laki
2) Cucu dari anak laki-laki
3) Ayah
4) Kakek dari pihak ayah
5) Saudara laki-laki seayah dan seibu
6) Saudara laki-laki seayah
7) Anak laki-laki dari saudara laki seayah dan seibu
8) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
9) Paman
10) Anak laki-laki paman
11) Jika Ashabah tidak ada, maka tuan yang memerdekakan budaklah yang
mendapatkannya30.

Kesimpulan

Pada dasarnya Pendidikan seorang anak sangat berpengaruh pada Pendidikan berbasis
kelurga, yang mana Pendidikan ini dilakukan pada keluarga masing-masing sebagai tumpuan
Pendidikan paling utama pada karakter dan perkembangan sikap sang anak. Akan halini
orang tua secara langsunglah yang menjadi tenaga Pendidikan bagi anak-anak mereka sendiri.

Dari pada itu maka sangat menjadi dampak besar bagi anak dalam pertumubuhannya
dalam segi apapun baik itu karakter, sikap, dan juga mentalnya. Dikarenakan ini maka segala
apapun yang terjadi di kelurga adalah Pendidikan bagi sang anak, jika keluarga berada dalam
keadaan yang tidak baik atau broken home maka Pendidikan berbasis keluarga akan tidak
berjalan dengan semestinya.

Begitu juga pada kewarisan dari segi hokum positif dan hokum islam yang mana
dalam hal ini menjadi pertimbangan tambahan dalam membagi jumlah waris pada setiap
anak, yang dimana diawal dengan kelurga yang harmonis sang anak mendapatkan pembagian
harta waris yang bias dibagi dengan ketentuan yang sudah diatur dalam hokum positif dan
hokum islam.

Sebab perceraian ini dan juga salah satu orang tua yang bercerai menikahla gimana
akan semakin pelik bagi pewaris dalam menentukan besaran hak waris yang harus dibagi
untuk semua pewaris yang sah, dan juga menjadi kebingungan dalam status hak warisnya
sehingga dapat menciptakan pertikaian antara hak waris dari anak hasil pernikahan pertama
dan kedua.

30
Mustafa Bid Al-Bugha, Fiqih Islam Lengkap, (Surakarta: Media Zikir thun 2009) h.327
DAFTAR PUSTAKA

M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2013,
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, Pasal 1 Ayat 2

Solehuddin, Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap PekerjaAnak yang Bekerja di Bidang


Konstruksi (Studi di Proyek Pembangunan CV. Karya Sejati Kabupaten Sampang), Jurnal
Universitas Brawijaya, Malang, 2013

SayyidSabiq, Fiqhi Al-Sunnah, Jilid 1 (Beirut: Dar al-Kitab al-„Arabi, 1398/1969), h

F Said, Perceraian Menurut Hukum Islam: Setiap Ada Pintu MasukT entu Ada Jalan Keluar (Jakarta:
Pustaka Al-Husna, 1994),

Eman Suparman, HukumWaris Indonesia, Rajawali Press, Bandung, 2005,

Lihat lebih lanjut Efendi Perangin, Hukum Waris, Rajawali Pers, Jakarta, hal 4 dan lihat juga Pasal
832 KUH Perda ta dan pasal 899 KUH Perdata.

Effendi Perangin, HukumWaris,(Jakarta: RajawaliPers ,2008),

Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, (Bandung :Pustakasetia, 2012),

ARofiq, FiqhMawaris, (Jakarta Utara: PT Raja Grafindo Persada,2005),

Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, HukumWaris Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika Tahun
2008).h.39

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam,( Jakarta: Prenada Media tahun 2004)

Addys Aldizar, Faturraman, HukumWaris, ( Jakarta: Senayan Abadi Publisbing, 2004)

Imam Az-Zabidi, Shahih Al- Bukori Ringkasan Hadis , ( Jakarta: Pustaka Amani Thun 2002)

Muhammad bin Ismail al –Bukhari, Jus IV, ahli bahasa Zainuddi, Hamidy, DKK, Terjemah Shahih
Bukhari , hadis no 1799 ( Jakarta: Widajaya, thun 1992)

Ahmad Rofiq, FiqhMawaris, (Jakarta Utara: PT Raja Grafindo Persada,2005),

Muhammad Muslih, Fiqih (Bogor: Yudhistira, thun 2007)

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta; Sinar Grafika tahun 2007) h

Fahtur Rahman, IlmuWaris (Bandung: PT Alma’arifthun 1981) h

Muhammad Ali As-Shabuni, Hukum Kewarisan Menurut AlQur‟an Dan Sunnah ( Jakarta: Cv
Diponegoro, thun 2004)

Muhammad Daut Ali, Asas Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali press thn 1990)

AddysAldizar, Faturraman, HukumWaris, ( Jakarta: Senayan Abadi Publisbing, 2004)


ARofiq, FiqhMawaris, (Jakarta Utara: PT Raja Grafindo Persada,2005),

Mustafa Bid Al-Bugha, Fiqih Islam Lengkap, (Surakarta: Media Zikirthun 2009)

Anda mungkin juga menyukai