Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH HUKUM PIDANA DI LUAR KODIFIKASI

KELOMPOK 6

BENTUK PENEGAKAN HUKUM TERHADAP


PERLINDUNGAN ANAK DI INDONESIA

Disusun oleh :
1. Arini Nathania (20210610360)
2. Andrian (20210610471)
3. Siti Nazwa Nadia (20210610413)
4. M. Fachrur Rozy. D (20210610447)
5. Adhe Eryana NB (20210610470)
6. Kharisma Sabilla (20210610471)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
ABSTRAK
Anak sebagai manusia seutuhnya memiliki harkat dan martabat serta hak untuk memperoleh
perlindungan dari orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negaranya terhadap
kekerasan dan diskriminasi. Hal inilah yang dijadikan sebagai landasan pemikiran dalam
melahirkan Undang-Undang Tentang Perlindungan Anak, setelah sebelumnya Indonesia
meratifikasi Konvensi Hak Anak pada tahun 1990 berdasarkan Keppres No.36 tahun 1990.
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui: faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan
hukum, serta peranannya dalam menciptakan penegakan hukum terhadap perlindungan anak
di Indonesia, dan penerapan ketentuan hukum tentang perlindungan anak di Indonesia bila
dikorelasikan dengan bekerjanya hukum. Berlakunya Undang-Undang Perlindungan Anak
selama ini ternyata telah memberikan suatu efek sosial dalam pelaksanaan hukum di
masyarakat. Bila kita cermati perkembangan sosial masyarakat dewasa ini, maka banyak
pendapat yang menyatakan bahwa penegakan hukum terhadap perlindungan anak tersebut
masih belum maksimal, hal ini tercermin dari tingginya tingkat kekerasan pada anak,
meningkatnya jumlah perdagangan anak dan lain sebagainya. Pada dasarnya penegakan
hukum terhadap perlindungan anak akan terwujud dan ketentuannya akan berlaku efektif
apabila substansi hukumnya sesuai dengan budaya masyarakat, mentalitas dan pola perilaku
penegak hukum yang baik, serta adanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam masyarakat
tersebut.

Kata-kata Kunci: penegakan hukum, perlindungan anak


PENDAHULUHAN

A. Latar Belakang

Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia serta
keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Anak merupakan sosok yang unik, apa yang
membentuk dirinya bersumber dari lingkungan sekitarnya. Anak dapat diibaratkan sebuah
gelas kosong, isi dan warna dari gelas tersebut tergantung dari bahab-bahan apa yang masuk
dalam gelas itu. Tidak dapat dipungkiri bahwa kita juga bertanggungjawab terhadap
pembentukan karakter anak. Kedudukan keluarga sangat penting dalam mendidik anak,
apabila keluarga gagal dalam mendidik maka anak cenderung melakukan tindakan kenakalan
dalam masyarakat dan bisa menjurus ke arah tindakan kriminal. Peran keluarga sangat
penting dalam membentuk kepribadian anak, karena keluarga adalah tempat perkembangan
awal seorang anak sejak lahir sampai proses perkembangan jasmani dan rohaninya. Bagi
seorang anak keluarga memiliki arti dan fungsi yang vital bagi kelangsungan hidup maupun
dalam menemukan makna dan tujuan hidupnya. Seiiring dengan perkembangan
pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang informasi dan komunikasi, kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian besar orang
tua mampu membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyakarat dan hal
itu sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Bahkan hal ini dapat mendorong
anak untuk melakukan tindak pidana. Oleh karena karakteristik anak berbeda dengan orang
dewasa maka sudah selayaknya anak yang melakukan tindak pidana tetap mendapatkan
perlindungan hukum dari negara. Salah satu prinsip yang digunakan dalam perlindungan anak
adalah anak itu modal utama kelangsungan hidup manusia, bangsa dan keluarga, untuk itu
hak-haknya harus dilindungi. Anak tidak dapat melindungi diri sendiri hak-haknya, banyak
pihak yang mempengaruhikehidupannya. Negara dan masyarakat berkepentingan untuk
mengusahakan perlindungan hak-hak anak.
pembedaan tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada anak agar
setelah melalui pembinaan akan memperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang lebih
baik yang berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Hal ini didasarkan
karena dalam diri seorang anak melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang
harus dijunjung tinggi. Anak sebagai salah satu masa depan bangsa dan merupakan generasi
penerus cita- cita bangsa, sudah selayaknya mendapatkan perhatian khusus terutama anak
yang berperkara dengan hukum. Pemberian perlindungan terhadap anak telah diatur dalam
Pasal 28 B ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 “setiap anak berhak atas keberlangsungan
hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi”. Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Internasional dalam hal ini
Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak (Convention on the right of child) tanggal 20
Nopember 1989 melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penjelasan tentang tindak pidana anak dan apa saja jenis tindak pidana
terhadap anak?
2. Apa saja sanksi pelaku tindak pidana anak dan bagaimana pelaksanaan penegakan
hukum di Indonesia?

PEMBAHASAN

A. Pengertian Tindak Pidana Anak


Anak merupakan karunia yang diberikan Tuhan kepada setiap pasangan yang
dikehendaki-Nya untuk meneruskan keturunan , hendaklah bagi setiap orang tua yang telah
dikaruniai anak tersebut merasa bersyukur dan menjaga anak mereka sebagaimana mestinya,
memenuhi segala kebutuhannya, memberikan rasa nyaman, kasih sayang, perhatian,
memberikan ruang bagi anak untuk mengekspresikan karya karya mereka. Pengertian anak
yang terdapat dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
yaitu:

a. Anak dalam perkara anak adalah : orang yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun
tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.1
b. Anak nakal adalah: Anak yang melakukan tindak pidana atau Anak yang melakukan
perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-
undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam
masyarakat bersangkutan.
c. Anak terlantar adalah: Anak yang berdasarkan penetapan pengadilan ditetapkan
sebagai anak terlantar, atas pertimbangan anak tersebut tidak terpenuhi dengan wajar
kebutuhannya, baik secara rohaniah, jasmaniah, maupun sosial .

1 Undang-Undang no 3 Tahun 1997 tentang peradilan anak


Sedangkan pengertian anak yang terdapat

dalam Pasal 45 KUHP yaitu:

79 “Anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16 (enam belas) tahun. Apabila anak
yang masih dibawah umur terjerat perkara pidana hakim dapat memerintahkan supaya anak
yang terjerat perkara pidana dikembalikan kepada orang tuanya, atau walinya.

Sementara pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang


Perlindungan Anak berbunyi: “Anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun termasuk
anak yang masih dalam kandungan. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh berkembang, dan
berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”2

dalam Pasal 1 ayat (1) yaitu: Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Ayat (1): memuat batas antara belum
dewasa dengan telah dewasa yaitu berumur 21 (dua puluh satu) tahun kecuali:

a. anak yang sudah kawin sebelum umur 21 tahun


b. pendewasaan3

Ayat menyebutkan bahwa pembubaran perkawinan yang terjadi pada seseorang sebelum
berusia 21 tahun, tidak mempunyai pengaruh terhadap kedewasaan. 4 Dikemukakan oleh
Moeljatno bahwa istilah hukuman yang berasal dari kata straf ini dan istilah “dihukum” dan
menggunakan istilah-istilah yang inkonvensional, yaitu “pidana” . Jika straf diartikan
“hukuman” maka strafrecht seharusnya diartikan dengan hukuman-hukuman.5 Selanjutnya
dikatakan oleh Moeljatno bahwa “dihukum” berarti “diterapi hukuman” baik hukum pidana
maupun hukum perdata. Hukuman yang dimaksud ialah hasil dari akibat penerapan hukum
tadi yang maknanya lebih luas daripada pidana, sebab mencakup juga keputusan hakim
dalam lapangan hukum perdata.6 Di dalam kata “sistem peradilan pidana anak” terkandung
unsur sistem peradilan pidana dan unsur anak Kata “anak” dalam kata “sistem peradilan
pidana anak” mesti dicantumkan, karena untuk membedakan dengan sistem peradilan pidana

2 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak


3 Ibid.
4 Ibid.
5Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta, Bina Aksara, 2005, hlm 22

6 ibid
dewasa, sehingga sistem peradilan pidana anak adalah sistem peradilan pidana bagi anak.
Anak dalam sistem peradilan pidana anak adalah anak yang berkonflik dengan hukum.7

Tujuan peradilan anak tidak hanya mengutamakan kejahatan sebagai faktor utama,
tetapi juga untuk melindungi masa depan anak.Litigasi adalah proses hukum di mana orang
harus memiliki kesempatan untuk berdebat dan memperjuangkan kepentingan keputusan
yang memiliki posisi tertentu, berbagai pihak, dan motif tertentu. Gagasan melindungi anak
muda sangat penting untuk kesejahteraan anak, karena status anak dan segala ciri dan
karakteristik khusus harus diperhitungkan ketika berurusan dengan anak muda sebagai
pelaku. Berdasarkan kehadiran dan pentingnya. Penanganan anak dalam proses hukumnya.8
itu memerlukan beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu : pendekatan terhadap anak,
pelayanan sesuai dengan kebutuhan abak, perlakuan tanpa paksaan dan kekerasan, perawatan
serta perlindungan yang khusus bagi anak dalam upaya memberikan perlindungan hukum
terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.Terkait upaya perlindungan hukum bagi anak
khususnya yang bermasalah dengan hukum, telah tertulis dalam Undang-undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak sebagai pengganti dari Udang-Undang
Nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak . yang mana dalam (UU SPPA) berisikan aturan
khusus mengenai diversi dan keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara anak yang
tentunya dengan tujuan agar hak-hak anak dalam hal ini yang bermasalah dengan hukum
lebih terlindungi dan terjamin. Dimana dalam UU ini diatur bahwa Pada tingkat penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi
dalam menangani kasus terhadap permasalahan anak tersebut. Adapun diversi itu dijadikan
sebagai langkah musyawarah bersama dalam hal ini dari pihak pelaku maupun korbannya itu
tetap ada di dalam tiap-tiap tahapan proses peradilan.

jenis-jenis tindak pidana pada anak (pokok& tambahan)

Tindaka Pidana Bukan hal yang bisa dibenarkan, apapun bentuk pelanggara pidana
yang dilakukan harus di tindak sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang. Hukum
harus ditegakkan kepada siapa pun dan dimana pun untuk mengwujudkan kesamaan dimanta
hukum.

7 Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Genta
Publishing, 2011, hlm 35.
8Solehuddin, Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak yang Bekerja di Bidang Konstruksi; Jurnal
Universitas Brawijaya, Malang, 2013
Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang melanggar hukum dan dapat dikenakan
sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undang. Aeorang anak juga tidak terlepas
dari suatua kenakalan yang berwujung tindak pidana. Tindak pidana yang dilakukan oleh
seorang anak Menurut Undang-undang No 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak Pasal 1 Ayat 3, adalah Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut
anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan
belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.9

Anak yang seharusnya dalam masa pertumbuhan dimanfaatkan untuk mendapatkan


pendidikan formal maupun nonformal akan terpengaruh apabila harus mempertanggung
jawabkan atas tindak pidana yang telah dia lakukan. Tindak pidana yang dilakukan anak
selalu menuai kritikan terhadap para penegak hukum yang oleh banyak kalangan dinilai tidak
mengindahkan tata cara penanganan terhadap anak yang bermasalah dengan hukum, dan ada
kesan kerap kali mereka diperlakukan sebagai orang dewasa dalam “bentuk kecil” yang
melakukan tindak pidana.10

Menurut Moeljatno, jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar tertentu, antara lain
sebagai berikut:11

a. Menurut Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) dibedakan antara lain kejahatan yang
dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat dalam Buku III. Pembagian
tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran” itu bukan hanya merupakan
dasar bagi pembagian KUHP kita menjadi Buku ke II dan Buku III melainkan juga
merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam PerUndang-Undangan
secara keseluruhan.
b. Cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil (Formeel Delicten) dan
tindak pidana materil (Materiil Delicten). Tindak pidana formil adalah tindak pidana
yang dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan
tertentu. Misalnya Pasal 351 KUHP yaitu tentang penganiayaan. Tindak pidana
materil inti larangannya adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu
siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggung jawabkan
dan dipidana.

9
Undang-undang No 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 153
10
Guntarto Widodo. Sistem Pemidanaan Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Perspektif Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Fakultas Hukum Universitas Pamulang
11
Ibid. Hlm 47.
c. Dilihat dari bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana sengaja
(dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten). Contoh tindak
pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP antara lain sebagai berikut:
Pasal 310 KUHP (penghinaan) yaitu sengaja menyerang kehormatan atau nama baik
seorang, Pasal 322 KUHP (membuka rahasia) yaitu dengan sengaja membuka rahasia
yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencariannya.Pada delik kelalaian
(culpa) orang juga dapat dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 360 Ayat 2
KUHP yang menyebabkan orang lain luka-luka
d. Berdasarkan macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan aktif juga
disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk mewujudkannya diisyaratkan
dengan adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnya Pencurian (Pasal 362
KUHP) dan penipuan (Pasal 378 KUHP).Tindak pidana dibedakan menjadi dua yaitu:
1) Tindak pidana murni adalah tindak pidana yang dirumuskan secara formil
atau tindak pidana yang pada dasarnya unsur perbuatannya berupa
perbuatan pasif, misalnya diatur dalam Pasal 224,304 dan 552 KUHP.
2) Tindak pidana tidak murni adalah tindak pidana yang pada dasarnya
berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara tidak aktif atau
tindak pidana yang mengandung unsur terlarang tetapi dilakukan dengan
tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP, ibu tidak menyusui
bayinya sehingga bayi tersebut meninggal.

Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa jenis-jenis tindak pidana terdiri dari
tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, tindak pidana formil dan tindak
pidana materil, tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak sengaja serta tindak pidana
aktif dan tindak pidana pasif.

Pada dasarnya dalam Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak tidak dijelaskan
mengenai pengertian tentang tindak pidana anak, melainkan hanya hanya berupa apa itu
system peradilan pidana anak bukan tindak pidana anak yaitu ,Anak sebagai pelaku tindak
pidana telah diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan
pidana anak Pasal 1 ayat (1),(2),dan (3) yaitu : ayat (1) adalah “Sistem Peradilan Pidana Anak
adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai
tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana” ayat (2)
adalah“Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum,
anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana”, ayat
(3) adalah “Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak
yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang
diduga melakukan tindak pidana.” 12

Tindak pidana dalah adalah suatu kenakalan yang dilakukan oleh seorang anak diluar
pengetahuannya yang berakhibat hukum. Kenakalan anak menurut Kartini Kartono adalah
perilaku jahat /dursila, atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit
(patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk
pengabaian tingkah laku yang menyimpang.13

Adapun bentuk-bentuk dari kenakalan anak dikategorikan sebagai berikut :

1. Kenakalan Anak sebagai status offences, yaitu segala prilaku anak yang dianggap
menyimpang, tetapi apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai
tindak pidana, misalnya membolos sekolah, melawan orang tua, lari dari rumah, dan
lain-lain.
2. Kenakalan anak sebagai tindak pidana (Juvenile delinquency), yaitu segala prilaku
anak yang dianggap melanggar aturan hukum dan apabila dilakukan oleh orang
dewasa juga merupakan tindak pidana, tetapi pada anak dianggap belum bertanggung
jawab penuh atas perbuatannya.14

Menurut Hakim Pengadilan anak sleman Bapak Zulfikar Siregar S.H.,M.H. berpendapat
bahwa bentuk-bentuk tindak pidana yang dilakukan oleh anak pada dasarnya masih dalam
tahap pidana ringan seperti pencurian,atau kenakalan remaja seperti jambret dan lain
sebagainya tetapi beliau berpendapat bahwa secara keseluruhan berdasarkan pengalaman
beliau dalam memimpin siding yang berhubungan dengan tindak pidana anak ada beberapa
jenis tindak pidana yang rentan atau paling sering dilakukan oleh seorang anak yaitu :

a. Kebut-kebutan di jalanan yang menggangu keamanan lalu lintas dan membahayakan


jiwa sendiri dan orang lain;
b. Perilaku ugal-ugalan, berandal, urakan yang mengacaukan ketentraman lingkungan
sekitarnya. Tingkah ini bersumber pada kelebihan energi dan dorongan primitif yang
tidak terkendali serta kesukaan menteror lingkungan;
12
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak
13
Kartini Kartono. Pathologi Sosial (2), Kenakalan Remaja. Raja Wali Pers. Jakarta. 1992
14
Rachmayanthy, Litmas Pengadilan Anak Berkaitan Dengan Proses Penyidikan,
Sumber:http://bimkemas.kemenkumham.go.id/attachments/article/247/LITMAS%20PENGADIL
AN%20ANAK%20BERKAITAN%20DENGAN%20PROSES%20PENYIDIKAN.pdf, diakses pada tangga 22
november 2022.
c. Perkelahian antar geng, antar kelompok, antar sekolah, antar suku (tawuran), sehingga
kadang-kadang membawa korban jiwa;
d. Membolos sekolah lalu bergelandangan sepanjang jalan atau bersmbunyi ditempat-
tempat terpencil sambil melakukan eksperimen bermacam-macam kedurjanaan dan
tindakan a-susila;
e. Kriminalitas anak, remaja dan adolesens antara lain berupa perbuatan mengancam,
intimidasi, memeras, mencuri, mencopet, merampas, menjambret, menyerang,
merampok, menggangu, menggarong, melakukan pembunuhan dengan jalan
menyembalih korbannya, mencekik, meracun, tindak kekerasan dan pelanggaran
lainnya;
f. Berpesta-pora sambil mabuk-mabukan, melakukan hubungan seks bebas, atau orgi
(mabuk-mabukan yang menimbulkan keadaan kacau balau) yang mengganugu
sekitarnya;
g. Perkosaan, agresivitas seksual, dan pembunuhan dengan motif sosial atau didorong
oleh reaksi-reaksi kompensatoris dari perasaan inferior, menuntut pengakuan diri,
defresi, rasa kesunyian, emosi, balas dendam, kekecewaan ditolak cintanya oleh
seorang wanita dan lain-lain;
h. Kecanduan dan ketagihan narkoba (obat bisu, drug, opium, ganja) yang erat berkaitan
dengan tindak kejahatan;
i. Tindakan-tindakan imoral sosial secara terang-terangan tanpa tedeng aling-aling,
tanpa malu dengan cara kasar. Ada seks dan cinta bebas tanpa kendali (promiscuity)
yang didorong oleh hyperseksualitas, dorongan menuntut hak, dan usaha-usaha
kompensasi lainnnya yang kriminal sifatnya;
j. Homoseksualitas, erotisme anak dan oral serta gangguan seksualitas lainnya pada
anak remajadisertai dengan tindakan-tindakan sadis
k. Perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain dengan taruhan sehingga menimbulkan
akses kriminalitas;
l. Komersialisasi seks, pengguguran janin oleh gadis-gadis delinkuen dan pembunuhan
bayi-bayi oleh ibu-ibu yang tidak kawin;
m. Tindakan radikal dan ekstrim dengan jalan kekerasan, penculikan dan pembunuhan
yang dilakukan oleh anak-anak remaja;
n. Perbuatan a-sosial yang disebabkan oleh gangguan kejiwaan pada anak-anak dan
remaja psikopatik, neurotik, dan menderita gangguan kejiwaan lainnya;
o. Terjebak masuk dalam dunia Narkotika yang membhayakan diri anak dan masa depan
mereka,hal ini bias terjadi terhadap anak-anak yang kurang mendapat perhatian dari
keluarganya dan biasanya juga sering terjadi pada anak-anak jalanan;
p. Dan tindakan-tindakan seks yang menyimpang yang mengarah kepda seks bebas yang
berujung kepada perzinahan juga sering dilakukan oleh anak-anak remaja dan masih
dibawah umur.hal ini dapat terjadi dikarenakan semakin mudahnya akses-akses
tontonan yang harusnya untuk orang dewasa dan kurangnya pengawasan dari orang
tua.

B. Sanksi-sanksi Pelaku Tindak Pidana Anak

Penerapan tindak pidana bagi para pelaku kekerasan terhadap anak dalam KUHP terdapat
beberapa pasal yang mengatur tentang bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dan juga
aturan pidananya baik yang secara langsung disebutkan objeknya adalah anak, maupun secara
tidak langsung. Beberapa pasal dalam KUHP yang mengaturnya adalah:

1. Tindak pidana (kejahatan) terhadap asal-usul dan perkawinan, yaitu melakukan


pengakuan anak palsu (Pasal 278)
2. Bab XV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan Pasal 285, 287, 289, 290, 291, 292,
293, 294, 295, 297, dan 305 KUHP. Penerapan pidana bagi para pelaku kekerasan
terhadap anak secara khusus diatur dalam UU Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun
2014 Perubahan Atas Undang-Undang No 23 tahun 2002. Mengenai pengaturan
pidana terhadap tindakan kekerasan terhadap anak secara khusus telah diatur dalam
Pasal 80 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi :
a) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau
penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
Tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh
dua juta rupiah)
b) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) Tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
c) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) Tahun dan/atau denda paling banyak
Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya. UU Perlindungan Anak memberikan
perlindungan hukum terhadap hak anak khususnya juga terhadap anak korban tindak pidana
kekerasan. Dalam Pasal 13 ayat (1) UU Perlindungan Anak dinyatakan bahwa setiap anak selama
dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas
pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: 1). diskriminasi; 2). eksploitasi, baik
ekonomi maupun seksual; 3). penelantaran; 4). kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; 5).
ketidakadilan; 6). Perlakuan salah lainnya. Dalam UU Perlindungan Anak juga diatur bagaimana
pelaksanaan hukum terhadap pihak yang melakukan tindak kekerasan terhadap anak.

Pelaksaan penegakan hukum tindak pidana anak di Indonesia

Perlindungan hukum bagi anak yang berkonflik dengan hukum, dapat diberikan
perlakuan khusus pada hukum acara, ancaman pidananya yang berbeda dengan orang
dewasa, pemenuhan hak anak serta mengutamakan keadilan restoratif. Adapun
pelaksanaannya merujuk pada UU No.11 tahun 2012.

Adapun upaya-upaya lainnya yang telah dilakukan terkait perlindungan dan pemenuhan hak

anak yaitu:

1. Pemerintah membuat program, misalnya:


- Penerbitan akta kelahiran gratis bagi anak.
- Pendidikan tentang cara pengasuhan tanpa kekerasan kepada orangtua dan guru;
- Layanan kesehatan untuk anak;
- Meningkatkan anggaran pendidikan dasar dan menggratiskan biaya pendidikan
dasar.
2. DPR/DPRD membuat UU/Perda untuk melindungi anak dari tindak kekerasan dan
eksploitasi, mengancam pelaku dengan ancaman hukuman sehingga diharapkan bisa
menimbulkan efek jera.
3. Jajaran penegak hukum (polisi, jaksa) dan penegak keadilan (hakim) memproses
setiap pelanggaran hak anak dengan tegas, tanpa pandang bulu, dan memberi sanksi
yg setimpal dengan pelanggaran yang dilakukan.

Berdasarkan pemberitaan media elektronik disebutkan bahwa saat ini terdapat lebih dari 3
juta anak yang memiliki pekerjaan berbahaya (Nursiah, 2007). Di Indonesia fenomena
pekerja anak menunjukkan angka yang meningkat, sekalipun ada pelarangan untuk tidak
mempekerjakan anak-anak, akan tetapi karena faktor ekonomi keluarga, kultural, sosial,
budaya, lemahnya lembaga perangkat hukum, pengawasan dan pelaksanaannya, bahkan ada
permintaan (demand) pekerja anak, dan juga karena faktor politik mempengaruhi insiden
keberadaan pekerja anak. Diperkirakan terdapat 100.000 perempuan dan anakanak yang
diperdagangkan setiap tahunnya, kebanyakan sebagai pekerja seks komersial di Indonesia
dan luar negeri. Sekitar 4.000-5.000 anak berada di lembaga pemasyarakatan, lembaga
rehabilitasi dan penjara. Sebanyak 84 persen dari anak-anak yang dihukum ini, ditahan
bersama para penjahat dewasa.

Dari aspek pendidikan, 1,8 juta anak SD berusia 7-12 tahun, dan 4,8 juta anak usia
13-15 tahun tidak bersekolah. Sebanyak 26 juta anak usia SD putus sekolah. Jumlah anak
usia di atas 10 tahun yang tergolong buta huruf saat ini masih berjumlah 16 juta anak. Bahkan
berdasarkan laporan organisasi kesehatan sedunia WHO, konon ada 10 juta anak-anak per
tahun di seluruh dunia meninggal dunia sebelum mencapai usia lima tahun.

Kondisi itu mendorong lahirnya Konvensi Hak Anak Dewan Umum PBB tanggal 20
November 1989. Aktor di belakang konvensi ini tentu saja para pengemban sekularisme-
liberal yang mengklaim sebagai pejuang hak anak. Pada 1990, perwakilan Indonesia turut
menandatangani ratifikasi Konvensi Hak Anak berisi pengaturan perlindungan anak. Dengan
demikian, Indonesia mau tidak mau, berkewajiban melaksanakan kesepakatan-kesepakatan
tindak lanjut dan memenuhi hak-hak anak sesuai butir-butir konvensi. Sebagai
implementasinya, pemerintah kemudian mensahkan UU No 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.

Pasal 1 Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak menyatakan bahwa anak adalah setiap orang
yang berusia dibawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undangundang nasional yang berlaku
bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. Walaupun usia 18 tahun telah
digunakan oleh komunitas LSM hakhak anak internasional untuk menentukan masa kanak-
kanak, tetapi masih banyak negara yang mengganggap bahwa anak-anak sudah dianggap
dewasa sebelum mereka mencapai usia 18 tahun atau ketika upaya-upaya perlindungan tidak
berlaku sampai usia 18 tahun (Koalisi Nasional, 2009).

Efektivitas Undang-Undang Perlindungan Anak hingga saat ini masih dipertanyakan, hal ini
terlihat dari adanya laporan Komnas Perlindungan Anak (KPA) yang menunjukkan tren
peningkatan kasus kekerasan terhadap anak. Bahkan di tahun 2006 angkanya tercatat hingga
mencapai 13,5 juta kasus ((Lilik, 2006). Peningkatan kasus kekerasan dari tahun ke tahun ini
menunjukkan sejauh mana tingkat efektivitas Undang-Undang Perlindungan Anak. Secara
logikanya kan kalau undang-undang itu efektif, maka seharusnya kasus kekerasan terhadap
anak makin berkurang. Meskipun sejumlah lembaga perlindungan anak telah dibentuk untuk
menekan angka kekerasan anak, namun kinerja mereka dirasakan belum memuaskan.15

Oleh karena itu, maka Implementasi UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
sepertinya perlu mendapat perhatian lebih dari semua elemen bangsa ini. Selain telaah isu
internasional, persoalan anak kini semakin sensitif seiring dengan canggihnya pola dan
modus operandi kejahatan terhadap anak. Belum lagi fakta bahwa kekerasan terhadap anak
dengan semakin mudah dijumpai di sekitar kita. Lingkungan keluarga maupun sekolahan
yang seharusnya menjadi tempat anak untuk bertumbuh kembang, kini mulai berubah
menjadi lahan subur aksi kekerasan terhadap anak. Singkatnya, anak kini makin sering
menjadi obyek penderita kejahatan dan kekerasan.

Salah satu bentuk pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak adalah eksploitasi seksual
komersial anak. Pelanggaran tersebut terdiri dari kekerasan seksual oleh orang dewasa dan
pemberian imbalan dalam bentuk uang tunai atau barang terhadap anak, atau orang ketiga,
atau orang-orang lainnya. Anak tersebut diperlakukan sebagai sebuah objek seksual dan
sebagai objek komersial. Eksploitasi seksual komersial anak merupakan sebuah bentuk
pemaksaan dan kekerasan terhadap anak, dan mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa serta
perbudakan modern.

Selain itu, eksploitasi seksual komersial anak juga mencakup praktekpraktek kriminal yang
merendahkan dan mengancam integritas fisik dan psikososial anak. Bentuk-bentuk
eksploitasi seksual komersial anak yang utama yang saling berkaitan dan sering disebut
ESKA adalah pelacuran anak, pornografi anak dan perdagangan anak untuk tujuan seksual.
Bentuk-bentuk eksploitasi seksual anak lainnya adalah pariwisata seks anak dan dalam
beberapa kasus adalah perkawinan anak. Anak-anak juga dapat dieksploitasi secara seksual
dan komersial dalam cara-cara yang kurang jelas melalui perbudakan di dalam rumah atau
kerja ijon. Dalam kasus ini, seorang anak dikontrak untuk memberi pekerjaan tetapi majikan
percaya bahwa anak tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan seksual.

Pada umumnya eksploitasi seksual komersial anak terjadi karena adanya permintaan.
Pencegahan dan hukuman kriminal memang penting, tetapi setiap usaha-usaha untuk
menghapuskan eksploitasi seksual komersial anak juga harus mengakui pentingnya untuk

15
Abdurahman 1980, Aneka Masalah Dalam Praktek Penegakan Hukum di Indonesia Bandung : Penerbit
Alumni
menentang dan mengutuk tingkah laku, keyakinan dan sikap-sikap yang mendukung dan
membenarkan permintaan ini.

Antara eksploitasi seksual komersial anak dan kekerasan seksual terhadap anak dalam
prakteknya keduanya memanfaatkan anak sebagai sebuah objek seks. Dalam praktek
kekerasan seksual terhadap anak, belum tentu terdapat aspek komersialisasi, namun dalam
praktek eksploitasi seksual komersial anak, kekerasan seks pasti dialami anak.

Kekerasan seksual terhadap anak dapat didefinisikan sebagai kontak atau interaksi antara
seorang anak dengan seseorang yang lebih tua atau orang dewasa seperti orang asing, saudara
kandung atau orang tua dimana anak tersebut dipergunakan sebagai sebuah objek pemuas
bagi kebutuhan seksual si pelaku. Perbuatan-perbuatan ini dilakukan dengan menggunakan
paksaan, ancaman, suap, tipuan atau tekanan. Ironisnya, para pelaku sering kali orang yang
memiliki tanggung jawab atas keselamatan dan kesejahteraan anak tersebut.

Melalui ekploitasi seksual komersial, seorang anak tidak hanya menjadi sebuah objek seks
tetapi juga sebuah komoditas dimana anak dimanfaatkan secara seksual untuk mendapatkan
uang, barang atau kebaikan bagi pelaku eksploitasi, perantara atau agen dan orang-orang lain
yang mendapatkan keuntungan dari eksploitasi seksual terhadap anak tersebut.

Eksploitasi seksual komersial dalam bentuk apapun sangat membahayakan hak seorang anak
untuk menikmati masa remaja mereka dan kemampuan mereka kearah kehidupan yang
produktif, bermanfaat dan bermartabat. Eksploitasi seksual komersial dapat mengakibatkan
dampak-dampak yang serius, seumur hidup, bahkan mengancam nyawa untuk
perkembangan-perkembangan fisik, psikologis, spiritual, emosional dan sosial serta
kesejahteraan seorang anak. Anakanak yang mengalami eksploitasi secara seksual dan
komersial sangat beresiko terjangkit HIV/AIDS dan mereka sepertinya tidak mendapatkan
perawatan medis yang layak. Anak-anak juga sangat rentan terhadap kekerasan fisik. Anak-
anak yang berusaha untuk melarikan diri atau melawan kekerasan tersebut bisa mengalami
luka berat atau bahkan dibunuh. Dampak-dampak psikologis dari eksploitasi seksual dan
ancaman-ancaman yang dipergunakan biasanya akan mengganggu anak-anak sepanjang sisa
hidup mereka.

Eksploitasi seksual komersial anak seperti praktek-praktek tradisional yang sering berurat-
akar dalam keyakinan-keyakinan budaya, globalisasi dan teknologi-teknologi baru
mendorong sejumlah tantangan-tantangan yang berbeda. Pada akhirnya, permintaan akan
anak-anak sebagai pasangan seks untuk tujuan apapun mengarah pada eksploitasi seksual
komersial anak. Faktor-faktor yang kompleks muncul dan membuat anak menjadi rentan dan
membentuk kekuatankekuatan dan keadaan-keadaan yang memungkinkan anak-anak untuk
dieksploitasi secara komersial maupun seksual adalah: penerimaan masyarakat,
diskriminasi/kesukuan, tingkah laku seksual dan mitos yang tidak bertanggung jawab,
kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak dan penelantaran, situasi-situasi
emergensi atau bencana, situasi-situasi konflik, tinggal dan bekerja di jalanan, konsumerisme,
adopsi, hukum yang tidak layak dan korupsi, serta pesatnya teknologi-teknologi informasi &
komunikasi yang memberi dampak negatif.

Kerentanan anak-anak terhadap manipulasi dan eksploitasi. Trauma sosial, psikologis dan
fisik yang berbeda-beda yang terjadi pada anak-anak dalam tahap awal perkembangan
mereka dapat mengakibatkan dampak yang lebih serius pada perkembangan jangka panjang
seorang anak dan proses penyembuhan anak tersebut. Tanggung jawab hukum negara untuk
menjamin perlindungan terhadap hak-hak anak sesuai dengan Konvensi Hak Anak dan juga
UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Selain itu, para tokoh agama, tokoh adat,
dan ormas diharap-kan juga dapat menjadi mitra kerja KPAI dalam mensosialisasikan UU
Perlindungan Anak dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan
anak kepada masyarakat. Sebab, mereka merupakan salah satu tokoh kunci keberhasilan
dalam meningkatkan efektivitas perlindungan anak kepada masyarakat luas.
KESIMPULAN

Perlindungan anak patut diperhatikan lebih detail lagi karena pada kenyataannya,
dewasa ini masih sangat banyak kasus-kasus yang berhubungan dengan pelanggaran hak
anak, seperti kasus pekerja anak, anak terlantar, pekerja seks komersial yang dilakukan oleh
anak-anak, dan masih tingginya jumlah anak jalanan. Perlindungan anak menjadi tanggung
jawab bersama, bukan hanya kewajiban orang tua saja. Undang-Undang Perlindungan Anak
(UUPA) juga diperlukan untuk menegaskan adanya kewajiban bagi negara, pemerintah,
masyarakat, keluarga, orangtua dan anak, mengingat kewajiban memberikan perlindungan
anak walaupun sudah disadari merupakan kewajiban bersama, namun perlu diberikan
landasan hukum secara khusus disamping yang sudah dicantumkan dalam pasal-pasal UUD
1945 atau dalam berbagai Peraturan Perundang-Undangan yang lain, agar dapat menjamin
pelaksanaannya secara komprehensif dan tepat penanganan serta sasaranna, yang harus
dilakukan oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orangtua anak. Selain itu, perlu
adanya keseimbangan antara perlindungan hak anak dan pemberian kewajiban bagi anak
dalam kapasitas mendidik anak.Oleh karena itu, disamping dilindungi hak-haknya, agar tidak
menjadi salah asuh, salah arah, maka perlu ditujukkan juga kewajiban yang perlu
dilaksanakan oleh anak.Perlu adanya upaya untuk menjalin kerjasama yang positif, baik
dengan instansi pemerintah maupun dengan LSM sebagai bagian dari upaya aparat penegak
hukum dalam melakukan diversi dan restorative justice.Sehingga diversi dan restorative
justice dapat dipromosikan dan dikembangkan sebagai solusi penyelesaian perkara anak yang
berkonflik dengan hukum.

Jika peningkatan upaya perlindungan anak dapat diatasi dengan baik, maka
kesejahteraan anak pun akan lebih mudah dicapai. Karena selama ini nyartanya banyak
pelanggaran hak anak yang terjadi disebabkan oleh minimnya atau masih tidak jelasnya
perlindungan terhadap anak. Banyaknya lembaga yang peduli terhadap nasib anak ini dalam
kinerjanya dirasa kurang mampu berkoordinasi secara optimal. Seharusnya lembaga atau
instansi yang berdiri baik di daerah maupun di pusat berkoordinasi untuk bersama-sama
melindungi anak Indonesia. Selain itu, lembaga pemerintahan seperti Departemen Sosial,
sebagai pelaksana dalam persoalan perlindungan khusus (sosial), Kementerian Negara
Pemberdayaan Perempuan yang menangani persoalan perempuan dan anak, dan aparat
kepolisian yang bertugas menegakkan hukum kepada pelaku pelanggaran terhadap hak-hak
anak harus lebih mampu bekerjasama dan berkoordinasi dalam kinerjanya sehingga dapat
secara maksimal melakukan perlindungan terhadap anak Indonesia. Tidak hanya itu seluruh
elemen masyarakat seperti orangtua, sekolahan, dan masyarakat, seharusnya juga menjadi
jaringan pengaman untuk memenuhi hak-hak anak dan melindungi anak-anak dari kekerasan
baik psikis maupun fisik, karena praktek pengabaian atas perlindungan anak sebenarnya
sering terjadi disekeliling kita, namun tidak dapat dihentikan karena rendahnya kepedulian
kita. Maka perlu dilakukan kampanye secara terus-menerus untuk membangun kesadaran dan
kepedulian serta mendidik masyarakat dengan informasi terkait usaha perlindungan terhadap
anak demi masa depan bangsa ini.
DAFTAR PUSTAKA

Jurnal
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta, Bina Aksara, 2005.
Solehuddin, Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak yang Bekerja di
Bidang Konstruksi; Jurnal Universitas Brawijaya, Malang, 2013
Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak
Di Indonesia, Genta Publishing, 2011.
Guntarto Widodo. Sistem Pemidanaan Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Perspektif.
Ibid. Hlm 47.
Kartini Kartono. Pathologi Sosial (2), Kenakalan Remaja. Raja Wali Pers. Jakarta. 1992
Abdurahman 1980, Aneka Masalah Dalam Praktek Penegakan Hukum di Indonesia Bandung:
Penerbit Alumni.

Undang-undang

Undang-Undang no 3 Tahun 1997 tentang peradilan anak

Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak


Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak
Undang-undang No 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Fakultas
Hukum Universitas Pamulang
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak
Internet

Rachmayanthy, Litmas Pengadilan Anak Berkaitan Dengan Proses Penyidikan, Sumber:


http://bimkemas.kemenkumham.go.id/attachments/article/247/LITMAS%20PENGADIL
diakses pada tangga 22 november 2022

Anda mungkin juga menyukai