Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada Tahun 2012 Pemerintah RI telah melakukan perubahan atas Undang-
undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (PA) dengan Undang-
undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sitem Peradilan pidana Anak (SP2A) yang
kemudian dirubah menjadi PP No. 65 tahun 2015. Jika diperbandingkan
Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sitem Peradilan pidana Anak
dengan Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang pengadilan Anak, maka
Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sitem Peradilan pidana Anak
lebih komprehensip dalam menempatkan posisi anak dalam hukum. Undang-
undang No.3 Tahun 1997 tentang pengadilan Anak hanya melindungi anak
sebagai korban dan tidak bagi pelaku, sebagai pelaku terkadang diposisikan
sama dengan pelaku orang dewasa.
Undang-undang No. 11 Tahun 2012 yang telah diganti ke PP No. 65 tahun
2015 tentang Sitem Peradilan pidana Anak dikatakan komprehensip oleh
karena, didalam undang-undang ini (SP2A) seluruh Aparat Penegak Hukum
dilibatkan untuk turut serta menyelesasikan masalah anak. Semisal bagaimana
aparat kepolisian, kejaksaan dan kehakiman terlibat aktif dalam
menyelesaikan kasus tanpa harus melalui proses pidana hingga menghasilkan
putusan pidana.
Disamping itu, dalam sumber daya manusianya, Aparat penegak
hukumnya khsusnya penyidik, penuntut umum serta hakim dituntut untuk
memahami persoalan anak dan terlibat aktif dalam proses diverersi serta
dengan mengikuti pendidikan pengadilan Anak. Demikian pula dengan
advokat yang harus pula dituntut untuk mengetahui persoalan anak. Kemajuan
lain dari undang-undang SP2A adalah penahanan sementara anak ditempatkan
di LPAS dan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap ditempatkan di
LPKA. Penempatan lembaga LPAS dan LPKA dimaksudkan agar anak tidak
bergabung dengan tahanan orang dewasa.

1
Dengan demikian dapatlah dibandingkan dengan proses penyelesaian yang
ada pada Undang-undang Pengadilan Anak (UU No.7 Tahun 1999).

B. Rumusan Masalah
Dari rumusan latar belakang diatas, maka Penulis membuat rumusan masalah:
1. Adakah rasa keadilan didapat oleh para pihak yang bersengketa yang
dilaksanakan melalui peradilan anak di Indonesia ?
2. Bagaimana cara menyelesaikan sengketa melalui sistem peradilan anak di
Indonesia ?

C. Tujuan penulisan
1. Untuk menambah wawasan tentang sistem peradilan anak di Indonesia.
2. Untuk memahami sejauh mana rasa keadilan dapat dirasakan oleh para
pihak yang bersengketa yang dilaksanakan melalui peradilan anak.
3. Untuk mengetahui cara melaksanakan proses penyelesaian tindakan pidana
terhadap anak melalui sistem peradilan anak.

2
BAB II
LANDASAN TEORI

Anak merupakan aset berharga dari satu keluarga, dan satu negara. Jika
Keluarga-keluarga kuat maka akan otomatis negara dan bangsa menjadi kuat. Satu
generasi bangsa yang tumbuh dan berkembang akan mampu membawa estafet
keberadaan sebuah bangsa dan negara. Menurut Kamus besar bahasa Indonesia
(KBBI), Anak memiliki arti keturunan yang kedua, dan anak memiliki arti
manusia yang masih kecil.
Aristoteles telah menyatakan bahwa manusia adalah mahluk sosial ( zoo on
politicon), sehingga membutuhkan orang lain dari mulai lahir sampai mati untuk
melaksanakan kegiatan atau proses hidupnya dan juga agar menjadi kuat
menghadapi ancaman dari lingkungannya.
Seorang anak yang terlahir dari hubungan suami istri akan membutuhkan
kasih sayang dan perhatian dari orang tuanya, saudara-saudaranya, kakek-
neneknya, handai tolan, teman-teman dan orang yang mengasihinya. Dalam
proses tumbuh kembang di lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah, dll,
terkadang, seorang anak mengalami gangguan berupa pelecehan, bullyng dari
teman-temannya atau dari orang dewasa lainnya. Kejahatan seksual berupa
penyerangan seksual sampai fedophilia terhadap anak, membuat anak yang masih
rentan dan lemah secara fisik dan psykhologis menjadi objek yang mudah
diperdaya. Sudah banyak kasus tentang penyerangan seksual ini atau pelecehan
seksual terhadap anak-anak, dan yang lagi hangat adalah tentang kasus sekolah
JIS dan Tn. X di daerah Sukabumi (Jawa barat).
Hal ini memerlukan perhatian oleh semua lembaga dan lapisan masyarakat,
bahwa masih ada dan nyata ancaman terhadap anak-anak yang dilakukan oleh
teman sebayanya atau yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak, termasuk
kejahatan seksual atau bahkan tindakan fedophilia.
Tiap tahun pertumbuhan penduduk Indonesia semakin bertambah. Menurut
pusat data statistik pertumbuhan penduduk Indonesia rata rata 1.49 % pertahun.
Tahun 2000 data penduduk Indonesia menunjukkan angka 205,1 juta jiwa dan

3
diperkirakan pada tahun 2025 penduduk Indonesia akan berjumlah 273,2 juta
jiwa. 1). Hal ini berarti setiap tahunnya ancaman kekerasan terhadap semakin
bertambah baik kualiatas maupun kuantitasnya.

A. Anak dan kebutuhannya.


Anak adalah anugerah yang terindah yang diberikan oleh sang pencipta
bagi keluarga yang normal. Proses penciptaan anak harus melalui legalitas
sebuah perkawinan yang sah dimata hukum dan dimata Tuhan yang maha
kuasa. Artinya ada tanggung jawab yang mengikut dari pada setiap orang
dewasa yang melakukan kegiatan sesksual dalam lembaga perkawinan
terhadap perkembangan dan pertumbuhan seorang anak, baik kebutuhan
makan, sandang, perumahan, rekreasi, kesehatan, jaminan hari tua,
pendidikan, dll.
Diluar itu, ada kelahiran anak yang tidak dikehendaki orang tua, atau
melalui proses pemerkosaan atau melalui proses uji coba yang tidak
bertanggung jawab. Hal ini sebenarnya secara sosial tetap melekat tanggung
jawab diatas kepada kedua orang dewasa yang melakukan kegiatan seksual
yang tidak bertanggung jawab tersebut.
Seorang anak dilahirkan bukan dengan kemauan dirinya sendiri, dengan
demikian maka tanggung jawab sepenuhnya menjadi otoritasn kedua orang
tuanya. Dalam UU No 11 tahun 2012 memiliki pehamaman bahwa anak
merupakan amanah dan karunia Tuhan yang maha esa yang memiliki harkat
dan martabat sebagai manusia seutuhnya, dan untuk menjaga harkat dan
martabatnya, anak berhak mendapatkan perlindungan khusus terutama
perlindungan hukum dalam sistem peradilan. Selanjutnya sebagai sebuah
bangsa yang telah ikut dalam konvensi hak hak anak (Convention on the rights
of the child) yang mengatur prisnsip perlindungan hukum terhadap anak
mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak
yang berhadapan dengan hukum.
Seorang anak di mata hukum dianggap belum dewasa dan masih belum
dapat mempertanggun jawabkan kelakuannya seperti orang dewasa. Dengan

4
demikian pertanggung jawaban seorang anak termasuk dalam hal perbuatan
pidana berbeda dengan tuntutan kepada seorang dewasa, dengan alasan
psikologis.
Menurut UU No. 11 tahun 2012, Pasal 1 butir 3, anak yang berkonflik
dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur
12 (duabekas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas ) tahun yang
melakukan tindakan pidana.
Seorang anak secara umum dipengaruhi oleh nilai nilai yang hidup di
tengah masyarakat, walaupun nilai nilai yang paling penting adalah nilai dari
satu keluarga. Seorang anak membutuhkan contoh dan teladan dari kedua
orang tuanya, lingkungan dan masyarakat luas, sehingga masyarakat itu
sendiri bertanggung jawab terhdap tumbuh kembang aanak secara normal.
Kejahatan dapat dipelajari, hal ini telah dikatakan oleh Sutherland , dalam
teorinya Differential Asssoiation Theori. Menurut Shuterland tingkah laku
kriminal dapat dipelajari (Criminal behaviour is learned ) Dengan proses
pembelajaran dari lingkungan dan orang dewasa, maka seorang anak akan bisa
menjadi predator bagi anak yang lain dan membuat rankaian kejahatan
semakin rumit dan generasi penjahat yang terus bertumbuh. Tanggung jawab
orang dewasa dan negara untuk menciptakan lingkungan yang sehat bagi
proses pertumbuhan dan perkembangan seorang anak.

B. Keadilan.
Keadilan berasal dari kata dasar Adil, yang berarti tidak berat sebelah,
seimbang atau tidak memihak. Rasa adil sangat didambakan seluruh
masyarakat, terutama dalam suatu perkara yang masing-masing pihak akan
menuntut dan mencari keadilan sesuai dengan pendapat dan kepentingannya.
Keadilan dipandang sebagai hak asasi manusia yang paling hakiki, karena
akan menyangkut pada pemenuhan kebutuhan hidup, mulai makan, sandang,
pangan sampai kepada kebutuhan hidup yang paling tinggi yaitu harga diri
atau penghormatan terhadap diri sendiri. Keadilan dapat dipandang dari
berbagai segi antara lain:

5
1. Keadilan individual
Keadilan individual adalah keadilan yang tergantung dari kehendak
baik atau buruk masing-masing individu. Misalnya, seorang ibu
memberikan uang saku kepada anaknya, sesuai kebutuhannya. Kalau ibu
tersebut memberikan uang saku yang sama kepada semua anaknya,
tindakan ibu tersebut dikatakan tidak adil meskipun ia memberi secara
sama rata. Ada juga keadilan yang tidak tergantung dari kehendak individu
orang-orang yang langsung bersangkutan. Misalnya, seorang pemilik
pabrik makanan yang tidak dapat menaikkan upah buruhnya, karena
tergantung harga produksi di pasaran. Sebagai seorang individu ia bukan
orang yang tidak adil, namun secara objektif ia dipandang tidak adil
karena memberi upah yang rendah pada buruhnya. Jadi, keadilan
individual tidak hanya tergantung dari kemampuan individu yang langsung
bersangkutan, namun juga tergantung dari struktur proses dalam
masyarakat.
2. Keadilan social
Keadilan sosial adalah keadilan yang pelaksanaannya tergantung dari
struktur kekuasaan dalam masyarakat. Adanya keadilan sosial ini dapat
dilihat dari sedikitnya/ketiadaan masalah ketidakadilan dalam masyarakat.
Maka membangun keadilan sosial berarti menciptakan struktur yang
memungkinkan pelaksanaan keadilan. Keadilan sosial juga dapat dinilai
dari meratanya pembangunan di berbagai daerah sehingga hasilnya dapat
dinikmati bersama. Dengan demikian, keadilan sosial juga dipandang
sebagai suatu keadaan yang menggambarkan bahwa hasil pembangunan
dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia. Para ahli banyak
berpendapat tentang keadilan dan hal ini sangat erat kaitannya dengan
penegakan hukum itu sendiri yang bertujuan menegakkan keadilan. Para
ahli tersebut antara lain:

6
a. Aristoteles
Aristoteles membagi keadilan menjadi empat jenis, yaitu keadilan
komutatif, keadilan distributif, keadilan kodrat alam, dan keadilan
konvensional.
1) Keadilan komutatif
Keadilan komutatif yaitu perlakuan sama terhadap semua orang
dengan tidak melihat jasanya. Contohnya, setiap peserta didik
memperoleh tugas yang sama , tanpa melihat kepandaian masing-
masing.
2) Keadilan distributive
Keadilan komutatif yaitu perlakuan terhadap seseorang sesuai
dengan jasa-jasa dan prestasi yang dibuatnya. Contohnya yaitu
pemberian nilai pada peserta didik sesuai dengan prestasi yang
dimilikinya.
3) Keadilan kodrat alam
Keadilan kodrat alam yaitu memberikan sesuatu sesuai yang
diberikan orang lain kepada kita. Contohnya yaitu setiap perbuatan
baik dan jahat akan mendapatkan balasan sesuai dengan perbuatan
tersebut.
4) Keadilan konvensional
Keadlilan konvensional yaitu apabila seorang warga negara
telah menaati segala peraturan perundang-undangan yang telah
diwajibkan. Contohnya yaitu setiap warga negara telah menaati
peraturan lalu lintas, membayar pajak, dan sebagainya.
b. Plato
Plato membagi keadilan menjadi dua jenis, yaitu keadilan moral
dan keadilan prosedural atau keadilan hukum.
1) Keadilan moral
Keadilan moral yaitu keadilan yang didasarkan pada
keselarasan, yang didasarkan pada pendapat bahwa keadilan timbul

7
karena adanya penyesuaian yang memberi tempat yang selaras
pada bagian-bagiannya.
2) Keadilan prosedural atau keadilan hokum
Keadilan prosedural atau keadilan hukum yaitu sarana untuk
melaksanakan keadilan moral.
3. Keadilan dalam filsafat politik
Dalam filsafat politik, keadilan dibedakan menjadi 3, yaitu:
a. Keadilan utilitaris
Keadilan utilitaris maksudnya keadilan yang menekankan pada
suatu tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk menghasilkan
kegunaan atau manfaat yang sebesar-besarnya bagi sebagian orang
berdasarkan moral.
b. Keadilan intuisionis
Keadilan intuisionis maksudnya keadilan yang mendasarkan pada
intuisi (kebenaran yang tidak dapat dibuktikan). Keadilan ini tidak
melihat baik atau buruk pemikiran logika. Olehsebab itu, keadilan
intuisionisme mempunyai kelemahan-kelemahan sebagai berikut:
1) kurang menghargai harkat dan martabat manusia sebagai makhluk
yang berbudi,
2) bersifat sangat subjektif, karena tergantung pada orang yang
memiliki kelebihan menangkap keadilan secara intuitif.
3) Keadilan intuisionis tidak tepat diterapkan dalam negara
demokratis karena keadilan tergantung pada persepsi intuitif dari
sang pemimpin. Dalam negara demokratis, keadilan tergantung
pada pemikiran logika masyarakat.
c. Keadilan sebagai fairness
Keadilan sebagai fairness maksudnya keadilan yang mendasarkan
pengalaman bahwa manusia merupakan yang rasional dan bermoral.
Dalam konsep keadilan ini, manusia dituntut untuk selalu rasional,
mempunyai kemampuan nalar yang baik, dan bermoral. Setiap anggota

8
masyarakat harus berpartisipasi aktif dalam penentuan keadilan karena
ukuran tergantung pada daya nalar masyarakat dan moral masyarakat.
Dengan adanya keadilan dalam berbagai aspek kehidupan,
diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi adnya jaminan
keadilan setiap orang. Bagi bangsa Indonesia jaminan keadilan telah
tercantum dalam dasar negara maupun konstitusi negara. Beberapa
contoh prinsip keadilan tersebut antara lain:
1) Pembukaan UUD 1945 alinea I, “Bahwa sesungguhnya
kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa ….”
2) Pembukaan UUD 1945 alinea II, “…. mengantarkan rakyat
Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia
….”
3) Tujuan negara, yaitu ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
4) Pancasila sila kedua dan sila kelima.
Jaminan keadilan tersebut berkaitan dengan hak-hak warga negara
untuk mendapat keadilan dari negara. Selanjutnya, jaminan keadilan
tersebut dituangkan dalam pasal-pasal UUD 1945 dan berbagai
peraturan perundang-undangan, seperti:
1) dalam UUD 1945 tercantum pada Pasal 27 Ayat 1 dan Ayat 2,
Pasal 28, Pasal 29 Ayat 2 Pasal 30 Ayat 1, Pasal 31 Ayat 1 dan
Pasal 34,
2) Undang-undang Nomor 39 tentang HAM pada Pasal 3 Ayat 2.
3) Ulpianus menyatakan bahwa keadilan adalah kemauan yang
bersifat tetap dan terus menerus untuk memberikan kepada setiap
orang apa yang mestinya untuknya (lustitia est constans et perpetua
voluntas ius suum cuique tribuendi).
4) Ustinian, menyatakan bahwa keadilan adalah kebijakan yang
memberikan hasil, bahwa setiap orang mendapat apa yang
merupakan bagiannya.

9
5) Herbert Spenser, menyatakan bahwa setiap orang bebas untuk
menentukan apa yang akan dilakukannya, asal ia tidak melanggar
kebebasan yang sama dari orang lain.
6) Roscoe Pound menyatakan melihat indikator keadilan dalam hasil-
hasil konkret yang bisa diberikannya kepada masyarakat.Ia melihat
bahwa hasil yang diperoleh.

C. Sistem Peradilan pidana anak Di Indonesia.


Dengan mempedomani ajaran filsuf dari JJ. Rousseau dan Montesqiu
tentang pemisahan kekuasaan, maka bangsa Indonesia memisahkan lembaga
eksekutif, legislatif dan yudikatif sebagai bentuk pencegahan dari pemusatan
kekuasaan. Pemusatan kekuasaan di tangan satu orang cenderung menjadi
pencetus kesewenang-wenangan, Otoriter dan Korup. Hal ini setidaknya
pernah disampaikan secara jelas oleh Lord Action; "Kekuasaan cenderung
disalahgunakan sehingga semakin besar kekuasaan yang digenggam maka
semakin besar pula peluang untuk disalahgunakan.
Sebagai Ujung tombak penegakan hukum di Indonesia, maka diserahkan
kewenangan kepada lembaga kepolisian yang berwenang pada tahap
penyelidikan dan penyidikan, lembaga kejaksaan dalam tahap penuntutan dan
lembaga peradilan atau kehakiman dalam tingkat putusan hukuman.
Ketiga lembaga ini diharapkan menjadi panglima dari penegakan hukum
dan menjadi penyejuk bagi rasa haus masyarakat yang mendambakan keadilan
di dunia ini.
1. Polisi Republik Indonesia (Polri).
Undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Polri, pasal 13 berbunyi,
tugas pokok Polri adalah : menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat,
menegakkan hukum, melindungi dan melayani maysrakat. Ketiga tugas
pokok polisi itu diwujudkan di dalam tugas operasional dan tugas
pembinaan. Tugas Operasional antara lain : fungsi teknis lalu-lintas, fungsi
teknis reserse, fungsi teknis intelijen, fungsi teknis pembinaan masyarakat
atau Binmas dan fungsi teknis samapta. Disamping itu ada juga pasukan

10
khusus untuk perlawanan anti teroris yang diemban para Brigader mobil.
Di udara, polisi juga mengemban fungsi pengamanan, yaitu polisi udara
dan di laut, diemban oleh polisi air. Fungsi pembinaan, menyangkut fungsi
keuangan, pendidikan dan pelatihan, perencanaan, dll.
Pada prinsipnya, semua polisi mengemban tugas pokok sesuai dengan
undang undang no 2 tahun 2002 di atas, terlebih bidang fungsi reserse.
Pada fungsi teknis reserse akan dimulai proses penyelidikan atau
penyidikan, suatu tindak pidana bisa ditemukan langsung oleh anggota
Polisi dengan cara Patroli, dan juga bisa dengan menerima laporan atau
aduan masyarakat. Di lain pihak, fungsi intelijen memberi informasi awal
menyangkut semua daerah rawan yang berpotensi terjadinya gangguan
Kamtibmas dan pelanggaran dan perbuatan melawan hukum.
Dengan diawali dari laporan atau aduan korban atau penemuan tindak
pidana langsung oleh Polisi melalui kegiatan patroli, maka polisi
melakukan pemeriksaan dan pemberkasan dan dituliskan dalam suatu
berita acara pemeriksaan, menyangkut saksi, korban dan tersangka. Upaya
penyeledikian dan penyidikan dimulai dengan penerbitan surat dimulainya
penyidikan (SPDP) setelah di pertimbangkan minimal 2 alat bukti, dan
identifikasi kasus pidana atau bukan pidana. Kegiatan para petugas reserse
adalah untuk mencukupi pasal 184 KUHAP yaitu mencari dan
menemukan tersangka, mencari dan menemukan alat bukti, berupa surat-
surat, petunjuk dan barang bukti lainnya, dan menanya saksi saksi yang
ada dan mengumpulkan informasi dari saksi korban.
Kegiatan anggota reserse polisi ini sangat berat, misalnya, adanya
perlawanan tersangka jika akan ditangkap, yang bisa melawan dengan
senjata api atau senjata tajam lainnya dan sering membawa korban
kehilangan nyawa anggota Polisi atau luka-luka. Kemudian bila tersangka
melarikan diri keluar kota atau keluar Pulau, memakan biaya akomodasi,
transportasi dan waktu yang lama, sangat memakan tenaga dan pikiran.
Setelah melewati beberapa rangkaian pencarian dan penemuan alat
bukti melalui proses ilmiah (laboratorium dan forensik), maka semua

11
keterangan akan dicatat dan ditanda tangani oleh tersangka dan alat bukti
lain dikumpulkan dan pada akhirnya siap untuk dilanjutkan ke pihak
kejaksaan. Proses melengkapi alat bukti dan saksi-saksi memakan waktu
yang cukup lama, dan setelah lengkap semuanya, maka pihak kejaksaan
menerima tersangka dan barang bukti yang ada dan menyatakan berkas
lengkap dengan kode P21.
2. Kejaksaan
Pihak kejaksaan akan menerima semua berkas yang ada dan tersangka
dan barang bukti yang ada dan akan melakukan penuntutan dan penetapan
pasal yang dipersangkakan kepada si terdakwa. Kesesuaian pasal dengan
alat bukti yang ada akan mempengaruhi putusan hakim, sehingga dalam
proses ini di tuntut kejelian dan integritas jaksa. Upaya Polisi yang
mencari dan menemukan tersangka di lapangan dan menemukan barang
bukti akan terbayar tunai jika jaksa cerdas melakukan penuntutan dan
tanpa rekayasa apapun juga. Pada tahap penuntutan, si tersangka sudah
diserahkan dan ditahan oleh pihak kejaksaan.
3. Peradilan atau kehakiman.
Proses penegakan hukum berada di tangan para hakim. Hakim dengan
keyakinan dan berdasarkan kecerdasan melihat alat bukti yang ada dan
keterangan para saksi akan diuji untuk memutuskan suatu kasus. Intervensi
atau kepentingan apapun seharusnya tidak boleh mempengaruhi putusan
hakim. Di Indonesia hakim minimal 3 orang atau berjumlah ganjil yang
secara filosofi untuk mencegah terjadinya persekongkolan. Proses
peradilan yang sah, jujur dan tanpa intervensi akan mewarnai suatu
putusan.
Hakim akan meneliti berkas dan melihat apakah secara administrasi
kasus tersebut masuk wilayah hukum pidana, atau perdata atau wilayah
hukum lainnya. Setelah itu, para hakim akan masuk pada proses peradilan
yang sebenarnya, dengan menanya para saksi-saksi dan tersangka dan
mendengar pembelaan dari tersangka atau pengacaranya.

12
Pada tahap akhir akan dilihat, apakah seorang hakim dalam
memutuskan suatu perkara, menjatuhkan hukuman secara penuh, sebagian
atau membebaskan si tersangka itu murni atau tidak. Harus di sadari
lembaga peradilan atau kehakiman ini secara filosofis dan nyata adalah
benteng terakhir bagi rakyat untuk mencari dan menemukan keadilan.
Dalam hal sistem peradilan perdata, tugas Polisi tidak dilaksanakan
sebagaimana dalah hal pidana, sehingga para pihak yang bersengketa,
kalau menginginkan atau menempuh jalur ligitasi, langsung mendaftarkan
ke kejaksaan dengan fakta hukum berupa laporan atau aduan berupa
dugaan yang berisi wan prestasi pihak lain. Polisi bisa menjadi
pendamping atau konsultan untuk mencari kebenaran dan keadilan dari
sengketa tersebut (tidak resmi atau di bawah tangan).
Masyarakat yang hidup berkelompok memerlukan sistem yang
dihormati dan dipercaya mampu mengakomodir segala kepentingan
anggotanya. Demikian juga dengan sistem peradilan pidana yang dipilih di
Indonesia. Hukum pidana material yang mengacu pada pemenuhan alat
bukti suatu tindak pidana yang telah tertuang dalam KUHAP pasal 184,
membuat para penegak hukum bekerja dengan profesional dan
proportional dalam bidangnya yang menjadi rangkaian sistem peradilan.
Menurut Marjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana adalah sistem
pengendalian kejahatan yang terdiri atas lembaga lembaga kepollsisan,
kejaksaan, pengadilan dan permasyarakatan terpidana. Pengendalian
kejahatan yang dimaksud marjono Rekso diputro tersebut merupakan
sistem pengendalian di dalam pendekatan manajemen.
Sementara Romli Atmasasmita, mengartikan sistem peradilan pidana
sebagai suatu istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam
penangulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan
sistem . 3).
Dalam pasal 1 UU No. 65 tahun 2015 tentang peradilan anak,
ditentukan pengertian sistem peradilan anak adalah keseluruhan proses
penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap

13
penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani
pidana.
Dengan demikian, negara telah legal dan mensahkan dan bertanggung
jawab terhadap tingkah laku dan pertumbuhan anak yang melakukan
kejahatan terhadap orang lain dan juga jika menjadi korban kejahatan
orang lain.

14
BAB III
ANALISIS

A. Tanggung jawab negara terhadap tumbuh kembang anak.


Peran negara menciptakan suatu lingkungan yang sehat terhadap
pertumbuhan dan perkembangan anak sangat diperlukan oleh anak itu sendiri.
Melalui pembangunan dan perawatan tempat-tempa atau fasilitas kebutuhan si
anak, mislanya, taman bermain, sekolah yang memadai, rumah sakit yang
lengkap, tayangan informasi yang bebas dan bertanggung jawab, transportasi
yang ramah dan murah, nyaman dan aman, dll, membuat pertumbuhan
psikhologi anak berjalan dengan normal.
Di samping itu pengelolaan sumber daya alam yang bijaksana dan
distribusi hasil ekonomi yang adil dan merata yang dinikmati oleh keluarga-
keluarga mampu membentuk keluarga yang sehat dan kuat dalam mengemban
fungsi membentuk anak anak yang sehat jasmanai dan rohani dan kuat
menyogsong masa depannya.
Tanggung jawab pemerintah untuk anak anak ini dapat melalui proses
keluarga berencana, peningkatan pendapatan keluarga, harga sembako yang
normal dan terjangkau, kualitas pelayanan pendidikan / sekolah dan kesehatan
yang baik dan terjangkau, dll.

B. Penyelesaian pidana anak melalui sistem peradilan anak Di Indonesia.


Negara telah memberikan tanggung jawab terhadap perkembangan anak
anak, dengan membuat regulasi undang undang yaitu undang-undang no 11
tahun 2012 yang diubah menjadi UU No 65 tahun 2015 merupakan legalitas
dari tanggung jawab peradilan anak di Indoensia.
Dengan ada nya peradilan anak tersbeut, maka para penegak hukum yang
termasuk dalam sistem peradilan pidana, khususnya buat anak-anak akan
mendapat pedoman dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana yang
dilakukan terhadap anak-anak oleh orang dewasa maupun yang dilakukan oleh
anak anak itu sendiri.

15
Seorang anak yang melakukan tindak pidana atau menjadi korban dapat
dituntut melalui peradilan pidana anak dan pembuatan undang-undang
peradilan anak ini dan juga membuat suatu terobosan untk menyelesaikan
kasus pidana diluar peradilan yaitu melalui ADR atau penyelesaian alternatif
diluar peradilan ( bisa dengan damai atau membayar sejumlah denda ).
Pada prinsipnya seorang anak yang nenajdi korban kekerasan atau pidana
orang dewasa harus mendapat perlindungan dan rehabilitasi psikhologi dan
dibawah pengawasan dan perlindunghan orang yang ahli dan tersangaka dapat
dihukum dengan seberat beratnya. Disisi lain seorang anak anak yang diduga
menjadi pelaku kejahatan terhadap anak yang lain, maka dapat
dipersangkakan dengan tindak kejahatan sesuai dengan undang-undang
perlindungan anak, namun juga dapat diposisikan sebagai korban dari
ketelodoran masyarakat dan negara dalam memfasilitasi pertumbuhan
psikhlogi si anak.
Penyelesaian sengketa melalui cara alternatif non ligitasi dirasakan sangat
perlu untuk saat ini dan saat yang akan datang, karena sengketa yang
dilaporkan ke pengadilan waktu demi waktu terus bertambah, sementara
kemampuan sumber daya manusia (SDM) penyidik, jaksa dan hakim untuk
menuntaskan suatu kasus ditempuh dengan waktu yang cukup lama, bisa
berbulan –bulan bahkan tahunan. Pengungkapan perkara atau kasus pidana
dan khusunya perdata mulai tahap pengadilan negeri, banding dan kasasi dan
juga sampai tahap peninjaun kembali (PK) memakan waktu yang cukup lama,
energi biaya yang cukup tinggi dan beban psychologis antar pihak yang
bermasalah.

C. Konsep Diversi dan Restoratif Justice dalam SPPA


Konsep Restorative Justice sebagai alternative penyelesaian perkara
pidana anak, telah muncul lebih dari dua puluh tahun yang lalu sekitar tahun
1980-an. Restorative justice dimaknai sebagai suatu proses dimana semua
pihak yang terkait dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk
memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat pada

16
masa yang akan datang. Proses ini pada dasarnya dilakukan melalui upaya
diversi yang dilakukan oleh pihak kepolisian ketika kasus anak telah
dilaporkan di kepolisian dengan menggunakan otoritas diskresi. Diskresi
adalah adalah pengalihan dari proses pengadilan pidana secara formal ke
proses non formal untuk diselesaikan secara musyawarah. Pendekatan ini
dapat diterapkan bagi penyelesaian kasus-kasus anak yang berkonflik dengan
hukum.
Restorative Justice atau keadilan restorative yang kemudian diterapkan
sebagai salah satu upaya penyelesaian kasus anak yang berkonflik dengan
hukum (AKH) dengan melibatkan keluarga, tokoh masyarakat, pelaku, korban
dan pihak-pihak terkait lainnya, dengan penekanannya kembali kepada
keadaan semula tanpa ada unsur pembalasan. Jadi Restorative Justice diartikan
sebagai keadilan penyembuhan, pemulihan rasa keadilan bagi korban,
sehingga tidak ada lagi unsur balas dendam dan penghukuman terhadap
pelaku.
Dalam Undang-undang No 65 tahun 2015 tentang Sitem Peradilan pidana
Anak, pada tahapan pemeriksaan ditingkat proses hukum baik ditingkat
kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan diharuskan Anak Konflik Hukum
dilakukan upaya Diversi dengan pendekatan Keadilan Restoratif, Syarat untuk
dilakukan Diversi tentunya dengan kejahatan yang ancaman hukumannya
kurang 7 (tujuh) tahun dan bukan pengulangan tindak pidana. Namun jika
dalam proses tidak menghasilkan penyelesaian maka kasus AKH diproses di
pengadilan dengan menggunakan pendekatan peradilan anak.
Pada proses ini, dilakukan dengan memperhatikan usia anak yakni khusus
anak dibawah 12 tahun dilakukan hukuman tindakan dan anak berumur 12
tahun hingga umur 18 tahun dilakukan hukum tindakan dan pemidanaan.

17
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pendekatan keadilan restoratif dalam perkara anak dapat dicapai melalui
penerapan diversi sebagaimana diatur dalam UU Sistem Peradilan Anak.
Selama ini sudah ada diversi pada perkara anak, namun baru dilaksanakan
di kepolisian. Padahal, jika ingin melindungi dan me-restorasi anak,
korban, dan masyarakat, diversi harus dilakukan oleh penegak hukum
pidana dalam semua tahapan secara terukur dan legal. Secara faktual,
belumadanya hukum yang khusus mengatur diversi, kelemahan
pelaksanaan peradilan pidana anak; kekurangmampuan LAPAS, LAPAS
Anak, dan Organisasi Kema- syarakatan dalam membina anak yang
berkonflik dengan hukum selama ini; keberhasilanpencapaian tujuan
diversi pada anak di beberapa negara penye- bab lahirnya sistem diversi
dalam perkara anak . Konsekuensinya, para pihak yang terlibat dalam
proses dan pasca-diversi wajib menjamin kepentingan terbaik bagi anak
dan korban. Karena itu, pendidikan, pembinaan, pendam- pingan dan
pengawasan anak yang berkonflik dengan hukum (baik yang diselesaikan
dengan diversi maupun yang diadili melalui sistem peradilan pidana) wajib
dilaksanakan secara sistemik.Konsekuensi yuridisnya, Peratur- an
Pemerintah (PP) tentang diversi dan peraturan perundang-undangan lain,
termasuk ketentuan organik yang dapat digunakan sebagai panduan di
lemba-ga dan personil yang terlibat dalam proses sebelum, saat, dan
setelah diversi sangat dibutuhkan dalam rangka mencapai keadilan dalam
kepastian hukum.
2. Negara memiliki peran dan tanggung jawab untuk memberikan fasilitas
bagi pertumbuhan dan perkembangan anak dengan pelaksanakan KB,
disrtirubusi penghasilan ekonomi kepada keluarga keluarag Indonesia,
menegakkan hukum dengan membuat regulasi peradilan anak, dll.
Penegakan hukum dilaksanakan mulai proses penyelidikan dan penyidikan

18
oleh kepolisian, penuntutan oleh kajasanaan dan peradilan oleh
hakim. Pada prinsipnya kasus anak yang berkonflik dengan hukum
(AKH) yang dibawa dalam proses peradilan adalah kasus-kasus berat
yang sifatnya serius, dan tetap mengedepankan prinsip kepentingan terbaik
bagi anak serta proses penghukuman adalah jalan terakhir dengan tetap
tidak mengabaikan hak-hak anak. Selain itu, kasus-kasus anak dapat
diselesaikan melalui mekanisme non formal yang dilakukan dengan
pendekatan restorative justice guna memenuhi rasa keadilan bagi korban
sehingga kedua belah pihak dapat saling memaafkan dan tidak ada dendam
diantara mereka.

B. Saran
1. Keluaraga tetap memberikan prioritas terhadap pertumbuhan dan
perkembangan anak baik fisik amsupun psikis nya, sehingga dapat
menjalankan proses KB dan akibatnya meningkatkan kesejahtreaan
bagi para keluarga itu sendiri, orangtua dan anak anak
2. Pemrintah melalaui CJS menghukum dengan sebverat-beratnya bagi
pelaku atau terpida pelaku kejahatan seksusal dan atau pedofil kepada
anak anak

19
DAFTAR PUSTAKA

Kriminologi oleh Topo Santoso S.H., M.H., dan Eva Achjani Zulfa S.H., penerbit
Raja Grafindo Perkasa, Jakarta 2010.

Pengantar Ilmu Hukum, R Soeroso S.H., Sinar Grafika, Jakarta, Tahun 2001,

Pusat data statistik kepndudukan Indonesia.Kamus Besar Bahasa Indonesia


(KBBI).

Undang – undang No 1 tahun 2012 tentang sistem peradilan anak anak

Sistem peradilan Pidana , perbandingan komponen dan proses sistem peradilan


pidanan di bebrapa negara oleh Tolib Effendi S.H., M.H. Penerbit pustaka
Yustusia, Jakarta, 2013.

20

Anda mungkin juga menyukai