Anda di halaman 1dari 24

PELAKSANAAN PEMBINAAN TERHADAP NARAPIDANA ANAK DI BALAI

PEMASYARAKATAN (BAPAS) KOTA TEGAL

( Studi di Balai Pemasyarakatan Kelas II B Kota Tegal )

RAGANGAN PENELITIAN PENULISAN HUKUM

Diajukan Untuk Prasyarat Skripsi Pada Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman

Disusun

NANDYA AYU OKTIFANNY

E1A017341

KEMENTERIAN RISET DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

2021
A. Latar Belakang

Anak merupakan amanah yang diberikan oleh tuhan kepada manusia sebagai generasi

penerus baik untuk penerus keluarga atau sekalipun untuk penerus bangsa, pengertian anak

banyak di ungkapkan oleh Undang-Undang seperti salah satunya adalah Undang-undang Nomor

35 Tahun 2014 yang disebutkan dalam Pasal 1, “Anak adalah seorang yang belum berusia 18

(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Tidak kalah penting dalam

memberikan pendidikan dan budi yang baik sudah seharusnya diterapkan sejak dini pada

anak-anak bangsa. Anak adalah generasi muda yang nantinya akan meneruskan cita-cita

dari para leluhur bangsa, maupun menjadi pemimpin bangsa di masa yang akan datang.

Generasi muda menjadi harapan bagi peminpin dan leluhur terdahulu. Anak merupakan

salah satu aset untuk memajukan bangsa dan negara. Berkembangnya zaman memberi

perubahan terhadap lingkungan hidup maupun lingkunga social,hal tersebut membuat timbulnya

factor yang akan mempengaruhi pola pikir dan tata krama anak semakin menurun. Tidak

sedikit perkara anak sebagai aktor tindak kejahatan zaman saat ini. Tingkat kenakalan

anak yang meningkat dari tahun ke tahun disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor

penyebab kenakalan anak sehingga anak terjebak dalam perkara kriminal dan akhirnya harus

berhadapan dengan hukum diantaranya seperti kurangnya perhatian orang tua, keadaan yang

mengharuskan anak memenuhi kebutuhan hidup, atau bahkan pencarian jati diri. Faktor

tersebut dapat saja menjadikan anak-anak tersebut terjerumus terlalu dalam pergaulan yang

tidak semestinya dan menimbulkan adanya kenakalan remaja. Kenakalan pada anak-anak

seringkali tidak mendapatkan peringatan dan tindakan yang tegas. Di Indonesia, masalah

anak yang berkonflik dengan hukum mempunyai kecenderungan semakin meningkat. Catatan

kriminalitas terkait anak di Indonesia seperti yang diungkapkan oleh Direktur Bimbingan
Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak Ditjen Pemasyarakatan menunjukkan data bahwa anak

yang berada di lingkungan rutan dan lapas berjumlah 3.812 orang. Anak yang diversi sebanyak

5.229 orang, dan total sekitar 10 ribu anak termasuk mereka yang sedang menjalani asimilasi,

pembebasan bersyarat dan cuti jelang bebas.1

Pasal 1 Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak Nomor 11 Tahun 2012

menyebutkan bahwa Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah Anak yang berkonflik

dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak

pidana. Dijelaskan lebih lanjut bahwa Anak yang berkonflik dengan Hukum adalah Anak yang

telah berumur 12 ( dua belas ) tahun, namun belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang telah

diduga melakukan tindak pidana. Sedangkan Anak yang menjadi korban adalah anak yang belum

berumur 18 (delapan belas) tahun dan telah mengalami penderitaan baik fisik, mental, dan/atau

kerugian secara ekonomi yang disebabkan oleh adanya tindak pidana. Anak yang disebut sebagai

saksi adalah anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana adalah anak yang belum berusia 18

(delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan untuk kepentingan penyidikan,

penuntutan , dan pemeriksaan di siding peradilan tentang suatu perkara pidana yang telah

didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.2 Perbedaan pengertian anak tersebut dapat dilihat

pada tiap aturan perundang-undangan yang ada pada saat ini. Dari uraian tentang anak yang

berhadapan dengan tindak pidana yang disebutkan dalam Undang-undang Sistem Peradilan

Anak, yang menjadi pembatas pengertian dari anak sendiri adalah mereka yang berusia dibawah

18 (delapan belas) tahun.

1
http://www.pikiran-rakyat.com/bandungraya/2015/08/04/337054/sepuluh-ribu-anak-kiniberhadapan-dengan-
hukum
2
Pasal 1 Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Diaturnya tentang Sistem Peradilan Anak memberikan alternatif pemidanaan bagi anak

selain dari pidana kurungan, pidana denda dan pidana pengawasan. Hal ini dikarenakan anak

masih memiliki masa depan yang lebih panjang dibandingkan dengan orang dewasa. Tujuan

pemidanaan anak, perhatian diarahkan atas dasar pemikiran dilaksanakannya peradilan anak

tidak lain untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan mengutamakan kepentingan

terbaik bagi anak sebagai bagian integral dari kesejahteraan sosial. 3 Tujuan tersebut diharapkan

dapat memberikan perlindungan hukum yang akan diberikan kepada anak yang sudah melewati

proses peradilan, oleh karenanya di Indonesia, lembaga pemasyarakatan dibuat sesuai dengan

kondisi yang ada di lingkungan masyarakat, memiliki norma-norma kehidupan yang berlaku di

masyarakat, sehingga ketika anak telah menyelesaikan masa hukumannya, dan kembali ke

lingkungan masyarakat, anak menjadi pribadi yang lebih baik dan diharapkan tidak akan

menggulangi pelanggaran hukum kembali. Bahwasannya kesejahteraan dan kepentingan anak

berada di bawah kepentingan masyarakat,tetapi justru harus dilihat bahwa mendahulukan atau

mengutamakan kesejahteraan dan kepentingan anak itu pada hakikatnya merupakan bagian dari

usaha mewujudkan kesejahteraan sosial.4 Uraian dari salah satu pertimbangan yang tertuang

dalam Undang-undang nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak huruf B “ bahwa

untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan perlindungan khusus,

terutama perlindungan hukum dalam sistem peradilan” serta yang tertuang pada huruf C

menyebutkan bahwa “ Indonesia sebagai Negara Pihak dalam Konvensi Hak-Hak Anak

( Convention on the Rights of the Child) yang mengtaur prinsip perlindungan hokum terhadap

anak mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang

3
Mustakim Mahmud, “Penerapan Sanksi Pidana Anak Menurut Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak”,
Indonesia Journal of Criminal Law, Vol.1, No.2, Desember2019, pp 128-138, Sulawesi : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum
Cokroaminoto Pinrang, hlm. 5
4
Barda Nawawai, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Jakarta,1992
berhadapan dengan hukum”. Berdasarkan uraian tersebut maka negara berperan dalam memberi

perlindungan bagi anak-anak yang memiliki konflik terlibat dengan hukum. Sehingga adanya

peran penting dari adanya sebuah pembinaan dan bimbingan yang dilakukan anak yang

melakukan penyimpangan terhadap norma hukum di dalam masyarakat. Bagi anak yang

melakukan tindak pidana akan diberi tindakan pidana yaitu pembinaan oleh Lembaga

Pemasyarakatan (Lapas) dan pembimbingan oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS). Dalam

Undang-undang Noomor 11 tahun 2012 Pasal 1 ayat 24 Balai Pemasyarakatan (BAPAS) yang

selanjutnya disebut Bapas adalah unit pelaksana teknis pemasyarakatan dan fungsi penelitian

kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan dan pendampingan. Balai Pemasyarakatan

(BAPAS) ini kemudian diatur lebih lanjut lagi pada Pasal 1 ayat 4 Undang-undang Nomor 12

tahun 1995 tentang Pemasyarakatan , menyebutkan bahwa Balai Pemasyarakatan (BAPAS)

adalah pranata untuk melaksanakan bimbingan klien pemasyarakatan. Dalam hal ini Klien

pemasyarakatan yang dimaksud adalah Klien Anak. Klien anak adalah anak yang berada dalam

pelayanan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan Pembimbing Kemasyarakatan.

Kemudian dalam Pasal 1 ayat 9 Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 menyebutkan bahwa

Klien Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Klien adalah seorang yang berada dalam

bimbingan Balai Pemasyarakatan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan beberapa hal dari uaraian di atas. Adapun rumusan masalah yang akan

diteliti sebagai berikut :

1. Bagaimana pelaksanaan pemberian pembinaan bagi narapidana Anak di Balai

Pemasyarakatan Tegal ?
2. Apakah yang menjadi faktor penghambat pada pelaksanaan Pembinaan Narapidana

anak di Balai Pemasyarakatan Tegal ?

C. Kerangka Teori

1. Pembinaan Terhadap Narapidana Anak

Narapidana adalah terpidana yang mana telah dijatuhi hukuman pidana dan menjalani

pidana hilangnya kemerdekaan setelah diserahkan kepada Lembaga Pemasyarakatan sesuai

dengan keputusan hakim dan telah berkekuatan hukum tetap. Anak yang terlibat dalam konflik

hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan

belas) tahun dan diduga telah melakukan tindak pidana. Kemudian yang disebut sebagai Anak

didik pemasyarakatan yang dikategorikan ke dalam 3 kelompok yaitu, Anak Pidana, Anak

Negara dan Anak Sipil. Sehingga dari penjabaran tentang Narapidana, anak didik

pemasyarakatan termasuk juga didalamnya. Pembagian kategori Anak didik pemasyarakatan

tersebut dijelaskan lebih rinci pada pasal 1 ayat 8 Undang-undang No 12 tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan :

Anak Didik Pemasyarakatan adalah :

a. Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di

LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;


b. Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada

negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak paling lama sampai

berumur 18 (delapan belas) tahun;

c. Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh

penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak paling lama sampai berumur

18 (delapan belas) tahun.

Pembinaan terhadap Anak didik pemasyarakatan nantinya akan diberikan pembinaan

oleh petugas pemasyarakatan. Pembinaan terhadap Anak didik pemasyarakatan ini berupa

pemberian tuntutan untuk meningkatkan kualitas, ketaatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,

intelektual, sikap dan perilaku professional, kesehatan jasmani dan rohani Klien

Pemasyarakatan.5 Pembimbing pemasyarakatan merupakan petugas pemasyarakatan yang

melaksanakan pembimbingan terhadap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan yang

dilakuka di LAPAS. Petugas pembimbing pemasyarakatan melaksanakan tugasnya di Balai

Pemasyarakatan (BAPAS), disini Balai Pemasyarakatan adalah perantara untuk melaksanakan

bimbingan terhadap klien pemasyarakatan yaitu para Narapidana yang termasuk didalamnya juga

Anak didik pemasyarakatan. Setelah di berlakukannya Undang-undang nomor 11 tahun 2012

sebagai pengganti Undang-undang nomor 3 tahun 1997, diharapkan dapat memberikan adanya

perubahan dan pembaruan, dengan tujuan dan dasar pemikiran dari peradilan pidana anak yang

tidak dapat dilepaskan dari tujuan utama mewujudkan kesejahteraan anak yang pada dasarnya

merupakan bagian integral dari kesejahteraan sosial.6 Adanya peradilan pidana Anak

mewujudkan kesejahteraan anak, sehingga dalam proses pemidanaanya berbeda dengan orang

5
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 tahun 1999
6
Guntarto Widodo.” Sistem Pemidanaan Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Prespektif Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak” Jurnal Surya Kencana Dua.Fakultas Hukum Universitas
Pamulang. Pamulang : Vol. 6 No.1, Maret 2016. Hlm 68
dewasa lainnya. Seorang anak juga memiliki emosi yang belum stabil, masih mudah terpengaruh

dengan situasi dan kondisi lingkungan sekitarnya, di khawatirkan apabila tidak ada pembinaan

setelah anak melewati proses peradilan akan mengganggu aktivitas kesehariannya. Peradilan

pidana anak pada dasarnya untuk melakukan koreksi dan rehabilitasi, sehingga Anak yang telah

berproses dengan hukum dapat dengan mudah kembali pada kehidupan yang normal dan dapat

kembali beraktivitas dalam masyarakat. Sehingga dalam menegakan keadilan, pada tingkat

proses penyidikan, pemeriksaan dan penuntutan pada perkara yang melibatkan Anak khususnya

pada lingkungan Pengadilan Negeri, wajib mengupayakan Diversi, hal ini sesuai dengan

ketentuan Pasal 7 ayat 1 Undang-undang nomor 11 tahun 2012.

2. Penerapan Sanksi Pidana terhadap Anak

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara pidana, hanya memberikan definisi-definisi

beberapa bagian dari hukum acara pidana seperti penyidikan, penuntutan, mengadili

praperadilan, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan, penahanan dan lain-

lain.7Hukum Pidana dapat disebut sebagai hukum pidana material, sedangkan Hukum Acara

Pidana disebut sebagai bentuk dari hukum pidana formil. Hal ini dapat menjadi sebuah pembeda

dimana hukum pidana materialnya berisikan aturan yang menjadi sebuah petunjuk dan aturan-

aturan sebagai syarat dari pemidanaan sedangkan hukum pidana formil merupakan bentuk dari

pelaksanaan hukum pidana material dimana Negara melaksanakan hak-haknya dalam

menjatuhkan hukuman pidananya. Berbicara mengenai Sanksi maka berbicara juga mengenai

hukum, karena penerapan sanksi tidak jauh dari adanya aturan hukum yang dilanggar. Hukum

berasal dari bahasa Arab “Alkas”, dan dalam bahasa Jerman disebut sebagai “Recht”, bahasa

Yunani yaitu “Ius”, sedangkan dalam bahasa Prancis disebut “Droit”. Semuana mempunyai arti

7
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, Ghalia Indonesia, Jkarta, 2006, hlm.15.
yang kurang lebih sama, yaitu Hukum merupakan pakasaan, mengatur, dan memerintah 8

Menurut Utrecht sebagaimana dikutip oleh Soeroso dalam bukunya yang berjudul Pengantar

Ilmu Hukum, mengatakan bahwa ilmu hukum merupakan himpunan petunjuk hidup (perintah-

perintah) dan larangan-larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan

seharusnya ditaati oleh masyarakat itu. Oleh karena itu pelanggaran petunjuk tersebut dapat

menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah terhadap masyarakat itu.9

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Hans Kelsen, sanksi didefinisikan sebagai

reaksi koersif masyarakat atas tingkah laku manusia (fakta sosial) yang mengganggu masyarakat.

Setiap sistem norma dalam pandangan Hans Kelsen selalu bersandar pada sanksi. Esensi dari

hukum adalah organisasi dari kekuatan, dan hukum bersandar pada sistem paksaan yang

dirancang untuk menjaga tingkah laku sosial tertentu. Dalam kondisi-kondisi tertentu digunakan

kekuatan untuk menjaga hukum dan ada sebuah organ dari komunitas yang melaksanakan hal

tersebut. Setiap norma dapat dikatakan “legal” apabila dilekati sanksi, walaupun norma itu harus

dilihat berhubungan dengan norma yang lainnya.10

Penjatuhan Sanksi Pidana anak sebgai pelaku tindak pidana anak diharapkan tidak

merugikan bagi kepentingan siapapun, memberikan yang terbaik bagi seluruh pihak yang

terlibat. Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada anak didasarkan kepada kebenaran, keadilan dan

kesejahteraan Anak.11 Hukum pidana untuk anak yang diatur dalam UU No. 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak dianggap belum memberikan perlindungan kepada anak, bahwa

Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan
8
Soerjono,Soekanto,1985, ”Teori Yang Murni Tentang Hukum”. PT. Alumni, Bandung hlm.40
9
R.Soeroso,loc.cit.
10
Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manullang, 2007, Pengantar Ke Filsafat Hukum,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 84
11
Guntarto Widodo. “Sistem Pemidanaan Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Prespektif Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak“ Jurnal Surya Kencana Dua: Dinamika Masalah Hukum dan
Keadilan Vol. 6 No.1, Maret 2016. Fakultas Hukum Universitas Pamulang.hlm.11
kebutuhan hukum masyarakat karena belum secara komperhensif memberikan perlindungan

kepada anak yang berhadapan dengan hukum sehingga perlu diganti dengan yang baru, hal ini

ada sebagai pertimbangan disahkannya Undang-undang nomor 11 tahun 2012. Oleh karena itu

Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tersebut tidak berlaku kembali sesuai denggan tujuan dan

dasar pemikiran dari peradilan pidana anak tidak dapat dilepaskan dari tujuan utama

mewujudkan kesejahteraan anak yang pada dasarnya merupakan bagian integral dari

kesejahteraan sosial..12 Pemidanaan Terhadap Anak ini telah banyak diatur dalam hukum di

Indonesia, antara lain di dalam :

a . Pasal 71 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

1). Pidana pokok bagi anak terdiri atas :

a. Pidana peringatan;

b. Pidana dengan syarat :

1). Pembinaan di luar lembaga ;

2). Pelayanan masyarakat; atau

3). Pengawasan.

c. Pelatihan kerja;

d. Pembinaan dalam lembaga; dan

e. Penjara

2). Pidana tambahan terdiri atas :

a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau

b. Pemenuhan kewajiban adat.


12
Guntarto Widodo. “Sistem Pemidanaan Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Prespektif Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak “ Jurnal Surya Kencana Dua: Dinamika Masalah Hukum dan
Keadilan Vol. 6 No.1, Maret 2016. Fakultas Hukum Universitas Pamulang hlm.11
b. Pasal 69 Ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 11 tahun 2012

1) Anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai tindakan berdasarkan ketentuan

dalam Undang-Undang ini.

2) Anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat dikenai tindakan.

c. Pasal 45 KUHP

Pasal 45 KUHP menyatakan bahwa

“Dalam menuntut orang yang belum cukup umur (minderjarig) karena melakukan

perbuatan sebelum umur 16 (enam belas) tahun, hakim dapat menentukan:

memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tua, walinya atau

pemeliharanya, tanpa pidana apapun, atau memerintahkan supaya yang bersalah

diserahkan kepada pemerintah, tanpa pidana apa pun, yaitu jika perbuatan merupakan

kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 505,

514, 517-519, 526, 532, 536 dan 540 serta belum lewat 2 (dua) tahun sejak dinyatakan

salah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut diatas, dan

putusannya menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana”

Ancaman pidana yang dijatuhkan terhadap narapidana anak yang telah melakukan tindak

pidana sesuai dengan anturan hukum yang terdapat dalam Undang-undang nomor 11 tahun 2012.

Setiap anak yang sedang dalam proses peradilan pidana berhak tidak dijatuhi pidana mati dan

penjara seumur hidup. Penjatuhan pidana atau tindakan merupakan suatu tindakan yang harus di

pertanggaung jawabkan dan dapat bermanfaat bagi anak. Setiap pelaksanakan pidana atau
tindakan, diusahakan tidak menimbulkan korban, penderitaan, kerugaian mental, fisik, dan

sosial. Mencegah akibat-akibat yang tidak diinginkan yang sifatnya merugikan , perlu

diperhatikan dasar etis bagi pemidanaan tersebut, yaitu keadilan sebagai satu-satunya dasar

pemidanaan, setiap tindakan pemidanaan dinilai tidak hanya berdasarkan sifat keadilan saja,

melainkan juga sifat kerukunan yang akan dicapainya, karena dalam kerukunan tercermin pula

keadilan, pemidanaan merupakan tindakan terhadap anak pidana yang dapat mempertanggung

jawabkan perbuatannya, penilaian anak pidana, tidak selalu didasarkan pada kualitas kemampuan

rohaniah dan psikis pada waktu kenakalan dilakukan, tetapi terutama didasarkan pada

kemampuan mereka berhak untuk menerima pidana dan tindakan. 13 Demi melaksanakan

penegakan pidana yang tidak menimbulkan korban, penderitaan, kerugaian mental, fisik, dan

sosial , maka pada kasus tindak pidana anak mewajibkan upaya Diversi, karena Sistem Peradilan

Pidana Anak yang yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia wajib

mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. Sehingga pada tindak pidana yang hanya berupa

pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban dan tidak menimbulkan kerugian

korban yang tidak lebih dari upah minimum provinsi setempat, dan tindak pidana yang dilakukan

diancam dengan pidana Penjara di bawah 7 (tujuh) tahun, dan bukan merupakan pengulangan

tindak pidana, maka dapat diupayakan kesepakatan Diversi untuk menyelesaikannya. Proses

Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban

dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan dan Pekerja Sosial Profesional

berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.14 Bentuk hasil dari kesepakatan Diversi seperti

yang dijelaskan dalam Pasal 11 Undang-undang nomor 11 tahun 2012 :

a. Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian


13
Maidin Gultom,Perlindungan Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak diIndonesia. Bandung . Refika Aditama.
Cetakan I, 2008. Hlm. 124
14
Pasal 8 ayat 1 Undang-undang nomor 11 tahun 2012.
b. Penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;

c. Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS

paling lama 3 (tiga) bulan; tau

d. Pelayanan masyarakat.

Berdasarkan putusan hakim Pengadilan Negeri yang memberikan sanksi kepada anak pidana

yang melakukan tindakan pidana, maka Balai Pemasyarakatan (BAPAS) mempunyai peran yang

sangat penting untuk membina dan membimbing klien (anak nakal) agar dapat memperbaiki diri

sendiri, serta tidak mengulangi tindak kejahatan.

3. Balai Pemasyarakatan

Balai pemasyarakatan (BAPAS) merupakan Pranata dalam melaksanakan bimbingan

Kemasyarakatan. Bentuk dari bimbingan yang diberikan macam-macam, mulai dari pemberian

pembinaan tentang agama, keterampilan, sampai pada pembinaan kepribadian. Bimbingan ini

diberikan dengan tujuan agar klien dapat hidup dengan baik didalam masyarakat sebagai warga

negara serta bertanggungjawab, untuk memberikan motivasi, agar dapat memperbaiki diri

sendiri, dan tidak mengulangi kejahatan (residive). Dalam pembinaan terhadap narapidana anak,

Balai Pemasyarakatan (BAPAS) melaksanakan teknis pemasyarakatan yang melakukan

penelitian dalam masyarakat yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan dalam mencari

data secara detail dan valid mengenai latar belakang anak serta motif anak dalam melakukan

suatu tindak pidana, maupun hal lain yang bersangkutan dengan tindak pidana. Dalam sistem

peradilan anak ini, Balai Pemasyarakatan berperan penting dalam setiap proses peradilan.

Pembinaan yang dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS) ini sendiri merupakan

pembinaan yang dilaksanakan diluar Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) . dalam Pasal 1 ayat 4

UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, menyatakan bahwa BAPAS adalah suatu
pranata untuk melaksanakan bimbingan klien Pemasyarakatan. Klien Pemasyarakatan adalah

seseorang yang berada dalam bimbingan Balai Pemasyarakatan (BAPAS) sehingga anak yang

terlibat dengan hukum juga termasuk dalam Klien Pemasyarakatan. Lebih lanjut Balai

Pemasyarakatan (BAPAS) ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 31

tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Dalam Pasal

1 ayat 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 tahun 1999 menyebutkan bahwa

Penelitian Kemasyarakatan yang selanjutnya disebut Litmas adalah kegiatan penelitian untuk

mengetahui latar belakang kehidupan Warga Binaan Pemasyarakatan yang dilaksanakan oleh

BAPAS. Pasal 6 ayat 3 Undang-undang nomor 12 tahun 1995 menyebutkan Pembimbingan oleh

BAPAS dilakukan terhadap :

a) Terpidana bersyarat;

b) Narapidana, Anak Pidana dan Anak Negara yang mendapat pembebasan bersyarat

atau cuti menjelang bebas;

c) Anak Negara yang berdasarkan putusan pengadilan, pembinaannya diserahkan

kepada orang tua asuh atau badan social,

d) Anak Negara yang berdasarkan menteri atau pejabat di lingkungan Direktorat

Jendral Pemasyarakatan yang ditunjuk bimbingannya diserahkan kepada orang

tua asuh atau badan sosial,dan

e) Anak yang berdasarkan penetapan Pengadilan, bimbingannya dikembalikan

kepada orang tua atau walinya.

Dalam UU SPPA Balai Pemasyarakatan ( BAPAS) adalah pembimbing kemasyarakatan

yang bertugas melaksanakan penelitian guna kepentingan laporan Diversi, pendampingan,

pengawasan terhadap Anak selama proses Diversi maupun terhadap Anak yang berdasarkan
putusan pengadilan dijatuhi pidana atau dikenai tindakan. Anak yang berstatus sebagai klien

anak menjadi tanggung jawab BAPAS, sehingga BAPAS wajib menyelenggarakan

pembimbingan pengawasan dan pendampingan, serta pemenuhan hak lain sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.15 Balai Pemasyarakatan (BAPAS) sendiri mempunyai

tugas dan fungsi menyelenggarakan sebagian dari tugas pokok. Direktoral Jendral

Pemasyarakatan dalam menyelenggarakan pembimbingan klien pemasyarakatan di daerah.

Karena narapidana anak masih memiliki masa depan yang panjang, maka lembaga

pemasyarakatan ini dibuat agar anak dapat diterima lagi didalam masyarakat, menjalani norma di

masyarakat dengan baik, maka dalam upaya menjamin adanya perlindungan hukum terhadap

narapidana anak, maka diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak yang merupakan salah satu dalam upaya melindungi kepentingan Anak.

Disamping hal diatas, Balai Pemasyarakatan (BAPAS) juga memiliki peran penting dalam

memberikan bimbingan terhadap para narapidana yang telah memperoleh pelepasan bersyarat,

peran tersebut adalah pemberian pengawasan yang khusus.

Pasal 14 huruf d KUHP berbunyi :

(1)   Yang diserahi mengawasi supaya syarat-syarat dipenuhi, ialah pejabat yang

berwenang menyuruh menjalankan putusan, jika kemidian ada perintah untuk

menjalankan putusan.

(2)   Jika ada alasan, hakim dapat perintah boleh mewajibkan lembaga yang berbentuk

badan hukum dan berkedudukan di Indonesia, atau kepada pemimpin suatu rumah

penampungan yang berkedudukan di situ, atau kepada pejabat tertentu, supaya memberi

pertolongan atau bantuan kepada terpidana dalam memenuhi syarat-syarat khusus.


15
Pasal 87 ayat 1 dan 3 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
(3) Aturan-aturan lebih lanjut mengenai pengawasan dan bantuan tadi serta mengenai

penunjukan lembaga dan pemimpin rumah penampungan yang dapat diserahi dengan

bantuan itu, diatur dengan undang-undang.

Dari bunyi pasal 4 huruf d KUHP tersebut maka adanya pengawasan terhadap narapidana yang

mendapatkan pelepasan bersyarat diserahkan kepada yang berhak yang telah ditunjuk oleh

hakim, salah satunya adalah Balai Pemasyarakatan (BAPAS).

D . Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari adanya penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bagaimana Pembinaan terhadap Narapidana Anak yang dilakukan

oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS)

2. Untuk mengetahui berbagai macam faktor yang menjadi penghambat dalam

pelaksanaan pembinaan terhadap Narapidana Anak yang dilakukan oleh Balai

Pemasyarakatan (BAPAS)

E. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

a. Hasi dari penelitian ini diharapkan menjadi manfaat sebagai sumber informasi ilmiah

yang dapat digunakan sebagai sebuah bahan refrensi bagi perkembangan dunia

pengetahuan ilmu hukum, khususnya di bidang hukum acara pidana yang berkaitan
dengan Pembinaan Terhadap Narapidana Anak setelah dijatuhi sanksi hukum yang

berlaku di Indonesia.

b. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi ilmiah dan dapat

sebagai bahan acuan, serta menjadi bahan perbandingan untuk penelitian-penelitian yang

sejenis di masa yang akan datang.

2. Kegunaan Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi manfaat bagi lembaga-lembaga yang

terkait didalamnya seperti Balai Pemasyarakatan dan Lembaga Pemasyarakatan Kota

Tegal dalam pemberian pembinaan terhadap Narapidana Anak yang terlibat dalam tindak

pidana maupun kenakalan-kenakalan anak lainnya. Metode ini digunakan dalam

memperoleh data sekunder yang terkait dengan Pembinaan Narapidana anak yang terlibat

dalam tindak pidana.

F. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

Penelitian ini dilakukan sebagai penelitian kualitati dengan menggunakan pendekatan

Empiris. Arti dari Empiris sendiri didasarkan pada observai terhadap kenyataan dan akal sehat,

dalam arti tidak spekulatif.16 Pendekatan empiris digunakan dalam melihat sejauh apakah Balai

Pemasyarakatan (BAPAS) di Kota Tegal dalam memberi pembinaan terhadap narapidana anak

yang terlibat dalam tindak pidana. Soerjono Sekanto memberi pendapat bahwa penelitian hukum

16
Yesmil Anwar dan Adang, 2013. Pengantar Sosiologi Hhukum, Jakarta, Grasindo, hlm. 94
sosiologis atau empiris, data yang diteliti terlebih dahulu adalah data sekunder yang dilanjutkan

dengan penelitian terhadap data primer lapangan atau terhadap masyarakat.17

2. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Studi Pustaka

Adalah teknik pengumpulan data dengan melakukan penelaahan terhadap buku-buku,

literature-literatur, catatan-cataan maupun laporan yang akan dijadikan pemecah permasalahan

dalam penelitian ini. Studi pustaka ini merupakan teknik pengumpulan data dengan menghimpun

dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen terulis, gambar maupun elektronik. 18

Metode Studi Pustaka ini digunakan untuk memperoleh dokumen yang berkaitan dengan

pemberian pembinaan terhadap narapidana anak di Kota Tegal.

b. Metode Survei

Adalah penyelidikan yang digunakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala

yang ada, dan mencari keterangan-keterangan secara faktual, guna membedah dan mengenal

masalah-masalah serta mendapatkan pembenaran terhadap keadaan dan praktik-praktik yang

sedang berlangsung.19 Metode Survei ini digunakan dalam memperoleh data secara faktual

mengenai bagaimana pembinaan terhadap narapidana anak ini dilakukan di Balai

Pemasyarakatan (BAPAS) Kota Tegal.

3. Spesifikasi Penelitian

17
Soerjono Soekanto, 1986. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Perss, hlm.52
18
Sukma Dinata dan Nana Syaodih, 2012. Metode Penelitian Pendidika, Bandung, PT Remaja Rosakarya, hlm. 21.
19
M. Nazir, 1999. Metode Penelitia, Jakarta, Ghalia Indonesia, hlm. 65.
Spesifikasi dalam penelitian yang digunakan adalam deskriptif analistis, yaitu suatu

penelitian yang berusaha memperoleh gambaran dan penjelasan sebenarnya mengenai masalah

yang diteliti.20 Pengunaan spesifikasi deskriptif dalam penelitian ini bertujuan untuk memperoleh

gambaran mengenai pelaksanaan Pembinaan terhadap narapidana anak yang dilakukan oleh

Balai Pemasyarakatan ( BAPAS ) di Kota Tegal. Dan melakukan analistis terhadap aturan

hukum yang berlaku yang mengatur tentang pembinaan terhadap narapidana anak, dan

pengumpulan data berdasarkan penelitian di lapangan serta teori yang relevan.

4. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Balai Pemasyarakatan (BAPAS) yang berlokasi di Kota Tegal.

Pengambilan lokasi tersebut didasarkan dengan alasan sebagai berikut :

a. Ketersediaan data yang diperlukan dalam penelitian ini ada pada lokasi tersebut.

b. Penulis berdomisili di Kota Tegal

c. Belum adanya penelitian dengan Judul “ Pelaksanaan Pembinaan Terhadap

Narapidana Anak di Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Kota Tegal”

5. Informan Penelitian

Informan dalam penelitian ini adalah Kepala bagian dan anggota dari Balai

Pemasyarakatan (BAPAS) Kota Tegal yang bertugas dan berwenang dan berkaitaan dengan

adanya penelitian ini.

6. Metode Penentuan Informan

20
Soerjono Soekanto, 1986. Pengantar Penelitian Ilmu Hukum, Jakarta. UI Press, hlm.52
Penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan metode penentuan Purposive

Sampling atau Certerian Selection, dan dilanjutkan denga menggunakan metode penentuan

dengan Snowball Sampling. Certerian Selection adalah penentuan informan dengan kasus yang

sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan terpercaya untuk dijadikan narasumber, dalam

penelitian ini pemilihanya adalah Kepala Bagian dan anggota yang berwenang di Balai

Pemasyarakatan, karena penelitian dilakukan di BAPAS. Dengan melilih metode Purposive

Sampling atau Criterian Based Selection, peneliti cenderung memilih narasumber yang dianggap

tahu dan terpercaya untuk menjadi sumber data. Kemudian Snowball Sampling adalah teknik

pengumpulan sampel yang mula-mula jumlahnya kecil, kemudian sampel ini disuruh memilih

teman-temannya untuk dijadikan sampel.21

7. Jenis dan Sumber Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan 2 (dua) sumber data yang meliputi :

a. Data Primer

Data Primer adalah data langsung yang dikumpulkan oleh peneliti dari sumber

pertamanya.22 Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan data primer adalah wawancara dengan

Kepala bagian dan anggota yang berwenang dari Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Kota Tegal.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang langsung dikumpulkan oleh penulis sebagi peneliti yang

akan digunakan untuk penunjang dari sumber data pertama. Dalam hal ini dapat dikatakan data

yang tersusun dalam bentuk dokumen. Data sekunder dari penelitian ini sendiri terdiri atas :

21
Sugiyono, 2001. Statistika Untuk Penelitian, Bandung, Alfabeta, hlm. 61
22
Sumadi Suryabrata, 1987. Metode Penelitian, Jakarta, Rajawali, hlm. 93.
i. Undang-Undang Dasar

ii. Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP)

iii. Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

iv. Undang-undang Nomor. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

v. Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Peradilan Anak

7. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data yang dikumpulkan dengan metode sebagai berikut :

a. Wawancara

Wawancara adalah proses Tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan

dimana 2 orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi

atau keterangan-keterangan.23 Wawancara yang dilakukan untuk mengumpulkan data sebagai

bahan acuan dalam pembuatan penelitian ini dilakukan dengan mewawancarai Anggota yang

berwenang di Balai Pemasyarakatan (BAPAS) dan dilanjutkan mewawancarai Kepala Bagian

Balai Pemasyarakatan (BAPAS).

b. Studi Dokumenter

Studi Dokumenter adalah cara pengumpulan data dengan menggali informasi pada dokumen-

dokumen.24 Metode pengumpulan data dengan Studi Dokumenter ini merupakan metode

pelengkap dan penunjang dari metode wawancara dan observasi.

c. Studi Kepustakaan
23
Cholid Nurboko dan Abu Achmadi, 2001. Metodologi Penelitian, Jakarta, Bumi Aksara, hlm.81

24
Umi Zulfa, 2010. Metode Penelitian Pendidikan, Yogyakarta, Cahaya Ilmu, hlm. 102
Studi Kepstakaaan ini dilakukan dengan mempelajari dan mendalami peraturan dan buku-buku

yang menjadi bahan acuan dan berkaitan dengan penelitian ini maupun bahan-bahan penunjang

pnelitian lainnya.

8. Metode Pengolahan Data

Data yang telah terkumpul kemudian akan diolah dengan metode Reduksi Data, yang

akan dijabarkan pada penjelasan dibawah ini :

a. Reduksi Data

Reduksi data dapat dikatakan sebagai proses pemilihan pemusatan perhatian pada

penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi yang muncul dari catatan yang tertulis di

lapangan, oleh karenanya reduksi data merupakan bentuk suatu analisis yang menajamkan,

menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi data dengan

sedemikian rupa. Pada tahap ini, data dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok, memfokuskan

pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya.25

9. Metode Penyajian Data

Data yang disajikan dalam penelitian ini akan menggunakan metode teks naratif. Teks

naratif merupakan penyajian data yang berbentuk dalam uraian dan disusun secara sistematis,

rasional dan logis.

10. Metode Analisis Data

25
Sugiono, 2009. Metode Penelitian Kualitatif ,Bandung R&D, hlm.90.
Metode analisis data adalah proses menyusun data, agar data tersebut dapat ditafsirkan. 26

Dalam hal ini digunakan data analisis kualitatif, yaitu data yang tidak bisa diukur atau dinilai

dengan angka secara langsung.27

Daftar Pustaka
26
Dadang Khamad, 2002. Metode Penelitian Agama ,Bandung, CV. Puataka Setia, hlm. 102.
27
Tatang M Amirin, 1995. Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta, PT. Grafindo Persada, hlm. 134
Literatur

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 tahun 1999 tentang Pembimbingan dan

Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan

Sri Maslihah.2017.Faktor Yang Mempengaruhi Kesejaheraan Subjektif Anak Didik Lembaga

Pembinaan Khusus Anak.Jurnal Psikologi Insight.Vol 1 No 1

Mustakim Mahmud.2019. Penerapan Sanksi Pidana Anak Menurut Undang-Undang Peradilan

Anak. Indonesia Journal of Criminal Law. Vol 1 No 2

Guntarto Widodo.2016.Sistem Pemidanaan Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Prespektif

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak.Jurnal Dinamika

Masalah Hukum dan Keadilan.Vol 6 No 1

Okky Cahyo Nugroho.2017.Peran Balai Pemasyarakatan Pada Sistem Peradilan Pidana Anak

Ditinjau Dalam Prespektif Hak Asasi Manusia.Jurnal HAM.Vol 8 No 2

Dony Pribadi.2018.Perlindungan Terhadap Anak Berhadapan Dengan Hukum.Jurnal Hukum

Volkgeist.Vol 3 No 1

Gultom Maidin.Perlindungan Hukum Terhadap Anak.Bandung:Refika Aditama.2006

Hanitijo Soemitro ,Ronny.1983.Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta.Ghalia Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai