Anda di halaman 1dari 13

Peran Hakim Dalam Diversi Tindak Pidana

Penculikan oleh Anak Sebagai Wujud Reformasi Hukum


(Analisis Putusan Nomor 9/ Pids. Sus-Anak/2019/PN. Trk)
Mohamad Isyammudin
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Email : Hisyam.udin20@mhs.uinjkt.ac.id

Abstrak
Seiring berjalannya waktu penculikan bukan diperbuat oleh orang dewasa saja,
tetapi juga oleh seorang anak dan ini merupakan hal yang baru bagi sebagian orang
karena seperti yang kita ketahui kebanyakan penculikan anak dilakukan oleh orang
dewasa, bukan anak-anak. Kasus kejahatan tindak pidana penculikan anak yang
terjadi di masyarakat semakin meningkat khususnya wilayah kabupaten Trenggalek.
Penculikan ini dilakukan oleh anak terhadap seorang bayi atas paksaan dari orang
dewasa. Dalam Putusan No. 9/ Pids. Sus Anak/2019/PN. Hakim menghukum pelaku
di bawah umur 16 tahun dengan hukuman 5 (lima) bulan penjara dan 2 (dua) bulan
latihan kerja wajib di Dinas Sosial Kabupaten Trenggalek, meskipun keluarga korban
memaafkannya selama mediasi. Padahal bila merujuk pada aturan hukum ada
pedoman mengalihkan penyelesaian kasus anak dari peradilan pidana keluar proses
peradilan yang berakhir damai. Penelitian ini dilakukan adalah guna mengetahui
penyelesaian pidana anak dengan diversi dan menjelaskan peran hakim dalam
penyelesaian tindak pidana oleh anak
Penelitian ini berjenis penelitian kualitatif dengan pendekatan hukum normatif
yang menarik kesimpulan secara akurat dan ilmiah tentang kewajiban hakim untuk
memberikan penyelesaian perkara anak. Proses penerjemahan pada kasus anak
disebabkan karena pelaku penculikan bersifat pasif di Pengadilan Negeri Trenggalek.
Dalam hal ini, hakim dalam peran tersebut tidak memaksimalkan upaya antara para
pihak untuk mencapai perdamaian dan tidak boleh memimpin persidangan karena
anak yang masih bersekolah.
Keywords : Penculikan anak, Diversi, Peran Hakim

1
A. Pendahuluan
Kejahatan adalah suatu fenomena sosial yang tak bisa dipisahkan dari ruang dan
waktu. Defini dari kejahatan bagi Kartini Kartono adalah yang namanya kejahatan
tidakdapat dihapus, dimusnahkan, dan dihilangkan dari muka bumi. Ia tetap akan
abadi selama manusia mendiami dunia ini dan kejahatan hanya dapat dibatasi
ataupun diperkecil frekuensinya”. 1 Kejahatan yang tumbuh dan sering terjadi di
masyarakat merupakan masalah yang perlu banyak dipikirkan oleh pemerintah.
Salah satu bentuk kejahatan yang meresahkan masyarakat adalah penculikan anak.
Tindak pidana penculikan anak adalah kejahatan terhadap kebebasan anak karena
anak dengan sengaja diseret, diculik atau disembunyikan dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan melawan hukum, yang dapat merugikan anak atau orang
tuanya. 2
Seiring berjalannya waktu penculikan bukan diperbuat oleh orang dewasa saja,
tetapi juga oleh seorang anak dan ini merupakan hal yang baru bagi sebagian orang
karena seperti yang kita ketahui kebanyakan penculikan anak dilakukan oleh orang
dewasa, bukan anak-anak. Pada dasarnya, seorang anak belum memiliki akal yang
cukup baik untuk membedakan antara perbuatan baik dan buruk. Kejahatan yang
dilakukan oleh anak-anak biasanya melibatkan meniru atau membujuk orang
dewasa. Seorang anak secara mental masih mencari jati diri terkadang mudah
terpengaruh oleh kondisi dan keadaan lingkungannya, sehingga anak yang berada
dalam lingkungan buruk, maka anak akan terpengaruh oleh perbuatan yang dapat
melanggar hukum. Tentunya hal ini bisa merugikan masyarakat dan si anak sendiri.
Beberapa dari kegiatan ini mengakibatkan anak-anak bersentuhan dengan penegak
hukum3. Anak berhadapan hukum adalah anak yang terlibat dalam kegiatan kriminal
atau melanggar hukum. Pengertian anak berkedudukan sebagai subjek dalam status
hukum menrurut Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35
Tahun 2014 adalah :
“Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum
berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana”.

Perlindungan anak berarti semua aktifitas yang memberi jaminan dan


perlindungan terhadap hak anak agar dapat hidup, tumbuh, dan berkembang secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”4

1
Kartini Kartono. 2018. Pathologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada, halaman 26.
2
Bambang Waluyo. 2000. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 3.
3
M. Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, 2009, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi
Hak Anak, Bandung: Citra Aditya Bakti, Hal. 1
4
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

2
Secara khusus, proses pidana yang panjang menimbulkan pengalaman traumatis
pada anak, yang menghambat tumbuh kembang intelektual anak. Hal buruk ini
membayangi dalam kehidupan anak sehingga tidak mudah untuk dilupakan. Akibat
buruk dari proses pidana yang dilalui anak memunculkan ide bagi praktisi, akademisi
dan ahli hukum untuk membuat aturan formal agar anak terhindar dari akibat buruk
ketika berhadapan dengan hukum, sehingga tindak pidana anak dapat diselesaikan
tanpa harus melalui proses. Hal ini dilakukan melalui sistem peradilan pidana, namun
melalui jalur informal yang membutuhkan peran masyarakat, pelaku kejahatan,
keluarga pelaku, korban, keluarga korban dan juga pihak-pihak yang diduga terlibat.
Sebuah alternatif telah muncul, yang dikenal dengan cara mengalihkan (Diversi)
melalui pendekatan (restorative juctice).5 Kajian terhadap impelementasi diversi
tindak pidana yang dilakukan oleh anak dibawah umur telah dikaji oleh para peneliti,
antara lain Muhammad Iqbal Farhan6, Mufidatul Mujubah7, Rani Putri Larasati8.
Studi mereka memfokuskan kepada penjelasan tentang penyelesaian alternatif dalam
kasus tindak pidana oleh anak melalui restorative justice dan diversi. Diversi
merupakan suatu tindakan mengalihkan perkara anak dari proses peradilan pidana
keluar proses peradilan pidana.9 Pelaksanaan Diversi di Indosesia didasarkan pada
Pasal 1 ayat 7 UU Nomor 11 Tahun 2012. Tujuannya adalah melindungi anak dari
proses pengadilan formal dan menghindari tindakan pengulangan.10 Diversi memiliki
memiliki maksud untuk memberikan kesempatan kepada seseorang untuk
memperbaiki kesalahan.11 Setiap putusan hakim haruslah memikirkan kesejahteraan
dan perkembangan anak, memberikan pelatihan dengan dibimbing kearah hal positif
terutama dalam hal-hal yang mempengaruhi kehidupan anak kedepannya.

5
Chindy Pratisti Puspa Devi, Restorative Justice Pada Hukum Pidana Anak Indonesia Dalam Persfektif
Hukum Islam, hlm 113.
6 Muhammad Iqbal Farhan, Penerapan Diversi Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Anak Menurut
Hukum Positif dan Hukum Islam (Analisis Kasus Putusan Perkara Nomor
15/Pid.SusAnak/2014/PN.TNG), Skripsi. (Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah, 2016), hlm. 6.
7 Mufidatul Mujubah, “Konsep Diversi Dalam Sistem Peradilan Anak Persfektif Hukum Islam (Studi
Atas UU RI No. 11 Tahun 2012 Tentang Sitem Peradilan Pidana Anak)”, skripsi Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta (2013).
8 Rani Putri Larasati, “Analisis Kasus Putusan (Perkara Nomor 225/PID.B/2010/PNBKL) Dalam
Perspektif Restorative Justice”, skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta
(2014).
9 Republik Indonesia, “Peratutan Pemerintah Nomor 65 tahun 2015 tentang pedoman pelaksanaan
diversi”, bab 1 pasal 1 angka 6
10
Setya Wahyudi, 2011, Implementasi Ide Diversi dalam Pembangunan Sistem Peradilan Pidana Anak di
Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, hal 53
11
Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restroative Justice Dalam Hukum Pidana (Medan: USU Press,
2010), hlm 2.

3
Pada masa reformasi saat ini, masyarakat menginginkan hukum yang
menentukan segala sesuatunya, masyarakat menginginkan reformasi hukum dengan
segala sesuatunya harus berdasarkan hukum sehingga supremasi hukum berjalan
baik. Tentunya guna mengimplementasikan harapan dari masyarakat diperlukan
kemauan sumber daya manusia, baik akademisi (ahli teori) maupun praktisi,
khususnya polisi profesional yang juga membela etika dan moralitas. Salah satu
contoh kasusnya adalah penculikan bayi oleh anak yang terjadi di Kabupaten
Trenggalek pada tahun 2019. Kedua pelaku penculikan tak lain adalah tetangga
korban sendiri, yaitu wanita muda berusia 20 tahun sebagai pelaku utama dan anak
berusia 16 tahun yang dipaksa membantu kejahatan tersebut. Dalam Putusan No. 9/
Pids. Sus Anak/2019/PN Trenggalek Hakim kemudian memvonis anak dengan 5
(lima) bulan penjara dan 2 (dua) bulan wajib kerja di Dinas Sosial Kabupaten
Trenggalek, meski keluarga korban memaafkannya selama mediasi. Penasehat
hukum pelaku anak mengupayakan diversi karena keluarga korban memaafkan dan
perbuatan anak bukan merupakan suatu pengulangan, tetapi nota pembelaan ditolak
dan proses berjalan normal, akhirnya pelaku anak harus menjali hukuman tersebut.
Vonis hakim terkesan terlalu tinggi bagi anak, karena usianya masuk kategori anak
dan pidana pokok bagi anak sesuai UU Perlindungan anak Nomor 11 Tahun 2012
Pasal 71 Ayat 1 adalah :
1. Pidana dengan peringatan
2. Pidana dengan syarat
a. Pembinana diluar lembaga
b. Pelayana masyarakat, atau
c. Pengawasan
3. Pelatihan kerja12
4. Pembinanan dalam lembaga
5. Penjara.
Berdasarkan pasal di atas, pidana penjara merupakan pilihan hukum terakhir bagi
anak apabila pidana satu sampai dengan empat tidak efektif. Namun pada
kenyataannya tetap pidana penjara, khususnya pelanggaran ringan seperti penculikan
yang tidak sampai menimbulkan luka fisik. Menurut Prof. M Taufik budaya
masyarakat Indonesia yang masih ingin memenjarakan pelaku bertolak belakang
dengan sistem pemidanaan modern yang mengedepankan keadilan restoratif melalui
implementasi diversi. 13 Berdasarkan latar belakang mengenai permasalahan
penculikan oleh anak dibawah umur yang seharusnya anak fokus belajar demi masa
depannya malah berhadapan dengan masalah hukum, maka penulis akan

12
Pasal 71 Ayat 1 Undang-Undang NO. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
13
M. Taufik Makarao. “Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia”, Kreasi Wacana, Yogyakarta. 2005.

4
menganalisisnya dalam penelitian dengan judul : Peran Hakim Dalam Diversi
Tindak Pidana Penculikan oleh Anak di Kabupaten Trenggalek.
Biografi singkat penulis
Nama Mohammad Isyamudin, Lahir di Jakarta 27 Maret 2002. Riwayat
pendidikan SD Jakarta Timur, MTs Jakarta Utara, Pondok Pesantren At Taqwa.
Memiliki hobi membaca dan mengoleksi buku dan bercita-cita menjadi hakim.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah peranan hakim dalam diversi penculikan yang dilakukan anak


?
2. Bagaimanakah peran hakim dalam sistem peradilan pidana anak sebagai
wujud reformasi hukum ?

C. Pembahasan

1. Peranan Hakim dalam diversi penculikan oleh anak


Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang mandiri dan berwenang
menegakkan keadilan di masyarakat. Seorang hakim dalam menjalankan tugas
kekuasaan kehakiman dituntut bersikap profesional, jujur dalam menunaikan tugas
dan tanggung jawabnya guna melaksanakan reformasi hukum dan supremasi hukum
secara adil. 14 Hakim sebagai instrumen terpenting dari pengadilan telah memberikan
kontribusi yang signifikan untuk memastikan bahwa semua tugas peradilan dapat
berfungsi secara optimal. Beberapa tugas hakim dalam kekuasaan kehakiman antara
lain pemutus perkara secara adil, konsiliator/konsiliator para pihak yang terlibat dan
penafsir faktual hukum. Hakim sebagai pihak yang dapat mencapai kesepakatan
antara orang tua korban dan pelaku mengenai tindak pidana penculikan anak dapat
berperan sebagai pendorong bagi siapapun yang terlibat dalam perkara supaya
diselesaikan dengan diversi atau kompromi. Memperhatikan undang-undang
perlindungan anak yang sudah ada, penyelesaian damai lebih disukai daripada
putusan pengadilan. Urgensinya kompetensi hakim untuk mendorong para pihak
menyelesaikan masalahnya dengan damai. Demi mencapainya hakim harus lebih
aktif dalam menyampaikan penyuluhan, nasihat agama, pemahaman dengan
penalaran tentang langkah-langkah yang harus diambil para pihak untuk melanjutkan
upaya perdamaian.15

14
Mukti Arto.2015. Pembaruan Hukum Islam Melalui Putusan Hakim, cetakan Pertama, Pustaka Belajar:
Yogyakarta, hal 28.
15
Maskur Hidayat. 2016. Strategi dan Taktik Mediasi, Kencana: Jakarta, hal 128

5
Perdamaian bisa dilaksanakan hakim atau mediator yang tujuan utamanya adalah
mendamaikan pihak berperkara dan mediasi dapat berlangsung dari awal proses
pemeriksaan pendahuluan sampai dengan putusan. Terlepas dari kapan hakim
mencari perdamaian, hakim tidak berhak untuk memaksa para pihak mencapai
kesepakatan dikarenakan kehendak pihak yang berdamai adalah kebutuhan mutlak.
Menimbang bahwa tanggung jawab hakim yang sesungguhnya dalam memutus
perkara pidana adalah menyelesaikan perkara dengan seadil mungkin, supaya semua
pihak yang berperkara menganggap putusannya patut dan menjaga hubungan sosial
antara pelaku dan keluarga korban. Dalam menjatuhkan putusan tersebut, hakim
haruslah mempertimbangkan status sosial dari keluarga pelaku anak untuk melihat
apakah anak ini memperoleh pengajaran/pengasuhan terbaik, ataukah anak tersebut
diserahkan kepada negara untuk pendidikan atau pelatihan. Hal ini terjadi ketika
seorang anak dalam suatu keluarga tidak lagi dapat diasuh secara memadai karena
sifat anak itu sendiri atau kondisi orang tua/walinya. 16 Aktifitas strategis hakim
dalam melindungi anak melawan hukum menjadi tolak ukur pemenuhan hak anak
dengan putusan yang memberi manfaat buat masa depan anak. Pemenuhan hak anak
bisa dilaksanakan jika ada sinergitas dan kolaborasi yang optimal antara lembaga
peradilan dan pihak terlibat dalam pengasuhan. Sebaliknya, anak yang bermasalah
dengan hukum dibawah 14 tahun dikenakai tindakan non-pidana, yang meliputi
pemulangan ke orang tuanya, kewajiban untuk mengikuti pendidikan dan rehabilitasi
formal yang diselenggarakan oleh badan-badan pemerintah atau swasta sebagai
akibat dari suatu tindak pidana. Sementara itu, yang dapat dikenakan berbagai sanksi
pidana berdasarkan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak adalah berusia 14 tahun ke atas dengan :

a. Pidana peringatan,
b. Pidana bersyarat (pembinaan pada lembaga, pelayanan masyarakat,
pengawasan);
c. Pelatihan kerja
d. Pembinaan dalam lembaga
e. Penjara.

Pedoman pelaksanaan diversi dalam SPPA sesuai dengan Pasal 3 PERMA


Nomor 4 tahun 2014 yaitu “hakim anak wajib mengupayakan diversi dalam hal anak
didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara dibawah 7
(tujuh) tahun dan didakwa pula dengan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih dalam bentuk surat dakwaan subsidairitas,
alternatif, kumulatif maupun kombinasi (gabungan).

16
Aminah Azis, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Medan: USU Press, 1998), hlm. 55

6
Berkaitan pasal ini dibutuhkan peraturan pelaksanaan tentang syarat-syarat
bekerja sebagai hakim anak. Seperti halnya berprofesi sebagai hakim, perlu
dipaparkan pengalaman dalam menangani kasus anak. Hal ini didasari bahwa
seorang hakim pengadilan anak haruslah dengan keahlian khusus yang menguasi
tentang perlindungan anak. Selain pendidikan hukum, hakim anak wajib memiliki
kemampuan mengantisipasi dan menganalisis filsafat hukum, psikologi, sosiologi,
mencintai anak, dan memahami jiwa anak supaya secara rohani hati dan pikirannya
ikut terlibat dalam pengasuhan dan pertolongan pada anak yang sedang dalam
masalah. Memahami keadaan fisik dan jiwa anak sebelum hukuman dan setelah
putusan merupakan hal yang paling mendasar ketika menghadapi kenakalan remaja.
Psikiatri kriminal merupakan salah satu cabang ilmu psikologi berperan signifikan
dalam memberi pemahaman kondisi mental anak. Psikologi/psikiatri kejahatan
bertujuan untuk menemukan sebab-sebab terjadinya kejahatan, mencari cara-cara
pencegahan dan pencegahannya, dan dengan bantuan pendekatan psikologis,
akhirnya mengoreksi perbuatan-perbuatan yang tidak normal (kejahatan).

Dalam praktiknya, pemahaman hukum tentang peradilan anak dalam UU SPPA


masih kerap kali terjadi kesalahan. Seperti dalam memahami definisi anak tidak
sedikit dari hakim masih kurang tepat dalam batasan usia anak secara factual. Ada
yang beranggapan bahwa anak itu berumur 16 (enam belas) tahun ke bawah, ada
yang beranggapan bahwa anak itu berumur 18 (delapan belas) tahun. Selain itu, para
hakim memiliki pemahaman yang tidak jelas tentang perlindungan anak dan jarang
menghadiri pelatihan perlindungan anak. Hal ini mempengaruhi proses penanganan
perkara pidana anak sehingga hakim tidak mampu mengantisipasi dan menganalisa
putusan secara optimal. Dalam memutus perkara sikap hakim bercorak pola pikir
positivis/legalistic yang berpatokan pada norma undang-undang undang tanpa
melihat nilai substantif dari hukum itu sendiri, sehingga menunjukkan kurangnya
upaya terobosan keadilan substantif yang dilakukan hakim. Vonis Hukuman
menunjukkan bahwa putusan pengadilan Anak tidak memahami semua hal yang
berkaitan dengan anak. Hakim anak tidak boleh langsung menjatuhkan hukuman
penjara, karena menurut undang-undang itu adalah upaya terakhir bila yang lain
tidak efektif menjerahkan. Dalam Putusan Pengadilan Negeri Trenggalek hakim
menjatuhkan vonis penjara kepada pelaku anak meskipun tidak terdapat luka fisik
hanya kerugian materiil. Kecenderungan menjatuhkan pidana penjara tidak sesuai
dengan keadilan substantif yang menimbulkan citra buruk bagi pelaku tindak pidana
di bawah umur dan tidak melindungi kepentingannya di masa depan. Seharusnya,
penjara harus menjadi pilihan terakhir dan demi kepentingan masa depan anak.
Terlihat bahwa hakim menjatuhkan pidana penjara sebagai reaksi terhadap teori
tujuan pemidanaan yaitu teori relatif yang beranggapan bahwa hukuman sebagai
sarana untuk mencegah atau mengurangi kejahatan.

7
Pemidanaan sebagai perbuatan yang menimbulkan penderitaan bagi terpidana
boleh dilakukan jika ditunjukkan bahwa penjatuhan pidana penderitaan memiliki
konsekuensi yang lebih baik daripada tidak dijatuhkannya pemidanaan. Pidana tidak
hanya balas dendam atau ganti rugi bagi orang yang melakukan kejahatan, tetapi juga
memiliki tujuan tertentu yang bermanfaat. Inilah mengapa teori ini sering disebut
sebagai teori tujuan. Seharsuya terhadap pelaku anak yang melakukan penculikan,
maka teori tujuan pemidanaan yang diterapkan pada anak adalah teori terapi yang
disajikan oleh aliran pemikiran positif sebagai hukuman yang diarahkan pada pelaku
dan bukan pada tindakannya. Tujuan pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini
untuk memberikan tindakan perawatan dan perbaikan pelaku daripada hukuman. 17
Pelaku kejahatan tidak dihukum, tetapi harus diberi perhatian khusus untuk
merehabilitasi dan memperbaiki pelaku kejahatan. Oleh karena itu, tujuan hukuman
bukan untuk membalas dendam, tetapi untuk membuat jera pelaku anak bahwa
kesalahan telah dilakukan dan mencegah kejahatan kembali terulang.

2. Optimalisasi Peran Hakim Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Sebagai


Wujud Reformasi Hukum
Menurut pendapat dari Soetandyo Wignjosoebroto tercapainya pembaharuan
hukum ada di tangan hakim yang telah diberi kekuasaan penuh untuk mempelajari,
menguasai dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.18 Pada masa reformasi hukum, masyarakat menginginkan hukum yang
menentukan segala sesuatunya atau masyarakat menginginkan supremasi hukum
dengan segala sesuatunya harus berdasarkan hukum. Baik aturan hukum termuat
dalam undang-undang, aparat penegak hukum, dan budaya hukum sehingga
memenuhi rasa keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan bagi rakyat Indonesia.
Tentunya guna mengimplementasikan harapan masyarakata tersebut diperlukan
kemauan sumber daya manusia, baik akademisi (ahli teori) maupun praktisi,
khususnya polisi profesional yang juga membela etika dan moralitas. Penegakan
hukum merupakan usaha untuk meneguhkan dan menuntun norma-norma hukum
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dengan mengikuti aturan normatif
atau beraktifitas sesuai kaidah hukum yang berlaku. Hakim merupakan figur sentral
dan kunci di sistem peradilan pidana, sehingga hakim harus serba tahu (ius curia
novit), profesional, idealis, mengerti dan tahu bagaimana mempengaruhi dan
membujuk para pihak yang berperkara agar dapat menyelesaikan perkaranya dengan
lancar, mudah, cepat, dan murah. Direalisasikannya figur ini demi menciptakan
kebaikan bagi kehidupan masyarakat luas.

17
Mahmud Mulyadi, Karya Ilmiah Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemidanaan Dalam Penegakan
Hukum Pidana Indonesia, (Medan: USU Repository, 2006), hlm. 8.
18
Adami Chazaw, “Pelajaran Hukum Pidana”, (Bandung: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 168

8
Untuk mengoptimalkan upaya penjaga putusan yang adil dalam persidangan,
sangat penting bahwa hakim memiliki kompetensi dan pemahaman tentang kasus di
hadapannya. Hakim dianggap relatif terhadap orientasi keberhasilan para pihak jika
hakim tidak menguasai dan memahami kasus yang ditangani, khususnya kasus
kasuistis. Seorang hakim wajib memiliki kapasitas dan kapabilitas yang mumpuni
tentang perkara yang dihadapi. 19 Dalam masyarakat Indonesia, penyelesaian perkara
secara damai tidak lepas dari konsep sosial yang menganggap penyesalan dan
reputasi buruk sebagai unsur pelanggaran kebiasaan. Dalam alam kosmik pemikiran
tradisional Indonesia, penting untuk mengutamakan terciptanya keseimbangan
(Vewicht) antara dunia lahir dan dunia gaib, seluruh kelompok manusia dan individu,
masyarakat dan orang-orang di sekitarnya. Setiap tindakan yang mengubah
keseimbangan adalah melawan hukum, dan penegak hukum wajib mengambil
langkah-langkah yang diperlukan untuk mengembalikan keseimbangan hukum. 20
Sanksi yang dikenakan atau respons kebiasaan adalah bentuk tindakan atau upaya
untuk memulihkan ketidakseimbangan, termasuk ketidakseimbangan magis, yang
disebabkan oleh gangguan yang merupakan pelanggaran kebiasaan. Tugas dan peran
saksi tradisional di sini adalah sebagai penstabil, mengembalikan keseimbangan
antara kelahiran biasa dan dunia tak kasat mata, merehabilitasi dan tidak
menyebabkan penderitaan. 21 Mengenai rasa keadilan dalam masyarakat, John Rawls
mengungkapkan bahwa ada sejumlah prinsip moral dan hukum untuk keadilan.
Manusia sebagai pribadi yang bermoral membiarkan dirinya dibimbing terutama oleh
norma-norma yang diikutinya secara dari dalam, yaitu moral. Namun harus dipahami
bahwa standar moral itu sendiri tidak efektif dalam mengatur hubungan dan perilaku
antar manusia. Di sini diperlukan asas-asas hukum yang dapat menjamin stabilitas
dan kesejahteraan bersama seluruh masyarakat. Rawls berpendapat bahwa tujuan
akhir dari prinsip-prinsip moral harus menghasilkan orang-orang yang baik, sehingga
menunjukkan hubungan mendasar antara prinsip-prinsip moral dan prinsip-prinsip
hukum. Oleh karena itu, isi negara hukum harus dapat dipertanggung jawabkan
secara moral. Dalam pengertian ini, norma hukum harus merupakan definisi lebih
lanjut dari prinsip-prinsip moral dan penerapan yang lebih konkrit dalam kehidupan
sosial. Dengan kata lain, asas hukum harus mencerminkan asas moral. Lebih khusus
lagi, seperti yang ditunjukkan Rawls sendiri, hukum harus dibuat untuk mendukung
dan menopang keadilan.22

19
Maskur Hidayat. 2016. Strategi dan Taktik Mediasi, Kencana: Jakarta, hal 129.
20
Soepomo, 1979, Bab-Bab tentang Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, hlm. 23.
21
I Made Widnyana Suarda, 1993, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Bandung:Eresco, hlm. 8.
22
John Rawls, 2006, Teori Keadilan; Dasar-Dasar Filsafat politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan
Sosial Dalam Negara, terjemahan Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Jakarta:Pustaka Pelajar, hlm. 367.

9
Strategi penegakan hukum yang dilakukan melalui media hukum dapat
digolongkan sebagai upaya reformasi hukum untuk menciptakan hakim yang
progresif. Dalam hal ini, hakim progresif dimaknai suatu syarat memiliki akibat etis
atas lahirnya putusan hakim yang menunjukkan adanya kecerdasan moral,
intelektual, dan emosional. Keputusan berkualitas tinggi yang dihasilkan dapat
membawa pencerahan spiritual bagi para peserta dan memperkuat kohesi sosial
dalam tatanan sosial masyarakat. Dalam konteks ini, kualitas putusan hakim dapat
dilihat secara jelas dari faktor-faktor yang digunakan untuk menentukan hukuman.
evaluasi nilai terhadap kinerja hakim inilah yang mempengaruhi kewibawaan hakim
dan lembaga peradilan, serta kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan
dalam mencari keadilan. Oleh sebab itu, dalam menjatuhkan putusan hakim harus
menentukan apa yang benar menurut hukum dalam situasi pertentangan yang
menguji hati nuraninya. Batu ujian untuk membenarkan keputusan pengadilan adalah
keterampilan intelektual, rasional, logis, intuitif dan etis. Intelektual yang wajib
dimiliki hakim dengan maksud mengetahui dan memahami realitas peristiwa dan
ketentuan hukum (tertulis dan tidak tertulis) dan mereka yang mengetahuinya.

Logika intelektual harus jalan yang artinya untuk menerapkan hukum pada
kedudukannya, hakim harus mempertimbangkan logika hukum. Sudut pandang
intuitif membutuhkan perasaan murni, halus yang mengikuti akal dan logika untuk
bergabung menciptakan rasa keadilan yang pada akhirnya harus selalu diperiksa dan
dibimbing oleh hati nurani. Melihat permasalahan yang dihadapi, maka hakim
sebagai perwujudan dari hakim progresif diharapkan mampu menerapkan hukum
yang adil proporsional meskipun dalam situasi terburuk sekalipun. Karena tanggung
jawab seorang hakim tidak hanya memahami isi undang-undang, tetapi memiliki
tanggung jawab dalam keputusannya untuk menjadi suara akal sehat dan
mengekspresikan jiwa keadilan dalam kompleksitas dan dinamika keadilan yang
hidup di masyarakat. Eksistensi hakim ini terwujud ketika mereka memahami seluk-
beluk masyarakat dan mengetahui bagaimana menyelesaikan masalah tanpa prosedur
yang berbelit-belit dan akhirnya mengambil keputusan yang diterima masyarakat.
Hakim membutuhkan pemikiran keadilan ketika menerapkan situasi yang
menguntungkan, dan faktor eksternal dan internal dari dalam diri hakim. Bila
ditelusuri, ada beberapa faktor yang membuat hakim mengubah pengertian keadilan,
yaitu untuk menjamin kebebasan peradilan (independence of judiciary). Kebebasan
peradilan telah menjadi suatu keharusan bagi ketaatan pada negara hukum (rule of
law). Hakim bersifat independen dan tidak memihak dalam memutuskan sengketa,
dan dalam situasi yang menguntungkan ini, hakim bebas untuk mengubah
pemikirannya menjadi keputusan. Sementara itu, keyakinan hakim terhadap putusan
hakim sampai batas tertentu berpijak pada keyakinan yang didasarkan pada
argumentasi juridis yang jelas (laconviction raisonnee).

10
Menurut teori ini, hakim dapat menemukan seseorang bersalah berdasarkan
keyakinannya, keputusan pembuktian yang melibatkan kesimpulan (kesimpulan)
berdasarkan prinsip-prinsip pembuktian tertentu. Membiarkan hakim membela
kebenaran dan keadilan berdasarkan independensi dan kepercayaan dengan cara yang
berbeda seperti: mampu menafsirkan hukum dalam kenyataan, berani ikut serta
dalam pembuatan undang-undang baru atau sebagai pembuat undang-undang, berani
bertindak melawan hukum, mampu mengadili secara kasuistis dan mampu menjamin
perlindungan hukum dalam sistem hukum yang berlaku.

D. Penutup

1. Kesimpulan
Proses peradilan pidana yang memberikan vonis penjara terhadap anak dapat
menimbulkan dampak negatif jangka panjang yang sebenarnya negatif dari sudut
pandang pidana itu sendiri. Tujuan menghukum anak khususnya tidak dapat dicapai
secara efektif dengan mengirim anak ke penjara. Peran hakim dalam penculikan anak
adalah untuk mengambil keputusan yang tepat bagi pelaku anak yaitu teori treatment.
Hukuman yang tepat melalui pengobatan dan rehabilitasi terhadap pelaku bukan
penjara. Mereka yang melakukan kejahatan tidak dapat disalahkan dan dihukum,
tetapi harus diberikan perawatan (pengobatan) untuk menyembuhkan pelaku anak.
Perlakuan terhadap anak di depan pengadilan haruslah dibedakan dengan perlakuan
terhadap orang dewasa. Penyelesaian perkara anak sangat mengutamakan hak anak
yang mengedepankan keadilan restorative melalui diversi. Peran hakim dalam sistem
peradilan anak sebagai bentuk pembaharuan hukum adalah bahwa hakim
berdasarkan kewajiban dan kewenangannya sebagai penengah perkara mempunyai
tugas penting untuk memberikan warna hukum baru yang berkadilan sosial di
masyarakat. Hakim menjadi pusat perhatian masyarakat, karena setiap putusan
menjadi penilaian masyarakat adil atau tidak adilnya putusan tersebut. Tentu saja
tatanan hukum yang berlaku mempunyai pengaruh yang besar terhadap hakim dalam
menjalankan tugasnya. Menurut Pasal 28 Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang
Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, hakim progresif sebagai lembaga penegak
hukum yang mandiri tidak hanya bertindak sebagai juru bicara hukum, tetapi hakim
memiliki kebebasan untuk mencari, menyelidiki dan menemukan hukum yang hidup
dalam masyarakat. Tugas hakim adalah mencari keadilan substantif berdasarkan
keyakinan hati nurani, bukan sekadar menjadi corong undang-undang yang menjadi
paradigma pandangan positivis tentang keadilan. Solusi alternatif untuk penegakan
hukum tingkat lanjut harus dicari dan ditinjau ulang. Hakim progresif diharapkan
mampu mengatasi ketidakmampuan hakim hukum adat untuk menjawab tuntutan
masyarakat dengan mengupayakan penyederhanaan proses hukum adat.

11
Ini adalah upaya untuk membangkitkan keinginan masyarakat untuk melakukan
reformasi dalam sistem hukum yang persuasif dan akomodatif.

2. Saran
Diharapkan pada saat hakim menjatuhkan putusan terhadap pelaku anak, hakim
lebih menggali secara mendalam dengan bantuan dari Penelitian Kemasyarakatan
(LitMas) oleh Pembimbing Kemasyarakatan, mengapa anak tersebut melakukan
tindak pidana penculikan anak. Akan lebih bijak jika hakim justru menonjolkan hal-
hal yang meringankan yang dirumuskan dalam putusan sebagai alasan tanggapan
hakim, yang bukan merupakan sanksi pidana melainkan pemberian diversi. Peran
hakim adalah mencari keadilan berdasarkan hati nurani atau keyakinannya, dan
bukan hanya bertindak sebagai corong hukum yang menjadi paradigma pandangan
keadilan positivis. Solusi alternatif untuk mewujudkan hukum progresif harus dicari
dan digali lebih dalam untuk mencapai keadilan substantif dan mewujudkan
reformasi hukum di Indonesia.

Daftar Pustaka
Buku
Chazaw, Adami. (2002). Pelajaran Hukum Pidana. Bandung: Raja Grafindo Persada.
Azis, Aminah. (1998). Aspek Hukum Perlindungan Anak. Medan: USU Press.
Bambang Waluyo. (2000). Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika.

Puspa Devi, Chindy Pratisti. Restorative Justice Pada Hukum Pidana Anak Indonesia
Dalam Persfektif Hukum Islam. Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Widnyana Suarda, I Made. (1993). Kapita Selekta Hukum Pidana Adat.Bandung:Eresco

Rawls, John. (2006). Teori Keadilan Dasar-Dasar Filsafat politik Untuk Mewujudkan
Kesejahteraan Sosial Dalam Negara. terjemahan Uzair Fauzan dan Heru
Prasetyo. Jakarta : Pustaka Pelajar.

Kartono, Kartini.(2018). Pathologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada.


Joni, M. dan Z. Tanamas, Zulchaina. (2009). Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam
Perspektif Konvensi Hak Anak. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Taufik Makarao, M.(2005).Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Yogyakarta:Kreasi


Wacana.
Mulyadi, Mahmud. (2006).Karya Ilmiah Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemidanaan
Dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia. Medan: USU Repository.

12
Marlina. (2010). Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam Hukum
Pidana. Medan: USU Press.
Hidayat, Maskur. (2016). Strategi dan Taktik Mediasi. Kencana: Jakarta.

Arto, Mukti.(2015). Pembaruan Hukum Islam Melalui Putusan Hakim. Cetakan


Pertama. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Wahyudi, Setya. (2011). Implementasi Ide Diversi dalam Pembangunan Sistem
Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Yogyakarta : Genta Publishing.

Soepomo. (1979) Bab-Bab tentang Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita.

Skripsi
Iqbal Farhan, Muhammad. (2016). Penerapan Diversi Dalam Penyelesaian Tindak
Pidana Anak Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam (Analisis Kasus Putusan
Perkara Nomor 15/Pid.SusAnak/2014/PN.TNG). Skripsi. Jakarta : UIN Syarif
Hidayatullah.
Mujubah, Mufidatul. (2013). Konsep Diversi Dalam Sistem Peradilan Anak Persfektif
Hukum Islam (Studi Atas UU RI No. 11 Tahun 2012 Tentang Sitem Peradilan
Pidana Anak). Skripsi. Yogyakarta : UIN Sunan Kalijaga.
Putri Larasati, Rani.(2014). Analisis Kasus Putusan (Perkara Nomor
225/PID.B/2010/PNBKL) Dalam Perspektif Restorative Justice. Skripsi. Jakarta:
UIN Syarif Hidayatullah.

Peraturan Perundang-undangan
Pasal 71 Ayat 1 Undang-Undang NO. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.

13

Anda mungkin juga menyukai