Anda di halaman 1dari 6

Nama : Nur Riska Salsabila

NPM : 2003101010113

MK : SPPA – B

IMPLEMENTASI RESTORATIVE JUSTICE PADA ANAK DI INDONESIA

Sistem peradilan anak yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
diperbaharui melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak, terdapat perubahan fundamental sebagai upaya mengatasi kelemahan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997. Perubahan fundamental yang ada antara lain
digunakannya pendekatan restorative justice melalui sistem diversi. Dalam peraturan ini
diatur mengenai kewajiban para penegak hukum dalam mengupayakan diversi
(penyelesaian melalui jalur non formal) pada seluruh tahapan proses hukum.1

Dalam perubahan Undang-Undang ini juga disebutkan, dalam Pasal 1 butir (6)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
menyatakan, Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan
melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk
bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali
pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Pasal ini memberikan penjelasan yang sangat
jelas tentang restoratif yang dilakukan untuk memulihkan Kembali sehingga dapat menjadi
solusi untuk tidak berada dalam sistem peradilan pidana yang Panjang dan tidak memberikan
kesempatan khususnya bagi korban.

Tidak jarang pula faktanya penilaian terhadap suatu kesalahan atau penegakan hukum
dinilai dari keberhasilan mengajukan tersangka ke pengadilan dan dijatuhkan hukuman. Ini
merupakan penilaian yang keliru seharusnya penegakan hukum berhasil dilakukan apabila
terpenuhinya unsur-unsur keadilan itu sendiri. Dalam sistem peradilan sub sistem paling awal
yaitu kepolisian, diharapkan lembaga ini dapat melakukan restorative justice sebagai gerbang
awal. Tujuan dibentuknya Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk mewujudkan

1
M. A. Syahrin, “Penerapan Prinsip Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu”. Majalah
Hukum Nasional, Vol. 48, No. 1, 2018, hlm. 97-114.
keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya
perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat, serta terbinanyaketentraman
masyarakat dengan menjunjung tinggi hak azasi manusia. Dengan demikian Kepolisian
Negara RI merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta memberikan perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan
negeri.2

Perlindungan terhadap anak adalah suatu hasil interaksi karena adanya interrelasi
antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi. Oleh sebab itu, perlindungan anak
yang baik dan buruk, tepat atau tidak tepat, maka harus diperhatikan fenomena mana yang
relevan, yang mempunyai peran penting dalam terjadinya kegiatan perlindungan anak.3
Perlindungan anak sangat dibutuhkan oleh karena itu dibutuhkan kesadaran yang tinggi
terutama kepada orang tua untuk menghindari akibat yang bisa menimbulkan korban. Oleh
sebab itu, seharusnya ada yang mengatur dan menjamin pelaksanaan perlindungan anak.

Perlindungan anak di Indonesia sendiri terbilang masih sangat rendah kualitasnya,


sehingga hal ini menuai banyak kontrovesi dalam masyarakat. Pertanyaan yang sering
dilontarkan adalah sejauh mana pemerintah telah berupaya memberikan perlindungan
(hukum) pada anak sehingga anak dapat memperoleh jaminan atas kelangsungan
hidup dan penghidupannya sebagai bagian dari hak asasi manusia. Padahal, berdasarkan Pasal
20 penjelasan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang berkewajiban dan bertanggung
jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak adalah negara, pemerintah,
masyarakat, keluarga dan orang tua.4

Jika dilihat kejahatn yang dilakukan oleh anak tidak terlepas dari peran orang tua,
Dimana orang tua menjadi sekolah pertama bagi anaknya. Anak merupakan makhluk sosial
yang membutuhkan orang lain untuk bersosialisasi oleh sebab itu orang tua lah yang memegang
peran penting untuk mengajarkan anaknya akan hal-hal yang baik dan melarang anak

2
H. Ginting, & Muazzul, M., “Peranan Kepolisian dalam Penerapan Restorative Justice terhadap Pelaku
TindakPidana Pengeroyokan yang Dilakukan oleh Anak dan Orang Dewasa”. Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum,
Vol. 5 No. 1, 2018, hlm. 32-40.
3
N. G. A. T. Putra , Pello, J., Medan, K. K., & Wewo, J. A, “Efektivitas Perlindungan Hukum Terhadap Anak
Korban Kekerasan Seksual”.Yuriska: Jurnal Ilmiah Hukum,Vol. 12 No. 2, 2020, hlm. 103-116.
4
Mansur, D. M. A., & Gultom, E,Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan: Antara Norma Dan Realita.
Divisi Buku Perguruan Tinggi, (Jawa Barat: RajaGrafindo Persada, 2007).
melakukan hal-hal yang buruk. Anak juga merupakan orang yang cepat meniru dengan apa
yang dilihat dan dilakukan oleh orang sekitarnya, maka lingkungan pun juga memiliki
pengaruh besar terhadap anak.

Maka jika dilihat dari penjelasan sebelumnya, anak yang melakukan kejahatan yaitu
mereka yang tidak mendapatkan Pendidikan awal yang baik serta kurangnya perhatian oarng
tua terhadap anak dan lingkungannya. Hal ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak
di kemudian hari karena kurangnya pengeahuan yang ia miliki terhadap perbuatan-perbuatan
apa saja yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Dan tidak heran kenapa anak
bisa menjadi pelaku kejahatan dan berhadapan dengan hukum.

Pemerintah pun telah berupaya untuk memberikan perlindungan bagi anak, salah
satunya dalam kasus anak yang berhadapan dengan hukum. Oleh karena itu pemerintah
memberikan perbedaan untuk anak dan orang dewasa dalam segi menjalankan prosedur
hukum. Anak Ketika di hadapkan dengan hukum masuk ke dalam proses persidangan seperti
orang dewasa maka hal ini akan membuat psikis anak tersebut terganggu, karena proses-proses
yang formal dan tegas bisa membuat anak menjadi takut. Dan jika anak dinyatakan bersalah
maka ia harus menjalani hukuman penjara.

Penjara bukanlah tempat yang layak untuk anak, karena anak tidak bisa mendapatkan
hak-haknya secara bebas. Serta hal ini pastinya menghambat perkembangan anak itu sendiri,
karena anak sendiri masih membutuhkan Pendidikan, perlunya untuk menjaga Kesehatan anak,
serta sanitasi yang kurang memadai dalam penjara. Anak tidak bisa bertumbuh kembang
sempurna Ketika berada di penjara. Dan dalam lingkungan penjara sendiri masih banyak kasus-
kasus yang melanggar norma kesusilaaan dan belum bisa dicegah sepenuhnya, sehingga bukan
hal tidak mungkin anak akan terus melakukan kejahatan. Karena permasalahan-permasalahan
ini maka dibuatlah restorative justice agar penjara tidak dijadikan akhir dari segalanya.

Restorative justice dimaknai sebagai penyelesaian diluar sistem peradilan dengan cara
musyawarah yang mengedepankan pendekatan antara pelaku, korban, orang tuanya,
masyarakat dan lain sebagainya sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi terbaik untuk kedua
belah pihak dan mengembalikan hubungan yang baik seperti pada keadaan semula. Dalam
penerapannya restorative justice bukan hanya dilakukan dalam semua kasus. Namun untuk
kasus-kasus tertentu saja dan terdapat beberapa persyaratan jika melakukan restorative justice
ini. Akan tetapi ada beberapa syarat dalam penyelesaian tindak pidana melalui restorative
justice, yaitu:5

1. Tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan

2. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Berdasarkan hal tersebut, tidak semuanya bisa melalui diversi karena ada beberapa persyaratan
yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Ketika seorang anak melakukan tindak pidana penjara
dengan ancaman diatas 7 tahun atau merupakan residivis maka tidak bisa melakukan diversi.
Hal ini dirasa cukup karena tidak semua hal yang dilakukan oleh anak dapat dimusyawarahkan
dan tidak dapat dihukum.

Restorative justice inilah yang menjadi solusi dari permasalahan anak agar tidak
menjadikan penjara sebagai Upaya akhir. Namun pastinya pada kasus yang memenuhi syarat
untuk dilakukan Restorative justice ini dan menjadi sebuah kebijakan untuk tidak masuk dalam
proses persidangan yang Panjang tapi cukup dengan cara upaya damai dari kedua pihak yaitu
dengan mencoba menghadirkan berbagai pemulihan dari kerugian pada kasus yang dialami
kedua pihak tersebut. Dalam posisi inilah negara dianggap hadir sebagai upaya pemenuhan
kebijakan yang tidak hanya menjalankan sebuah peraturan perundangan akan tetapi juga
berupaya memenuhi kewajiban dari warga negara. Langkah ini diyakini menjadi hal efektif
dalam mencegah seseorang untuk kembali melakukan kejahatan.

Untuk contoh model kasus restorative justice ini seperti pada kasus anak yang terlibat
perkelahian sehingga mengakibatkan luka-luka ringan. Jika dari salah-satu pihak membawa ke
jalur hukum dalam proses persidangan, hal pertama yang dapat dilakukan adalah
merekomendasikan pertemuan kedua belah pihak untuk membahas permasalahan tersebut dan
mencari Solusi terbaik bagi keduanya dan jika perlu juga membahas terkait ganti kerugian yang
telah dibuat. Jika permasalahan ini dibawa ke pengadilan dan mnjalani persidangan pasti anak
akan tudak hanya menderitan secara fisik namun juga psikis.

Peran keberhasilan dalam melakukan restorative justice sangat bergantung pada


beberapa faktor seperti, kerja sama yang aktif bagi semua pihak yang terlibat untuk dapat
menghasilkan solusi terbaik. Peran pelaku, korban, pihak berwenang dan Lembaga-lembaga
yang terlibat dalam proses penyelesaian. Dukungan dan koordinasi yang baik dari pihak yang

5
Syahrufin Nawi, Penelitian Hukum Normatif versus Penelitian Hukum Empiris. Makassar: PT Ukhuwah
Grafika. 2014. hlm, 250
berwenang seperti Kepolisian, Pekerja Sosial, dan Balai Pemasyarakatan dalam memberikan
rekomendasi penangananan tidak kalah penting. Upaya ini dilakukan karena pengadilan
dianggap sebagai upaya terakhir oleh karena itu dibutuhkan kesepakatan Bersama untuk
mencapai keberhasilan dan perlindungan anak-anak serta pemulihan merekaa harus lebih
diutamakan.

Namun dalam penerapan restoratif justice ini sendiri memiliki beberapa tantangan yaitu
seperti sulitnya untuk mencapai kesepakan terkait seperti uang ganti rugi yang terkadang begitu
besar yang tidak sesuai dengan perbuatan yang dilakukan anak. Dan kesulitan dalam mufakat
karena masyarakat masih banyak berpikir bahwa orang yang melakukan kejahatan harus di
penjara untuk mendapat efek jera atas perbuatan yang dilakukan. Serta belum sepenuhnya para
aparatur desa memahami penyelesaian melalui restorative justice sendiri dalam melakukan
mediasi terhadap permasalahan anak. Dan terkadang penegak hukum sendiri tidak
mengutamakn untuk dilakukan restorative justice ini dahulu.

Keadaan-keadaan ini yang terkadang menghambat untuk terlaksananya restorative


justice berjalan dengan baik. Dimana seharusnya restorative justice diutamakan sebagai
alternatif khususnya dalam penjatuhan pidana penjara sehingga bisa dikurangi. Dan seharusnya
diberikan pemahaman kepada masyarakat luas tentang pentingnya restorative justice untuk
anak, karena hukum juga harus tetap memberikan ruang untuk anak untuk dapat memenuhi
hak-haknya serta mendukung tumbuh kembang anak. Dan bagi masyarakat yang anaknya
berhadapan dengan hukum ada baiknya mengutamkan restorative justice ini dengan
memaaafkan dan memberikan kesempatan bagi anak memperbaiki kesalahannya dan faktor-
faktor lain bagi penegak hukum dalam menjalani restorative justice ini segera dapat teratasi
dengan Upaya-upaya sesuai dengan ketemtuan yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Mansur, D. M. A.,& Gultom, E,Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan: Antara


Norma Dan Realita. Divisi Buku Perguruan Tinggi, RajaGrafindo Persada, 2007.

Syahrufin Nawi, Penelitian Hukum Normatif versus Penelitian Hukum Empiris. Makassar:
PT Ukhuwah Grafika. 2014.

JURNAL

Ginting, H., & Muazzul, M., “Peranan Kepolisian dalam Penerapan Restorative Justice
terhadap PelakuTindak Pidana Pengeroyokan yang Dilakukan oleh Anak dan Orang
Dewasa”.Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum,Vol. 5 No. 1, 2018.

Putra, N. G. A. T., Pello, J., Medan, K. K., & Wewo, J. A,“Efektivitas Perlindungan Hukum
Terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual”.Yuriska: Jurnal Ilmiah Hukum,Vol. 12
No. 2, 2020.

Syahrin, M. A,“Penerapan Prinsip Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana


Terpadu”.Majalah Hukum Nasional,Vol. 48, No. 1, 2018.

Anda mungkin juga menyukai