Anda di halaman 1dari 57

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara hukum. Artinya sebagai negara hukum

mengharuskan beberapa hal diatur oleh undang-undang, ruang gerak kekuasaan

negara dalam hal ini dimaksudkan dibatasi oleh undang-undang. 1 Oleh karna itu

hukum bekerja dengan cara memberikan petunjuk tentang tingkah laku dan karna

itu pula hukum mengikat diri pada masyarakat sebagai tempat bekerjanya hukum

tersebut.

Hukum pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di

suatu negara yang memiliki aturan hukum. Hukum yang bersifat memaksa dan

mengikat, maka mempunyai akibat dari pelaksanaanya. Akibat tersebut berupa

sanksi, baik sanksi pidana maupun sanksi tindakan (maatregel).2

Dalam hukum pidana klasik pemidanaan merupakan pembalasan atas

kesalahan yang telah dilakukan oleh si pembuat. Pemidanaan menitikberatkan

pada perbuatan dan akibat yang diakibatkan oleh perbuatan itu sendiri. Pidana

merupakan penderitaan/perlakuan yang tidak enak oleh suatu kekuasaan yang sah

terhadap orang yang melakukan tindak pidana. Di dalam hukum pidana modern

penjatuhan sanksi pidana lebih berorientasi kepada perbuatan dan pelaku (daad-

dader strafrecht) tidak hanya meliputi pidana yang bersifat penderitaan dalam

1
Zul Akli, Penarapan Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana, Cetakan Kedua,
UNIMAL Press, Lhokseumawe, 2008, hlm. 15
2
Gita Santika Ramadhani, Sistem Pidana dan Tindakan “Double Track System” Dalam
Hukum Pidana di Indonesia, Jurnal Law Review, Vol. 1, No. 4, Diponegoro, 2012, hlm. 2
2

sanksinya, tapi juga berorientasi kepada muatan pendidikan yang dikenal dengan

sanksi tindakan (maatregel).3

Dalam perkembangan hukum modern inilah yang memperkenalkan istilah

double track system pemidanaan. Yang bermakna adanya pemisahan antara sanksi

pidana dengan sanksi tindakan. Double track system adalah sistem dua jalur

tentang sanksi dalam hukum pidana, yaitu jenis sanksi pidana di satu pihak dan

jenis sanksi tindakan di pihak lain. Sanksi pidana bersumber pada ide dasar

“Mengapa diadakan pemidanaan”, sehingga sanksi pidana lebih menekankan

kepada unsur pembalasan. Sedangkan sanksi tindakan bertolak dari ide dasar

“Untuk apa diadakan pemidanaan itu”. Yang mana sanksi tindakan menekankan

kepada perlindungan masyarakat dan mempunyai tujuan yang bersifat sosial.4

Fokus sanksi pidana ditujukan pada perbuatan salah yang telah dilakukan

seseorang melalui pengenaan penderitaan agar pelakunya menjadi jera, adapun

fokus sanksi tindakan lebih terarah pada upaya memberi pertolongan pada pelaku

agar berubah. Sehingga sanksi pidana lebih menekankan unsur pembalasan dan

sanksi tindakan menekankan kepada perlindungan masyarakat dan pembinaan

atau pun perawatan bagi pelakunya.5

Perkembangan sistem hukum inilah yang menjadikan tindakan (maatregel)

sebagai alternatif lain dari pidana pokok terutama pidana penjara. Hal ini terjadi

3
Ibid.
4
Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2004, hlm. 32
5
Muhammad Deniardi, Penerapan Double Track System Dalam Pemidanaan Anak, Tesis,
Universitas Hasanuddin, Makassar, 2013, hlm. 18
3

dikarenakan ketidakpercayaan terhadap keberhasilan “penjara” sebagai salah satu

bentuk hukuman/sanksi.6

Selain itu antara sanksi pidana dengan sanksi tindakan memiliki perbedaan

prinsip dimana sanksi pidana menerapkan unsur pencelaan, bukan kepada ada

tidaknya unsur penderitaan, sedangkan sanksi tindakan menerapkan unsur

pendidikan yang tidak membalas dan semata-mata melindungi masyarakat dari

ancaman yang dapat merugikan kepentingan masyarakat. Terutama terhadap anak

anak yang berkonflik dengan hukum.7 Karna anak merupakan subjek yang masih

rawan dalam tahap perkembangan kapasitas, yang sangat erat kaitannya dengan

pemenuhan dan perlindungan atas hak hidup dan hak kelangsungan hidupnya, hak

atas tumbuh dan berkembang anak serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi. Sebab anak selaku generasi penerus bangsa memiliki peran yang

sangat strategis untuk melanjutkan kemajuan bangsa dan negara di masa yang

akan datang.8

Sehingga setiap anak perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya

untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, demi perbaikan fisik, mental

maupun kehidupan sosialnya. Maka anak perlu dilindungi agar kesejahtraannya

terwujud serta jaminan mendapatkan hak-haknya tanpa diskriminasi, termasuk

saat berhadapan dengan hukum. 9

6
Gita Santika Ramadhani, Op. Cit., hlm. 2
7
Guntarto Widodo, Sistem Pemidanaan Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Perspektif
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Jurnal Surya
Kencana Dua: Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan, Vol. 6, No.1, 2016, hlm 64.
8
Tresilia Dwitamara, Pengaturan Dan Implementasi Mengenai Hak Anak Yang
Berkonflik Dengan Hukum Di Indonesia, Jurnal Hukum, Vol. 18, No. 2, Universitas Airlangga,
Surabaya, 2013, hlm. 103
9
Muhammad Deniardi, Op. Cit., hlm. 12
4

Oleh sebab itu negara telah membentuk aturan terhadap anak yang

berkonflik dengan hukum, salah satunya dapat ditinjau dalam Undang-Undang

Repubilik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, yang telah

di ganti dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut UU SPPA). Yang

mana dimaksudkan dapat melindungi dan mengayomi anak yang berhadapan

dengan hukum agar anak dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang

serta memberi kesempatan kepada anak agar mendapatkan pembinaan. Sehingga

bisa diperoleh jati diri untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab,

dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.10

Maka jika berbicara tentang anak yang berkonflik dengan hukum, jika

ditinjau dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, dengan jelas telah

memuat sistem pemidanaan dua jalur atau yang dikenal dengan double track

system. Karna telah memuat dua bentuk sanksi, yaitu sanksi pidana di satu pihak

dan sanksi tindakan dipihak lain.

Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak terkait dengan

sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap anak pelaku tindak pidana, termuat pada

Pasal 71 yaitu pidana pokok bagi anak terdiri atas pidana peringatan, pidana

dengan syarat, pembinaan dalam lembaga, dan penjara, serta ada pidana tambahan

berupa pemenuhan kewajiban adat dan perampasan keuntungan yang diperoleh

dari tindak pidana. Sedangkan terhadap sanksi tindakan terdapat pada Pasal 82

yaitu pengembalian kepada orang tua/wali, penyerahan kepada seseorang,


10
Angger Sigit Pramukti dan Fuady Primaharsya, Sistem Peradilan Pidana Anak, Pustaka
Yustisia, Yogjakarta, 2015, hlm. 2
5

perawatan dirumah sakit jiwa, perawatan di LPKS, kewajiban mengikuti

Pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan

swasta, pencabutan surat izin mengemudi, dan perbaikan akibat tindak pidana.

Namun walaupun telah ada peraturan tentang anak yang berkonflik dengan

hukum, tetap saja kedudukan dan hak-hak anak tersebut jika dilihat seringkali

terabaikan, hal ini belum mendapatkan perhatian yang serius baik oleh

pemerintah, penegak hukum maupun masyarakat pada umumnya.11

Hal ini dapat ditunjukkan dengan sistem pemidanaan kita yang sampai saat

ini terkadang masih memperlakukan anak-anak yang terlibat tindak pidana

diposisikan seperti orang dewasa yang melakukan tindak pidana. Anak sering

ditempatkan pada posisi layaknya seorang pelaku kejahatan yang patut

mendapatkan hukuman yang sama dengan orang dewasa. Padahal pemidanaan itu

sendiri lebih berorientasi kepada individu (invidual responsibility) dimana pelaku

dipandang sebagai individu yang mampu untuk bertanggung jawab penuh

terhadap perbuatan yang dilakukannya. Sedangkan anak merupakan individu yang

belum dapat menyadari secara penuh atas tindakan atau perbuatan yang

dilakukannya, hal ini disebabkan karena anak merupakan individu yang belum

matang dalam berpikir. Tanpa disadari hal tersebut tentu saja dapat menimbulkan

dampak psikologis yang cukup hebat bagi anak yang pada akhirnya

mempengaruhi perkembangan mental dan jiwa dari si anak tersebut.12

Walaupun demikian hukum harus tetap ditegakkan sekalipun terhadap

anak, karna Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

11
Guntarto Widodo, Op. Cit., hlm.71
12
Tresilia Dwitamara, Op. Cit., hlm. 98
6

Pidana Anak telah merumuskan tentang jenis sanksi yang harus dijatuhkan bagi

anak yang berkonflik dengan hukum berupa sanksi pidana dan sanksi tindakan.

Berdasarkan uraian penulis diatas maka penulis ingin mengkaji lebih lanjut

mengenai “Tinjauan Yuridis Sanksi Double Track System Dalam Sistem Peradilan

Pidana Anak”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka dapat dikemukan

rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana konsep double track system dalam sistem peradilan pidana

anak?

2. Apa saja yang menjadi pertimbangan bagi hakim dalam memutuskan

sanksi double track system terhadap anak dalam sistem peradilan pidana

anak?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui bagaimanakah konsep double track system dalam sistem

peradilan pidana anak.

b. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi pertimbangan hakim dalam

memutuskan sanksi double track system bagi anak dalam sistem peradilan

pidana anak

2. Manfaat Penelitian
7

Hasil penelitian dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat,

baik secara teoritis maupun secara praktis.

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini sangat diharapkan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan

dibidang hukum pidana dan bisa menjadi acuan atau pedoman bagi

penyusunan-penyusunan selanjutnya yang berkaitan dengan sanksi double

track system dalam sistem peradilan pidana anak.

b. Manfaat Praktis

Untuk hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi ilmu yang

bermanfaat serta dapat dijadikan sebagai sumber masukan atau pedoman bagi

pihak yang berkepentingan yang berkenaan dengan sanksi double track

system dalam sistem peradilan pidana anak.

D. Ruang Lingkup Penelitian

Untuk menghindari terjadinya perluasan objek pembahasan maka penulis

membatasi ruang lingkup penelitian ini hanyalah mengenai sanksi double track

system dalam sistem peradilan pidana anak.

E. Kajian Pustaka

1. Pengertian Sanksi Double Track System

Berbicara mengenai gagasan lahirnya ide dasar double track system dalam

literatur yang ada, tidak pernah ditemukan penegasan tegas soal gagasan dasar
8

double track system. Namun dilihat dari latar belakang kemunculannya dapat

disimpulkan bahwa ide dasar sistem tersebut adalah kesetaraan antara sanksi

pidana (punishment; Inggris, atau straf; Belanda) dan sanksi tindakan (treatment;

Inggris, atau maatregel; Belanda). Ide kesetaraan ini dapat ditelusuri lewat

perkembangan sistem sanksi dari aliran klasik ke aliran modern dan aliran neo-

klasik. Adapun aliran-aliran tersebut sebagai berikut:13

a. Aliran Klasik

Pada abad XVIII muncul aliran klasik yang berpaham indeterminisme

mengenai kebebasan kehendak manusia yang menekankan kepada pelaku

kejahatan sehingga dikehendaki hukum pidana perbuatan (daad-strafrecht).

Aliran klasik pada prinsipnya hanya menganut single track system, yakni sistem

sanksi tunggal berupa jenis sanksi pidana. Karnanya sistem pidana dan

pemidanaan aliran klasik ini sangat menekankan pemidanaan terhadap perbuatan,

bukan pada pelakunya. Sistem pemidanaannya ditetapkan secari pasti (the definite

sentence). Artinya penetapan sanksi dalam undang-undang tidak dipakai sistem

peringanan atau pemberatan yang berhubungan dengan faktor usia, keadaan jiwa

si pelaku, kejahatan-kejahatan yang dilakukannya terdahulu maupun keadaan-

keadaan khusus yang dilakukannya dari perbuatan/kejahatan yang dilakukan.

Yang mana tidak di pakainya sistem individualisasi pidana. Yang artinya dalam

memberikan sanksi pidana selalu memperhatikan sifat-sifat dan keadaan-keadaan

si pelaku

b. Aliran Modern

13
Muhammad Deniardi, Op. Cit., hlm. 32
9

Pada abad XIX lahirlah aliran modern yang mencari sebab kejahatan

dengan memakai metode ilmu alam dan bermaksud untuk langsung mendekati

atau mempengaruhi penjahat secara positif sejauh dia masih dapat diperbaiki.

Bertolak belakang dengan paham aliran klasik, aliran modern memandang

kebebasan kehendak manusia banyak dipengaruhi oleh watak dan lingkungannya

sehingga tidak dapat dipersalahkan dan dipidana. Andaipun digunakan istilah

pidana, menurut aliran modern ini harus tetap diorientasikan pada sifat-sifat si

pelaku. Karnanya aliran ini bertolak dari pandangan determinisme dan

menghendaki adanya individualisasi pidana yang bertujuan mengadakan

resosialisasi terhadap pelaku kejahatan.

c. Aliran Neo-klasik

Dalam perkembangannya kemudian, munculah aliran neo-klasik yang juga

menitikberatkan konsepsinya kepada kebebasan kehendak manusia (doctrine of

free will) telah berkembang selama abad XIX yang mulai mempertimbangkan

kebutuhan adanya pembinaan individual terhadap pelaku tindak pidana. Aliran

neo-klasik menyatakan dengan tegas bahwa konsep keadilan sosial berdasarkan

hukum, tidak realistis dan bahkan tidak adil. Aliran ini berpangkal dari aliran

klasik yang dalam perkembangannya kemudian dipengaruhi aliran modern. Ciri

dari aliran neo-klasik yang relevan dengan prinsip individualisasi pidana adalah

modifikasi dari doktrin kebebasan berkehendak dan pertanggungjawaban pidana.

Beberapa modifikasinya antara lain, diterima berlakunya keadaan-keadaan yang

meringankan (mitigating circumstances) baik fisikal, lingkungan maupun mental,

termasuk keadaan-keadaan lain yang dapat mempengaruhi pengetahuan dan niat


10

seseorang pada waktu terjadinya kejahatan. Juga diperkenankan masuknya

kesaksian ahli (expert testimony) untuk menentukan derajat pertanggung jawaban

pidana.

Bermuara dari konsepsi-konsepsi kedua aliran hukum pidana terdahulu,

lahirlah ide individualisasi pidana yang memiliki beberapa karakteristik sebagai

berikut :14

a. Pertanggungjawaban (pidana) bersifat pribadi/perorangan (asas personal);

b. Pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas culpabilitas; tiada

pidana tanpa kesalahan);

c. Pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku; ini

berarti harus ada kelonggaran/fleksibelitas bagi hakim dalam memilih

sanksi pidana (jenis maupun berat ringannya sanksi) dan harus ada

kemungkinan modifikasi pidana (perubahan/penyesuaian) dalam

pelaksanaannya.

Sebagai konsekuensi dari ide individualisasi pidana, maka sistem

pemidanaan dalam hukum pidana saat ini berorientasi pada pelaku dan perbuatan

(daad-dader straafrecht). Jenis sanksi yang diterapkan tidak hanya meliputi

sanksi pidana, tetapi juga sanksi tindakan (double track system). Pengakuan

tentang kesetaraan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan inilah yang

merupakan hakikat asasi atau ide dasar dari konsep double track system.15

Maka Double track system adalah sistem dua jalur tentang sanksi dalam

hukum pidana, yaitu jenis sanksi pidana di satu pihak dan jenis sanksi tindakan di
14
Sholehuddin, Op. Cit., hlm 27
15
Suhariyono Ar, Penentuan Sanksi Pidana Dalam Suatu Undang-Undang, Jurnal
Legislasi Indonesia, Vol. 6, No. 4, Bandung, 2009, hlm. 636
11

pihak lain. Sanksi pidana bersumber pada ide dasar “Mengapa diadakan

pemidanaan”, sehingga sanksi pidana lebih menekankan kepada unsur

pembalasan. Sedangkan sanksi tindakan bertolak dari ide dasar “Untuk apa

diadakan pemidanaan itu”. Sehingga sanksi tindakan menekankan kepada

perlindungan masyarakat dan mempunyai tujuan yang bersifat sosial.16

Perbedaan ide dasar antara sanksi pidana dan sanksi tindakan seperti di

atas, dapat pula ditemukan dalam teori-teori tentang tujuan pemidanaan. Yang

terbagi kedalam 3 kelompok teori, yaitu:17

a. Teori Pembalasan (Teori absolut/Teori Retributif)

Teori pembalasan membenarkan pemidanaan karna seseorang telah

melakukan suatu tindak pidana, sehingga terhadapa pelakunya mutlak dijatuhkan

pidana pidana yang merupakan pembalasan terhadap suatu kejahatan atau tindak

pidana. Tidak dipersoalkan akibat dari pemidanaan bagi terpidana. Bahan

pertimbangan untuk pemidanaan hanyalah masa lampau, maksdnya masa

terjadinya tindak pidana itu. Masa datang yang bermaksud memperbaiki penjahat

tidak dipersoalkan. Jadi seorang penjahat mutlak harus dipidana.

b. Teori Tujuan ( Teori Relatif )

Teori ini bertujuan untuk melindungi masyarakat atau mencegah terjadinya

kejahatan supaya orang jangan melakukan kejahatan. Sebenarnya teori ini lebih

tepat disebut teori perbaikan/perlindungan. Perbedaan antara teori lain dengan

teori tujuan terletak pada caranya untuk mencapai tujun dan penilaian terhadap

16
Sholehuddin, Loc.Cit.
17
Sianturi dan Mompang Panggabean, Hukum Penintensia di Indonesia, Aluhim Ahaem
Petehaem, Jakarta, 1996, hlm. 22
12

kegunaan pidana. Diancamnya dan dijatuhkannya suatu tindak pidana

dimaksudkan untuk menakut-nakuti calon penjahat atau penjahat yang

bersangkutan, untuk meperbaiki penjahat, atau prevensi umum. Jadi dasar

pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya.

Pidana dijatuhkan bukan karna orang membuat kejahatan melainkan supaya orang

jangan melakukan kejahatan.

c. Teori Gabungan

Menurut teori gabungan bahwa tujuan pidana itu selain membalas kesalahan

penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat, dengan mewujudkan

ketertiban. Teori ini menggabungkan apa yang dikemukan teori pembalasan dan

teori tujuan sebagai dasar pemidanaan, dengan pertimbangan bahwa kedua teori

tersebut memiliki kelemahan-kelemahan yaitu :18

1) Kelemahan teori pembalasan adalah menimbulkan ketidakadilan karena

dalam penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti yang

ada dan pembalasan yang dimaksud tidak harus negara yang

melaksanakan.

2) Kelemahan teori tujuan yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan karena

pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukum berat; kepuasan

masyarakat diabaikan jika tujuannya untuk memperbaiki masyarakat; dan

mencegah kejahatan dengan menakut-nakuti sulit dilaksanakan.

Keberatan-keberatan terhadap teori pembalasan dan teori tujuan, inilah

menimbulkan aliran yang mendasar pada jalan pikiran bahwa pidana hendaknya

18
Usman, Analisis Perkembangan Hukum Pidana, Jurnal Ilmu Hukum, Jambi, 2015, hlm
73
13

didasarkan atas tujuan unsur-unsur pembalasan dan mempertahankan ketertiban

masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi dengan menitikberatkan pada salah

satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur yang lain, maupun pada semua unsur

yang ada. 19

Hugo De Groot memandang teori gabungan ini sebagai pidana

berdasarkan keadilan absolut (de absolute gerechtigheid) yang berwujud

pembalasan terbatas kepada apa yang berfaedah bagi masyarakat, dan terkenal

dengan sebutan “ Puniendus nemo est ultra meritum, intra meriti vero modum

magis aut minus peccata puniuntur pro utilitate” yang dapat diartikan bahwa

tidak ada seorang pun yang dipidana sebagai ganjaran yang diberikan, tentu tidak

melampui maksud, tidak kurang atau tidak lebih dari kefaedahan..20

Double track system tidak sepenuhnya memakai teori pembalasan atau

teori tujuan melainkan merujuk pada gabungan diantara kedua jenis teori itu.

Karna double track system menempatkan dua jenis sanksi dalam kedudukan yang

setara. Penekanannya pada kesetaraan sanksi pidana dan sanksi tindakan dalam

kerangka sistem dua jalur. Sesungguhnya terkait dengan fakta bahwa unsur

pencelaan/penderitaan (lewat sanksi pidana) dan unsur pembinaan (lewat sanksi

tindakan) sama-sama penting. Double track system menghendaki adanya unsur

pencelaan/penderitaan dan unsur pembinaan sama-sama diakomodasi dalam

sistem sanksi hukum pidana.21

19
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, cetakan keenam,
Jakarta, 1994, hlm. 30
20
Ibid., hlm. 31
21
Siska Dwi Azizah Warganegara, Implementasi Sistem Dua Jalur (Double Track
System) Pada Proses Peradilan Pidana Anak (Studi Pada Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi
Tanjung Karang), Jurnal Ilmu Hukum, Bandar Lampung, 2018, hlm. 12
14

Dari perdebatan para ahli hukum pidana, terungkap dengan jelas bahwa

sekalipun jenis sanksi pidana yang bersumber dari teori retribrutif memiliki

kelemahan dari segi prinsip proporsionalitas tanggung jawab sipelaku kejahatan

dari perbuatannya, namun retributivisme tidak mungkin dihilangkan sama sekali.

Demikian pula dengan rehabilitasi dan prevensi (sebagai tujuan utama dari jenis

sanksi tindakan/treatment). Meski cara ini memiliki keistimewaan dari segi proses

resosialisasi pelaku sehingga diharapkan mampu memulihkan kualitas sosial dan

moral seseorang agar dapat berintegrasi lagi dalam masyarakat, namun terbukti

kuarang efektif memperbaiki seorang penjahat karna dianggap terlalu

memanjakannya. Atas kesadaran itulah, maka double track system menghendaki

agar unsur pencelaan/penderitaan dan unsur pembinaan sama-sama diakomodasi

dalam sistem sanksi hukum pidana. Inilah yang menjadi dasar penjelasan

mengapa dalam double track system dituntut adanya kesetaraan antara sanksi

pidana dan sanksi tindakan.22

Dari sudut dasar ide double track system, kesetaraan kedudukan sanksi

pidana dan sanksi tindakan sangat bermanfaat untuk memaksimalkan penggunaan

kedua jenis sanksi tersebut secara tepat dan proporsional. Sebab, kebijakan sanksi

yang integral dan seimbang (sanksi pidana dan tindakan), selain menghindari

penerapan sanksi yang fragmentaristik (yang terlalu menekankan pada sanksi

pidana), juga menjamin keterpaduan sistem sanksi yang individual dan sistem

sanksi yang bersifat fungsional. Untuk itu, setiap pemidanaan berdimensi

majemuk dan setiap segi perlu diperhatikan secara terpisah tapi tetap dalam kaitan

22
Ahmad Syakirin, Formulasi/Model Sistem Pemidanaan Anak Di Indonesia, Jurnal
Mimbar Yustitia, Vol. 2, No. 2, Ponorogo, 2018, hlm. 122
15

dengan totalitas sistem hukum. Dapat saja dalam perkara dimensi

retribtutif/pembalasan lebih dominan, tapi pada perkara tertentu prinsip

kemanfaatan bisa lebih unggul.23

2. Pengertian Sistem Peradilan Pidana Anak

Sistem peradilan pidana anak menurut Undang-Undang Nomor 11 tahun

2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 1 Ayat (1) adalah keseluruhan

proses penyelesaian perkara anak berhadapan dengan hukum, mulai tahap

penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. 24

Sehingga dalam peradilan pidana anak, segala aktivitas pemeriksaan dan

pemutusan perkara lebih menekankan terhadap kepentingan anak.

Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak terdapat asas-asas

yang menjamin kepentingan dan kesejahtraan anak, asas-asas tersebut adalah:25

a. Perllindungan

Yang dimaksud dengan perlindungan meliputi kegiatan yang bersifat

langsung dan tidak langsung dari tindakan yang mebahayakan anak, secara

fisik dan/psikis.

b. Keadilan

Yang dimaksud dengan keadilan adalah bahwa setiap penyelesaian

perkara, anak harus mencerminkan rasa keadilan bagi anak.

23
Ibid.
24
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU
Nomor 11 Tahun 2012, LN. Nomor 153 Tahun 2012, TLN Nomor 5332, Pasal 1.
25
Angger Sigit Pramukti, Op. Cit., hlm. 31
16

c. Non Diskriminasi

Yang dimaksud dengan non diskriminasi adalah tidak adanya perlakuan

yang berbeda didasarkan pada suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin,

etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, serta

kondisi fisik dan/atau mental.

d. Kepentingan Terbaik Bagi Anak

Yang dimaksud dengan kepentingan terbaik bagi anak adalah segala

pengambilan keputusan harus selalu mempertimbangkan kelangsungan

hidup dan tumbuh kembang anak.

e. Penghargaan Terhadap Pendapat pendapat Anak

Yang dimaksud penghargaan pada pendapat anak adalah penghomatan

atas hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam

pengambilan keputusan, terutama jika menyangkut hal hal yang

mempengaruhi kehidupan anak.

f. Kelangsungan Hidup dan Tumbuh Kembang Anak

Yang dimaksud dengan kelangsungan hidup dan tumbuh kembanga anak

adalah hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh

negara pemerintah dan masyrakat keluarga dan orang tua.

g. Pembinaan dan Pembimbingan Anak

Yang dimaksud pembiaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas,

Ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. intelektual, sikap, dan perilaku,

pelatihan keterampilan, profesional, serta kesehatan jasmani dan rohani

anak baik didalam maupun diluar proses peradilan pidana. Yang dimaksud
17

dengan pembimbingan adalah pemberian tuntunan untuk menigkatkan

kualitas ketakwaan pada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap,

perilaku, pelatihan keterampilan, profesional, serta kesahatan jasmani dan

rohani klien pemasyarakatan.

h. Proporsional

Yang dimaksud dengan proporsional adalah segala perlakuan terhadap

anak harus memperhatikan, batas keperluan, umur, serta, kondisi anak

yang bersangkutan.

i. Perampasan Kemerdekaan dan Pemidanaan Sebagai Upaya Terakhir

Yang dimaksud dengan perampasan kemerdekaan merupakan upaya

hukum terakhir adaah pada dasarnya anak tidak dapat dirampas

kemerdekaan nya, kecuali terpaksa dilakukan guna kepentingan

penyelesaian perkara.

j. Penghindaram Pembalasan

Yang dimaksud dengan penghindaran pembalasan adalah prinsip

menjauhkan upaya pembalsan dalam proses peradilan pidana.

Dalam Hukum Internasional, anak yang berhadapan dengan hukum atau

children in conflict with the law adalah seseorang yang berusia dibawah 18 tahun

yang berhadapan dengan sistem peradilan pidana di karnakan yang bersangkutan

disangka atau dituduh melakukakan tindak pidana. Persinggungan anak dengan

sistem peradilan pidana menjadi titik permulaan anak berhadapan dengan hukum.

Istilah sistem peradilan pidana menggambarkan suatu proses hukum yang

diterapkan pada seseorang yang melakukan tindak pidana atau melanggar


18

kesesuaian hukum pidana. Dengan demikian istilah sistem peradilan pidana anak

dipergunakan untuk menggambarkan sistem peradilan pidana yang

dikonstruksikan pada anak.26

Sehingga tentu peradilan anak berbeda dan khusus dibandingkan orang

dewasa. Karena sidang anak harus diberikan sesuai dengan karakter anak.

Misalnya pemeriksaan yang menimbulkan suasana kekeluargaan. Hal ini

dilakukan agar anak dapat mengutarakan segala perasaannya, peristiwa, dan latar

belakang kejadian secara jujur, terbuka, tanpa tekanan dan rasa takut. Oleh karena

itu, selama persidangan berjalan, mutlak diperlukan suasana kekeluargaan.

Sekalipun dalam tahap penyidikan, penyidik wajib memeriksa tersangka dalam

suasana kekeluargaan. Termasuk hakim, penuntut umum, penyidik, penasihat

hukum, serta petugas lainnya dalam sidang anak tidak memakai toga atau pakaian

dinas serta pemeriksaan anak dilakukan dalam sidang tertutup, yang hanya

dihadiri anak yang bersangkutan, orangtua wali, atau orangtua asuh, penasihat

hukum, dan pembimbing kemasyarakatan.27

Perlakuannya khusus dalam penegakan hukum terhadap anak yang

melakukan kejahatan dengan orang dewasa dilandaskan pada asas kepentingan

terbaik anak (the best interest of the child). Sebagaimana yang diamanatkan dalam

konvensi internasional tentang hak-hak anak. Berangkat dari asas tersebut, maka

posisi anak oleh undang-undang sistem peradilan pidana anak, memberikan

petunjuk dalam hal penentuan pidana pokok seorang anak yang melakukan tindak

pidana. Seperti persoalan mengenai pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada
26
Angger Sigit Pramukti, Op. Cit., hlm. 16
27
Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2011, hlm. 69
19

anak paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi

orang dewasa. Kemudian yang menarik mengenai penjatuhan hukuman dimana

tindak pidana yang diancam dengan ancaman pidana mati atau pidana seumur

hidup, maka penjatuhan pidana anak adalah pidana penjara paling lama adalah 10

tahun, sebagai batasan ancaman maksimum penjara khusus untuk anak.28

Dan dalam sistem peradilan pidana anak mengatur pula batas usia

pertanggungjawaban anak, dimana anak yang usianya 12 s/d 14 tahun hanya

dikenai sanksi tindakan, sebagaimana yang terdapat dalam pasal 69 Ayat (2) UU

SPPA, yang menyebutkan bahwa anak yang belum berusia 14 tahun hanya dapat

dikenai sanksi tindakan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sanksi pidana tidak

akan dikenai bagi anak di bawah usia 14 tahun.

Kemudian persoalan terhadap anak yang paling penting adalah mengetahui

berbagai faktor-faktor yang menjadi penyebab kenakalan/kejahatan pada anak.

Menurut Ramli Atmasasmita, sebab-sebab timbulnya kenakalan atau kejahatan

pada anak, yakni karena dua faktor, faktor motivasi intrinsik dan faktor motivasi

ekstrinsik. Yang dimaksud dengan motivasi intrinsik adalah dorongan atau

keinginan pada diri seseorang yang tidak perlu disertai perangsang dari luar,

sedangkan motivasi ekstrinsik adalah dorongan yang datang dari luar diri

seseorang. Faktor Motivasi intrinsik dan Ekstrinsik kenakalan anak yaitu: 29

Faktor Intrinsik adalah:

a. Faktor inteligensi: yakni berkaitan dengan kecerdasan seseorang untuk

membuat pertimbangan dan memberikan keputusan. Anak-anak perilaku


28
Ahmad Syakirin, Op.Cit., hlm. 12
29
Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, PT Refika Aditama, Cetakan Ketiga, Bandung,
2010, hlm. 17
20

kejahatan ini pada umumnya inteligensi verbal lebih rendah dan

ketinggalan dalam penyampaian hasil-hasil prestasi di sekolah rendah satu

wawasan sosial yang kurang tajam, mereka mudah sekali terseret dalam

lingkaran kejahatan

b. Faktor usia: oleh Stephen Hunxitz, mengungkapkan “age is important in

the caution of crime (usia adalah faktor yang paling penting dalam sebab

timbulnya kejahatan). Diungkap dalam peradilan bahwa pelaku kejahatan

anak yang paling banyak adalah yang berusia 16 s/d 18 tahun, dengan

perbandingan jumlah 116 dari 134 narapidana anak-anak.

c. Faktor kelamin: disini anak laki-laki cenderung melakukan kejahatan

seperti pencurian, penganiayaan, perkosaan, dan sebagainya. Sedangkan

anak perempuan lebih sering dalam hal pelanggaran ketertiban umum.

Walaupun tidak dipungkiri angka kejahatan anak laki-laki presentasenya

lebih tinggi.

d. Faktor kedudukan anak dalam keluarga: adalah kedudukan anak dalam

keluarga menurut urutan kelahirannya. Dari hasil penyelidikan terhadap

delinquency dan kriminalitas di Indonesia bahwa kebanyakan dilakukan

oleh anak pertama dan anak tunggal atau oleh wanita dan dia satu-satunya

diantara selain saudara-saudaranya.

faktor ekstrinsik adalah:

a. Faktor keluarga: broken home dan keadaan keluarga yang kurang

menguntungkan. Keadaan keluarga yang tidak normal bukan hanya terjadi

kekacauan yang berdampak pada anak. Broken home menjadi sumber


21

pemicu yang sangat kuat bagaimana hal ini mendorong bagi anak kurang

mendapat perhatian dari orang tua yang menjadi hilangnya perhatian

pendidik anak. Serta dalam situasi keluarga yang sibuk, anak dapat

mengalami frustasi, konflik-konflik psikologis, hingga keadaan ini dapat

dengan mudah mendorong anak terjun dalam dunia hitam.

b. Faktor pendidikan: sekolah menjadi ajang pendidikan kedua setelah

keluarga. Maka sekolah ikut bertanggung jawab atas pendidikan anak-

anak, baik pendidikan keilmuan maupun pendidikan budi pekerti atau

tingkah laku. Bahkan banyak atau bertambahnya kenakalan anak secara

tidak langsung menunjukkan tentang buruknya sistem pendidikan. Proses

pendidikan yang tidak bermutu akan berdampak kurang menguntungkan

bagi perkembangan pendidikan anak, bahkan kerap kali menjadi

penyebab timbulnya kenakalan anak.

c. Faktor pergaulan anak: lingkungan pergaulan memberi pengaruh sangat

besar terhadap kenakalan anak, situasi sosial yang semakin longgar dan

bebas memberikan pengaruh terhadap perkembangan anak. Semakin luar

pergaulan anak tanpa kontrol baik tanpa diimbangi batas-batasan aturan

disiplin yang baik akan lebih mudah berhadapan dengan dunia

kriminalitas anak.

d. Pengaruh mass media: media mempunyai peran penting terhadap

perkembangan pengetahuan dan informasi, keinginan atau kehendak

berbuat jahat terkadang timbul karena pengaruh bacaan, informasi,

gambar-gambar dan film. Tidak bisa dipungkiri dunia informatika yang


22

berkembang pesat dengan mudahnya mengakses film-film porno, film

yang beradegan kekerasan, kejahatan mudah sekali meracuni

perkembangan jiwa psikologi anak.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,

prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu yang

dihadapi.30 Metode penelitian hukum adalah suatu cara yang sistematis dalam

sebuah penelitian.31

1. Jenis, pendekatan dan sifat penelitian

a. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif

yaitu penelitian hukum kepustakaan yang dapat dilakukan dengan cara

meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder.32 Penulis memusatkan

penelitian terhadap bahan-bahan hukum yang mengatur tentang sanksi double

track system dalam sistem peradilan pidana anak.

b. Pendekatan penelitian

Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-

undangan (statue approach). Pendekatan perundang-undangan (statue

approach) adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua

30
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Predana Media Group, Jakarta,
2008, hlm. 35
31
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2004, hlm. 57
32
Soerjono Soekanto dan Sri Madmuji, Penemuan Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 13
23

undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang

ditangani. 33

Selanjutnya dalam penelitian ini juga digunakan pendekatan

konseptual (conseptual approach) yaitu mencari asas-asas yang berlaku

namun atau disebut penelitian filosofis terhadap norma, kaidah serta peraturan

perundang-undangan yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang

terkait dengan penulisan ini.34

c. Sifat penelitian

Sifat penelitian dalam penulisan ini adalah bersikap deskriptif yaitu

proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun

doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. 35 Penelitian

ini menggunakan teori-teori serta konsep yang relevan sesuai dengan karakter

perspektif ilmu hukum, sehingga penelitian ini akan memberikan pemaparan

atau subjek dan objek penelitian yang dilakukan tanpa melakukan justifkasi

terhadap hasil penelitian, kemudian dianalisis berdasarkan teori hukum atau

peraturan perundangan-undangan yang berlaku.36

2. Sumber bahan hukum

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penulisn skripsi ini terdiri dari:

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersfat autoritatif,

artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan primer terdiri dari: perundang-

33
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., hlm. 96.
34
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 35
35
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., hlm 35
36
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2009, hlm. 223
24

undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-

undangan dan putusan-putusan hakim.37

b. Bahan hukum sekunder

Adapun bahan-bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang

hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi

tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-

jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.38

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum pendukung penelitian atau

referensi dalam penyelesaian permasalahan didalam penelitian,

memberikan informasi, pentunjuk maupun penjelasan terhadap bahan-

bahan hukum primer dan sekunder. Adapun sumber bahan hukum tersier

yaitu berupa buku-buku, jurnal, laporan hasil penelitian dan disiplin ilmu

lainnya selama mempungyai relevansi dengan objek permasalahan yang

diteliti.39

3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan dengan

cara penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan melakukan kajian-

kajian atas dokumen pendukung kegiatan.

4. Analis Bahan Hukum

37
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., hlm. 181
38
Ibid., hlm. 181
39
Zainudin Ali, Op.Cit., hlm. 57
25

Pada penelitian hukum normatif, pengolahan data dilakukan dengan cara

sistematika terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematika berarti membuat

klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tersebut untuk memudahkan pekerjaan

analisi dan kontruksi.40

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan analisis kualitatif, analisis

kualitatif adalah metode analis bahan hukum yang tidak membutuhkan populasi

dan sampel, tetapi hanya menganalisis bahan hukum. 41

G. Sistematika Penulisan

Sistematika Penyusunan skripsi ini oleh penulis dimaksudkan untuk

menberikan perincian secara garis besar isi dari skripsi. Dalam penyusunan skripsi

ini akan dibagi menjadi 4 (empat) bab dengan susunan sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah,

ruang lingkup penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, kajian

pustaka, metode penelitian dan kerangka penulisan

BAB II : KONSEP DOUBLE TRACK SYSTEM DALAM SYSTEM

PERADILAN PIDANA ANAK Bab ini merupakan bab

pembahasan tentang, Konsep Sanksi double track system dalam

sistem peradilan pidana anak dan konsep anak dalam sistem

peradilan pidna anak.

40
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan ketiga, UI Press, Jakarta
1986, hlm. 251
41
Zainudin Ali, Op.Cit., hlm. 105
26

BAB III : PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN

SANKSI DOUBLE TRACK SYSTEM TERHADAP ANAK

DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

Dalam bab ini akan menjelaskan tentang faktor-faktor yang

menjadi pertimbangan bagi hakim dalam memutuskan sanksi

pidana atau tindakan terhadap anak yang berkonflik dengan

hukum dalam sistem peradilan pidana anak

BAB IV : PENUTUP Bab ini akan memuat kesimpulan dan seluruh

pembahasan pada bab-bab sebelumnya. Selain itu juga memuat

saran-saran dari penulis yang berhubungan dengan masalah yang

dibahas.
27

BAB II

KONSEP SANKSI DOUBLE TRACK SYSTEM DALAM SISTEM

PERADILAN PIDANA ANAK

Pada awalnya dalam aliran klasik, menempatkan bahwa pidana dan

pemidanaan lebih berorientasi dengan pemikiran pembalasan dan penjeraan

terhadap pelaku, namun seiring perkembangannya, saat ini kajian hukum pidana

lebih mengkaji tentang tujuan pidana dan pemidanaan. Hingga kemudian lahirlah

pemikiran mengenai pencegahan, pembinaan serta rehabilitasi.

Pengaruh perkembangan dalam teori hukum pidana tersebut kemudian

memberikan dampak kepada upaya untuk mencari alternatif dari sanksi pidana.

Yang mana pada awalnya pidana dan pemidanaan lebih ditujukan kepada bentuk

pemidanaan fisik, khususnya pidana penjara, maka kemudian lahir pemikiran

untuk mencari alternatif pidana penjara, sehingga lahir bentuk sanksi yang

dikategorikan sebagai tindakan. Sepeti dalam Undang-Undang No. 11 Tahun

2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang telah menganut double track

system dalam sistem sanksinya yaitu berupa sanksi pidana dan tindakan.

A. Konsepsi Sanksi Pidana dan Tindakan Dalam Sistem Peradilan

Pidana Anak

1. Konsepsi Sanksi Pidana

Menurut Alf Ross yang dikutip Muladi dan Barda Narwawi Arief, untuk

dapat dikategorikan ssebagai sanksi pidana, suatu sanksi harus memenuhi dua

syarat atau tujuan. Pertama, pidana ditujukan pada pengenaan penderitaan

terhadap orang yang bersangkutan. Kedua, pidana itu merupakan suatu pernyataan
28

pencelaan terhadap sipelaku, sekaligus dimaksudkan untuk mencela perbuatan

sipelaku.42

Menurut Sholehuddin sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling

tua dalam sistem pemidanaan dinegara-negara maupun didunia, dimana jenis

sanksi pidana lebih banyak dipengaruhi oleh teori retributif yang bertujuan untuk

pembalasan.43

Menurut Sudarto yang dikutip Muladi dan Barda Narwawi Arief, yang

dimaksud dengan sanksi pidana adalah penderitaan yang dengan sengaja

dibebankan kepada orang yang orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi

syarat tertentu.44

Mengenai pengertian pidana banyak dibahas oleh beberapa ahli, walaupun

pendapat yang mereka kemukan berbeda-beda tetapi terdapat suatu prinsip utama

dalam pemidanaan. Prof van Hamel, Fritz Gerald, Sir Rupert Cross, dan Professor

Simons memberikan pendapat bahwa Pidana merupakan suatu penderitaan, yang

bersifat khusus yang dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk

menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban

hukum umum kepada seseorang pelanggar, yakni semata-mata karna orang

tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh

negara. Sedangkan Agraa Jassen dan Ted Honderich lebih menenkankan pidana

sebagai sebuah alat negara untuk mencabut hak-hak seseorang yang dimilikinya

secara sementara karna pelanggaran yang mereka lakukan terhadap undang-

42
Muladi dan Barda Narwawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, PT Alumni,
Bandung, 2010 hlm. 5
43
Sholehhudin, Op. Cit., hlm. 148
44
Muladi dan Barda Narwaei Arief, Op. Cit., hlm. 2-4
29

undang. Prof Roeslan Shaleh dan Professor Sudarto menganggap suatu pidana

adalah nestapa terhadap pelaku pelaku dalam berbagai bentuk karna

pelanggarannya. Yang mana dapat disimpulkan pidana dapat bersifat kerugian

seseorang yang diberikan oleh penguasa karna perbuatannya45.

Dari beberapa definisi diatas dapatlah disimpulkan bahwa pidana

mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut:

a. Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan

atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan

b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang

mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang)

c. Pidana itu dikenakan kepada orang yang telah melakukan tindak

pidana menurut undang-undang

Setelah dijelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan pidana oleh para

ahli, berikut ini akan dikemukan mengenai jenis-jenis pidana menurut Undang-

Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, yaitu sebagai berikut:46

1). Pasal 71 Ayat 1 Tentang Pidana

Pidana pokok bagi anak terdiri sebagai berikut:

a). Pidana Peringatan

Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 72 UU SPPA dapat diketahui

bahwa pidana peringatan merupakan pidana ringan yang tidak

mengakibatkan pembatasan kebebasan anak. Penjelasan Pasal 9 ayat (2)

45
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, 2009,
hlm. 123-124
46
R. Wiyono, Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2016,
hlm. 139
30

huruf b UU SPPA, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “tindak

pidana ringan” adalah tindak pidana penjara atau pidana kurungan paling

lama 3 (tiga) bulan. Berdasarkan penjelasan Pasal 9 ayat (2) huruf b UU

SPPA tersebut, maka dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan

“pidana ringan” adalah pidana penjara atau pidana kurungan paling lama 3

(tiga) bulan.

b). Pidana Dengan Syarat

Dari Pasal 73 ayat (1) hingga ayat (4) UU SPPA, dapat diketahui bahwa

pidana dengan syarat adalah pidana dijatuhkan oleh hakim kepada anak

yang tidak perlu dilaksanakan asal selama menjalani masa pidana,

memenuhi syarat umum berupa tidak akan melakukan tindak pidana dan

syarat khusus berupa untuk melakukan atau tidak melakukan hak tertentu

yang ditetapkan dalam putusan hakim.

c). Pembinaan Diluar Lembaga

Pembinaan diluar lembaga dapat berupa:

(1) mengikuti program pembimbingan dan penyuluhan yang dilakukan

oleh pejabat pembina

(2) mengikuti Terapi dirumah sakit jiwa atau

(3) mengikuti terapi akibat penyalahgunaan alkohol, narkoba,

psikotropika dan zat adiktif lainnya.


31

d). Pelayanan Masyarakat

Pidana pelayanan masyrakat merupakan pidana yang dimaksudkan untuk

mendidik anak dengan meningkatkan kepeduliannya pada kegiatan ke

masyrakat yang positif.

e). Pengawasan

Penjelasan Pasal 77 ayat (1) UU SPPA menyebutkan bahwa yang dimaksud

dengan “pidana pengawasan” adalah pidana yang khusus dikenakan untuk

anak, yakni pengawasan yang dilakukan oleh penuntut umum, terhadap

perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari dirumah anak dan pemberian

bimbingan yang dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan.

f). Pelatihan Kerja

Penjelasan Pasal 78 ayat (1) UU SPPA, menyebutkan bahwa “lembaga yang

melaksanakan pelatihan kerja” lembaga pendidikan vokasi yang

dilaksanakan misalnya oleh kementrian yang menyelenggarakan urusan

pemerintahan di bidang ketenagakerjaan, pendidikan, atau sosial.

g). Pembinaan dalam Lembaga

Pidana pembinaan dalam lembaga dilakukan di tempat pelatihan kerja atau

lembaga pembinaan yang diselenggarakan, baik oleh pemerintah maupun

swasta.

h). Penjara

Pidana penjara pada Pasal 79 ayat (1) UU SPPA disebut pidana pembatasan

kebebasan diberlakukan dalam hal anak melakukan tindak pidana berat atau

tindak pidana yang disertai dengan kekerasan. Pidana pembatasan kebebasan


32

yang dijatuhkan terhadap anak paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum

pidana penjara yang dijatuhkan terhadap orang dewasa.

2). Pasal 71 Ayat 2 Tentang Pidana Tambahan

Pidana tambahan terdiri atas perampasan keuntungan yang diperoleh dari

tindak pidana atau pemenuhan kewajiban adat. Penjelasan Pasal 71 ayat (2)

huruf b UU SPPA menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “kewajiban

adat” adalah denda atau tindakan yang harus dipenuhi berdasarkan norma

adat setempat yang tetap menghormati harkat dan martabat anak serta tidak

membahayakan kesehatan fisik dan mental anak.

2. Konsepsi Sanksi Tindakan

Menurut H.L. Packer yang dikutip Muladi dan Barda Narwawi Arief, tujuan

utama dari tindakan adalah untuk memberikan keuntungan atau untuk

memperbaiki orang yang bersangkutan. Fokusnya bukan pada perbuatannya yang

telah lalu atau yang akan datang, tetapi pada tujuan untuk memberikan

pertolangan kepadanya. Jadi dasar pembenaran dari tindakan ialah pada

pandangan bahwa orang yang bersangkutan akan mungkin menjadi baik. Tujuan

utama adalah untuk meningkatkan kesejahtraan nya. H.L. Packer juga

mendasarkan tindakan pada satu atau dua tujuan sebagai berikut:47

a. untuk mencegah terjadinya kejahatan atau perbuatan yang tidak

dikehendaki atau perbuatan yang salah

b. untuk mengenakan penderitaan atau pembalasan yang layak kepada si

pelanggar.

47
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., 5-6
33

Sehingga H.L. Packer menegaskan bahwa dalam hal tindakan kita

memperlakukan seseorang karna ia telah melakukan suatu perbuatan yang salah

dengan tujuan, baik untuk mencegah terulangnya perbuatan itu maupun untuk m

engenakan penderitan atau untuk kedua-duanya. Jadi dalam hal “tindakan” tidak

diperlukan adanya hubungan dengan perbuatan, kita memperlakukan orang itu

karna kita berpendapat atau berannggapan bahwa ia akan menjadi lebih baik.

E. utrecht mengemukakan bahwa hukuman bertujuan memberikan

penderitaan yang istimewa kepada pelanggar supaya ia merasa akibat

perbatannya, sedangkan tujuan tindakan lebih bersifat melindungi dan mendidik,

lebih bersifat sosial.48

Marlina mengemukakan bahwa dasar pemikiran mengenai konsep

tindakan dipengaruhi oleh paham determinisme yang menyatakan bahwa orang

tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan karna

dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor biologis dan faktor lingkungan

kemasyarakatannya. Dengan demikian kejahatan merupakan manifestasi dari

keadaan jiwa seseoang yang abnormal. Oleh karna itu sipelaku kejahatan tidak

dapat dipersalahkan atas perbuatannyadan tidak dapat dikenakan pidana. Karna

seorang penjahat merupakan jenis manusia khusus yang memiliki

ketidaknormalan organis dan mental, maka bukan pidana yang seharusnya

dikenakan kepadanya tetapi yang diperlukan adalah tindakan perawatan yang

bertujuan memperbaiki.49

48
E. Utrecht, Hukum Pidana II, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1987, Cetakan Ketiga, hlm.
360
49
Marlina, Op.Cit., hlm 126
34

Setelah dikemukakan mengenai apa yang dimaksud dengan tindakan,

berikut jenis-jenis tindakan berdasasarkan UU SPPA NO. 11 Tahun 2012, Pasal

82 Ayat (1) Tindakan yang dapat dikenakan terhadap anak meliputi:50

a. Pengembalian kepada orang tua atau wali

b. Penyerahan kepada seseorang

Yang dimaksud dengan “penyerahan kepada seseorang” adalah

penyerahan kepada orang dewasa yang dinilai cakap, berkelakuan baik dan

bertanggung jawab oleh hakim serta dipercaya oleh anak.

c. Perawatan dirumah sakit jiwa

Tindakan ini diberikan kepada anak yang pada waktu melakukan tindak

pidana menderita gangguan jiwa atau penyakit jiwa.

d. Perawatan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahtraan Sosial (LPKS)

e. Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan

oleh pemerintah atau badan swasta

f. Pencabutan surat izin mengemudi

g. Perbaikan akibat tindak pidana

Perbaikan akibat tindak pidana, misalnya memperbaiki kerusakan yang

disebabkan oleh tindak pidanya dan memulihkan keadaan sesuai dengan

sebelum terjadinya tindak pidana

Diketahui filsafat peradilan pidana anak adalah untuk mewujudkan

kesejahtraan anak, karna itu hukum merupakan landasan, pedoman dan sarana

tercapainya kesejahtraan dan kepastian hukum guna menjamin perlakuan maupun

tindakan yang diambil, khususnya mengenai sanksi terhadap anak. Dalam proses
50
R. Wiyono, Op.Cit., hlm. 146
35

hukum yang melibatkan anak sebagai subjek delik, tidak boleh mengabaikan masa

depannya dan tetap menegakkan wibawa hukum demi keadilan.51

Oleh karna itu peradilan pidana anak diselenggarakan dengan

memperhatikan kesejahtraan anak. Kesejahtraan anak itu penting karna anak:52

a. Anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa yang landasannya telah

diletakkan oleh generasi sebelumnya

b. Agar setiap anak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu

mendapat kesempatan untuk tumbuh, berkembang secara wajar

c. Bahwa didalam masyarakat terdapat anak-anak yang mengalami hambatan

kesejahtaan rohani, jasmani, sosial, dan ekonomi

d. Anak belum mampu memelihara dirinya

e. Bahwa menghilangkan hambatan tersebut hanya akan dapat dilaksanakan

dan diperoleh apabila kesejahtraan anak terjamin.

Kesejahtraan anak dapat memberikan pengaruh positif tidak hanya

terhadap anak tetapi juga terhadap orang tua, masyarakat, pemerintah dan negara.

Oleh karna itu anak perlu di berikan perlindungan demi kesejahtraannya. Dan

setiap warga negara ikut bertanggung jawab terhadap dilaksanakannya

perlindungan bagi anak. seperti yang tercantum dalam pasal 20 UU No. 23 Tahun

2002 Tentang Perlindungan Anak, menyebutkan “negara, pemerintah, masyarakat,

keluarga, dan orang tua, berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap

penyelenggaran perlindungan anak”.

51
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, 2014, Cetakan Keempat (revisi), hlm. 90
52
Ibid.
36

Maka demi mewujudkan kesejahtraan terhadap anak Maidin Gultom

menyebutkan perlu memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan terhadap anak:53

a. Anak tidak dapat berjuang sendiri

Anak itu modal utama kelangsungan hidup manusia, bangsa dan keluarga,

untuk itu hak-haknya harus dilindungi. Karena anak tidak dapat

melindungi sendiri hak-haknya banyak pihak yang mempengaruhi

kehidupannya. Negara dan masyrakat berkepentingan untuk

mengusahakan perlindungan hak-hak anak tersebut.

b. Kepentingan terbaik anak

Agar perlindungan anak dapat diselenggarakan dengan baik, dianut prinsip

yang menyatakan bahwa kepentingan terbaik anak harus memperoleh

prioritas tinggi dalam setiap keputusan yang menyangkut anak.

c. Ancangan daur kehidupan

Perlindungan anak harus dimulai sejak dini dan terus-menerus. Mulai dari

dalam kandungan, hingga lahir sampai ia memasuki masa transisi kedalam

dunia dewasa. Anak harus diperhatikan mulai dari makanan sampai

pendidikan yang bermutu. Anak harus diberikan pengetahuan yang benar

tentang tingkah laku serta bertanggung jawab terhadap dirinya dan

diberikan perlindungan dari berbagai diskriminasi

d. Lintas Sektoral

Nasib anak tergantung dari berbagai faktor yang makro maupun mikro

yang langsung maupun tidak langsung. Kemiskinan, perencanaan kota dan


53
Ibid., hlm 47
37

segala penggusuran, sistem pendidikan yang menekankan hapalan,

komunitas yang penuh dengan ketidakadilan dan sebagainya tidak dapat

ditangani oleh sektor, terlebih keluarga atau anak itu sendiri. Perlindungan

terhadap anak adalah perjuangan yang membutuhkan semua orang

disemua tingkatan.

B. Konsepsi Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana

Dalam Undang-Undang No. 35 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas

Ungang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang perlindungan anak, menyebutkan

bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan bahkan masih

didalam kandungan.54

Sedangkan UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,

memberikan pengertian langsung terhadap anak yang berhadapan dengan hukum,

yaitu pengertian anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban

tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Ketentuan ini

disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2). Berdasarkan definisi ini dapat disebutkan

bahwa terdapat tiga kategori anak yang berhadapan dengan hukum, yaitu:

a. Anak yang berkonflik dengan hukum. Maksudnya adalah anak sebagai

pelaku tindak pidana.

b. Anak yang menjadi korban tindak pidana, yaitu anak yang mengalami

penderitaan fisik, mental, dan/kerugian ekonomi yang disebabkan oleh

tindak pidana.

c. Anak yang menjadi saksi tindak pidana, yaitu anak yang dapat

memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan


54
Marlina, Op.Cit., hlm. 34
38

pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang

didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.

Kategori anak sebagai pelaku tindak pidana tentu memiliki ketentuan

umur tersendiri dalam sistem peradilan pidana anak. Mereka adalah anak yang

telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas)

tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Jadi anak yang berumur di bawah 12

(dua belas) tahun, walaupun melakukan tindak pidana, belum dikategorikan

sebagai anak yang berhadapan dengan hukum. Dengan demikian, ia berada di luar

ketentuan ini. Begitu juga untuk kategori anak sebagai korban dan anak sebagai

saksi disamakan usianya, yaitu anak yang belum berumur 18 (delapan belas)

tahun.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa definisi anak adalah

manusia yang belum mencapai usia 18 tahun. Oleh karna itu anak tidak dapat

dikenakan pertanggung jawaban pidana secara penuh, karna seorang anak masih

mempunyai keterbatasan kemampuan berpikir dan berada dalam pengawasan

orang tua atau wali. Berdasarkan UU SPPA anak yang dapat dimasukkan dalam

peradilan pidana anak adalah anak yang telah mencapai usia 12 (dua belas) tahun

tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun. Sehingga diperlukan perlindungan

hukum bagi anak yang berkonflik dengan hukum karna anak merupakan bagian

masyarakat yang mempunyai keterbatasan secara fisik dan mentalnya.

Oleh karna itu Pasal 64 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang

Perubahan atas Undang-Undang No. 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak


39

menyebutkan perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum

sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (2) huruf b dilakukan melalui:55

a. Perlakuan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai

dengan umurnya

b. Pemisahan dari orang dewasa

c. Pemberian bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif

d. Pemberlakuan kegiatan rekreasional

e. Pembebasan dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain yang

kejam, tidak manusiawi serta merendahkan martabat dan derajatnya

f. Penghindaran dari penjatuhan pidana mati dan/atau pidana seumur

hidup

g. Penghindaran dari penangkapan, penahanan atau penjara, kecuali

sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat

h. Pemberian keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak

memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum

i. Penghindaran dari publikasi atas identitasnya.

j. Pemberian pendampingan orang tua/wali dan orang yang dipercaya

oleh anak

k. Pemberian advokasi sosial

l. Pemberian kehidupan pribadi

m. Pemberian aksesibilitas, terutama bagi anak penyandang disabilitas

55
Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Nomor 109 Tahun 2002,
TLN Nomor 5606, Pasal 64
40

n. Pemberian pendidikan

o. Pemberian pelayanan kesehatan dan

p. Pemberian hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Sebagimana yang diuraikan sebelumnya diketahui bahwa pada hakikatnya

anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai macam tindakan yang dapat

menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial, dalam berbagai bidang kehidupan.

Maka dari itu anak harus dibantu oleh orang lain dalam melindungi dirinya,

mengingat situasi dan kondisinya, khususnya dalam Pelaksanaan Peradilan Pidana

Anak yang asing bagi dirinya. Anak perlu mendapat perlindungan dari kesalahan

penerapan peraturan perundang-undangan yang diberlakukan terhadap dirinya,

karna dapat menimbulkan kerugian mental, fisik, dan sosial. Sehingga anak wajib

dilindungi agar mereka tidak menjadi korban tindakan individu, kelompok,

organisasi swasta maupun pemerintah baik secara langsung maupun tidak

langsung.

BAB III
PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN SANKSI DOUBLE
TRACK SYSTEM BAGI ANAK DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
ANAK

A. Hakim Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak


41

Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menjelaskan

mengenai peran dan tugas Hakim Tingkat Pertama, Hakim Banding dan Hakim

Kasasi, yaitu:

1. Hakim Tingkat Pertama

a. Pasal 43 UU No. 11 Tahun 2012

1) Pemeriksaan disidang pengadilan terhadap perkara anak dilakukan

oleh hakim yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah

Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Ketua Mahkamah atas usul

Ketua Pengadilan Negri yang bersangkutan melalui Ketua Pengadilan

Tinggi.

2) Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai hakim, sebagaimana dimaksud

pada ayat 1 yaitu:

a) telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan peradilan

umum

b) mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak

c) telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan anak

3) Dalam hal belum terdapat hakim yang memenuhi persyaratan

sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tugas pemeriksaan disidang anak

dilaksanakan oleh hakim yang melakukan pemeriksaan bagi tindak

pidana yang dilakukan oleh orang dewasa.

b. Pasal 44 UU No. 11 Tahun 2012

1) Hakim memeriksa dan memutuskan perkara anak dalam tingkat

pertama dengan hakim tunggal


42

2) Ketua Pengadilan Negri dapat menetapkan pemeriksaan perkara anak

dengan hakim majelis dalam hal tindak pidana yang diancam dengan

pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih atau sulit pembuktiannya

3) Dalam setiap persidangan hakim hakim dibantu oleh seorang panitera

atau panitera pengganti.

2. Hakim Banding

a. Pasal 45 UU No.11 Tahun 2012

Hakim banding ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah

Agung Atas usul Ketuan pengadilan tinggi yang bersangkutan.

b. Pasal 46 UU No. 11 Tahun 2012

Untuk dapat ditetapkan sebgai hakim banding berlaku syarat sebagaimana

dimaksud dlam Pasal 43 ayat (2)

c. Pasal 47 UU No. 11 Tahun 2012

1) Hakim banding memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat

pertama dan hakim tunggal

2) Ketua Pengadilan Tinggi dapat menetapkan pemeriksaan perkara anak

dengan hakim majelis dalam hal tindak pidana yang diancan dengan

pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih atau sulit pembuktiaanya

3) Dalam menjalankan tugasnya, hakim banding dibantu oleh seorang

panitera atau seorang panitera pengganti

3. Hakim Kasasi

a. Pasal 48 UU No. 11 Tahun 2012, Hakim Kasasi ditetapkan berdasarkan

Keputusan Ketua Mahkamah Agung


43

b. Pasal 49 UU NO. 11 Tahun 2012, Untuk dapat ditetapkan sebgai hakim

banding berlaku syarat sebagaimana dimaksud dlam Pasal 43 ayat (2)

c. Pasal 50 UU No. 11 Tahun 2012

1) Hakim kasasi memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat

pertama dan hakim tunggal

2) Ketua Mahkamah Agung dapat menetapkan pemeriksaan perkara

anak dengan hakim majelis dalam hal tindak pidana yang diancam

dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih atau sulit

pembuktiaanya

3) Dalam menjalankan tugasnya, hakim kasasi dibantu oleh seorang

panitera atau seorang panitera pengganti

Tugas Pokok Hakim adalah mengadili, memeriksa dan memutuskan suatu

perkara, tidak boleh menolak dengan alasan hukumnnya tidak jelas, atau UU tidak

mengaturnya, maka merupakan kewajiban bagi hakim untuk memutuskan setiap

perkara yang diajukan kepadanya. Sering Hakim dihadapkan suatu dilema

diantara menerapkan peraturan perundang-undangan atau menyimpangi aturan

demi mencapai keadilan secara substantif. Melalu pemeriksaan di persidangan

Hakim dituntut cekatan, tanggap, dan aktif menggorek data dan informasi,

menyimak dan menganalisis keterangan, serta menelusuri bukti-bukti yang

diragukan oleh Hakim.56

56
Erwantoni, Kewenangan Hakim Dalam Menetapkan Saksi Dan Pihak Lainnya
Menjadi Tersangka Dihubungkan Dengan Kebebasan Dan Tanggung Jawab Hakim Dalam
Menegakkan Keadilan, Thesis, UNPAS, Bandung, 2017, hlm. 1
44

Hakim dalam menyelesaikan konflik yang dihadapkan kepadanya harus

dapat menyelesaikan secara obyektif berdasarkan hukum yang berlaku, maka

dalam proses pengambilan keputusan, para hakim harus mandiri dan bebas dari

pengaruh pihak manapun, termasuk dari eksekutif. Dalam pengambilan

keputusan, para hakim hanya terikat pada fakta-fakta yang relevan dan kaidah

hukum yang menjadi atau dijadikan landasan hukum keputusannya.57

Dengan demikian, jelas bahwa hakim atau para hakim memiliki kekuasaan

yang besar terhadap para pihak yang bersengketa berkenaan dengan masalah atau

konflik yang dihadapkan kepada hakim atau para hakim tersebut. Namun dengan

demikian berarti pula bahwa para hakim dalam menjalankan tugasnya

sepenuhnya memikul tanggung jawab yang besar dan harus menyadari tanggung

jawabnya tersebut, sebab keputusan hakim dapat membawa akibat yang sangat

jauh pada kehidupan orang-orang lain yang terkena oleh jangkauan keputusan

tersebut. Keputusan hakim yang tidak adil bahkan dapat membekas dalam batin

para pihak yang bersangkutan sepanjang perjalanan hidupnya.58

Dalam UU sistem peradilan pidana anak, hakim boleh memutuskan untuk

menangani perkara anak nakal di luar pengadilan, hal tersebut dilakukan

dengan dua cara, yaitu:

a. Keadilan Restorative, yang merupakan penyelesaian perkara tindak pidana

dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain

yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan

57
Firman Floranta Adonara, Prinsip Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara Sebagai
Amanat Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Vol. 12, No. 2, Jember, 2015, hlm. 2
58
Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hakim, Sinar Grafika, Jakarta , 2002, hlm. 29.
45

menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan

pembalasan (Pasal 1 Angka 6)

b. Diversi, yaitu pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan

pidana ke proses di luar peradilan pidana (Pasal 1 Angka 7). Pada

dasarnya, diversi ini dilakukan pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan

pemeriksaan perkara anak di sidang pengadilan dan dilaksanakan dalam

hal tindak pidana yang dilakukan dengan diancam pidana penjara di bawah

7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana

(recidive). Selain itu, hakikat pokok dilakukan diversi bertujuan untuk

mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara

anak di luar proses peradilan, menghindari anak dari perampasan

kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan

menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

Dalam dua upaya ini, Hakim bertindak sebagai mediator untuk menengahi

permasalahan anak yang bermasalah dengan hukum, dan diharapkan dapat

mencapai suatu kesepakatan yang adil dan tidak berat sebelah.

B. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menetapkan Sanksi

Hakim yang menangani perkara pidana anak sedapat mungkin mengambil

tindakan yang tidak memisahkan anak dari orang tuannya, atas pertimbangan

bahwa rumah yang jelek lebih baik dari Lembaga Pemasyarakatan Anak yang

baik (a bad home is better then a good institution/prison). Hakim seyogianya


46

benar-benar teliti dan mengetahui segala latar belakang dan mengetahui segala

latar belakang anak sebelum sidang dilakukan. Dalam mengambil putusan, hakim

harus benar-benar memerhatikan kedewasaan emosional, mental dan intelektual

anak. Dihindarkan putusan Hakim yang mengakibatkan penderitaan batin seumur

hidup dan dendam pada anak, atas kesadaran bahwa putusan Hakim bermotif

perlindungan. Dalam mengambil keputusan, Hakim wajib mendegarkan dan

mempertimbangkan hasil penelitian Petugas Penelitian Kemasyarakatan bagi

hakim dalam menjatuhkan putusannya, harus bijaksana dan adil. Hakim

menjatuhkan putusan yang bersifat memperbaiki para pelanggar hukum dan

menegakkan kewibawaan hukum. Hakim yang memeriksa dan mengadili suatu

perkara, sebagai manusia tidak luput dari kekhilafan, lupa dan aneka ragam

kesalahan yang dapat menimbulkan kerugian pada orang lain.59

Umumnya bila Hakim telah mengetokkan palunya, dalam suatu perkara,

selalu ada pihak yang dirugikan, “Onrechtmatige overheidsdaad”. Apabila

kejadian ini terjadi pada tingkat Pengadilan Negri, maka akan dapat diperbaiki

dalam pengadilan yang lebih tinggi yaitu Pengadilan Tinggi atau Mahkamah

Agung, namun yang sulit adalah apabila kesalahan itu ada pada tingkat kasasi di

Mahkamah Agung. Bila tidak ada pilihan lain kecuali menjatuhkan pidana

terhadap anak, patut diperhatikan pidana yang tepat. Untuk memerhatikan hal

tersebut, patut dikemukakan sifat kejahatan yang dilakukan, yaitu perkembangan

jiwa anak, tempat menjalankan hukuman. Berdasarkan penelitian normatif,

59
Maidin Gultom, Op.Cit., hlm. 152
47

diketahui bahwa yang menjadi dasar pertimbangan bagi Hakim dalam

menjatuhkan putusan, antara lain:60

a. Keadaan psikologis anak pada saat melakukan tindak pidana

Hakim harus mengetahui latar belakang dan faktor-faktor penyebab anak

melakukan tindak pidana. Misalnya, anak melakukan tindak pidan tersebut

karna membela diri, anak dalam keadaan emosi, karna faktor lingkungan

atau pergaulan dan faktor-faktor yang demikian menjadi pertimbangan

bagi Hakim untuk menjatuhkan hukuman pada anak.

b. Keadaan psikologis anak setelah dipidana

Hakim harus memikirkan dapat atau akibat yang ditimbulkan terhadap

anak setelah dipidana. Pemidanaan anak bukan hanya bertujuan untuk

memidana, melainkan untuk menyadarkan anak, agar tidak melakukan

tindak pidana yang sama atau tindak pidana yang lainnya setelah

menjalani pidana. Perkembangan jiwa anak setelah menjalani pidana,

menjadi perhatian Hakim dalam menjatuhkan pidana, bila tidak demikian

halnya maka dikhawatirkan perkembangan jiwa anak bukan menjadi

semakin baik namun sebaliknya, anak akan menjadi lebih buruk. Dalam

menjatuhkan pidana, Hakim harus bisa mempertimbangkan/memprediksi

keadaan psikologis anak setelah dipidana.

c. Keadaan psikologis hakim dalam menjatuhkan Hukuman

60
Candra Hayatul Iman, Kebijakan Hukum Pidana Perlindungan Anak Dalam
Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Jurnal Hukum Dan Peradilan, Vol. 2 No.
3, Karawang, 2013, hlm. 12
48

Hakim harus mempertimbangkan berat ringannya kenakalan yang

dilakukan anak. jika kenakalan yang dilakukan anak menurut

pertimbangan Hakim sudah keterlaluan atau dapat membahayakan

masyarakat, maka hakim dapat menjatuhkan pidana atas pertimbangan

kepentingan anak, Hakim dapat memutuskan agar anak diserahkan ke

Departemen Sosial atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan untuk dididik

dilatih serta dibina.

Apabila hakim merasa perbuatan anak tidak terlalu berat atau tidak

membahayakan, maka hakim dapat mengembalikan anak kepada orang tua,

walinya/ Orang tua asuhnya untuk diperhatikan atau diawasi dan dibina kembali.

Diharapkan orang tua/wali/orang tua asuhnya dapat memahami atau menyadarkan

anak, agar tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan diri, keluarga, dan

masyarakat sekitarnya.

Pertimbangan terhadap kepribadian sipelaku, usia, tingkat pendidikan,

jenis kelamin, lingkungan, perlu mendapat perhatian. Pertimbangan keputusan

disesuaikan dengan kaidah-kaidah, asas-asas, dan keyakinan yang kukuh yang

berlaku didalam masyarakat, karna itu pengetahuan tentang sosiologi, psikologi

perlu dimiliki oleh Hakim. HAM dijadikan sebagai ukuran seseorang dipandang

bertanggung jawab atau tidak bertanggung jawab, sehingga keadilan tecermin

dalam putusan hakim.


49

Pedoman pertimbangan hakim agar penerapan pidana penjara, sejauh

mungkin tidak dijatuhkan dalam hal:61

a. Terdakwa masih sangat muda, yaitu dibawah 18 (delapan belas) tahun

b. Terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana;

c. Kerugian dan penderitaan korban tindak pidana, tidak terlalu berat;

d. Terdakwa telah membayar ganti rugi kepada korban;

e. Terdakwa tidak mengetahui bahwa tindak pidana yang dilakukannya

itu akan menimbulkan kerugian yang besar;

f. Tindak pidana terjadi karna hasutan yang kuat dari orang lain;

g. Korban tindak pidana mendorong terjadinya tindak pidana tersebut;

h. Tindak pidana tersebut merupakan akibat dari suatu keadaan yang

tidak mungkin terulang lagi;

i. Kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa dia tidak akan

melakukan tindak pidana lain;

j. Pidana perampasana kemerdekaan akan menimbulkan penderitaan

yang besar bagi terdakwa maupun bagi keluarga;

k. Pembinaan yang bersifat noninstitusional diperkirakan akan cukup

berhasil untuk diri terdakwa;

l. Penjatuhan pidana yang lebih ringan, tidak akan mengurangi sifat

beratnya tindak pidana yang dilakukan terdakwa;

m. Tindak pidana terjadi dikalangan keluarga atau

61
Mudzakkir, Kedudukan Korban Tindak Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana
Indonesia Berdasarkan KUHP Dan RUU KUHP, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 14, No.1, Yogyakarta,
2011, hlm.49
50

n. Terjadi karna kealpaan

Sehingga dapat diketahui bahwa dasar pertimbangan Hakim menjatuhkan

pidana terhadap anak, adalah latar belakang kehidupan anak yang meliputi

keadaan anak baik fisik, psikis, sosial maupun ekonominya, keadaan rumah

tangga orang tua atau walinya, keterangan mengenai anak sekolah atau tidak,

hubungan atau pergaulan anak dengan lingkungannya yang dapat diperoleh

Hakim dari laporan penelitian dari Peneliti Kemasyarakatan.

Dan pertimbangan juga harus dilakukan berdasarkan ringannya perbuatan,

keadaan pribadi anak, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan sehingga

kemudian hakim dapat mempertimbangkan untuk menjatuhkan pidana maupun

tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.

Namun harus diakui bahwa sistem sanksi dalam hukum pidana saat ini

menempatkan sanksi pidana sebagai sanksi ‘primadona”, sehingga keberadaan

sanksi tindakan tidak sepopuler sanksi pidana. Hal ini setidaknya mempengaruhi

pola pikir dan arah kebijakan baik dalam perumusan/formulasi maupun yang

diterapkan berkaitan dengan penggunaan sanksi tindakan yang terkesan menjadi

“sanksi pelengkap”. Pada akhirnya pemikiran demikian berpengaruh pada

putusan-putusan hakim yang didominasi oleh penggunaan sanksi pidana berupa

sanksi perampasan kemerdekaan dalam menjatuhkan pidana terhadap seseorang,

terutama terhadap kasus anak. Pemikiran bahwa pendekatan tradisional seolah-

olah sistim Tindakan hanya dikenakan bagi orang yang tidak mampu harus

ditinggalkan.62
62
Nashriana, Penganutan Asas Sistem Dua Jalur (Double Track System) Dalam
Melindungi Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum: Tinjauan Formulasi Dan Aplikasinya, Skripsi,
51

Oleh karna itu sebelum menjatuhkan sanksi terhadap anak, Hakim perlu

memerhatikan hal-hal yang dapat memberatkan dan hal-hal yang dapat

meringankan. Hal-hal yang dapat memberatkan seperti perbuatan tersebut

berlebihan, dan bahkan menyamai kejahatan yang dilakukan orang dewasa, anak

pernah dihukum, usianya sudah mendekati dewasa, anak cukup berbahaya. Hal-

hal yang meringankan seperti terdakwa mengakui terus terang perbuatannya,

terdakwa menyesali perbuatannya, terdakwa belum pernah dihukum, terdakwa

masih muda dan masih banyak kesempatan baginya untuk memperbaiki

kesalahannya, bila tindakannya dilatarbelakangi pengaruh yang kuat dari keadaan

lingkungannya, keluarga berantakan, anak ditelantarkan atau kurang diperhatikan

orang tuanya.

Tabel 1. Data Anak Binaan Lembaga Pemasyarakatan Anak Bulan Maret


2021 di Kantor Wilayah per Provinsi 63

Klasifikasi

No Kanwil Anak Negara Anak Sipil Anak Pidana Total

1 ACEH 3 0 51 54

2 BALI 3 0 5 8

3 BANGKA BELITUNG 0 0 32 32

4 BANTEN 0 0 56 56

5 BENGKULU 9 0 78 87

6 D.K.I YOGYAKARTA 0 0 33 33

7 DKI JAKARTA 6 0 61 67

Fakultas Hukum, Universitas Sriwijaya, Palembang, 2015, hlm. 10


63
http://smslap.ditjenpas.go.id/public/arl/current/monthly/year/2021/month/3, Sistem
Database Kemasyarakatan, Diakses Tanggal 11 April 2021
52

8 GORONTALO 6 0 0 6

9 JAMBI 4 0 4 8

10 JAWA BARAT 30 0 114 144

11 JAWA TENGAH 37 0 91 128

12 JAWA TIMUR 37 8 142 187

13 KALIMANTAN BARAT 15 0 41 56

14 KALIMANTAN SELATAN 12 0 39 51

15 KALIMANTAN TENGAH 3 0 27 30

16 KALIMANTAN TIMUR 9 0 57 66

17 KEPULAUAN RIAU 6 0 41 47

18 LAMPUNG 17 0 4 21

19 MALUKU 12 0 20 32

20 MALUKU UTARA 6 0 1 7

21 NUSA TENGGARA BARAT 0 0 41 41

22 NUSA TENGGARA TIMUR 17 0 39 56

23 PAPUA 15 0 18 33

24 PAPUA BARAT 9 0 1 10

25 RIAU 18 0 130 148

26 SULAWESI BARAT 4 0 15 19

27 SULAWESI SELATAN 28 0 66 94

28 SULAWESI TENGAH 65 0 3 68

29 SULAWESI TENGGARA 9 0 0 9

30 SULAWESI UTARA 27 0 0 27

31 SUMATERA BARAT 18 0 39 57

32 SUMATERA SELATAN 3 0 173 176

33 SUMATERA UTARA 25 0 123 148


53

Dari tabel di atas, dapat dipahami bahwa perbandingan aplikasi/penerapan

sanksi Tindakan sebagai alternatif sanksi Pidana ternyata masih relatif rendah,

karena dari 33 kota wilayah Indonesia penerapan sanksi pidana jauh lebih

mendominasi. Contohnya yang tertinggi terdapat pada Kanwil Sumatra Selatan

penerapan sanksi pidana mendominasi sangat jauh dengan angka 173 anak

sedangkan sanksi tindakan hanya berjumlah 3 anak. Dan Pengenaan sanksi

tindakan berupa pengembalian kepada orangtua/wali dan pengembalian kepada

lembaga sosial atau organisasi sosial kemasyarakatan, dengan perbandingan yang

tinggi dijumpai pada Kanwil Sulawesi Utara dengan 27 anak untuk sanksi

tindakan dan 0 anak untuk sanksi pidana.

Namun tabel diatas menunjukkan bahwa hakim masih menjadikan sanksi

pidana sebagai sanksi primadona sehingga lebih sering dijatuhkan terhadap anak

yang berkonflik dengan hukum, walaupun telah ada dasar-dasar pertimbangan

yang seharusnya dapat memberikan kesempatan bagi anak yang berkonflik

dengan hukum agar dapat dijatuhi sanksi yang lebih ringan atau berupa sanksi

tindakan.

Karna pertimbangan terhadap sanksi yang dijatuhkan kepada anak sangat

penting untuk menjaga kesejahtraan dan kepentingan anak itu sendiri. Karena

anak merupakan individu yang sedang menjalani tahap perkembangan menuju

dewasa. Pada masa masa transisi ini anak sering mengalami ketidakstabilan dalam

emosi dan kejiwaan. Pada masa transisi ini juga anak sedang mencari jati diri.

Namun sering kali dalam pencarian jati diri ini anak cenderung salah dalam
54

bergaul sehingga banyak melakukan hal yang menyimpang dari norma-norma

yang berlaku di masyarakat.64

Sehingga seharusnya anak tidak patut dijatuhi sanksi pidana apalagi masih

ada alternatif sanksi tindakan yang bisa dijatuhkan karna sanksi tindakan

bertujuan untuk perbaikan dan pembinaan bagi anak selaku individu yang tidak

stabil dalam emosi dan kejiwaannya.

BAB IV

64
Dianika Linda Puspitasari, Gambaran Psikologis: Konsep Diri Pada Anak Remaja di
Wilayah Banjir Rob, Jurnal Keperawatan Anak, Vol. 2, No. 2, Semarang, 2014, hlm. 117
55

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana anak telah menganut konsep

double track system yaitu sistem pidana dua jalur yang mengatur sanksi

pidana dan tindakan. Sanksi Pidana dalam sistem peradilan pidana anak

Terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan sedangkan sanksi tindakan

berupa pengembalian terhadap orang tua/wali, penyerahan kepada

seseorang, perawatan dirumah sakit jiwa, kewajiban mengikuti pendidikan

formal/pelatihan yang diadakan oleh pemerintah, perawatan di Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), pencabutan surat izin mengemudi

dan perbaikan akibat tindak pidana. Sistem pemidanaan dua jalur tersebut

merupakan konsep yang diciptakan untuk menjamin perlindungan

kepentingan anak yang berhadapan dengan hukum. Dengan memberikan

alternatif hukuman selain daripada sanksi pidana yaitu berupa sanksi

tindakan. Karna anak adalah individu yang perlu mendapatkan perhatian dan

perlakuan khusus termasuk saat berkonflik dengan hukum.

2. Dalam menjatuhkan sanksi terhadap anak hakim wajib mempertimbangkan

latar belakang kehidupan anak yang meliputi keadaan anak baik fisik, psikis,

sosial maupun ekonominya, keadaan rumah tangga orang tua atau walinya,

keterangan mengenai anak sekolah atau tidak, hubungan atau pergaulan anak

dengan lingkungannya.
56

B. Saran

1. Kepada aparatur penegak hukum khususnya hakim agar selalu

memperhatikan instrumen-instrumen hukum sebaik mungkin dalam

menjatuhkan putusannya, terutama terkait anak yang berkonflik dengan

hukum. Karna hal ini dapat menjadi salah satu mekanisme yang digunakan

sebagai strategi dalam memajukan kinerja lembaga penegakan hukum yang

adil.

2. Agar aparatur penegak hukum khususnya hakim yang memiliki peran yang

sangat besar dalam persidangan untuk berusaha semaksimal mungkin

mengurangi penjatuhan sanksi pidana yang relatif masih sangat tinggi.

Anda mungkin juga menyukai