Anda di halaman 1dari 18

TUGAS TEORI HUKUM

PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE TERHADAP TINDAK PIDANA ANAK


DENGAN ANCAMAN PIDANA 7 (Tujuh) TAHUN ATAU LEBIH
YANG BERORIENTASI PADA KEPENTINGAN TERBAIK BAGI ANAK

Dosen Pengampu :

PROF. DR. HIBNU NUGROHO, S.H., M.H.

Disusun Oleh :

WIKAN SINATRIO AJI

E3A022017

Kelas Kerjasama Kejaksaan Republik Indonesia

PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU HUKUM


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
2022
ABSTRACT

Masa pertumbuhan anak haruslah selalu mendapatkan pengawasan dan pengarahan dari
orang sekitarnya, terutama orang tua. Selain itu, apabila seorang anak berkonflik dengan
hukum, maka harus dipikirkan bagaimana pembinaan anak tersebut agar bisa kembali
kepada lingkungan anak-anak seusianya. Orientasinya harus kepada pembinaan
(restorative) bukan penghukuman kepada anak. Anak yang berkonflik dengan hukum atau
tindak pidana yang dilakukan oleh anak selalu menuai kritikan terhadap para penegak
hukum yang dinilai oleh banyak kalangan tidak mengindahkan tata cara penanganan khusus
terhadap anak. Selain itu ada kesan kerap kali anak diperlakukan sebagai orang dewasa
dalam “bentuk kecil” yang melakukan tindak pidana. Proses penanganan anak sebagai
pelaku tindak pidana yang diancam pidana 7 tahun atau atau lebih kerap kali dilaksanakan
tanpa memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. Tujuan dilakukannya penelitian ini
adalah untuk mengetahui apakah konsep Restorative Justice dapat melengkapi penyelesaian
penanganan anak yang berkonfik dengan hukum dan bagaimana penerapan Restorative
Justice terhadap tindak pindana anak yang diancam dengan pidana 7 tahun atau lebih.
Penelitian dilakukan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapat diperoleh
hasil penelitian bahwa Konsep Restorative Justice dapat melengkapi penyelesaian anak yang
berkonflik dengan hukum khususnya terhadap anak yang diancam pidana 7 tahun atau
lebih, karena Restorative Justice dapat memperjuangkan hak-hak anak secara fundamental.
Selanjutnya penerapan Restorative Justice terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana yang
diancam pidana diatas 7 tahun atau atau lebih dapat mengikuti mekanisme diversi yang
telah ada yaitu pengalihan hukum dari proses pidana ke proses luar pidana. Penerapan
proses divesi dengan prinsip Restorative Justice dikenal dengan adanya proses mediasi,
negosiasi antara pelaku tindak pidana, korban, keluarga pelaku dan/atau korban, masyarat
serta penegak hukum guna mencari solusi terbaik bagi permasalahan anak sebagai pelaku
tindak pidana.

Kata Kunci : Restorative Justice, Tindak Pidana Anak, Ancaman Pidana 7 tahun atau lebih.

1
I. Pendahuluan

Dalam perkara anak yang berkonflik dengan hukum, di usia anak yang masih
sangat muda mereka menjalani proses hukum yang panjang dan melelahkan. Mulai
dari tahap penyidikan oleh polisi, penuntutan oleh jaksa, persidangan oleh hakim dan
pelaksaan putusan pengadilan. Sejak tahap penyidikan aparat hukum telah diberi
kewenangan oleh undang-undang untuk melakukan penahanan. Situasi dalam
tahanan dapat memberikan beban mental berlipat bagi anak dan tekanan psikologis
yang harus mereka hadapi saat duduk dalam persidangan sebagai pesakitan. Proses
penghukuman yang diberikan kepada anak melalui sistem peradilan pidana formal
dengan memasukkan anak ke dalam tahanan, ternyata tidak berhasil menjadikan anak
jera dan menjadi pribadi yang lebih baik untuk menunjang proses tumbuh-
kembangnya. Rumah tahanan justru seringkali membuat anak semakin belajar
melakukan kejahatan. Dapat dikarenakan anak tersebut berbaur dengan anak lain
yang juga berkonflik dengan hukum atau bahkan berbaur dengan para narapidana
dewasa di dalam rumah tahanan.1
Salah satu upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum saat ini melalui penyelenggaraan Sistem Peradilan Pidana
Anak (SPPA). Secara Nasional, Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), dalam undang-undang tersebut
Pasal 6 sampai dengan Pasal 15 terdapat ketentuan diversi yang merupakan
pembaharuan dalam sistem peradilan pidana anak. Diversi merupakan sebuah
tindakan atau perlakuan mengalihkan suatu kasus dari proses formal ke informal, atau
menempatkan keluar pelaku tindak pidana anak kepada Sistem Peradilan Pidana Anak
(SPPA) yang bersifat khusus.2 Artinya, tidak semua masalah perkara anak berkonflik
dengan hukum harus diselesaikan melalui jalur peradilan formal dan memberikan
alternatif penyelesaian dengan menggunakan pendekatan restorative justice demi
kepentingan terbaik bagi anak serta dengan mempertimbangkan keadilan bagi korban
dan masyarakat.
Diversi merupakan kebijakan yang dilakukan untuk menghindarkan pelaku dari
sistem peradilan pidana formal. Selain itu, dilakukan untuk memberikan perlindungan

1
M.Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek hukum Perlindungan Anak dalam Prespektif Konvensi Hak Anak ,
(Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999) halaman 1.
2
Marlina, Peradilan Pidana Anak di di Indonesia Perkembangan Konsep Diversi Dan Restorative Justice ,
(Bandung: Refika Aditama, 2009), halaman 158.

2
dan rehabilitasi kepada pelaku sebagai upaya untuk mencegah anak menjadi pelaku
kriminal dewasa. Konsep dari diversi yaitu tindakan persuasif atau pendekatan dan
pemberian kesempatan kepada pelaku untuk berubah. 3 Menurut Setya Wahyudi,
diversi sebagai bentuk pengalihan atau penyampingan penanganan kenakalan anak
dari proses peradilan anak konvensional ke arah penanganan anak yang lebih bersifat
pelayanan kemasyarakatan, dan dilakukan untuk menghindarkan anak pelaku dari
dampak negatif praktek penyelenggaraan peradilan anak konvensional. 4
Dalam proses pelaksanaan Diversi dilakukan pendekatan restorative justice, Lilik
Mulyadi menyebutnya dengan istilah keadilan atau peradilan berbasis musyawarah. 5
Karena dalam proses diversi dengan pendekatan restorative justice, diupayakan untuk
menghadirkan seluruh elemen masyarakat yang terkait dengan kasus anak. Mulai dari
wakil pihak korban (jika ada korban), wakil dari pihak pelaku, wakil dari aparat desa
atau dinas terkait, dan aparat penegak hukum sebagai mediator diversi.
Pada praktek penanganan anak yang berkonflik dengan hukum di di Indonesia,
sebagaian besar aparat penegak hukum belum menghayati filosofi perlindungan anak
dan konsep penerapan diversi. Seperti halnya pada beberapa kasus penanganan anak
yang berkonflik dengan hukum merupakan perkara anak tanpa adanya korban.
Seyogyanya alternatif penyelesaian melalui diversi dengan pendekatan restoratitive
justice sangat mungkin dilakukan dalam penanganan perkara anak tanpa adanya
korban, dikarenakan tidak lagi diperlukan persetujuan korban untuk keberhasilan
proses diversi, penegak hukum sebagai mediator seyogyanya dapat berfokus pada
bagaimana tindakan dan upaya untuk membina anak pelaku agar setelah mengalami
peristiwa hukum ini, anak pelaku dapat mengambil pembelajaran untuk menjadi anak
yang lebih baik dkedepannya. Kecenderungan di lapangan kasus-kasus perkara anak
langsung diproses tanpa didahului dengan kajian ataupun telaah mendalam terkait
kekhususan penanganan perkara yang pelakuknya adalah anak-anak. Sebagaian besar
aparat penegak hukum secara an sich menggunakan sudut pandang peraturan semata
yaitu ketentuan Pasal 7 UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
(selanjutnya disebut “UU SPPA”) yang apabila dimaknai secara positivisme
memberikan persyaratan sangat limitatif terhadap kriteria anak berkonflik dengan
hukum yang dapat dilaksanakan diversi. Praktek seperti inilah yang menurut penulis
kurang sesuai dengan semangat Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak

3
Loc Cit.
4
Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia,
(Yogyakarta: Genta Publishing, 2011)., halaman 59.
5
Lilik mulyadi, Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia, (Bandung: Alumni, 2014), halaman 114.

3
(SPPA) yang menjunjung tinggi prinsip kepentingan terbaik bagi anak dan prinsip
restorative justice.

II. Permasalahan

Bagaimana mengkontruksikan kebijakan formulasi diversi dengan pendekatan


restorative justice dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak (SPPA) yang Berorientasi Pada Kepentingan Terbaik Bagi Anak?

III. Originalitas

1. Judul Disertasi:

Keadilan Restoratif Di Indonesia (Studi Tentang Kemungkinan


Penerapan Pendekatan Keadilan Restoratif Justice Dalam Praktek
Penegakan Hukum Pidana)

Penulis:

EVA ACHANI ZULFA (PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM UNIVERSITAS


INDONESIA 2009)

Bahwa perbedaan dengan kerangka usulan disertasi yang akan penulis teliti
adalah terkait dengan ruang lingkup penelitian, pada disertasi yang ditulis Sdri.
EVA ACHANI ZULFA adalah penelitian dengan ruang lingkup penerapan Keadilan
Restoratif pada semua lini penegakan Hukum Pidana. Sedangkan penulis hanya
fokus pada penerapan Restoratife Justice terhadap tindak pidana anak dengan
ancaman pidana 7 (tujuh) tahun atau lebih yang berorientasi pada kepentingan
terbaik bagi anak.

2. Judul Disertasi:

Esensi Diversi Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Terhadap Harta Benda

Penulis:

ABDURRIFAI (PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM UNIVERSITAS


HASANUDIN MAKASSAR 2021)

Bahwa perbedaan dengan kerangka usulan disertasi yang akan penulis teliti
adalah terkait dengan jenis tindak pidana yang dilakukan dan pelaku tindak pidana
yang diteli, pada disertasi yang ditulis Sdr. ABDURRIFAI adalah kajian tentang

4
penerapan diversi dengan pendekatan Restorative Justice dapat diterapkan kepada
semua pelaku tindak pidana (tidak hanya dalam kasus anak) khususnya tindak
pidana terhadap harta benda. Sedangkan penulis hanya fokus pada penerapan
Restoratife Justice terhadap tindak pidana anak dengan ancaman pidana 7 (tujuh)
tahun atau lebih yang berorientasi pada kepentingan terbaik bagi anak.

IV. Metode Penelitian

Dalam penelitian hukum terdapat beberapa jenis pendekatan antara lain


pendekatan dalam penelitian hukum normative dan penelitian hukum empiris. 6
Penelitian pada bahan pustaka (data sekunder) dinamakan penelitian hukum normatif.
Penelitian hukum normative ini sendiri perlu untuk dilaksanakan mengingat hukum
merupakan keseluruhan asas dan kaidah yang mengatur hubungan antar manusia.
Penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian
terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertical dan
horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum.
Dalam penulisan artikel ini peneliti akan menggunakan metode penelitian hukum
normatif dengan melakukan penelitian terhadap asas hukum, sistematika hukum dan
perbandingan hukum. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan ( Library
Research) yang membutuhkan banyak kajian dokumen. Alat pengumpul datanya
adalah studi dokumen dan data lapangan.

V. Teori Hukum Yang Digunakan

1. Teori Sistem Hukum

Teori Sistem Hukum Berdasarkan pada pendekatan sistematik sebagaimana


dikemukakan sebelumnya, maka teori sistem hukum dapat dijadikan sebagai
landasan dalam menganalisa pokok permasalahan yang diajukan dalam disertasi
ini adalah teori sistem hukum dari Lawrence M. Friedman. Lawrence M. Friedman
mengemukakan bahwa: Tiga unsur sistem hukum (Three Elements of Legal
System), yakni struktur hukum (Structure of Law), Substansi Hukum (Substance of
The Law), dan Budaya Hukum (legal Culture). 7 Penjelasan selanjutnya dijelaskan
Lawrence M. Friedman bahwa unsur sistem hukum terdiri dari: 8
6
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2005, halaman 29.
7
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Rampai Kolom dan Artikel Pilihan Dalam Bidang Hukum), Jakarta, Kencana
Prenada Media Group, 2008, halaman 9.
8
Salim HS, Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi (Buku Ketiga),
Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2013, halaman 305-306.

5
1) Unsur substansi meliputi: Aturan, norma, dan perilaku nyata manusia yang
berada dalam sistem hokum. Produk yang dihasilkan oleh orang yang berada
di dalam sistem hukum itu keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru
yang mereka susun.
2) Unsur struktur sistem hukum terdiri dari: Unsur-unsur, jumlah dan ukuran
pengadilan, yurisdiksinya (yaitu jenis kasus yang mereka periksa dan
bagaimana serta mengapa); cara naik banding dari satu pengadilan ke
pengadilan lainnya; dan bagaimana badan legislatif ditata, berapa banyak
orang yang duduk di Komisi Dagang Federal, apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan, prosedur yang harus di ikuti.
3) Unsur budaya hukum, meliputi sikap-sikap dan nilai-nilai yang ada hubungan
dengan hukum dan sistem hukum, berikut sikap dan nilai-nilai yang
memberikan pengaruh baik positif maupun negatif kepada tingkah laku yang
berkaitan dengan hukum. Budaya hukum dibedakan menjadi dua macam:
Kultur hukum eksternal sama dengan kultur hukum yang ada pada populasi
umum dan kultur hukum internal sama dengan kultur hukum para masyarakat
yang menjalankan tugas-tugas hukum yang terspesialisasi.
Sistem hukum mempunyai sistem yang digambarkan sebagai kerangka atau
rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberikan bentuk batasan
terhadap keseluruhan.9

Jika kita berbicara tentang sturktur sistem hukum di Indonesia maka yang
termasuk di dalamnya struktur institusi-institusi penegakan hukum antara lain:
Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Misalnya kita berbicara tetang kepolisian
maka mulai dari yang terendah adalah polsek yang berada di setiap kecamatan,
hingga yang terpuncak adalah Kapolri. Aspek lain dari sistem hukum adalah
susbstansinya. Yang dimaksud dengan susbstansi adalah aturan, norma, dan pola
perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. 10 Dalam kaitannya dengan
budaya hukum ini, Lawrence M. Friedman selanjutnya mengartikan budaya hukum
sebagai suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana
hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Tanpa budaya hukum maka
sistem hukum itu sendiri tidak akan berdaya.11

9
Lawrence M. Friedman, American Law and Intoduction, 2nd Edition, Terjemahan Wishnu Basuki, Jakarta, PT.
Tata Nusa, 2001, halaman 7.
10
Ibid, halaman 7.
11
Ibid, halaman 8.

6
2. Diversi dan Restorative Justice

i. Pengertian Otentik dan Ruang Lingkup Diversi


Diversi secara filosofis dicanangkan dalam Peraturan-Peraturan Minimum
Standar Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Administrasi Peradilan bagi
Anak (United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of
Junvinile Justice/SMRJJ) atau The Beijing Rules adopted by General Assembly
resolution 40/33 of November 1985, dimana prinsip-prinsip Diversi ( diversion)
tercantum dalam Rule 11 dan 17.4.
Selanjutnya dalam Comementary Rule 11 tentang diversi, dijelaskan bahwa
pada substansinya diversi khususnya ditujukan untuk tindak pidana yang tidak
serius (the offence of non-serious nature), namun selanjutnya dikemukakan,
bahwa diversi itu tidak perlu dibatasi pada kasus-kasus kecil / ringan, sehingga
menjadikan diversi sebagai alat/instrumen penting ( It need not necessarily be
limited to petty cases, thus rendering diversion an important instrument ).
Selain itu diversi juga diatur dalam Rule 17.4 ‘The Competent authority
shall have the power to discontinue the proceeeding at any time’. Dimana
ditentukan bahwa setiap pejabat yang berwenang mempunyai kekuasaan
untuk tidak melanjutkan proses pada setiap saat ( have the power to
discontinue the proceeeding at any time ). Kekuasaan pejabat mempunyai
kewenangan ini didasarkan pada ciri atau karakteristik yanng melekat di dalam
menangani pelanggar anak (a characteristic inherent in the handling of
juvenile offenders), yang berbeda dengan pemeriksaan terhadap pelanggar
dewasa. Pada setiap saat, keadaan-keadaan tertentu dapat diketahui oleh
pihak berwenang secara hukum yang akan membuat penghentian sepenuhnya
dari intervensi sebagai pernyataan keputusan yang terbaik terhadap perkara
tersebut.
Maka Berdasarkan United Nation Stadard Minimum Rules for the
Administration of Junvinele Justice (The Beijing Rules), diversi (diversion)
adalah pemberian kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk
mengambil tindakan–tindakan kebijaksanaan dalam menangani atau
menyelesaikan masalah pelanggar anak dengan tidak mengambil jalan formal
antara lain menghentikan atau tidak meneruskan/melepaskan dari proses
peradilan pidana untuk dikembalikan/ diserahkan kepada masyarakat dan
bentuk-bentuk kegiatan pelayanan sosial lainnya. Penerapan diversi dapat

7
dilakukan di dalam semua tingkatan pemeriksaan yang dimaksudkan untuk
mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam proses peradilan. 12
Adapun tujuan spesifik dari diversi berorientasi kepada dimensi mencapai
perdamaian antar korban dan anak, menghindarkan anak dari perampasan
kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam
menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak. 13

ii. Pengertian dan Ruang Lingkup Restorative Justice


“Restorative Justice” atau sering diterjemahkan sebagai keadilan restoratif,
merupakan suatu model pendekatan yang muncul dalam era tahun1960-an
dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Berbeda dengan pendekatan yang
dipakai pada sistem pidana konvensional, pendekatan ini menitikberatkan pada
adanya partisipasi langsung pelaku, korban dan masyarakat dalam proses
penyelesaian perkara pidana. Terlepas dari kenyataan bahwa pendekatan ini
masih diperdebatkan secara teoritis. Akan tetapi, pandangan ini pada
kenyataannya berkembang dan banyak mempengaruhi kebijakan hukum dan
praktik di berbagai negara.14
Penanganan perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif
menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan
menangani suatu tindak pidana. Dalam keadilan restoratif, makna tindak
pidana pada dasarnya sama seperti pandangan hukum pidana pada umumnya,
yaitu serangan terhadap individu dan masyarakat serta hubungan
kemasyarakatan. Akan tetapi, dalam pendekatan keadilan restoratif, korban
utama atas terjadinya suatu tindak pidana bukanlah negara, sebagaimana
dalam sistem peradilan pada umumnya, oleh karena itu kejahatan menciptakan
kewajiban untuk membenahi rusaknya hubungan akibat terjadinya suatu tindak
pidana. Sementara keadilan restoratif dimaknai sebagai proses pencarian
pemecahan masalah yang terjadi atas suatu perkara pidana dimana
keterlibatan korban, masyarakat dan pelaku menjadi penting dalam usaha
perbaikan, rekonsiliasi dan jaminan keberlangsungan usaha perbaikan
tersebut.15

12
Setya Wahyudi, Op. Cit., halaman 56.
13
Pasal 6 UU Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia
14
Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif, (Jakarta: Badan Penerbit FH UI, 2009), halaman 1.
15
Ibid., halaman 2-3.

8
Pendekatan keadilan restoratif diasumsikan sebagai pergeseran paling
mutakhir dari berbagai model dan mekanisme yang bekerja dalam sistem
peradilan pidana dalam menangani perkara-perkara pidana saat ini. PBB
melalui bacic priciples menilai bahwa pendekatan keadilan restoratif adalah
pendekatan yang dipakai dalam sistem peradilan pidana yang rasional. Hal ini
sejalan dengan pandangan G.P Hoefnagels yang menyatakan bahwa politik
kriminal harus rasional (a rational total of the responses to crime ).16
Pendekatan keadilan restoratif merupakan suatu paradigma yang dapat dipakai
sebagai bingkai dari strategi penanganan perkara pidana yang bertujuan
menjawab ketidak puasan atas bekerjanya sistem peradilan pidana yang ada
saat ini.17
Keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon
pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada
kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan
mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada saat ini. Disisi
lain, keadilan restoratif juga merupakan suatu kerangka berpikir yang baru
yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi penegak
hukum.18

3. Teori Interpretasi Hukum


“Het recht is er, doch het moet worden gevonden” demikian Paul Scholten
menyatakan bahwa hukum itu ada, tetapi masih harus ditemukan, adalah
suatu yang khayal apabila orang beranggapan bahwa undang-undang itu telah
mengatur segalanya secara tuntas. Oleh karena itu penemuan hukum berbeda
dengan penerapan hukum. Dalam penemuan hukum ditemukan sesuatu yang
baru yang dapat dilakukan, baik lewat penafsiran, analogi maupun
penghalusan hukum.19
Penegakan hukum tidak hanya dilakukan dengan logika penerapan hukum
yang mengandalkan penggunaan logika, melainkan melibatkan penilaian dan
memasuki ranah pemberian makna.20 Bahwa selanjutnya hukum tidak akan

16
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Hukum dan Pengembangan Hukum Pidana , (Bandung: CV
Citra Aditya Bakti, 1998), halaman 169.
17
Eva Achjani Zulfa, Op. Cit., halaman 3.
18
Ibid., halaman 4
19
Eddy O.S Hairiej, Asas Legalitas & Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Erlangga, 2009),
halaman 55.
20
Sacipto Raharo, Penafsiran Hukum yang Progresif dalam Anthon Freddy Susabto, (Bandung: Refika Aditama,
2005) halaman 9-11.

9
berjalan tanpa penafsiran, oleh karena hukum membutuhkan pemaknaan lebih
lanjut agar menjadi lebih adil dan membumi, maka akhirnya dalam
menjalankan undang–undang itu akan selalu berupa proses rechtvinding.21
Secara garis besar ada empat metode penafsiran yang umum dan sering
digunakan, Pertama, interpretasi gramatik, yaitu makna ketentuan undang-
undang yang ditafsirkan dengan cara menguraikan menurut bahasa umum
sehari-hari. Kedua, Interpretasi sistematis atau logis, yakni penafsiran
ketentuan perundang-undangan dengan menghubungkannya dengan
peraturan hukum atau undang-undang lain atau dengan keseluruhan sistem
hukum.
Ketiga, Interpretasi historis adalah penafsiran makna undang-undang
menurut terjadinya dengan meneliti sejarah terjadinya perundang-undangan
tersebut, interpretasi historis juga meliputi sejarah hukum.
Keempat, Interpretasi teleologis adalah penafsiran lebih kepada
bagaimana undang-undang dibuat sesuai dengan pembentuk undang-undang
dari pada bunyi kata-kata dari undang-undang tersebut disisi lain Interpretasi
teleologis juga harus memperhatikan konteks kenyataan kemasyarakatan yang
aktual.
Keempat metode interpretasi utama (gramatik, sistematis, historis, dan
teleologis) yang dikenal dalam ilmu hukum pada umumnya sebagaimana yang
telah diuraikan di atas, secara mutatis mutandis juga dikenal dalam lapangan
hukum pidana. Hanya saja, di sini kendatipun tidak ada prioritas penggunaan
berbagai metode interpretasi, paling tidak kita dapat mengatakan bahwa dalam
hukum pidana, interpretasi gramatikal menempati urutan yang lebih penting
bila dibandingkan dalam hukum keperdataan. Akan tetapi dalam hukum pidana
sendiri, interpretasi historis –historia legis– memiliki peranan yang penting.
Konsekuensinya, travaux preparatories menjadi urgen dalam penemuan
hukum. Namun yang lebih utama dari berbagai interpretasi dalam hukum
pidana adalah interpretasi teleologis. Dengan demikian, jika diurutkan
berdasarkan prioritas interpretasi dalam hukum pidana, interpretasi teleologis
menempati urutan pertama, kemudian disusul interpretasi historis, lalu
interpretasi gramatikal, dan pada akhirnya interpretasi sistematis.22

21
Rechvinding pada hakikatnya adalah penemuan hukum baik itu melalui penafsiran atau penciptaan yang
disarikan dari pendapat Paul Scholten dalam Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010),
halaman 116.
22
Eddy O.S Hairiej, Op. Cit., halaman 66-69.

10
VI. Analisis

Sistem Hukum Pidana Anak di Indonesia telah memasuki babak baru dalam
perkembangannya. Salah satu bentuk pembaharuan yang ada dalam Hukum Pidana
Anak Indonesia adalah pengaturan mutakhir mengenai perspektif tujuan dan
pencapaian keadilan menuju perbaikan maupun pemulihan keadaan setelah peristiwa
dan proses peradilan pidana, yang dikenal dengan keadilan restoratif (restorative
justice). Pendekatan keadilan restoratif merupakan sebuah paradigma baru dalam
merespon terjadinya tindak pidana. Dalam perspektif pendekatan keadilan restoratif,
tindak pidana dipahami sebagai suatu sengketa atau konflik yang telah merusak
hubungan antar individu dan masyarakat (bukan sekedar sebagai pelanggaran hukum
yang langsung berhadapan dengan negara).23 Apabila ditinjau dari perkembangan ilmu
hukum pidana dan sifat pemidaan modern, terdapat konsep yang disebut pendekatan
hubungan Pelaku-Korban atau “Doer-Victims” Relationship, suatu pendekatan baru
yang telah menggantikan pendekatan perbuatan atau pelaku “ daad-dader
straftecht.”24
Pendekatan hubungan Pelaku–Korban ini kemudian diimplementasikan melalui
sarana berupa diversi melalui undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak (SPPA). Diversi adalah pengalihan terhadap penyelesaian
perkara anak dari proses peradilan pidana menuju proses di luar peradilan pidana.
Diversi sebagaimana ketentuan Pasal 7 dan Pasal 9 UU SPPA wajib dilakukan pada
tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di Pengadilan Negeri
dengan keadaan sebagai berikut: (i) tindak pidana yang dilakukan diancam penjara di
bawah 7 (tujuh) tahun; (ii) pelaku bukan merupakan pengulangan tindak pidana; dan
(iii) upaya diversi mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga anak korban.
Ketentuan ini menjelaskan bahwa terhadap anak yang melakukan tindak pidana yang
ancamannya lebih dari 7 (tujuh) tahun dan/atau merupakan sebuah pengulangan
maka tidak wajib untuk diupayakan diversi. Mengenai pengulangan tindak pidana,
artinya anak sebagai pelaku pernah melakukan tindak pidana baik itu sejenis maupun
tidak sejenis, termasuk tindak pidana yang pernah diselesaikan melalui diversi.
Mengenai fenomena pengulangan tindak pidana oleh anak menjadi bukti bahwa
tujuan diversi sebelumnya tidak tercapai, yakni tujuan untuk menanamkan rasa

23
Mark Umbreit, Restorative Juvenile Justice : Repairing the Harm of Youth Crime, edited by Gordon bazemore
and Lode Walgrave, (New York : Criminal Justice Press, 1999), halaman 213.
24
Dr. Ridwan Mansyur, SH., MH, “Keadilan Restoratif sebagai Tujuan Pelaksanaan Diversi Pada Sistem Peradilan
Pidana Anak” , (Jakarta : Artikel Mahkamah Agung, 2017), https://www.mahkamahagung.go.id/id/artikel/2613/

11
tanggung jawab kepada anak untuk tidak mengulangi perbuatan pidana. Oleh karena
itu, upaya diversi terhadapnya dapat saja diupayakan, akan tetapi bukan merupakan
sebuah kewajiban bagi penegak hukum.
Perdebatan mengenai wajib dan tidak wajib-nya diversi, menjadi suatu polemik di
kalangan akademisi maupun penegak hukum, oleh karena itu penulis mencoba
melakukan pecarian makna yang hakiki dari konsep diversi yang tercantum dalam
undang-undang SPPA. Berdasarkan teori penemuan dan pencarian hukum yang ada,
penulis memilih untuk mengaplikasikan teknik interpretasi teleologis sebagai pisau
penafsiran utama, dengan harapan dapat mendudukan makna diversi pada tempatnya
yang hakiki sesuai dengan historia legis. Dengan menggunakan interpretasi teleologis
maka idealnya penegak hukum diwajibkan untuk menafsirkan undang-undang sesuai
dengan tujuan pembentuk undang-undang membuatnya, dimana penegak hukum
akan dapat melihat dinamika pergulatan pikiran dan teori para pembentuk undang-
undang yang tertuang dan tercatat di dalam naskah akademis, risalah rapat dan daftar
inventaris masalah (DIM).
Masuk dalam pembahasan yang ada di dalam DIM (Daftar Inventaris Masalah),
pada awalnya pembahasan di tingkat Panja mengenai konsep diversi baik pemerintah
maupun fraksi-fraksi menyatakan sepakat dengan ide diversi yang disadur secara utuh
dari kovensi Internasional The Beijing Rules. Kemudian setelah masuk kepada
pembahasan teknis pelaksanaan diversi mulai terjadi perbedaan pandangan antara
pemerintah dan fraksi-fraksi di DPR tentang bagaimana konsep diversi ini akan
diimplementasikan. Dalam perdebatan itu, tampak masalah pokok berupa penentuan
pedoman apa yang harus digunakan dalam mengkualifikasikan anak pelaku yang
dapat diupayakan diversi. Sebagaimana arahan pimpinan panja RUU ini, M. Nasir
Djamil melalui F-PKS berpandangan bahwa tindak pidana yang dilakukan diversi ialah
perkara yang nilainya dapat dikesampingkan karena alasan keadilan restoratif,
misalnya kasus Raju yang pernah mengemuka, dan kasus anak-anak yang mencuri
voucher Rp10.000,- tetapi dipidana selama 7 (tujuh) tahun, hal ini tidak
mencerminkan keadilan restoratif. Usulan ini menegaskan bahwa F-PKS berpandangan
bahwa anak yang berkonflik dengan hukum khsusnya anak sebagai pelaku wajib
diupayakan diversi berapa pun ancaman hukumannya atau juga merupakan
25
pengulangan tindak pidana.
Usulan F-PKS tersebut rupanya tidak bisa diterima oleh kebanyakan fraksi dan juga
pemerintah, dengan alasan bahwa dalam suatu sistem peraturan yang memuat

25
M. Nasir Djamil, Op. Cit., halaman 139-140

12
pemidanaan, pemberian efek jera harus tetap eksis, sehingga harus ada batasan yang
jelas sebagai ukuran limitatif terhadap anak pelaku yang diberikan diversi. 26 Penulis
berpandangan bahwa alasan mayoritas fraksi dan pemerintah tersebut tidaklah
didasarkan kepada pengertian filosofis penangan anak yang berhadapan dengan
hukum, khususnya sebagai anak pelaku tindak pidana. Dalam melihat filosofis anak,
penulis merujuk kepada konvensi anak internasional yang fundamental yaitu,
Convention on the Right of the Child (Konvensi Hak-Hak Anak, “CRC”) merupakan
intrumen hukum HAM internasional yang paling komperhensif dan merupakan
intrumen hukum untuk melindungi hak-hak anak. CRC adalah konvensi pertama yang
secara lengkap menjamin perlindungan hak-hak anak dan secara eksplisit mengakui
anak sebagai pemilik aktif dari hak-hak mereka sendiri.27 Konvensi ini mengatur
standar-standar perlakuan, perawatan dan perlindungan terhadap semua anak, yang
mana CRC ini telah diadopsi oleh United Nation dan telah diratifikasi oleh 196 negara,
salah satunya Indonesia melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No.36 Tahun
1990 tentang peratifikasian CRC. Berdasarkan mukadimah Konvensi CRC, terdapat
substansi yang sangat penting yakni “Anak, karena ketidakmatangan fisik dan
mentalnya, membutuhkan perlindungan dan perawatan khusus, termasuk
perlindungan hukum yang layak, sebelum dan sesudah lahir” hal ini menurut penulis
merupakan suatu landasan utama dalam penangan perkara anak yang berhadapan
dengan hukum khusunya anak sebagai pelaku.
Para penegak hukum sudah sepatutnya melihat anak pelaku sebagai subjek hukum
yang mempunyai kekurangmatangan fisik dan mental sehingga sudut pandang dalam
melihat masalah anak haruslah holistik, bukan hanya menitikberatkan pada
perbuatannya saja. Dalam sudut pandang yang humanis, haruslah para penegak
hukum untuk memperhatikan sisi lain dari kehidupan anak tersebut, dengan adanya
kemungkinan bahwa anak pelaku dipandang sebagai korban, baik itu karena
lingkungan tumbuhnya ataupun didikan orang tua yang tidak benar. Penyelesaian
tindak pidana anak sebagai pelaku seyogyanya menerapkan pendekatan khusus
melalui diversi dan restorative justice demi menghindarkan anak dari stigma buruk
sistem peradilan pidana yang bertujuan semata-mata kepentingan terbaik bagi
tumbuh kembang anak kedepannya.

26
Ibid.
27
United Nations, ‘UN Treaty Collection: Status of the Convention on the Rights of the Child’ (United
Nations Treaty Collection, 2012) https://treaties.un.org/Pages/ViewDetails.aspx?s-rc=IND&mtdsg_no=IV-
11&chapter=4&clang=_en, diakses pada 10 Oktober 2022.

13
Selaras dengan pandangan Prof. Barda Nawawi Arief yang menyatakan bahwa
penyelenggaraan peradilan pidana anak memerlukan pendekatan khusus, yang berupa
perlindungan, dan perhatian khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum dan
peradilan. Dengan adanya pendekatan khusus, maka anak yang melakukan kejahatan
dipandang sebagai orang yang memerlukan bantuan, pengertian dan kasih sayang. 28
Selain itu, harus pula mengutamakan pendekatan persuasif-edukatif, daripada
pendekatan yuridis secara kacamata kuda. Maka dari itu, sejauh mungkin penegak
hukum harus menghindari proses hukum yang hanya bersifat menghukum, bersifat
degradasi mental dan penurunan semangat, serta menghindari proses stigmatisasi
yang dapat menghambat perkembangan kematangan dan kemandirian anak dalam
arti wajar.29 Pada akhirnya, perihal yang telah diutarakan di atas selaras dengan
pandangan F-PKS yang tertuang dalam DIM mengenai nilai tindak pidana yang
dilakukan oleh anak dapat dikesampingkan karena alasan keadilan restoratif bukalah
pandangan yang salah.
Adapun yang ingin penulis sampaikan, bahwa esensi makna dari Sistem Peradilan
Pidana Anak masih belum mendapatkan panggung yang layak. Terlalu sempit
pemahaman terhadap sistem diversi yang telah tersosialisasi, baik itu secara akademis
maupun teknis. Untuk menanggulangi hal tersebut, tentunya diperlukan penguasaan
terhadap teori interpretasi hukum dan juga kesediaan dalam mencari sumber daya
untuk mendukung sempurnanya interpretasi tersebut. Dalam kehidupan
bermasyarakat yang terbuka seperti saat ini, maka peradaban telah memaksa para
penegak hukum untuk dapat mengaplikasikan suatu peraturan sesuai dengan
tujuannya yang hakiki untuk mencapai keadilan substantif dalam penegakan hukum,
dan tidak lagi dapat menggunakan kacamata kuda positivism yang menempatkan
dirinya sebagai robot – robot hukum (la bouche de la loi).

VII. Simpulan

Bawha esensi makna dari Sistem Peradilan Pidana Anak masih belum mendapatkan
panggung yang layak. Terlalu sempit pemahaman terhadap sistem diversi yang telah
tersosialisasi, baik itu secara akademis maupun teknis. Untuk menanggulangi hal
tersebut, tentunya diperlukan penguasaan terhadap teori interpretasi hukum dan juga
kesediaan dalam mencari sumber daya untuk mendukung sempurnanya interpretasi
tersebut. Dalam kehidupan bermasyarakat yang terbuka seperti saat ini, maka

28
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 2010) halaman 123.
29
Ibid, halaman 124

14
peradaban telah memaksa para penegak hukum untuk dapat mengaplikasikan suatu
peraturan sesuai dengan tujuannya yang hakiki untuk mencapai keadilan substantif
dalam penegakan hukum, dan tidak lagi dapat menggunakan kacamata kuda
positivism yang menempatkan dirinya sebagai robot – robot hukum (la bouche de la
loi). Dengan demikian menurut penulis secara harfiah ketentuan diversi dapat
dimaknai, bahwa terhadap anak yang melakukan tindak pidana dengan ancaman 7
(tujuh) tahun atau lebih dan/atau merupakan sebuah pengulangan maka tidak
merupakan suatu kewajiban bagi penegak hukum untuk mengupayakannnya,
implikasinya diversi terhadap keadaan demikian tetap dapat diupayakan dengan
pertimbangan mendasar yaitu semata-mata demi kepentingan terbaik bagi anak.

VIII. Saran

Pembaharuan sistem peradilan pidana anak di Indonesia perlu dilakukan, terutama


dalam mengkontruksikan penjelasan detail mengenai diversi dan restorative justice
terhadap penanganan perkara anak yang ancaman pidananya diatas 7 (tujuh) tahun
atau lebih, maupun terkait tindak pidana tanpa korban . Selain itu untuk efektifitas
penegakan hukum, Aparat Penegak Hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah
Agung) dapat mengeluarkan aturan internal terkait guna memberikan pedoman
pelaksanaan diversi dan restorative justice serta mengisi kekosongan hukum yang
terjadi dalam ranah praktis.

15
DAFTAR PUSTAKA

Ali Achmad (2008), Menguak Tabir Hukum (Rampai Kolom dan Artikel Pilihan Dalam
Bidang Hukum), Kencana Prenada Media Group Jakarta

Barda Nawawi Arief (1998), Beberapa Aspek Kebijakan Hukum dan Pengembangan
Hukum Pidana, CV Citra Aditya Bakti Bandung

Eddy O.S Hairiej (2009), Asas Legalitas & Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana,
Erlangga Jakarta.

Eva Achjani Zulfa (2009), Keadilan Restoratif, Badan Penerbit FH UI Jakarta

Lawrence M. Friedman, American Law and Intoduction, 2nd Edition Terjemahan Wishnu
Basuki, PT. Tata Nusa Jakarta

Lilik Mulyadi (2014), Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia , Alumni Bandung.

Marlina (2009), Peradilan Pidana Anak di di Indonesia Perkembangan Konsep Diversi


Dan Restorative Justice,: Refika Aditama Bandung.

M. Joni & Zulchaina Z. Tanamas (1999), Aspek hukum Perlindungan Anak dalam
Prespektif Konvensi Hak Anak, Citra Aditya Bakti Yogyakarta.

Muladi dan Barda Nawawi Arief 2010, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni Bandung

M Nasir Djamil (2013), Anak Bukan Untuk Di Hukum, Sinar Grafika Jakarta.

Sacipto Raharo (2005), Penafsiran Hukum yang Progresif dalam Anthon Freddy
Susabto, Refika Aditama Bandung

Setya Wahyudi (2011), Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaharuan Sistem Peradilan
Pidana Anak Di Indonesia, Genta Publishing Yogyakarta.

Salim HS, Erlies Septiana Nurbani (2013), Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis
dan Disertasi (Buku Ketiga), Raja Grafindo Persada Yogyakarta.

16
Zainal Abidin Farid (2009), Hukum Pidana 1, Sinar Grafika Jakarta.

Dr. Ridwan Mansyur, SH., MH (2017), “ Keadilan Restoratif sebagai Tujuan Pelaksanaan
Diversi Pada Sistem Peradilan Pidana Anak” Artikel Mahkamah Agung Jakarta,
https://www.mahkamahagung.go.id/id/artikel/2613/

UNICEF 2009, The State of the World’s Children: Special edition UNICEF.

17

Anda mungkin juga menyukai