Anda di halaman 1dari 23

PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE TERHADAP ANAK KATEGORI

JUVENILE DELINQUENCY DI LINGKUNGAN SEKOLAH DALAM


SISTEM PERADILAN HUKUM PIDANA MENURUT PASAL 71 UNDANG-
UNDANG NO 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA
ANAK

Adella surya widiawati prasinta (41151010220189)


Semester II, C-13
Author’s email correspondence: adsypr013@gmail.com
Fakultas Hukum
Dini Ramdania, S.H., M.H1
Yayasan Pendidikan Tri Bhakti LanglangBuana
Universitas LanglangBuana

ABSTRAK
Restorative justice yang merupakan implementasi konsep dari diversi telah
dirumuskan dalam sistem peradilan pidana anak. Dengan menerapkan diversi dan
pendekatan restoratif, lingkungan sekolah dapat menciptakan sistem yang lebih
adil, berfokus pada pembelajaran, dan mendorong pertumbuhan positif siswa yang
terlibat dalam perilaku delinkuen. Melalui dukungan, pembinaan, dan upaya
kolaboratif, siswa memiliki kesempatan untuk mengubah perilaku mereka dan
mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan untuk tumbuh dan berkembang.
Penerapan- restorative justice dalam konteks anak kategori juvenile delinquency
di lingkungan sekolah memerlukan upaya yang konsisten dan kolaboratif dari
semua pihak terkait.

Kata kunci : juvenile delinquency, anak, sekolah, diversi, restorative justice.

ABSTRACT

Restorative justice, which is the implementation of the concept of diversion, has


been formulated in the juvenile criminal justice system. By implementing
diversion and restorative approaches, school environments can create a system
that is fairer, focuses on learning, and promotes positive growth of students who
engage in delinquent behavior. Through support, coaching, and collaborative
efforts, students have the opportunity to change their behavior and get the support
they need to grow and develop. The application of restorative justice in the
context of juvenile delinquency in the school environment requires consistent and
collaborative efforts from all relevant parties.

Keywords: juvenile delinquency, child, school, diversion, restorative justice.

1 Dosen pengajar di Fakultas Hukum, Universitas Langlang Buana, Bandung.


LATAR BELAKANG
Anak adalah tumpuan masa depan yang sangat penting bagi kelangsungan
kehidupan manusia di dunia ini. Mereka adalah generasi penerus yang akan
memimpin dan mengambil alih tanggung jawab untuk menjaga dan memajukan
bangsa di masa yang akan datang. Namun pada fakta nya saat ini banyak sekali
kasus dalam tindak kejahatan yang di lakukan oleh anak, hal ini menjadi serius
karena selain merugikan korban, juga dapat merusak masa depan anak tersebut.
Karena itulah, pendidikan dan pengasuhan anak menjadi sangat penting dalam
membentuk karakter, kepribadian, dan keterampilan yang dibutuhkan untuk
menghadapi tantangan masa depan.
Anak yang melakukan tindak pidana disebut dengan anak yang delinkuen
atau dalam hukum pidana dikatakan sebagai juvenile delinquency. Romli
Atmasasmita berpendapat bahwa juvenile delinquency adalah setiap perbuatan
atau perilaku seorang anak di bawah umur 18 Tahun dan belum menikah yang
melanggar norma hukum dan berlaku serta dapat membahayakan perkembangan
2
pribadi anak tersebut.
Penerapan restorative justice dalam sistem peradilan hukum pidana anak
kategori juvenile delinquency telah menjadi isu yang semakin penting dalam
penegakan hukum masa kini. Restorative Justice di implementasi kan ke dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Sistem Peradilan Pidana
3
Anak yang di dalamnya menjunjung tinggi harkat dan martabat anak.
Restorative justice adalah sebuah pendekatan yang memandang kejahatan
sebagai sebuah kerusakan yang terjadi pada hubungan sosial, bukan hanya
pelanggaran hukum semata. Oleh karena itu, pendekatan restorative justice
berusaha untuk memulihkan hubungan yang rusak dan memperbaiki dampak
negatif yang ditimbulkan oleh tindakan kriminal. Dalam konteks anak kategori
juvenile delinquency, penerapan restorative justice dapat membantu anak untuk
memperbaiki perilaku dan memahami dampak negatif dari tindakan kriminal yang
dilakukannya. Pendekatan restorasi juga dilakukan dengan alasan memberikan

2 Romli Armasasmita, Problema Kenakalan Anak-AnakRemaja, Armico, Bandung, 1983, hlm. 40.
3
Reyner Timothy Danielt, Penerapan Restorative justice terhadap tindak pidana anak pencurian
oleh anak di bawah umur, Jurnal Lex et Societatis, Vol. II/No. 6/Juli/2014, hlm. 16.

1
kesempatan kepada pelaku untuk menjadi orang baik kembali melalui jalur
informal dengan menggunakan sumber daya masyarakat, berusaha untuk
membawa keadilan terhadap kasus anak yang terlanjur melakukan kejahatan
melawan hukum, serta kepada urgensi penegak hukum. 4
Kebijakan Pemerintah dalam hal yang berkaitan dengan peradilan anak
adalah melindungi anak dari hukum, dimulai dari perlindungan khusus. Di sisi
lain itu adalah, undang-undang yang secara khusus mengatur peradilan anak. UU
No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak saat ini diganti dengan UU No. 11
Tahun 2012 tentang peradilan anak. Jadi perubahan ini adalah perubahan
perkembangan yang lebih baik untuk melindungi anak-anak yang diadili di
pengadilan. 5

Metode Penelitian
Penulisan ini menggunakan penelitian yuridis normatif. Soerjono Soekanto
dan Sri Mamuji menyebut penelitian ini sebagai penelitian hukum kepustakaan,
yang merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder belaka. 6 Penulisan Artikel ini menggunakan bahan
hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang
Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-Undang Perlindungan Anak,
sedangkan bahan hukum sekunder sebagai bahan rujukan yang digunakan antara
lain jurnal, buku-buku literatur yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak anak.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Undang-Undang, yaitu meninjau
ulang peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kepatuhan hak
anak-anak.

4
Lilik Purwastuti Yudaningsih, Penanganan perkara anak melalui Restorative justice, Jurnal
Ilmu Hukum, 2014, hlm. 40.
5
Rr. Susana Andi Meyrina, Restorative Justice in Juvenile Justice System Based on Law No. 11
Of 2012, Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 17 No. 1, Maret 2017: 92 -
107, hlm. 93.
hlm. 93.
6
H. Salim H.S dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan
Disertasi, Rajawali Pers, Jakarta, 2013, Hlm. 12.

2
HASIL DAN PEMBAHASAN
A) Anak kategori juvinile delinquency di lingkungan sekolah dasar

Berdasarkan Undang-undang Sistem Pengadilan Anak No. Pasal 11 Tahun


2012 menggunakan konsep anak yang melanggar hukum. Anak nakal adalah anak
yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas)
tahun dan diduga melakukan tindak pidana. Dan dasar hukum hak restitusi dalam
Pasal 24 (1) Konvensi Hak Sipil dan Politik, setiap anak berhak atas tindakan
perlindungan, karena statusnya sebagai anak di bawah umur harus dianggap
diakui sebagai dasar hukum untuk hakim untuk menghentikan kasus anak.
Putusan demikian sah karena hakim diberikan kebebasan dalam Pasal 28(1) UU
No 4 Tahun 2004, untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.7
Dipahami bahwa anak-anak adalah keturunan bangsa, karena mereka
memikul tugas bangsa di pundak mereka, yang tidak dilakukan oleh generasi
sebelumnya.8 Anak merupakan salah satu sumber daya manusia dan generasi
penerus bangsa ini patut mendapat perhatian khusus baik dari orang tua maupun
masyarakat dan pemerintah. Tujuannya adalah untuk mendidik anak-anak untuk
memperbaharui sumber daya manusia yang kuat dan berkualitas. Selain itu,
kepentingan anak harus diperhatikan untuk melayani sebagai dasar untuk
mengajar mereka yang bertanggung jawab untuk pelatihan. Bimbingan anak yang
bersangkutan dan tentunya penanggung jawab utama tersebut yakni orang tua.9
Anak adalah makhluk yang penuh keceriaan dan rasa ingin tahu, mereka
adalah titik terang dalam sebuah kehidupan. Proses belajar di sekolah memberikan
fondasi penting bagi perkembangan intelektual, emosional, dan sosial bagi
seorang anak.

7 Lilik Purwastuti Yudaningsih, op.Cit., hlm. 69.


8
Sunarjati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung: Alumni, 1991,
hlm. 154.
9 Abdul Hakim Garuda Nusantara, Prospek Perlindungan Anak, dalam Hukum

Dan Hak-Hak Anak, ed. Mulyana W. Kusumah , Jakarta: Rajawali dan Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia, 1986, hlm. 19.

3
Hal ini juga diperlukan sehubungan dengan pemeliharaan dan perkembangan
kehidupan anak lembaga hukum dan infrastruktur yang mengantisipasi masalah
yang mungkin timbul. Sarana dan prasarana yang relevan memperhatikan
kepentingan terbaik bagi anak dan kesejahteraan mereka tentang sikap dan
perilaku menyimpang yang memaksa anak. Berurusan dengan hukum atau pergi
ke pengadilan berarti sesuatu yang lain, Tujuan hukum ini adalah untuk mencegah
stigma atau tanda kejahatan dan kedengkian yang terjadi ketika anak terlibat
dalam kegiatan kriminal atau bersentuhan dengan hukum, serta rehabilitasi dan
resosialisasi anak. 10
Kenakalan anak atau dalam istilah asingnya disebut dengan Juvenile
Deliquency, dibahas dalam Badan Peradilan Amerika Serikat dalam usaha untuk
membentuk suatu Undang-Undang Peradilan Anak. Dua hal yang menjadi topik
pembicaraan utama yaitu segi pelanggaran hukumnya dan sifat tindakan anak
apakah sudah menyimpang dari norma yang berlaku dan melanggar hukum atau
tidak. Juvenile Deliquency adalah suatu tindakan atau perbuatan pelanggaran
norma, baik norma hukum maupun norma sosial yang dilakukan oleh anak-anak
usia muda. 11
Menurut para ahli, kenakalan remaja (juvenile delinquency) adalah perilaku
jahat (dursila), atau kejahatan/ kenakalan anak usia dini; merupakan gejala
penyakit sosial (patologis) pada anak dan remaja yang dihasilkan oleh suatu
bentuk pengabaian sosial, menurut Kartini Kartono (2011:6).
Kenakalan remaja sebagai kejahatan anak menurut Sudarsono (2012) dapat
memberikan pengaruh psikologis yang negatif bagi anak yang menjadi pelakunya.
Sedangkan menurut Ary (2010), kenakalan remaja adalah perbuatan anak yang
melanggar sosial, norma hukum, norma kelompok dan mengganggu ketenteraman
masyarakat hingga memaksa pihak berwenang untuk melakukan tindakan
pengamanan/ pencegahan.

10 Randy Pradityo, Restorative Justice In Juvenile Justice System, Jurnal Hukum dan Peradilan,
Volume 5 Nomor 3, November 2016, hlm. 320.
11 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, PT Refika Aditama Bandung, 2004, hlm. 11.

4
Faktor Penyebab Kenakalan Anak remaja
Anak remaja ditarik ke dalam dunia hubungan yang rusak karena berbagai
alasan. Karena masa remaja merupakan masa di mana kondisi psikologis remaja
mudah terpengaruh, hal ini biasanya diawali dengan mereka menjalin pertemanan
dengan teman-teman yang berdampak negatif. Perilaku 'nakal' remaja dapat
disebabkan oleh alasan internal atau eksternal .
a. Faktor Internal :
1. Krisis identitas
Remaja mungkin berintegrasi dalam dua cara karena perubahan biologis dan
sosiokultural. Pembentukan rasa konsistensi dalam hidup adalah langkah pertama.
Pencapaian identifikasi peran merupakan langkah kedua. Remaja yang tidak
menyelesaikan masa integrasi kedua menjadi nakal.
2. Ketidak cakupan dalam pengendalian diri
Remaja yang tidak mampu membedakan antara perilaku yang dapat diterima
dan perilaku yang tidak pantas akan tertarik pada perilaku 'nakal'. Demikian pula,
individu yang memahami perbedaan antara dua perilaku tetapi tidak memiliki
kontrol diri untuk bertindak sesuai dengan pengetahuan mereka.
b. Faktor Eksternal :
1. Keluarga
Perilaku negatif remaja dapat di picu oleh perceraian orang tua, kurangnya
komunikasi antar anggota keluarga, atau perselisihan keluarga. Bahkan
pendidikan keluarga yang tidak tepat, seperti memanjakan anak secara berlebihan,
gagal memberikan pendidikan agama, atau menolak kehadiran anak, dapat
berkontribusi pada kenakalan remaja.
2. Pengaruh kawan sepermainan yang kurang baik.
3.Komunitas / lingkungan tempat tinggal yang kurang baik.12
Kenakalan anak/ remaja merupakan fenomena sosial yang terjadi dan
berkembang di antara mereka sebagai akibat dari situasi sosial yang kurang baik
mempromosikan pengembangan pemuda. Di antara banyak orang Indikasi sering

12Hilma Nuraeni, Masalah kenakalan remaja, Jurnal pendidika luar sekolah, vol. 16, no. 1, mei
2022, hlm. 12.

5
ditemukannya pengalihan hak yang melanggar hukum dilakukan oleh anak-anak,
juga sering anak-anak melakukan penipuan dan menyalahgunakan barang tertentu.
Tindakan ini diperparah dengan kekerasan mengancam nyawa dan tubuh
manusia. 13
Penyebab kenakalan anak di lingkungan sekolah
Orang tua menggunakan berbagai cara untuk mencegah perilaku menyimpang
pada anaknya. Memberi bimbingan kepada anak, memberi nasihat, memberi
contoh, dan lainya. Namun, jika orang tua melakukan berbagai tindakan untuk
mencegah anaknya berperilaku menyimpang, mereka akan sangat terkejut ketika
melihat atau mendengar anaknya melakukan perilaku negatif. Alternatifnya, orang
tua mungkin sangat terkejut melihat anak yang awalnya penurut dan penurut,
namun suatu saat tiba-tiba menjadi anak yang nakal dan sulit diatur. Dalam hal ini,
orang tua tidak perlu menghakimi anak terlebih dahulu, melainkan harus mencari
penyebab dan faktor yang menyebabkan anak nakal atau berbuat menyimpang.
Secara umum, anak berperilaku lebih menyimpang di lingkungan sekolah dan
masyarakat dibandingkan di lingkungan rumah. Tentu saja, ini sangat logis. Hal
ini karena selama masa remajanya, anak-anak lebih cenderung berada di
lingkungan sekolah dan komunitas daripada di lingkungan rumah. Oleh karena itu,
beberapa orang tua mungkin tidak mempercayai laporan dari guru atau anggota
masyarakat bahwa anak mereka melakukan tindakan menyimpang atau kriminal.
Jenis kejahatan yang sering dilakukan siswa di lingkungan sekolah antara lain
merokok, mengecat dinding sekolah, mencuri barang milik teman, bolos sekolah,
dan merusak barang milik sekolah. Tentunya ada beberapa faktor yang
menyebabkan penyimpangan atau perilaku kriminalitas anak di lingkungan
sekolah. Itu termasuk:
Pertama, faktor kepribadian. Kepribadian seseorang dapat berperan besar
dalam menentukan perilaku baik seseorang dan sebaliknya. Kepribadian adalah
organisasi dinamis dari sistem pikiran-tubuh dalam diri individu dan juga
menentukan cara mereka sendiri untuk beradaptasi dengan lingkungannya.

13Suhardi, Faktor penyebab kenakalan siswi dan upaya mengatasinya di Madrasah Tsanawiyah
Bolaromang, 2010, http://repositori.uin-alauddin.ac.id/4436/1/Suhardi.pdf diakses tanggal 19 mei
2023, pukul 11:29 WIB.

6
Kepribadian juga biasa disebut sebagai kepribadian mental dan terkadang disebut
kebiasaan.
Menurut psikolog perkembangan, masa remaja adalah masa yang berbahaya.
Karena pada saat ini seseorang tumbuh dewasa, meninggalkan masa kanak-kanak
dan menjadi dewasa. Masa ini dialami sebagai krisis identitas karena remaja
terkadang mengalami ketidakstabilan. Akibatnya, anak sering melakukan perilaku
menyimpang pada masa remaja yang jika dibiarkan dapat mempengaruhi
perkembangannya di masa depan.
Selanjutnya adalah unsur pengasuhan. Lingkungan rumah merupakan
lingkungan pendidikan pertama bagi anak. Jika orang tua dapat membesarkan
anak-anaknya dengan baik, mereka dapat mengembangkan karakter dan perilaku
yang baik di masa depan. Sebaliknya, pola asuh yang salah akan mempengaruhi
perkembangan anak di masa depan. Orang tua terkadang melakukan kesalahan
dalam mengasuh anak. Misalnya ketika seorang anak terlalu manja dan tidak
memiliki pendidikan agama dan moral. Hal ini dapat menimbulkan kenakalan
remaja.
Ketiga, faktor pergaulan di sekolah. Di lingkungan sekolah, anak berinteraksi
dan berinteraksi dengan banyak orang, termasuk teman sekelasnya. Tentunya
pengaruh teman terhadap perubahan perilaku dan akhlak anak sangat besar.
Anak-anak lebih cenderung mengikuti contoh berperilaku baik jika mereka
menghabiskan waktu dengan teman berperilaku baik di lingkungan sekolah, dan
sebaliknya. Jika keadaan teman sebaya sekolah tidak mendukung proses
pembelajaran, maka dapat memberikan peluang bagi anak untuk berperilaku
menyimpang.
Oleh karena itu, diperlukan kerjasama antara orang tua dan guru untuk
mengatasi kenakalan siswa di lingkungan sekolah. Orang tua hendaknya selalu
memberikan nasihat kepada anaknya ketika anaknya bersekolah, seperti belajar
dengan baik di sekolah, jangan main-main di sekolah, dan nasihat-nasihat baik
lainnya. Begitu pula dengan guru sekolah yang selalu berusaha menjaga siswa nya
dari perilaku yang menyimpang. Namun perlu diingat bahwa guru bertanggung

7
jawab penuh ketika anak berada di lingkungan sekolah. Untuk itu, guru harus
berusaha mendidik siswanya dengan baik. 14

B) Penerapan Restorative Justice terhadap pelaku tindak pidana kategori anak


juvenile delinquency

Restorative justice merupakan salah satu asas penegakan hukum dalam


penyelesaian perkara yang dapat dijadikan sebagai alat penjemputan dan telah
dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dalam bentuk implementasi politik, namun
implementasinya belum dilaksanakan dalam sistem peradilan pidana Indonesia.
secara optimal.
Perbuatan pelanggaran norma, baik norma hukum maupun norma sosial yang
dilakukan oleh anak-anak disebut dengan juvenile delinquency, hal tersebut
cenderung untuk dikatakan sebagai kenakalan anak dari pada kejahatan anak,
karena terlalu keras bila seorang anak yang melakukan tindak pidana dikatakan
sebagai penjahat, sementara kejadiannya adalah proses alami yang tidak boleh
tidak dilewati setiap manusia harus mengalami kegoncangan semasa menjelang
kedewasaannya. Secara umum kebijakan kriminal yang berkembang dalam
konsep pemikiran masyarakat saat ini dapat di kelompokkan menjadi dua, yaitu :
1. Kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal
policy);
2. Kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana diluar hukum pidana
(non-penal policy)
Sarana non-penal yang dapat ditempuh dalam proses mengadili suatu tindak
pidana yang dilakukan oleh anak salah satunya adalah dengan penyelesaian
restorative justice. 15 Maka dari itu pada dasarnya restorative justice dikenal juga
dengan penyelesaian perkara melalui mediasi (mediasi penal). Mediasi penal

14 Alumni FAI UMSU, Penyebab Kenakalan Anak di Lingkungan Sekolah


https://www.jurnalasia.com/opini/penyebab-kenakalan-anak-di-lingkungan-sekolah/, tanggal
diakses 20 Mei 2023, pukul 9:46 WIB.
15
Lanora Siregar S.H, Penerapan Restorative Justice terhadap anak anak sebagai pelaku tindak
pidana asusila, Study Kasus Putusan Pengadilan Negeri Mempawah Nomor :
2/Pid.Sus-Anak/2015/PN. Mpw, hlm. 4.

8
dalam hukum pidana mempunyai tujuan mulia pada penyelesaian perkara pidana
yang terjadi dalam masyarakat. Secara konseptual, dikatakan oleh Stefanie
Trӓnkle dalam Barda Nawawi Arief:
Mediasi penal yang dikembangkan itu bertolak dari ide dan prinsip kerja (working
principles) sebagai berikut:
a. Penanganan konflik (Conflict Handling/Konfliktbearbeitung):
Tugas mediator adalah membuat para pihak melupakan kerangka hukum
danmendorong mereka terlibat dalam proses komunikasi. Hal ini didasarkan pada
ide, bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal. Konflik itulah
yang dituju oleh proses mediasi.
b. Berorientasi pada proses (Process Orientation/Prozessorientierung):
Mediasi penal lebih berorientasi pada kualitas proses daripada hasil, yaitu:
menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya, kebutuhan-kebutuhan
konflik terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut, dsb.
b. Proses informal (Informal Proceeding/Informalitӓt):
Mediasi penal merupakan suatu proses yang informal, tidak bersifat birokratis,
menghindari prosedur hukum yang ketat.
c. Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and autonomous
participation/Parteiautonomie/Subjektivierung):
Para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai objek dari prosedur hukum
pidana, tetapi lebih sebagai subjek yang mempunyai tanggungjawab pribadi dan
kemampuan untuk berbuat 16 . Mereka diharapkan berbuat atas kehendaknya
sendiri Restorative justice dalam mekanisme acara pidana sebagai alternatif
penyelesaian persidangan pidana menitikberatkan pada pemidanaan, yang menjadi
proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, pelaku/keluarga
korban dan orang-orang terdekatnya.
Tujuannya adalah untuk bersama-sama menciptakan kesepakatan
penyelesaian perkara pidana secara adil dan berimbang baik bagi korban maupun
pelaku, dengan mengutamakan pemulihan keadaan semula dan pemulihan model

16
Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan, Pustaka
Magister, Semarang, 2003, hlm. 21.

9
hubungan baik dalam masyarakat. Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan 482 KUHP
dapat menerapkan konsep restorative justice KUHP untuk tindak pidana ringan
yang diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan dan denda Rp 2,5 juta.
Selain itu, restorative justice dapat digunakan terhadap anak atau perempuan yang
berhadapan dengan hukum, korban atau saksi kejahatan, pecandu atau pengguna
narkoba. Restorative justice memiliki prinsip dasar rehabilitasi korban kejahatan
melalui kompensasi korban, perdamaian, pelaku melakukan kerja sosial dan
perjanjian lainnya. 17

C) Penanganan Konseling Guru BK di Lingkungan Sekolah

Menurut UU RI No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak


Pasal 1 Ayat 6, keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana yang
melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait
untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan
pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Konsep
keadilan Restoratif telah muncul lebih dari dua puluh tahun yang lalu sebagai
alternatif penyelesaian perkara pidana anak. Kelompok Kerja Peradilan Anak
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan keadilan restoratif sebagai
suatu proses semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu duduk
bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi
akibat pada masa yang akan datang.
Sekolah merupakan lingkungan sekunder yang penting dan signifikan dalam
perkembangan intelektual,emosi, sosial, dan spiritual serta konsep diri anak
(setelah keluarga-lingkungan primer). Interaksi anak dengan stakeholder sekolah
berlangsung cukup lama dan intensif. Paradigma semakin berubah, sekolah bukan
lagi sebagai tempat pengajaran akademis, akan tetapi sebagai pembentukan
kompetensi sosial, moral, dan kepribadian anak. Motivasi, perkembangan kognitif,

17
Willa wahyuni, Mengenal Restorative Justice
https://www.hukumonline.com/berita/a/mengenal-restorative-justice-lt62b063989c193/ diakses
tanggal 21 mei 2023, pukul 3:13 WIB.

10
dan kematangan psikologis anak sebagai dasar pertimbangan pemberian
hukuman.
Penerapan keadilan restoratif berbasis sekolah dapat menciptakan solusi
terbaik bagi pelaku pelanggar hukum, dimana pelaku akan mampu untuk
memenuhi tanggung jawabnya terhadap korban karena berdasar kesepakatan
bersama. Selain itu, korban akan merasakan upaya perbaikan atau pemulihan
kondisi yang sesuai dengan kebutuhan dan harapannya (Watchel, 2001 dalam
Payne & Welch, 2015).18
Penerapan restorative justice di lingkungan sekolah adalah suatu pendekatan
yang bertujuan untuk mempromosikan tanggung jawab, rekonsiliasi, dan
perbaikan hubungan antara pelaku, korban, dan komunitas sekolah setelah
terjadinya konflik atau pelanggaran. Restorative justice bertujuan untuk
menggantikan pendekatan yang berorientasi pada hukuman dengan pendekatan
yang lebih terfokus pada pemulihan, pembelajaran, dan pertumbuhan individu.
Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil untuk menerapkan
restorative justice di lingkungan sekolah:
Pendidikan dan Pelatihan: Penting untuk memberikan pendidikan dan
pelatihan kepada staf sekolah, guru, siswa, dan orang tua tentang konsep
restorative justice, prinsip-prinsipnya, dan bagaimana menerapkannya dalam
situasi konflik. Ini dapat dilakukan melalui seminar, lokakarya, atau kegiatan
pengembangan profesional. Pembentukan Tim Restorative Justice: Sekolah dapat
membentuk tim khusus yang terdiri dari staf sekolah, guru, siswa, dan orang tua
yang terlatih dalam prinsip-prinsip restorative justice. Tim ini akan bertanggung
jawab untuk mengelola proses restorative justice dan membantu
mengkoordinasikan pertemuan dan mediasi antara pelaku, korban, dan komunitas
sekolah.
Mediasi dan Pembicaraan Restoratif: Jika terjadi konflik atau pelanggaran,
penting untuk mengadakan pertemuan restoratif antara pelaku, korban, dan pihak
yang terkena dampak. Dalam pertemuan ini, semua pihak dapat berbagi perasaan,

18 Muhammad Habibillah, 8 Maret Tahun 2018,


https://dp3a.semarangkota.go.id/blog/post/rapat-koordinasi-keadilan-restoratif-berbasis-sekolah
diakses tanggal 21 Mei 2023 pukul 21:52 WIB.

11
menyampaikan keluhan, dan mencari solusi bersama. Mediator yang terlatih dapat
membantu memfasilitasi pembicaraan ini dan mendorong partisipasi aktif dari
semua pihak terkait.
Perencanaan Tindakan Restoratif: Setelah pertemuan restoratif, penting untuk
mengembangkan rencana tindakan yang konkret untuk memperbaiki dampak dari
konflik atau pelanggaran tersebut. Rencana ini harus melibatkan keterlibatan
pelaku dalam melakukan tindakan yang bertujuan untuk memperbaiki kesalahan,
mengembalikan kerugian, dan membangun kembali hubungan yang rusak.
Pemantauan dan Evaluasi: Sekolah perlu melakukan pemantauan dan evaluasi
terhadap implementasi restorative justice. Ini melibatkan pengumpulan umpan
balik dari semua pihak yang terlibat, melacak perkembangan setelah intervensi
restoratif, dan melakukan penyesuaian jika diperlukan. Penerapan restorative
justice di lingkungan sekolah membutuhkan komitmen yang kuat dari seluruh
komunitas sekolah, termasuk staf sekolah, guru, siswa, dan orang tua. Dengan
menerapkan pendekatan ini, sekolah dapat menciptakan lingkungan yang lebih
inklusif, memberdayakan siswa untuk belajar dari kesalahan mereka, dan
mempromosikan perdamaian dan hubungan yang sehat di antara anggota
komunitas sekolah.
Keadilan restoratif menekankan makna keadilan sebagai proses yang
melibatkan semua pihak (pelaku, korban, dan sekolah) terkait dengan pelanggaran,
kemudian dialog aktif secara bersama-sama mengidentifikasi kerusakan atau luka,
kebutuhan, dan tanggungjawab yang diperlukan untuk proses penyembuhan dan
mengembalikan kondisi pada yang sebenarnya selama memungkinkan (Zehr,
2002; Morrison, 2003).
Peran dan Kompetensi Guru Bimbingan Konseling dalam Penerapan
Keadilan Restoratif. Penerapan keadilan restoratif di sekolah tidak hanya berupa
intervensi kuratif atau penyembuhan, akan tetapi juga tindakan preventif. Guru
bimbingan konseling dapat berperan menjadi edukator atau trainer dalam
psikoedukasi pencegahan. Selain itu, guru bimbingan konseling dapat
bekerjasama dengan para orangtua untuk bisa membuat suatu program rehabilitasi
psikologi atau modifikasi perilaku bagi para pelaku.

12
Sebaiknya, guru bimbingan konseling juga mengadakan konseling keluarga
bagi pihak korban dan pelaku bahkan saksi. Konseling keluarga tersebut
memberikan penjelasan tentang bagaimana cara melakukan pendampingan anak
yang telah menjadi korban atau pelaku. Diharapkan, konseling keluarga
bermanfaat untuk memelihara hubungan yang harmonis antara orangtua dengan
anak juga pihak sekolah pasca anak tersebut melakukan pelanggaran hukum atau
menjadi korban.
Guru bimbingan konseling juga perlu melakukan konseling empowerment
atau pemberdayaan terhadap para korban atau saksi . Hal ini bertujuan untuk
meningkatkan keperayaan diri dan harga diri korban untuk kembali bersekolah
dan bertemu dengan teman-temannya. Pada proses penerapan program keadilan
restoratif berbasis sekolah berupa justice circle maka guru bimbingan konseling
akan lebih berperan sebagai mediator atau fasilitator pertemuan.
Tugas dari seorang mediator yaitu mempersiapkan notulen pertemuan;
membantu para pihak untuk dapat berkomunikasi dengan aktif dan patik;
membantu merumuskan kesepakatan; menyusun berbagai alternatif pemecahan
masalah; membantu para pihak untuk menganalisa alternatif tersebut; dan
membujuk para pihak untuk bisa menerima dan melaksanakan kesepakatan
(Nugroho, 2011).
Adapun kompetensi yang dibutuhkan guru bimbingan konseling untuk
menerapkan program keadilan restoratif berbasis sekolah, baik sebagai edukator,
konselor, dan mediator (Nugroho, 2011), terdiri dari:
 Empati yaitu individu dapat mengetahui dan memahami perasaan dan pikiran
para pihak.
 Kemampuan melakukan pendekatan dan membangun kepercayaan dengan
semua pihak.
 Kemampuan mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan, kondisi
psikologis, dan kebutuhan para kedua belah pihak.
 Netral dan non judgemental yaitu menjaga netralitas sebagai fasilitator pihak
sekolah, dengan tidak memihak salah satu pihak dan tidak melakukan
prasangka negatif.

13
 Kemampuan mendengar aktif yaitu dapat mendengarkan dan mampu
menangkap hal-hal penting yang para pihak sampaikan.
 Kemampuan berkomunikasi verbal dan non verbal secara positif dan tidak
intimidatif serta menghindari salah paham.
 Kemampuan reframing yaitu menyusun atau merangkum ulang kembali
beberapa hal yang telah disampaikan para pihak.
 Kemampuan mengatur emosi untuk tidak mudah terpancing dan menciptakan
suasana kekeluargaan.
 Kemampuan manajemen konflik yaitu kemampuan mengendalikan dan
menyelesaikan konflik yang dapat terjadi dalam proses justice circle.
 Kemampuan melakukan konseling dan memberikan edukasi atau
pengetahuan yang bermanfaat kepada semua pihak.
 Kesimpulan.
Penerapan keadilan restoratif berbasis sekolah membutuhkan kerjasama yang
baik dari berbagai pihak mulai para murid; orangtua murid; pihak sekolah yang
meliputi guru, manajemen, administrasi; masyarakat; pemerintah kota; bahkan
sampai pada pemerintah pusat.
Peran guru bimbingan konseling dalam penerapan keadilan restoratif berbasis
sekolah antara lain sebagai edukator, duta sosialisasi dan konseptor keadilan
restoratif berbasis sekolah yang bisa bekerjasama dengan profesi lain,
konselorbagi pihak yang terlibat kasus pelanggaran hukum, dan fasilitator atau
mediator dalam pelaksanaan justice circle. 19

D) Sistem Peradilan tindak pidana anak menurut undang-undang No 11 tahun


2012

Sistem Hukum Pidana Indonesia sedang mengalami perubahan signifikan.


Salah satu bentuk perubahan yang terjadi adalah pengaturan mengenai hukum
pidana dari sudut pandang keadilan restoratif, yang bertujuan memperbaiki dan

19 FKP Walisongo, Penyelesaian kasus cyberbullying,


https://fpk.walisongo.ac.id/peran-dan-kompetensi-guru-bk-dalam-keadilan-restoratif-berbasis-sekolah-sebuah
-ide-alternatif-penyelesaian-kasus-cyberbullying diakses tanggal 22 mei 2023, pukul 22:05 WIB.

14
memulihkan keadaan setelah peristiwa dan proses peradilan pidana. Pendekatan
hubungan Pelaku-Korban atau "Doer-Victims" Relationship juga diperkenalkan
sebagai alternatif dari pendekatan perbuatan atau pelaku. Ahli hukum telah
mengidentifikasi tiga aspek pendekatan untuk membangun suatu sistem hukum
yang modern dan terbaharukan, yaitu struktur, substansi, dan budaya hukum, yang
semuanya harus berjalan secara integral, simultan, dan paralel.
Sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of
the Child) yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan
Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga dituangkan dalam Undang -
Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan Undang - Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang kesemuanya
mengemukakan prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non diskriminasi,
kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang dan
menghargai partisipasi anak.
Perlindungan hukum bagi anak dapat dilakukan sebagai upaya perlindungan
hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak. Perlindungan terhadap
anak ini juga mencakup kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan
anak. Perlindungan anak-anak yang berhadapan dengan hukum (ABH),
merupakan tanggung jawab bersama aparat penegak hukum. Tidak hanya anak
sebagai pelaku, namun mencakup juga anak yang sebagai korban dan saksi.
Aparat penegak hukum yang terlibat dalam penanganan ABH agar tidak hanya
mengacu pada Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Sistem
Peradilan Pidana Anak atau peraturan perundang-undangan lainnya yang
berkaitan dengan penanganan ABH, namun lebih mengutamakan perdamaian
daripada proses hukum formal yang mulai diberlakukan 2 tahun setelah UU SPPA
diundangkan atau 1 Agustus 2014 (Pasal 108 UU No. 11 Tahun 2012).
Mahkamah Agung merespon Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak
dengan sangat progresif. Ketua Mahkamah Agung RI Muhammad Hatta Ali
menandatangani Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 4 Tahun 2014
tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.

15
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
adalah undang-undang di Indonesia yang mengatur tentang penanganan tindak
pidana yang melibatkan anak di bawah umur. Pasal 71 dalam undang-undang ini
membahas tentang Diversi. Pendekatan diversi dan rehabilitasi sering
digabungkan untuk memberikan alternatif yang lebih manusiawi dan efektif
dalam menangani pelaku kejahatan.
Dalam hal ini, pelaku diberi kesempatan untuk menghindari peradilan formal
melalui program diversi yang menekankan rehabilitasi. Selanjutnya, keadilan
restoratif digunakan untuk memfasilitasi proses rekonsiliasi antara pelaku, korban,
dan masyarakat terkait untuk memulihkan kerugian akibat kejahatan tersebut.
Pendekatan ini bertujuan untuk mempromosikan tanggung jawab pribadi pelaku,
menyediakan pemulihan yang lebih baik bagi korban, dan memperkuat hubungan
dalam masyarakat. Namun, implementasi dan pelaksanaan pendekatan
penyelamatan dan rehabilitasi dapat berbeda di berbagai yurisdiksi dan sistem
hukum pidana.
Pasal 71 dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 menyebutkan bahwa
dalam rangka mewujudkan diversi, lembaga yang berwenang dalam peradilan
anak dapat melakukan tindakan sebagai berikut:

a. Memberikan nasehat dan peringatan kepada anak pelaku tindak pidana.


b. Mengarahkan anak pelaku tindak pidana ke program rehabilitasi atau
reintegrasi sosial.
c. Menyelenggarakan program diversi, seperti konferensi, mediasi, atau upaya
rekonsiliasi antara anak pelaku, korban, dan masyarakat terkait.
d. Mengarahkan anak pelaku tindak pidana ke lembaga rehabilitasi yang sesuai
dengan kebutuhan dan karakteristiknya.
Penerapan diversi dalam peradilan tindak pidana anak bertujuan untuk
memberikan pendekatan yang lebih peduli dan rehabilitatif, serta menghindari
pemidanaan yang terlalu berat bagi anak. Prinsip-prinsip diversi dalam
undang-undang ini sejalan dengan prinsip-prinsip Konvensi Hak-hak Anak dan
memperhatikan hak-hak dan kepentingan anak sebagai prioritas utama.

16
Menurut UU SPPA Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak
dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, yang bertujuan
untuk:
 Mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
 Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
 Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
 Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
 Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.
Menurut PERMA 4 tahun 2014 Musyawarah Diversi adalah musyawarah
antara pihak yang melibatkan Anak dan orang tua/wali, korban dan/atau orang
tua/walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional,
perawakilan dan pihak-pihak yang terlibat lainnya untuk mencapai kesepakatan
diversi melalui pendekatan keadilan restoratif. Sedangkan Fasilitator adalah
hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan untuk menangani perkara anak yang
bersangkutan. Diversi adalah pengalihan proses pada sistem penyelesaian perkara
anak yang panjang dan sangat kaku. Mediasi atau dialog atau musyawarah sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dalam diversi untuk mencapai keadilan restoratif.
Penghukuman bagi pelaku Tindak Pidana Anak tidak kemudian mencapai
keadilan bagi korban, mengingat dari sisi lain masih meninggalkan permasalahan
tersendiri yang tidak terselesaikan meskipun pelaku telah dihukum. Melihat
prinsip prinsip tentang perlindungan anak terutama prinsip mengutamakan
kepentingan terbaik bagi anak maka diperlukan proses penyelesaian perkara anak
diluar mekanisme pidana atau biasa disebut diversi. Institusi penghukuman
bukanlah jalan untuk menyelesaikan permasalahan anak karena justru di dalamnya
rawan terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak anak.
Oleh karena itu dibutuhkan suatu acara dan prosedur di dalam sistem yang
dapat mengakomodasi penyelesaian perkara yang salah satunya adalah dengan
menggunakan pendekatan keadilan restoratif, melalui suatu pembaharuan hukum
yang tidak sekedar mengubah undang-undang semata tetapi juga memodfikasi
sistem peradilan pidana yang ada, sehingga semua tujuan yang di kehendaki oleh
hukumpun tercapai. Salah satu bentuk mekanisme restoratif justice tersebut adalah

17
dialog yang dikalangan masyarakat Indonesia lebih dikenal dengan sebutan
"musyawarah untuk mufakat”. Sehingga diversi khususnya melalui konsep
restoratif justice menjadi suatu pertimbangan yang sangat penting dalam
menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak.
Jika kesepakan diversi tidak dilaksanakan sepenuhnya oleh para pihak
berdasarkan laporan dari Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan,
maka Hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan sesuai dengan
Hukum Acara Peradilan Pidana Anak. Hakim dalam menjatuhkan putusannya
wajib mempertimbangkan pelaksanaan sebagian kesepakatan diversi.
Dalam PERMA 4 tahun 2014 dijelaskan bahwa Diversi diberlakukan
terhadap anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18
(delapan belas) tahun atau telah berumur 12 (dua belas) tahun meskipun pernah
kawin tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun, yang diduga melakukan
tindak pidana (pasal 2). PERMA ini juga mengatur tahapan musyawarah diversi,
dimana fasilitor yang ditunjuk Ketua Pengadilan wajib memberikan kesempatan
kepada :
1. Anak untuk didengar keterangan perihal dakwaan
2. Orang tua/Wali untuk menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan
perbuatan anak dan bentuk penyelesaian yang diharapkan
3. Korban/Anak Korban/Orang tua/Wali untuk memberikan tanggapan dan
bentuk penyelesaian yang diharapkan.
Bila dipandang perlu, fasilitator diversi dapat memanggil perwakilan
masyarakat maupun pihak lain untuk memberikan informasi untuk mendukung
penyelesaian dan/atau dapat melakukan pertemuan terpisah (Kaukus). Kaukus
adalah pertemuan terpisah antara Fasilitator Diversi dengan salah satu pihak yang
diketahui oleh pihak lainnya.20

20 Riska Vidya Satriani, Artikel / Kamis, 22 Juni 2017, 12:52WIB.


/https://www.mahkamahagung.go.id/id/artikel/2613/keadilan-restoratif-sebagai-tujuan-pelaksanaa
n-diversi-pada-sistem-peradilan-pidana-anak diakses tanggal 21 Mei 2023, pukul 22:01 WIB.

18
KESIMPULAN

Restorative justice memberikan pendekatan yang berfokus pada pemulihan


dan rekonsiliasi, bukan hukuman semata. Dengan mengadopsi pendekatan ini,
lingkungan sekolah dapat menciptakan atmosfer yang lebih inklusif dan
mendukung bagi anak-anak yang terlibat dalam perilaku delinkuen. Melalui
diversi, anak-anak yang melakukan tindakan delinkuen dapat diarahkan untuk
menghindari jalur peradilan pidana formal. Proses diversi bertujuan untuk
membantu mereka memahami konsekuensi dari tindakan mereka dan
memperbaiki perilaku mereka melalui pendekatan yang bersifat edukatif dan
rehabilitatif.
Pendekatan restoratif dalam konteks sekolah melibatkan semua pihak yang
terkait, seperti siswa, guru, orang tua, dan masyarakat sekolah. Dalam proses ini,
tercipta kesempatan bagi semua pihak untuk berdialog, memahami dampak dari
tindakan delinkuen, dan bekerja sama untuk mencapai pemulihan dan rekonsiliasi.
Penerapan restorative justice di lingkungan sekolah memberikan kesempatan
kepada siswa delinkuen untuk mengambil tanggung jawab atas tindakan mereka
dan memperbaiki hubungan dengan korban atau komunitas sekolah. Proses ini
mendorong refleksi pribadi, penyesalan, serta upaya kompensasi yang dapat
memperbaiki hubungan yang rusak.
Dengan menerapkan diversi dan pendekatan restoratif, lingkungan sekolah
dapat menciptakan sistem yang lebih adil, berfokus pada pembelajaran, dan
mendorong pertumbuhan positif siswa yang terlibat dalam perilaku delinkuen.
Melalui dukungan, pembinaan, dan upaya kolaboratif, siswa memiliki kesempatan
untuk mengubah perilaku mereka dan mendapatkan dukungan yang mereka
butuhkan untuk tumbuh dan berkembang. Namun, penting untuk diingat bahwa
penerapan restorative justice dalam konteks anak kategori juvenile delinquency di
lingkungan sekolah memerlukan upaya yang konsisten dan kolaboratif dari semua
pihak terkait. Dibutuhkan komitmen dari sekolah, staf, guru, dan orang tua untuk
menciptakan lingkungan yang mendukung implementasi yang efektif dan
berkelanjutan.

19
DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Arief Nawawi, B, 2003. Mediasi Penal Penyelesaian Perkara di Luar
Pengadilan, Pustaka Magister, Semarang.
Armasasmita, Romli, 1983. Problema Kenakalan Anak-Anak Remaja,
Armico, Bandung.
Hakim Abdul, 1986. Garuda Nusantara, Prospek Perlindungan Anak, dalam
Hukum Dan Hak-Hak Anak, ed. Mulyana W. Kusumah, Jakarta: Rajawali dan
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.
Hartono, Sunarjati, 1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum
Nasional, : Alumni. Bandung.
Soetodjo, Wagiati. 2004. Hukum Pidana Anak, PT Refika Aditama Bandung.

JURNAL
Andi Meyrina Susana, Rr, 2017. Restorative Justice in Juvenile Justice
System Based on Law No. 11 Of 2012, Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN
1410-5632 Vol. 17 No. 1
Nuraeni, Hilma, 2022. Masalah kenakalan remaja, Jurnal pendidika luar
sekolah, vol. 16, No. 1
Pradityo, Randy, 2016. Restorative Justice in Juvenile Justice System, Jurnal
Hukum dan Peradilan, Vol. 5, No. 3
Purwastuti Yudaningsih, L, 2014. Penanganan perkara anak melalui
Restorative justice, Jurnal Ilmu Hukum.
Salim, H. H.S dan Septiana Nurbani, Erlies, 2013. Penerapan Teori Hukum
Pada Penelitian Tesis Dan Disertasi, Rajawali Pers, Jakarta.
Siregar, Lanora S.H, 2015. Penerapan Restorative Justice terhadap anak
anak sebagai pelaku tindak pidana asusila, Study Kasus Putusan Pengadilan
Negeri Mempawah/Pid.Sus-Anak/PN. Mpw. No.2

20
Timothy Danielt, R, 2014. Penerapan Restorative justice terhadap tindak
pidana anak pencurian oleh anak di bawah umur, Jurnal Lex et Societatis, Vol. II,
No. 6

INTERNET
Alumni FAI UMSU, Penyebab Kenakalan Anak di Lingkungan Sekolah
https://www.jurnalasia.com/opini/penyebab-kenakalan-anak-di-lingkungan-sekola
h/, diakses tanggal 19 mei 2023, pukul 9:46 WIB.
FKP Walisongo, Penyelesaian Kasus Cyberbullying,
https://fpk.walisongo.ac.id/peran-dan-kompetensi-guru-bk-dalam-keadilan-restora
tif-berbasis-sekolah-sebuah-ide-alternatif-penyelesaian-kasus-cyberbullying/,
diakses tanggal 22 Mei 2023, pukul 22:05 WIB.
Habibillah, Muhammad, 2023 8 Maret
https://dp3a.semarangkota.go.id/blog/post/rapat-koordinasi-keadilan-restoratif-ber
basis-sekolah diakses tanggal 21 Mei 2023 pukul 21:52 WIB.
Vidya Satriani, Riska, 2017 Artikel / Kamis, 22 Juni, 12:52 WIB.
/https://www.mahkamahagung.go.id/id/artikel/2613/keadilan-restoratif-sebagai-tu
juan-pelaksanaan-diversi-pada-sistem-peradilan-pidana-anak diakses tanggal 21
Mei 2023, pukul 22:01 WIB.
Suhardi, Faktor penyebab kenakalan siswi dan upaya mengatasinya di
Madrasah Tsanawiyah Bolamarang, 2010,
http://repositori.uin-alauddin.ac.id/4436/1/Suhardi.pdf diakses tanggal 20 mei
2023, pukul 11:29 WIB.
Willa wahyuni, Mengenal Restorative
Justice”https://www.hukumonline.com/berita/a/mengenal-restorative-justice-lt62b
063989c193/ tanggal diakses 21 mei 2023, pukul 3:13 WIB.

21
UNDANG-UNDANG
Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Sistem Peradilan
Pidana Anak
Undang - Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

22

Anda mungkin juga menyukai