Anda di halaman 1dari 7

Penerapan Diversi Pada Sistem Peradilan Anak di Indonesia

Ainun Masita
B011181328
Abstrak
Pada tugas makalah kali ini yang berjudul “Penerapan Diversi Pada Sistem Peradilan Anak di Indonesia” membahas
mengenai bagaimana pengaturan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dalam sistem peradilan
pidana anak dan apa yang menjadi tujuan penerapan diversi dalam sistem peradilan anak. Pada makalah ini
menggunakan metode penulisan dengan tipe penelitian normatif dengan menggunakan dua sumber bahan hukum
yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan menggunakan teknik pengumpulan bahan hukum
dengan studi kepustaan yang akan dilakukan dengan cara membaca, menelaah, mencatat membuat ulasan bahan-
bahan pustaka, maupun penulusuran melalui media internet. Hasil dari pembahasan pada makalah ini adalah diversi
bukanlah sebuah upaya damai antara anak yang berkonflik dengan hukum dengan korban atau keluarganya akan
tetapi sebuah bentuk pemidanaan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dengan cara nonformal. Anak
sejatinya merupakan generasi penerus suatu bangsa yang wajib memperoleh perlindungan. Penanganan anak yang
berkonflik dengan hukum seringkali disamakan dengan penanganan orang dewasa yang melakukan tindak pidana.
Anak yang berhadapan dengan hukum wajib diupayakan proses penyelesaian di luar jalur pengadilan yakni melalui
diversi berdasarkan pendekatan keadilan restoratif. Kesimpulannya bahwa diversi terhadap anak yang berhadapan
dengan hukum telah diatur dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang telah
menggantikan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, sedangkan tujuan diterapkannya diversi yaitu untuk
menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatitasi terhadap anak
yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke lingkungan sosial secara wajar.

A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia
dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Anak merupakan “aset” yang sangat
berharga bagi negara, karena dari mereka yang akan melanjutkan cita-cita suatu bangsa.
Negara sejatinya harus memberikan perlindungan terhadap anak supaya mereka
dapat.tumbuh serta berkembang.baik sebagai individu yang mandiri, sehat secara fisik,
mental, batin, serta dapat berinteraksi secara sosial. Meskipun di Indonesia telah diatur
beberapa peraturan perundang-undangan yang ditujukan untuk melindungi kepentingan
anak baik sebagai pelaku maupun sebagai korban kejahatan, namun jumlah kejahatan
yang dilakukan oleh anak di masih banyak yang terjadi. Berbagai kasus tindak pidana
yang melibatkan anak harus berhadapan dengan hukum merupakan masalah aktual dan
faktual sebagai gejala sosial dan kriminal yang telah menimbulkan kehawatiran
dikalangan orang tua pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta penegak
hukum.1 Dalam konstitusi yang berlaku di Indonesia, anak memiliki peran yang secara
tegas dinyatakan bahwa negara menjamin hak setiap anak atas keberlangsungan hidup,
tumbuh dan berkembang dan serta atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Oleh karena itu, kepentingan anak patut diperhatikan sebagai kepentingan terbaik umat
manusia. Pasal 20 Undang-Undang Perlindungan Anak menentukan bahwa “Negara,
pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab

1
Ulang Mangun Sosiawan, 2016, Perspektif Restorative Justice Sebagai Wujud Perlindungan Anak Yang
Berhadapan Dengan Hukum, Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Vol. 16 No. 4, hlm. 428
terhadap penyelenggaraan perlindungan anak”2 Menurut Effendi, keluarga memiliki
peranan utama didalam mengasuh anak, di segala norma dan etika yang berlaku didalam
lingkungan masyarakat, dan budayanya dapat diteruskan dari orang tua kepada anaknya
dari generasi-generasi yang disesuaikan dengan perkembangan masyarakat.3 Anak yang
berhadapan dengan hukum dilatarbelakangi oleh lingkungan sosial dimana ia hidup,
tumbuh dan berkembang. Lingkungan sosial ini juga yang menjadi tempat anak
melakukan kegiatan hariannya, lingkungan sosial ini yang selalu dilihat, didengar dalam
pengalaman anak. Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa lingkungan sosial dapat
menjadi salah satu faktor yang memungkinkan anak melakukan tindak pidana.4
Salah satu bentuk perlindungan terhadap anak yang berhadap dengan hukum
adalah dengan menerapkan Diversi.5 Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara
Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.6 Maksud dari
diversi ini adalah tidak semua tindak pidana yang dilakukan oleh anak harus diselesaikan
melalui jalur peradilan yang formal tetapi memberikan alternatif bagi penyelesaian
dengan pendekatan keadilan demi kepentingan terbaik bagi anak dan dengan
mempertimbangkan keadilan. Diversi dalam penyelesaian perkara anak ini diatur dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA)
menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Dalam
mekanisme prosesnya tetap harus melalui proses formal layaknya orang dewasa dengan
melalui proses penyelidikan dan penyidikan oleh kepolisian, proses penuntutan oleh
kejaksaan dan persidangan di pengadilan. Proses formal yang panjang inilah melahirkan
beberapa pemikiran baik dari kalangan ilmuan maupun aparat penegak hukum untuk
mencari alternatif penanganan yang terbaik untuk anak dengan semaksimal mungkin
menjauhkan anak dari sistem peradilan formal. Oleh karena itu, penerapan diversi dalam
penanganan kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak sangatlah penting. Hal ini
dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga
dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan
diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Sehingga
sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam rangka mewujudkan hal tersebut.

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, adapun rumusan masalah yang dikemukakan
dalam penulisan ini, yaitu:
a. Bagaimanakah penerapan diversi pada sistem peradilan pidana anak?
b. Apakah tujuan penerapan diversi pada anak?
2
Rendy H. Pratama, et.al, 2015, Perlindungan Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum. Prosiding
Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat. Vol 2. No 1. hlm. 8
3
Effendi et.al, 1995, Fungsi Keluarga Dalam Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia, Departemen
Pendidikan dan Kebudayan, Jambi, hlm. 16
4
Hulman Panjaitan, Lonna Yohanes Lengkong, Fabianustua Sihaloho, 2019, Penerapan Diversi Terhadap Anak
Yang Melakukan Tindak Pidana, Jurnal UKI, Vol. 5 No. 2, hlm. 92
5
Rodliyah, 2019, Diversi Sebagai Salah Satu Bentuk Perlindungan Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan
Hukum (ABH), Jurnal IUS, Vol. 7 No. 1, hlm. 183
6
Kementrian PPPA RI Deputi Bidang Perlindungan Anak. Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak Cetakan ke III Tahun 2015, hlm. 5
B. Metode Penulisan
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan
maupun teknologi karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara
sistematis, metodologi dan konsisten melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan
18 konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah. 7 Menurut pendapat Soerjono
Soekanto, “penelitian hukum ialah suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode,
sistematika, dan pemikiran tertentu, yang mempunyai tujuan untuk mempelajari satu atau
beberapa gejala hukum tertentu.8 Penelitian hukum menurut sudut tujuan penelitiannya dapat
dibedakan menjadi dua tipe yaitu normatif dan empiris.
Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian hukum normatif. Secara
etimologi, “istilah penelitian hukum normatif berasal dari bahasa Inggris, yaitu normative
legal research, dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah normative juridsch onderzoek,
sedangkan dalam bahasa Jerman disebut dengan istilah normative juristische recherche”9
Berbagai istilah tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah penelitian
hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum yang berfokus
pada kaidah-kaidah atau asas-asas dalam arti hukum dikonsepkan sebagai norma atau kaidah
yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, maupun doktrin
dari para pakar hukum terkemuka. Pada penelitian ini menggunakan dua bahan hukum yaitu
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer ini adalah bahan
hukum yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang dan mengikat umum. Sedangkan bahan
hukum sekunder merupakan bahan hukum yang diperoleh dari seluruh publikasi tentang
hukum yang bukan merupakan suatu dokumentasi resmi.10 Teknik pengumpulan bahan
hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan studi kepustakaan. Studi
kepustakaan dilakukan dengan cara membaca, menelaah, mencatat membuat ulasan bahan-
bahan pustaka, maupun penulusuran melalui media internet yang ada kaitannya dengan
penerapan diversi pada anak.

C. Pembahasan
1. Diversi Pada Sistem Peradilan Pidana Anak
Kata diversi berasal dari kata bahasa Inggris yaitu “Diversion” yang berarti
pengalihan, kemudian kata “Diversion” diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi
istilah diversi. Menurut sejarah perkembangan hukum pidana kata “diversion” pertama
kali dikemukakan sebagai kosa kata pada laporan pelaksanaan peradilan anak yang
disampaikan Presiden Komisi Pidana (President’s Crime Commission) Australia di
Amerika Serikat pada tahun 1960. Diversi ini adalah cara untuk menghindari efek negatif
pemeriksaan konvensional peradilan pidana terhadap anak, baik efek negatif proses
pengadilan maupun efek negatif stigma proses peradilan, maka pemeriksaan secara
7
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Normative Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hlm. 1
8
Soerjono Soekanto, 2014, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hlm. 43.
9
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2014, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 18
10
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Persada Group, Jakarta, hlm. 181
konvensional dialihkan. Pengertian diversi terdapat banyak perbedaan sesuai dengan
praktek pelaksanaannya. Menurut Nasir Djamil diversi ialah suatu pengalihan
penyelesaian kasus-kasus anak yang diduga melakukan tindak pidana tertentu dari proses
pidana formal ke penyelesaian damai antara tersangka/terdakwa/pelaku tindak pidana
dengan korban yang difasilitasi oleh keluarga dan/atau masyarakat, Pembimbing
Kemasyarakatan Anak, Polisi, Jaksa atau Hakim.11 Pengertian diversi lainnya yang
dikemukakan oleh Marlina adalah diversi merupakan kebijakan yang dilakukan untuk
menghindarkan pelaku dari sistem peradilan pidana formal untuk memberikan
perlindungan dan rehabilitasi (Protection and rehabilitation) kepada pelaku sebagai upaya
untuk mencegah anak menjadi pelaku kriminal dewasa.12
Pasal 1 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
menyatakan bahwa sistem peradilan pidana anak adalah keseluruhan proses penyelesaian
perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai dari tahap penyelidikan sampai
tahap dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Sedangkan Pasal 1 ayat (7)
UU No. Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, menyatakan bahwa diversi
adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses luar
peradilan pidana. Mengingat ciri dan sifat yang khas pada anak dan demi pelindungan
terhadap anak, perkara anak yang berhadapan dengan hukum wajib disidangkan di
pengadilan pidana anak yang berada di lingkungan peradilan umum. Anak yang
melakukan tindak pidana yang ancamannya lebih dari 7 (tujuh) tahun dan merupakan
sebuah pengulangan maka tidak wajib diupayakan diversi, hal ini memang penting
mengingat kalau ancaman hukuman lebih dari 7 (tujuh tahun) tergolong pada tindakan
berat, begitu pula jika merupakan suatu pengulangan, artinya anak pernah melakukan
tindak pidana baik itu sejenis maupun tidak sejenis termasuk tindak pidana yang
diselesaikan melalui diversi. Pengulangan tindak pidana oleh anak, menjadi bukti bahwa
tujuan diversi tidak tercapai yaitu menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak untuk
tidak mengulangi perbuatan yang berupa tindakan pidana. Oleh karena itu, upaya diversi
terhadapnya bisa saja tidak wajib diupayakan.13
Proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan
orangtua/walinya,korban dan/atauorangtua/walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan
Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan restorative justice. Selain itu,
musyawarah tersebut juga dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial dan/atau
masyarakat. Disamping dilakukan melalui musyawarah, proses diversi juga wajib
memperhatikan kepentingan korban, kesejahteraan dan tanggung jawab anak,
penghindaran stigma negatif, penghindaran pembalasan, keharmonisan masyarakat, dan
kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum. Tata cara dan tahapan diversi secara jelas
diatur pada Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014
tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana.

11
Nasir Djamil, 2013, Anak Bukan Untuk Dihukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 137
12
Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi dan Restrorative Justice,
Refika Aditama, Bandung, hlm. 22.
13
Hera Susanti, 2017, Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Dan Tinjauannya Menurut
Hukum Islam, LEGITIMASI, Vol. 6 No. 2, hlm. 180
2. Tujuan Diversi
Konsep diversi didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan pidana
terhadap anak pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana lebih banyak
menimbulkan bahaya daripada kebaikan. Alasan dasarnya yaitu pengadilan akan
memberikan stigmatisasi terhadap anak atas tindakan yang dilakukannya seperti anak
dianggap jahat, sehingga lebih baik untuk menghindarkannya ke luar sistem peradilan
pidana. Menurut Levine konsep diversi dimulai dengan pendirian peradilan anak pada
abad ke-19 yang bertujuan untuk mengeluarkan anak dari proses peradilan orang dewasa
agar anak tidak lagi diperlakukan sama dengan orang dewasa. 14 Prinsip utama
pelaksanaan diversi yaitu tindakan persuasif atau pendekatan non-penal dan memberikan
kesempatan kepada seorang untuk memperbaiki kesalahan. Adanya pendekatan seperti
ini, diharapkan tidak terjadi lagi penyiksaan, pemaksaan ataupun tindak kekerasan
terhadap anak. Inilah yang menjadi tujuan utama pelaksanaan diversi. Melalui diversi,
hukum dapat ditegakkan tanpa melakukan tindak kekerasan dan menyakitkan dengan
memberi kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahannya tanpa melalui
hukuman pidana oleh negara yang mempunyai otoritas penuh. 15 Peradilan anak dengan
menggunakan diversi dalam restorative justice berangkat dari asumsi bahwa tanggapan
atau reaksi terhadap perilakudelinkuensianak tidakefektif tanpa adanya kerjasama dan
keterlibatan dari korban, pelaku, dan masyarakat. Prinsip yang menjadi dasar adalah
keadilan paling baik terlayani, apabila setiap pihak menerima perhatian secara adil dan
seimbang, aktif dilibatkan dalam proses peradilan dan memperoleh keuntungan secara
memadai dari interaksi mereka dengan sistem peradilan anak. Diversi dilakukan untuk
memberikan sanksi yang bersifat lebih mendidik, tidak membalas guna menciptakan
pencegahan khusus yaitu tujuan yang ingin dicapai adalah membuat jera, memperbaiki,
dan membuat penjahat itu sendiri menjadi tidak mampuuntuk melakukan perbuatan
tersebut. Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi keinginan untuk menghindari efek negatif
terhadap jiwa dan perkembangan anak dalam keterlibatannya dalam sistem peradilan
pidana, dimana sistem peradilan pidana lebih pada keadilan yang menekankan pada
pembalasan (retributive justice) dan keadilan yang menekankan pada ganti rugi
(restitutive justice). Seorang anak sangat berisiko tinggi dilanggar hak asasinya ketika
harus dilibatkan masuk dalam sistem peradilan pidana. Sehingga, akan lebih baik jika
diversi diberlakukan dalam penanganan masalah anak yang berkonflik dengan hukum.
Kenyataanya bahwa peradilan pidana terhadap anak, pelaku tindak pidana melalui sistem
peradilan pidana banyak menimbulkan bahaya daripada yang menguntungkan bagi anak.
Hal ini dikarenakan pengadilan akan memberikan stigmatisasi terhadap anak atas
tindakan yang dilakukannya, sehingga lebih baik menghindarkannya keluar sistem
peradilan pidana.16 Tujuan dari adanya pelaksanaan diversi bagi anak antara lain adalah:
a. Untuk menghindari anak dari penahanan
b. Untuk menghindari cap/label anak sebagai penjahat

14
Marlina, 2010, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana, USU Press, Medan, hlm.
61.
15
Ibid.
16
Ibid. hlm. 11
c. Untuk mencegah pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh anak, agar anak
bertanggung jawab atas perbuatannya
d. Untuk melakukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban dan anak tanpa
harus melalui proses formal, dan menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi
negatif dari proses peradilan.
Adapun yang menjadi tujuan diversi sebagaimana tertuang dalam Pasal 6 UU No. 11
tahun 2012 tentang Sistem peradilan Pidana Anak yaitu:
a. Mencapai perdamaian antara korban dan anak
b. Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan
c. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan
d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi
e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
Dengan demikian hukum juga bisa memberikan ruang bagi anak untuk terus
berkembang dan terlindungi sesuai kapasitas pertumbuhannya. Untuk itu diharapkan agar
generasi muda di masa datang lebih bisa mentaati hukum yang berlaku. Pelaksanaan
diversi dalam sistem peradilan pidana anak dapat dijadikan wahana untuk mendidik anak
yang sudah terlanjur melakukan kejahatan atau pelanggaran hukum tentang pentingnya
mentaati hukum
D. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan pemaparan diatas yaitu bahwa diversi terhadap
anak yang berhadapan dengan hukum telah diatur dalam UU No. 11 Tahun 2011 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak yang telah menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak. Penerapan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan
hukum dalam sistem peradilan anak merupakan implementasi sistem dalam restorative
jusctice untuk memberikan keadilan dan perlindungan hukum kepada anak yang berkonflik
dengan hukum tanpa mengabaikan pertanggungjawaban pidana anak. Diversi bukanlah
sebuah upaya damai antara anak yang berkonflik dengan hukum dengan korban atau
keluarganya akan tetapi sebuah bentuk pemidanaan terhadap anak yang berkonflik dengan
hukum dengan cara nonformal. Sedangkan tujuan diterapkannya diversi yaitu untuk
menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari
stigmatitasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat
kembali ke lingkungan sosial secara wajar.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi et.al. 1995. Fungsi Keluarga Dalam Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia.
Departemen Pendidikan dan Kebudayan. Jambi.
Hera Susanti. 2017. Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Dan
Tinjauannya Menurut Hukum Islam. LEGITIMASI. Vol. 6 No. 2.
Hulman Panjaitan. Lonna Yohanes Lengkong. Fabianustua Sihaloho. 2019. Penerapan Diversi
Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana. Jurnal UKI. Vol. 5 No. 2.
Kementrian PPPA RI Deputi Bidang Perlindungan Anak. Undang Undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Cetakan ke III Tahun 2015.
Marlina. 2009. Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi dan
Restrorative Justice. Refika Aditama. Bandung.
Marlina. 2010. Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana. USU
Press. Medan.
Nasir Djamil. 2013. Anak Bukan Untuk Dihukum. Sinar Grafika. Jakarta.
Peter Mahmud Marzuki. 2010. Penelitian Hukum. Kencana Persada Group. Jakarta.
Rendy H. Pratama. et.al. 2015. Perlindungan Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat. Vol 2. No 1.
Rodliyah. 2019. Diversi Sebagai Salah Satu Bentuk Perlindungan Terhadap Anak Yang
Berhadapan Dengan Hukum (ABH). Jurnal IUS. Vol. 7 No. 1.
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani. 2014. Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis
dan Disertasi. RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 1985. Penelitian Hukum Normative Suatu Tinjauan
Singkat. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Soerjono Soekanto. 2014. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta.
Ulang Mangun Sosiawan. 2016. Perspektif Restorative Justice Sebagai Wujud Perlindungan
Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum. Jurnal Penelitian Hukum DE JURE. Vol. 16 No.
4.

Anda mungkin juga menyukai