Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup

manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Agar kelak mampu

bertanggung jawab dalam keberlangsungan bangsa dan negara, setiap Anak perlu

mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara

optimal, baik fisik, mental, maupun sosial. Untuk itu, perlu dilakukan upaya

perlindungan dan pembinaan untuk mewujudkan kesejahteraan Anak dengan

memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya tanpa perlakuan

diskriminatif.1

Negara menjunjung tinggi hak asasi manusia, termasuk di dalamnya hak

asasi Anak yang ditandai dengan adanya jaminan perlindungan dan pemenuhan

Hak Anak dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

dan beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan baik yang bersifat

nasional maupun yang bersifat internasional.

Faktor-faktor yang menyebabkan penyimpangan tingkah laku anak atau

perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, antara lain dampak negatif

dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang

komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta

perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua, telah membawa perubahan

1
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Penjelasan Umum Paragraf 1.
sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh

terhadap nilai dan perilaku anak.2

Setiap orang yang disangka terlibat dalam suatu kejahatan atau tindak

pidana tentu akan berhadapan dengan hukum, dalam hal ini yaitu sistem peradilan

pidana. Di dalam suatu negara hukum, seseorang yang melanggar hukum pidana

akan berhadapan dengan negara melalui aparat penegak hukumnya dan sebagai

sebuah instrumen pengawasan sosial, tak terkecuali itu dilakukan oleh anak-anak.

Hukum pidana menyandarkan diri pada sanksi karena fungsinya memang

mencabut hak orang atas kehidupan, kebebasan, atau hak milik mereka. Invasi

terhadap hak dasar ini dibenarkan demi melestarikan masyarakat dan melindungi

hak-hak fundamental dari gangguan orang lain.3

Berdasarkan pemberlakuan hukum pidana maka sanksi akan diberikan

kepada para pelaku tindak pidana baik orang dewasa maupun anak-anak. Anak

yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum,

anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak

pidana.4 Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak

adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18

(delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.5

Dengan uraian latar belakang tersebut maka diperlukan berbagai upaya

alternatif penyelesaian masalah anak yang berkonflik dengan hukum, selain

melalui sistem peradilan pidana anak. Hal ini sejalan dengan prinsip yang dianut
2
Magdalena Sitorus, Perlindungan Anak di Indonesia dan Implementasinya, (Disampaikan dalam
Seminar “Kejahatan Terhadap Anak, Jakarta, 11 Juli 2006).
3
N.A. Noor Muhammad, Proses Hukum Bagi Orang yang Didakwa Melakukan Kejahatan,dalam
Hak Sipil dan Politik : Esai-Esai Pilihan, Ifdhal Kasim (Editor), Jakarta, Elsam, 2001, hal. 180
4
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak, Pasal 1 angka 2.
5
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak, Pasal 1 angka 3.
Convention of The Right of The Child (CRC) dan juga sebagaimana telah diadopsi

dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi

Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, khususnya menyangkut prinsip The

Best Interest of The Child dan Pidana sebagai The Last Resort. 6

Berdasarkan perundang-undangan yang diuraikan dan situasi kondisi

(fakta) yang terjadi selama ini, maka upaya penyelesaian masalah anak yang

berkonflik dengan hukum salah satunya melalui upaya diversi merupakan salah

satu langkah yang tepat bagi penyelesaian kasus-kasus anak yang berkonflik

dengan hukum. Tujuannya menghindari tersangka (anak-anak) dari perlakukan

yang justru dapat merugikan perkembangan anak. Diversi adalah pengalihan

penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari

proses formal dengan atau tanpa syarat.7

1.2. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan diversi?

2. Bagaimana syarat-syarat diversi?

3. Apa tujuan diversi?

4. Apa yang menjadi dasar hukum diversi?

5. Bagaimana tahapan diversi?

1.3. Tujuan Penulisan

6
Salman Paris Harahap, “Sistem Pemidanaan Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum
Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak”,
USU Law Journal, Vol.6. No.4 (Juli 2018), 109-120.
7
Ruben Achmad, Upaya Penyelesaian Masalah Anak yang Berkonflik Dengan Hukum, (Dikutip
dari Simbur Cahaya No. 27 tahun X, Januari 2005).
Berdasarkan pemaparan diatas, maka tujuan dari penulisan makalah ini

ialah sabagai berikut.

1. Untuk mengetahui pengertian diversi;

2. Untuk mengetahui syarat-syarat diversi;

3. Untuk mengetahui tujuan dilakukannya diversi;

4. Untuk mengetahui dasar hukum diversi;

5. Untuk mengetahui tahapan diversi.

1.4. Kegunaan Penulisan

Adapun kegunaan dari penulisan makalah ini ialah sebagai berikut.

1. Sebagai informasi mengenai diversi pada penegakan hukum di

Indonesia.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Diversi

Berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak, Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari

proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Kasus yang sering

muncul di dalam masyarakat yang melibatkan Anak sebagai pelakunya maka

dalam penyelesaiannya dengan mekanisme atau tindakan diversi dapat

memungkinkan Anak dialihkan dari proses peradilan menuju proses pelayanan

sosial lainnya.

Penggunaan mekanisme diversi tersebut diberikan kepada para penegak

hukum (polisi, jaksa, hakim, lembaga lainnya) dalam menangani pelanggar-

pelanggar hukum berusia muda atau dibawah umur tanpa menggunakan

pengadilan formal. Penerapan diversi tersebut dimaksudkan untuk mengurangi

dampak negatif keterlibatan Anak dalam suatu proses peradilan. Peradilan Anak

merupakan sistem peradilan yang bersifat restorative justice dengan

mengutamakan kebutuhan dan kepentingan dimasa yang akan datang.8

Berdasaran pikiran tersebut, maka lahirlah konsep diversion yang dalam

istilah bahasa Indonesia disebut diversi atau pengalihan. Diversi dilakukan untuk

menemukan suatu bentuk penyelesaian yang memberikan perlindungan terhadap

8
Lihat Pasal 5 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2012 Tentang SPPA “Sistem Peradilan Anak wajib
mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif”.Dan ayat (3) “Dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b wajib diupayakan Diversi”. Jo.
Pasal 7 ayat (2) “Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak
pidana yang dilakukan : a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan b. bukan
merupakan pengulangan tindak pidana”
Anak dengan mengedepankan prinsip the best interest of the child. Konsep diversi

lahir didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan pidana terhadap Anak

pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana konvensional lebih banyak

menimbulkan bahaya dari pada kebaikan. Menurut Peter C. Kratcoski terdapat

tiga jenis pelaksanaan diversi, yaitu :

1. Pelaksanaan kontrol sosial (social control orientation), dalam hal ini

aparat penegak hukum menyerahkan Anak pelaku pada pertanggung

jawaban dan pengawasan masyarakat, dengan ketaatan pada

persetujuan atau peringatan yang diberikan. Pelaku menerima

tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak diharapkan adanya

kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh masyarakat.

2. Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service

orientation), yaitu pelayanan sosial oleh masyarakat dengan

melakukan fungsi pengawasan, mencampuri, dan menyediakan

pelayanan bagi pelaku serta keluarganya.

3. Restorative Justice atau Perundingan (balanced or restorative justice

orientation), yaitu melindungi masyarakat, memberi kesempatan

pelaku bertanggung jawab langsung pada korban dan masyarakat dan

membuat kesepakatan bersama antara pelaku, korban, dan masyarakat.

Semua pihak yang terkait dipertemukan untuk bersama-sama

mencapai kesepakatan terhadap pelaku.9

9
Herlina Apong,Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Buku Saku untuk
Polisi, Unicef. Jakarta. 2004 Hlm. 160
2.2. Syarat-Syarat Dilakukannya Diversi

Ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam asas legalitas Pasal 5 ayat (1)

UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, secara tegas

disebutkan bahwa, Sistem peradilan anak wajib mengutamakan pendekatan

keadilan restoratif (restorative justice), demikian juga ayat (3) Dalam Sistem

Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b

wajib diupayakan Diversi.

Ketentuan hukum tersebut membuka peluang pola pendekatan terhadap

penyelesaian perkara anak dapat diselesaikan tanpa menggunakan hukum pidana

sebagaimana dimaksudkan penerapan penjara merupakan upaya terakhir (ultimum

remedium) dalam sistem peradilan yang dimaksud. Substansi yang paling dasar

dalam aturan ini adalah pengaturan secara tegas mengenai keadilan restoratif dan

diversi yang dimaksud guna menghindari dan menjauhkan anak dari proses

peradilan sehingga menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan

dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial

secara wajar.

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan diversi yakni :

1. Batasan usia sebagai dasar acuan yang dapat diajukan kedalam proses

penyelesaian terhadap sistem aturan kebijakan ini dimana Pasal 1

angka 3 dengan tegas mengemukakan yaitu bahwa: “anak yang

berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak


yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18

(delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana”.10

2. Diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara di

bawah 7 (tujuh) tahun; dan

3. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana.11

2.3. Tujuan Dilakukannya Diversi

Penerapan hukum pidana terhadap permasalahan yang menimpa anak,

teori treatment (perawatan) yakni perbaikan sikap prilaku anak lebih diutamakan

dalam proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum

sebagaimana yang menjadi semangat UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak.12 Mengingat ketika anak melakukan perbuatan pidana,

anak diposisikan sebagai korban bukan sebagai pelaku karena anak dalam

melakukan tidak berdiri sendiri, melainkan karena diakibatkan oleh masalah di

luar kemampuan anak itu sendiri, misalnya karena masalah ekonomi, sosial,

budaya dan lingkungan mereka berada.13


10
Lihat Pasal 1 angka 3 UU No. 11 Tahun 2012 Tentang SPPA “Anak yang Berkonflik dengan
Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun,
tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana”.
11
Lihat Pasal 7 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2012 Tentang SPPA “Diversi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan: a. diancam dengan pidana
penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
12
Lihat Pasal 5 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2012 Tentang SPPA “Sistem Peradilan Anak wajib
mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif”.Dan ayat (3) “Dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b wajib diupayakan Diversi”.

13
Lihat Konsideran Penjelasan UU No. 11 Tahun 2012 Tentang SPPA alinea kedua “Anak perlu
mendapat perlindungan dari dampak negatif perkembangan pembangunan yang cepat, arus
globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
perubahan gaya dan cara hidup sebagaian orang tua yang telah membawa perubahan sosial yang
mendasar dalam kehidupan dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap
nilai dan prilaku anak. Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang
dilakukan oleh anak, antara lain dibebankan oleh faktor diluar dari anak tersebut. Data anak yang
berhadapan dengan hukum dari Direktorat Jendral Permasyarakatan menunjukan bahwa tingkat
kriminalitas serta pengaruh negative penyalagunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif
semakin meningkat”.
Oleh karena itu diversi dalam pelaksanaannya secara umum bertujuan

mencegah dijatuhkannya sanksi pidana berupa hukuman penjara bagi pelaku

tindak pidana anak, dan berorientasi pada pemulihan korban jika ada korban serta

mencari alternatif penyelesaian terbaik bagi kepentingan anak, karena anak adalah

aset bangsa dan merupakan penerus cita–cita perjuangan bangsa. Berdasarkan

Pasal 6 UU RI No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Diversi

bertujuan:

1. Mencapai perdamaian antara korban dan Anak;

2. Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;

3. Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;

4. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan

5. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.

2.4. Dasar Hukum Diversi

Dalam melindungi anak yang berkonflik dengan hukum, pemerintah

mengeluarkan payung hukum dalam pelaksanaan diversi. Adapun dasar-dasar

hukum diversi adalah sebagai berikut :

1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2015

tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang

Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun

3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017

tentang Pedoman Register Perkara Anak dan Anak Korban


4. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun

2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan

Pidana Anak

5. Peraturan Jaksa Agung No. 006/A/J.A/2015 tentang Pedoman

Pelaksanaan Diversi pada Tingkat Penuntutan

6. Telegram Rahasia No TR/1124/XI/2006 dari Kabareskrim Polri,

tanggal 16 November 2006 dan TR/395/VI/2008 tanggal 9 Juni 2008,

tentang Pelaksanaan Diversi dan Restorative Justice dalam Kasus

Anak Baik Sebagai Pelaku, Korban atau Saksi

2.5. Pelaksanaan Diversi

2.5.1 Pelaksanaan Diversi Tahap Penyidikan

Dalam melakukan penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh

anak di tangani oleh Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA).

Dimulai dari tahap penyelidikan, penangkapan, penahanan (apabila

dilakukan penahanan) sampai pada tahap penyidikan dilakukan sesuai

dengan amanat dari UU Sistem Peradilan Pidana Anak.

Pelaksanaan diversi sebagai suatu tindakan menuju suatu keadilan

yang restorative selalu diupayakan oleh Penyidik dalam melakukan

penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh anak . Penyidik dalam

melakukan diversi, mendapatkan pertimbangan dari BAPAS. Selain itu

penyidik juga berperansebagaifasilitator/mediator untuk melakukan

musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban dan


orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, pekera sosial

professional berdasarkan pendekatan restorative.

Dalam pelaksanaan upaya diversi dalam perkara anak, penyidik

berpedoman kepada UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun

2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang

Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun dan Telegram Rahasia No

TR/1124/XI/2006 dari Kabareskrim Polri, tanggal 16 November 2006 dan

TR/395/VI/2008 tanggal 9 Juni 2008, tentang Pelaksanaan Diversi dan

Restorative Justice dalam Kasus Anak Baik Sebagai Pelaku, Korban atau

Saksi.

Pelaksanaan musyawarah Diversi melibatkan:

a. Penyidik;

b. Anak dan/atau orang tua/Walinya;

c. korban atau Anak Korban dan/atau orang tua/Walinya;

d. Pembimbing Kemasyarakatan; dan

e. Pekerja Sosial Profesional.

Berikut ini adalah tahapan dari pelaksanaan penanganan perkara

anak yang memungkinkan untuk melakukan upaya diversi pada tingkat

penyidikan.
Surat Perintah Penyidikan (Sprindik)

Pengiriman SPDP kepada Kejaksaan paling lama 1x24 jam setelah dikeluarkannya Sprindik

Sejak dimulainya penyidikan, Penyidik paling lama 1 x 24 jam meminta Pembimbing


Kemasyarakatan untuk hadir mendampingi Anak &melakukan penelitian kemasyarakatan;

Paling lama 3 x 24 jam sejak tanggal diterimanya surat permintaan dari Penyidik
Pembimbing Kemasyarakatan wajib menyampaikan hasil penelitian kemasyarakatan.

Paling lama 7 x 24 jam terhitung sejak dimulainya penyidikan, Penyidik memberitahukan


dan menawarkan kepada Anak dan/atau orang tua/Wali, serta korban atau Anak Korban
dan/atau orang tua/Wali untuk menyelesaikan perkara melalui Diversi.

tidak sepakat untuk melakukan sepakat untuk melakukan Diversi


Diversi

Penyidik menentukan tanggal dimulainya


musyawarah Diversi dan jangka
pelaksanaan diversi paling lama 30 hari
sejak dimulainya diversi.

Diversi tidak mencapai Sepakat diversi, Penyidik


kesepakatan, Penyidik mengirimkan Surat
menyampaikan berkas Kesepakatan Diversi &berita
perkara dan berita acara acara Diversi kepada Ketua
Diversi kepada Penuntut Pengadilan Negeri untuk
Umum memperoleh Penetapan
Kesepakatan Diversi.

Penyidikan dilanjutkan dan


Penyidik menyampaikan berkas
perkara dan berita acara upaya
Diversi kepada Penuntut
Umum.
Jika kesepakatan Diversi berbentuk Jika kesepakatan Diversi diluar
perdamaian tanpa ganti kerugian atau berbentuk perdamaian tanpa ganti
penyerahan kembali Anak kepada kerugian atau penyerahan kembali
orang tua/Wali; Anak kepada orang tua/Wali;

Penyidik menerbitkan surat ketetapan Atasan langsung Penyidik melakukan


penghentian penyidikan alam jangka pengawasan terhadap pelaksanaan
waktu paling lama 3 (tiga) hari kesepakatan Diversi dan Pembimbing
terhitung sejak tanggal diterimanya Kemasyarakatan melakukan
surat penetapan pengadilan. pendampingan, pembimbingan, dan
pengawasan

Pembimbing Kemasyarakatan
menyusun laporan pelaksanaan
kesepakatan Diversi dan disampaikan
oleh Pembimbing Kemasyarakatan
kepada atasan langsung Penyidik

Kesepakatan Diversi tidak Penyidik menerbitkan surat ketetapan


dilaksanakan dalam jangka penghentian penyidikan paling lama 5
waktu yang telah ditentukan hari sejak tanggal kesepakatan Diversi
selesai dilaksanakan

Penyidik mengirimkan
berkas perkara kepada
Penuntut Umum serta
melanjutkan penyidikan.

Jika berkas dinyatakan


lengkap (P21) maka penyidik
melimpahkan anak dan /
atau barang bukti kepada
penuntut umum
2.5.2 Pelaksanaan Diversi Tahap Penuntutan

Penuntut Umum Anak sebagai bagian dari lembaga kejaksaan yang

menjadi salah satu rangkaian pelaksana sistem peradilan pidana anak,

mengenai pedoman pelaksanaan diversi dalam sistem peradilan pidana

anak, sebagai tindak lanjut dari pengaturan diversi didalam Undang-UU

Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, maka

disusunlah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun

2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang

belum Berumur 12 (dua belas) tahun. Disamping itu Penuntut Umum juga

berpedoman kepada Peraturan Jaksa Agung No. 006/A/J.A/2015 tentang

Pedoman Pelaksanaan Diversi pada Tingkat Penuntutan.

Apabila suatu perkara anak berhasil mencapai kesepakatan dalam

musyawarah diversi, maka yang dapat dilakukan adalah :

a. tidak dilakukan penuntutan,

b. pemeriksaan perkara di pengadilan dihentikan, dan

c. anak tidak menjalani putusan pidana. Tidak dilakukannya

penuntutan menurut konsep diversi bertujuan untuk

melindungi pelaku anak dari pengaruh negatif sistem peradilan

pidana.

Pelaksanaan musyawarah Diversi melibatkan:

a. Penyidik;

b. Anak dan/atau orang tua/Walinya;

c. korban atau Anak Korban dan/atau orang tua/Walinya;


d. Pembimbing Kemasyarakatan; dan

e. Pekerja Sosial Profesional.

Berikut ini adalah tahapan dari pelaksanaan upaya diversi

pada tingkat penuntutan.

Penyerahan Anak dan / atau barang bukti dari penyidik ke penuntut umum

Dalam waktu 7 x sejak penyerahan tanggung jawab atas Anak dan barang bukti, Penuntut
Umum menawarkan kepada Anak dan/atau orang tua/Wali, serta korban atau Anak Korban
dan/atau orang tua/Wali untuk menyelesaikan perkara melalui Diversi.

Paling lama 7 x 24 jam terhitung sejak dimulainya penyidikan, Penyidik memberitahukan


dan menawarkan kepada Anak dan/atau orang tua/Wali, serta korban atau Anak Korban
dan/atau orang tua/Wali untuk menyelesaikan perkara melalui Diversi.

tidak sepakat untuk sepakat untuk melakukan Diversi


melakukan Diversi

Penuntut umu menentukan tanggal


Penuntut umum wajib dimulainya musyawarah Diversi dan
menyampaikan berita acara jangka pelaksanaan diversi paling lama 30
upaya Diversi hari sejak dimulainya diversi.

Diversi tidak mencapai Sepakat diversi, penuntut


kesepakatan, penuntut umum mengirimkan Surat
umum membuat Kesepakatan Diversi &berita
laporan dan berita acara acara Diversi kepada Ketua
proses Diversi Pengadilan Negeri untuk
memperoleh penetapan.

Penuntut umum melimpahkan


perkara ke pengadilan
Jika kesepakatan Diversi berbentuk Jika kesepakatan Diversi diluar
perdamaian tanpa ganti kerugian atau berbentuk perdamaian tanpa ganti
penyerahan kembali Anak kepada kerugian atau penyerahan kembali
orang tua/Wali; Anak kepada orang tua/Wali;

Penyidik menerbitkan surat ketetapan Atasan langsung Penyidik melakukan


penghentian penyidikan alam jangka pengawasan terhadap pelaksanaan
waktu paling lama 3 (tiga) hari kesepakatan Diversi dan Pembimbing
terhitung sejak tanggal diterimanya Kemasyarakatan melakukan
surat penetapan pengadilan. pendampingan, pembimbingan, dan
pengawasan

Pembimbing Kemasyarakatan
menyusun laporan pelaksanaan
kesepakatan Diversi dan disampaikan
oleh Pembimbing Kemasyarakatan
kepada atasan langsung Penyidik

Kesepakatan Diversi tidak Penyidik menerbitkan surat ketetapan


dilaksanakan dalam jangka penghentian penyidikan paling lama 5
waktu yang telah ditentukan hari sejak tanggal kesepakatan Diversi
selesai dilaksanakan

Penyidik mengirimkan
berkas perkara kepada
Penuntut Umum serta
melanjutkan penyidikan.

Jika berkas dinyatakan


lengkap (P21) maka penyidik
melimpahkan anak dan /
atau barang bukti kepada
penuntut umum
2.5.3 Pelaksanaan Diversi Tahap Pemeriksaan di Pengadilan
Ketua Pengadilan menetapkan Hakim untuk menangani perkara Anak paling lama 3 (tiga)
hari terhitung sejak tanggal pelimpahan perkara diterima dari Penuntut Umum

Dalam waktu 7 x sejak penunjukan Hakim, Hakim menawarkan kepada Anak dan/atau
orang tua/Wali, serta korban atau Anak Korban dan/atau orang tua/Wali untuk
menyelesaikan perkara melalui Diversi

tidak sepakat untuk sepakat untuk melakukan Diversi


melakukan Diversi

Hakim menentukan tanggal dimulainya


Hakim membuat laporan musyawarah Diversi dimana Proses
dan berita acara proses Diversi dilaksanakan paling lama 30 (tiga
Diversi puluh) hari terhitung sejak tanggal
dimulainya Diversi

Diversi tidak mencapai Sepakat diversi, Hakim


kesepakatan, Hakim mengirimkan Surat
membuat laporan dan Kesepakatan Diversi &berita
berita acara proses acara Diversi kepada Ketua
Diversi Pengadilan Negeri untuk
memperoleh penetapan.

Dilanjutkan ke tahap
persidangan
BAB III

KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Alfiah, RN. 1986. Praperadilan dan Ruang Lingkupnya. Jakarta: CV. Akademika

Presindo.

Saropie, Ervan. 2009. Lembaga Hakim Literatur, Fakultas Hukum Universitas

Indonesia.

Nasution, Adnan Buyung. 1988. Bantuan Hukum di Indonesia, Jakarta.

Harahap, M. Yahya. 2003. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

(Pemeriksaan sidang pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali).

Jakarta: Sinar Grafika.

Hamzah, Andi. 2010. Penjelasan Beberapa Hal dalam RUU Hukum Acara

Pidana, Makalah. disampaikan pada Sosialisasi NA RUU HAP di Jakarta.

Adji, Oemar Seno. 1980. Hukum Pidana. Jakarta: Erlangga.

Siahaan, Lintong Oloan. 1981. Jalannya Peradilan Prancis Lebih Cepat dari

Peradilan Kita. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Raharjo, Satjipto. Agustus 2007. Membangun Polisi Umum Prefektif Hukum,

Sosial dan Kemasyarakatan, Kompas, Jakarta.

Darwan S.H., 1993. Praperadilan dan Perkembangannya di dalam praktik, cet.

1,. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

Harahap, M. Yahya. 2007. Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP :

Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta : Sinar Grafika.

Surachman, R.M., Maringka, Jan S. 2015. Peran Jaksa Dalam Sistem Peradilan

Pidana di Kawasan Asia Pasifik. Sinar Grafika. Jakarta.

Surachman, R.M., Hamzah, Andi. 1996. Jaksa di Berbagai Negara, Peranan dan

Kedudukannya. Jakarta: Sinar Grafika.

Anda mungkin juga menyukai