PENDAHULUAN
1
Ratna Nurul Alfiah, Praperadilan dan Ruang Lingkupnya, Jakarta : Akademika Pressindo C.V., 1986,
hlm.35.
2
Ervan Saropie, Lembaga Hakim Literatur, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009.
3
Adnan Buyung Nasution, Bantuan Hukum di Indonesia, Jakarta, 1988.
tetapi hanya merupakan pembagian wewenang dan fungsi yang baru dilimpahkan
KUHAP kepada setiap pengadilan negeri yang telah ada selama ini.4
Berdasarkan pemaparan diatas, praperadilan merupakan suatu hal yang
menarik untuk dibahas. Maka dari itu, penulis akan membahas mengenai seputar
praperadilan secara menyeluruh dan rinci didalam makalah ini sesuai dengan
literatur-literatur yang ada dan juga dalam sudut pandang KUHAP.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan Praperadilan menurut KUHAP?
2. Bagaimana acara Praperadilan menurut KUHAP?
3. Bagaimana Kewenangan Praperadilan menurut KUHAP?
4. Siapa sajakah pihak-pihak yang dapat mengajukan Praperadilan menurut
KUHAP?
5. Bagaimana fungsi Praperadilan menurut KUHAP?
6. Bagaimana ruang lingkup Praperadilan menurut KUHAP?
7. Bagaimana gugurnya Praperadilan menurut KUHAP
8. Apa yang menjadi Objek Praperadilan setelah adanya beberapa putusan
Mahkamah Konstitusi?
9. Apa itu Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan Surat Ketetapan
Penghentian Penuntutan (SKPP) dan Deponering?
C. TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan pemaparan diatas, maka tujuan dari penulisan makalah ini ialah
sabagai berikut.
1. Untuk mengetahui pengertian praperadilan menurut KUHAP
2. Untuk mengetahui acara Praperadilan menurut KUHAP
3. Untuk mengetahui kewenangan Praperadilan menurut KUHAP
4. Untuk mengetahui pihak-pihak yang dapat mengajukan Praperadilan menurut
KUHAP
5. Untuk mengetahui ruang lingkup Praperadilan menurut KUHAP
6. Untuk mengetahui gugurnya Praperadilan menurut KUHAP
7. Untuk mengetahui Objek Praperadilan setelah adanya beberapa putusan
Mahkamah Konstitusi
4
M. Yahya Harahap (a), Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan sidang
pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hlm. 1.
8. Untuk mengetahui Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan Surat
Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP)
D. KEGUNAAN PENULISAN
Adapun kegunaan dari penulisan makalah ini ialah sebagai berikut.
1. Sebagai informasi mengenai pengertian praperadilan bagi masyarakat.
2. Sebagai informasi mengenai acara Praperadilan bagi masyarakat.
3. Sebagai informasi mengenai kewenangan Praperadilan bagi masyarakat.
4. Sebagai informasi mengenai pihak-pihak yang dapat mengajukan
Praperadilan bagi masyarakat.
5. Sebagai informasi mengenai fungsi Praperadilan bagi masyarakat.
6. Sebagai informasi mengenai ruang lingkup Praperadilan bagi masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. ISTILAH DAN PENGERTIAN PRAPERADILAN MENURUT KUHAP
Pra artinya sebelum, atau mendahului, berarti “praperadilan” sama dengan
sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan. Di Eropa dikenal lembaga semacam itu,
tetapi fungsinya memang benar-benar melakukan pemeriksaan pendahuluan. Jadi,
fungsi hakim komisaris (Rechter commissaris) di negeri Belanda dan Judge d’
Instruction di Perancis benar-benar dapat disebut praperadilan, karena selain
menentukan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan, juga melakukan
pemeriksaan pendahuluan atas suatu perkara.5
Misalnya penuntut umum di Belanda dapat minta pendapat hakim mengenai
suatu kasus, apakah misalnya kasus itu pantas dikesampingkan dengan transaksi
(misalnya perkata tidak diteruskan ke persidangan dengan mengganti kerugian)
ataukah tidak. Meskipun ada kemiripannya dengan hakim komisaris itu, namun
wewenang praperadilan terbatas. Wewenang untuk memutuskan apakah penangkapan
atau penahanan sah ataukah tidak. Apakah penghentian penyidikan atau penuntutan
sah ataukah tidak. Tidak disebut apakah penyitaan sah ataukah tidak.
Menurut Oemar Seno Adji, lembaga rechter commissris ( hakim yang
memimpin pemeriksaan pendahuluan) muncul sebagai perwujudan keaktifan hakim,
yang di Eropa Tengah mempunyai posisi penting yang mempunyai kewenangan
untuk menangani upaya paksa (dwang mid-delen)¸penahanan, penyitaan,
penggeledahan badan, rumah, dan pemeriksaan surat-surat.6 Menurut KUHAP
Indonesia, praperadilan tidak mempunyai wewenang seluas itu. Hakim komisaris
selain misalnya berwenang untuk menilai sah tidaknya suatu penangkapan, penahan
seperti praperadilan, juga sah atau tidaknya suatu penyitaan yang dilakukan oleh
jaksa.
Selain itu, kalau hakim komisaris di Negeri Belanda melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan tugas jaksa, kemudian jaksa melakukan hal yang sama terhadap
pelaksanaan tugas polisi maka praperadilan di Indonesia melakukan pengawasan
terhadap kedua instansi tersebut. Begitu pula Judge d’Instruction di Prancis,
mempunyai wewenang yang luas dalam pemeriksaan pendahuluan. Ia dapat membuat
berita acara, penggeledahan rumah dan tempat-tempat tertentu. Setelah pemeriksaan
pendahuluan yang dilakukan rampung, ia menentukan apakah suatu perkata cukup
5
Andi Hamzah, Penjelasan Beberapa Hal dalam RUU Hukum Acara Pidana, Makalah, disampaikan
pada Sosialisasi NA RUU HAP di Jakarta, 1 November 2010.
6
Oemar Seno Adji, Hukum, Hukum Pidana. Jakarta: Erlangga, 1980, hlm. 88.
alasan untuk dilimpahkan ke pengadilan ataukah tidak. Kalau cukup alasan, ia akan
mengirimkan perkara tersebut dengan surat pengiriman yang disebut ordonance de
Renvoi, sebaliknya jika tidak cukup alasan, ia akan membebaskan tersangka dengan
ordonance de non lieu.
Namun demikian, menurut Siahaan, tidak semua perkata harus melalui Judge
d’ Instruction. Hanya perkara-perkara besar dan yang sulit pembuktiannya yang
ditangani olehnya. Selebihnya yang tidak begitu sulit pembuktiannya pemeriksaan
pendahuluannya dilakukan sendiri oleh polisi di bawah perintah dan petunjuk-
petunjuk jaksa7.
Menurut KUHAP, tidak ada ketentuan di mana hakim praperadilan
melakukan pemeriksaan pendahuluan atau memimpinnya. Hakim pra-peradilan tidak
melakukan pemeriksaan pendahuluan, penggeledahan, penyitaan, dan seterusnya
yang bersifat pemeriksaan pendahuluan. Ia tidak pula menentukan apakah suatu
perkara cukup alasan ataukah tidak untuk diteruskan ke pemeriksaan sidang
pengadilan.
Penentuan diteruskan ataukah tidak suatu perkara tergantung kepada jaksa
penuntut umum. Seperti telah disebut di muka dominus litis adalah jaksa. Bahkan
tidak ada kewenangan hakim praperadilan untuk menilai sah tidaknya suatu
penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan oleh jaksa dan penyidik. Padahal kedua
hal itu sangat penting dan merupakan salah satu asas dasar hak asasi manusia.
Penggeledahan yang tidak sah merupakan pelanggaran terhadap ketentraman rumah
tempat kediaman orang. Begitu pula penyitaan yang tidak sah merupakan
pelanggaran serius terhadap hak milik orang.
Hakim komisaris di negeri Belanda dapat selalu minta agar terdakwa
dihadapkan kepadanya walaupun terdakwa diluar kehendaknya. Ia dapat meminta
terdakwa dibawa kepadanya. Jika perlu untuk kepentingan pemeriksaan yang
mendesak meminta dalam waktu satu kali dua puluh empat jam dapat juga memeriksa
saksi-saksi dan ahli-ahli. Oleh karena itu, menurut Van Bemmelen hakim komisaris
itu memerlukan pengetahuan yang luas disamping pengetahuan yuridisnya seperti
bagaimana memeriksa saksi dan terdakwa. Diperlukan pengetahuan psikologis untuk
semua itu8.
7
Lintong Oloan Siahaan. Jalannya Peradilan Prancis Lebih Cepat dari Peradilan Kita. Jakarta: Ghalia
Indonesia. 1981, hlm. 92-94.
8
Andi Hamzah, Op.Cit, hlm. 189.
Tugas praperadilan diIndonesia terbatas. Dalam pasal 78 yang berhubungan
dengan pasal 77 KUHAP dikatakan bahwa yang melaksanakan wewenang pengadilan
negeri memeriksa dan memutus tentang berikut9.
Dalam pasal 79,80,81 diperinci tugas praperadilan itu yang meliputi tiga hal
pokok sebagai berikut.
Acara praperadilan untuk ketiga hal, yaitu pemerikaan sah atau tidaknya suatu
penangkapan atau penahanan (Pasal 79 KUHAP), pemeriksaan sah tidaknya suatu
penghentian penyidikan atau penuntutan (Pasal 80 KUHAP), pemeriksaan tentang
penggantian ganti kerugian dan/atau rehabilitas akibat tidak sahnya penangkapan atau
penahanan atau akibatnya atau akibat tidak sahnya penghentian penyidikan (Pasal 81
KUHAP) ditentukan beberapa hal berikut.
1. Dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk
menetapkan hari sidang.
2. Dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau
penanhanan sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan,
permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi akibat tidak sahnya
penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau
penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian,
hakim mendengar keterangan baik tersangka atau pemohon maupun dari
pejabat yang berwenang.
3. Pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh
hari, hakim harus sudah menjatuhkan putusannya.
10
Satjipto Raharjo, Membangun Polisi Umum Prefektif Hukum, Sosial dan Kemasyarakatan, Kompas,
Jakarta, Agustus 2007, hlm 87.
4. Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri,
sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperailan belum
selesai maka permintaan tersebut gugur.
5. Putusan praperadilan pada tingkat poenyidikan tidak menutup kemungkinan
untuk mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan
oleh penutut umu, jika untuk itu diajukan permintaan baru (semua yang
tersebut dalam butir satu sampai dengan butir lima ini diatur dalam Pasal 82
ayat (1) KUHAP).
6. Putusan hakim dalam acara pemeriksaan peradilan dalam ketiga hal tersebut
dimuka harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya (Pasal 82 ayat (2)
KUHAP).
7. Selain daripada yang tersebut dalam butir enam, putusan hakim itu memuat
pula:
a. Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau
penahanan tidak sah maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada
tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka.
b. Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan
atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau pentuntutan terhadap tersangka
wajib dilanjutkan.
c. Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan
tidak sah maka dalam putusan dicantumlan jumlah besarnya ganti
kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu
penghentian, penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya
tidak ditahan maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya.
d. Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada dan tidak
termasuk alat pembuktian maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda
tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda
itu disita.
c) Penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan Penyidik atau pihak ketiga yang
berkepentingan, berdasarkan Pasal 80 KUHAP dapat mengajukan permintaan
pemeriksaan sah atau tidaknya penghentian penuntutan yang dilakukan oleh penuntut
umum. Bila dibandingkan dengan penghentian penyidikan, maka disini terjadi
pengawasan secara timbal balik. Pada penghentian penyidikan, penuntut umum
diberikan hak untuk mengawasi penyidik, sedangkan dalam penghentian penuntutan,
penyidik yang diberi hak untuk mengawasi penuntut umum. Di dalam KUHAP, telah
diatur pengawasn berlapis dengan jalan memberikan hak kepada pihak ketiga yang
berkepentingan untuk mengajukan permintaan pemeriksaan sah atau tidaknya
penghentian penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum. Dengan demikian,
jikalau sekiranya penyidik tidak menanggapi penghentian penuntutan yang dilakukan
oleh penuntut umum, maka pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan
permintaan pemeriksaan sah atau tidaknya penghentian penuntutan yang dilakukan
oleh penuntut umum kepada praperadilan.13
d) Tersangka, ahli warisnya atau kuasanya Pasal 95 ayat (2) KUHAP menyebutkan
bahwa tersangka, ahli warisnya atau kuasanya dapat mengajukan tuntutan ganti
kerugian kepada praperadilan atas alasan:
Jika praperadilan memutuskan bahwa penghentian penuntutan itu sah, maka hal
tersebut menjadi dasar bagi tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan untuk
mengajukan tuntutan ganti kerugian atau rehabilitasi kepada praperadilan.
12
M. Yahya Harahap (a), Op.Cit, hlm. 9.
13
Ibid, Hlm. 10.
f) Tersangka Pasal 97 ayat (3) KUHAP memberikan hak kepada tersangka untuk
mengajukan rehabilitasi kepada praperadilan atas alasan sebagai berikut:
1) Penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang;
2) Kekeliruan mengenai orang atau badan hukum yang diterapkan yang
perkaranya tidak diteruskan ke pengadilan.
14
Ratna Nurul Alfiah, Op.Cit. Hlm. 75.
• Memeriksa sah tidaknya suatu penangkapan dan penahanan (Pasal 79
KUHAP).
• Memeriksa sah tidaknya suatu penghentian penyidikan dan penuntutan
(Pasal 80 KUHAP).15
• Memeriksa permohonan ganti-rugi atau rehabilitasi akibat tidak sahnya
penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan
(Pasal 81 KUHAP).
Berdasarkan tugas-tugas tersebut tercermin bahwa Praperadilan mengemban
fungsi pengawasan atau kontrol terhadap tindakan penyidikan dan penuntutan. Yaitu
pengawasan oleh hakim Praperadilan terhadap Polisi dan terhadap Jaksa. Pengawasan
ini termasuk pengawasan horisontal, merupakan kontrol dari instansi yang sejajar dan
tidak hierarkis dalam jajarannya. Dengan Lembaga Praperadilan maka hukum acara
pidana memiliki fungsi pengawasan baik terhadap perilaku warga masyarakat
maupun terhadap perilaku para penegak hukum yang berperan dalam proses
bekerjanya secara pidana. Oleh karena itu Praperadilan dimaksudkan sebagai
pengawasan horisontal oleh Hakim Pengadilan Negeri terhadap pelaksanaan tugas
Penyidik dan Penuntut Umum, terutama menyangkut pelaksanaan upaya paksa.
Hakim dalam Praperadilan bukan berarti fungsionaris peradilan, bukan pula wasit
yang mengadili sengketa hukum. Hakim dalam Praperadilan dipinjam karena
diperlukan suatu fungsionaris netral untuk mengontrol penangkapan dan penahanan
itu. Jelaslah bahwa prosedur Praperadilan mengganti atau mengalihkan tugas
pengawasan terhadap penangkapan dan penahanan serta penghentian penyidikan dan
penuntutan dari Kepala-kepala Kejaksaan atau Kepala-kepala Kepolisian kepada
Hakim Pengadilan Negeri yang berkedudukan netral.
15
Darwan S.H., Praperadilan dan Perkembangannya di dalam praktik, cet. 1, (Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti, 1993), hal. 2.
Praperadilan berdasarkan Pasal 78 ayat (1) KUHAP merupakan lembaga yang
melaksanakan wewenang pengadilan negeri seperti yang dijelaskan pada pasal
sebelumnya yaitu Pasal 77 KUHAP. Untuk mengetahui ruang lingkup
Praperadilan, dibawah ini merupakan rincian wewenang yang diberikan undang-
undang.
Menurut pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP menyatakan dalam hal suatu perkara
sudah mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai
permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa gugurnya permintaan dalam Pasal 82 ayat
(1) tidak mengurangi/tidak dianggap mengurangi hak tersangka, sebab semua
permintaan itu dapat ditampung kembali oleh PN dalam pemeriksaan pokok,
khususnya tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan atau
penyitaan. Apa yang tidak bisa diperoleh pemohon pada praperadilan dapat dialihkan
pengajuannya ke PN. Hanya saja, proses dan tatacaranya semakin panjang, khususnya
mengenai ganti kerugian dan rehabilitasi yang pengajuannya baru diperkenankan
setelah perkaranya diputus dan putusan itu sendiri telah memperoleh kekuatan hukum
tetap. Sedangkan, jika hal itu diajukan kepada praperadilan maka prosesnya lebih
singkat dan lebih cepat.17
16
Misalnya tersangka pertama kali mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya
penahanan yang dilakukan penyidik, kedua permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya
penahanan yang dilakukan penyidik, ketiga permintaan pemeriksan mengenai tentang sah tidaknya
penyitaan yang dilakukan penyidik, bahkan keempat masih diperkenankan undang-undang untuk
mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penahanan yang dilakukan penuntut
umum dalam tingkat penuntutan.
17
M. Yahya (a) Harahap, Pembahasan ... Op.Cit., hlm. 16.
Dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-
XII/2014 menyebabkan objek praperadilan mengalami perluasan yang
kemudian menjadi dasar penetapan tersangka merupakan salah satu objek
praperadilan. Dengan dikeluarkannya putusan tersebut membuka peluang
kepada tersangka untuk mengajukan gugatan praperadilan mengenai sah
tidaknya penetapan tersangka.
Oleh karena ketentuan Pasal 77 huruf a KUHAP di atas, oleh Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia dianggap tidak dapat memenuhi hak-hak
konstitusional setiap warga Negara, maka Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia melalui Putusannya No.: 21/PUU-XII/2014, yang diputus pada
tanggal 28 April 2015, dalam norma hukumnya, pada bagian [3.16] angka 1
huruf k, halaman 105 dan 106, menyebutkan:
“… oleh karena penetapan Tersangka adalah bagian dari proses penyidikan
yang merupakan perampasan terhadap Hak Asasi Manusia, maka seharusnya
penetapan Tersangka oleh Penyidik merupakan obyek yang dapat dimintakan
perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan … dimasukkannya
keabsahan penetapan Tersangka sebagai obyek pranata praperadilan adalah
agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan
Tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan
kedudukan yang sama di hadapan hukum;
Dan dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, pada bagian
“mengadili”, nomor 1.3 dan 1.4, halaman 110, menyebutkan:
SP3 diberikan dengan merujuk pada pasal 109 ayat (2) KUHAP, yaitu:
1. Jika yang menghentikan penyidikan adalah penyidik Polri, pemberitahuan
penghentian penyidikan disampaikan pada penuntut umum dan
tersangka/keluarganya
2. Jika yang menghentikan penyidikan adalah penyidik PNS, maka
pemberitahuan penyidikan disampaikan pada:
a. penyidik Polri, sebagai pejabat yang berwenang melakukan
koordinasi atas penyidikan; dan
b. penuntut umum
18
M. Yahya Harahap (b), Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP : Penyidikan dan
Penuntutan, Jakarta : Sinar Grafika 2007, hlm. 437-438.
19
Ibid, hlm. 439.
Secara sederhana deponering dapat diartikan sebagai wewenang Jaksa Agung
mengesampingkan perkara demi kepentingan umum berdasarkan asas
oportunitas. Juga dapat dipahami sebagai wewenang tidak menuntut karena
alasan kebijakan. Jadi perkara yang bersangkutan tidak dilimpahkan ke
pengadilan, akan tetapi di”kesampingkan”.
Hal ini ditegaskan pada Pasal 35 huruf (c) Undang-Undang No. 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang menyatakan “Jaksa Agung
dapat menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum”. Dimana
yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan
negara dan atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas
oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah
memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang
mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Jadi, hanya Jaksa Agung lah
yang berwenang dalam deponering ini. Hal lain juga di jelaskan oleh RM
Surachman Jan S. Maringka yang menyebutkan sebagai berikut:20
“Asas oportunitas yaitu asas yang memberikan kesempatan kepada jaksa
untuk tidak menuntut perkara pidana, bila mana penuntutan tidak selayaknya
dilakukan atau bilamana penuntutan itu akan merugikan kepentingan umum
dan kepentinganpemerintah.”.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan RI, dalam
Pasal 32 ( c ), yang menyatakan bahwa Jaksa Agung mempunyai tugas dan
wewenang untuk menyampingkan perkara yang lebih dipertegas lagi dalam
buku pedoman pelaksanaan KUHAPsebagai berikut, Penyampingan perkara
untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung (Penjelasan
resmi pasal 77 Dengan dinyatakannya dalam penjelasan resmi Pasal 77 yaitu
berupa : “Yang dimaksudkan dengan “penghentian penuntutan” tidak
termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi
wewenang Jaksa Agung” maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP mengakui
eksistensi perwujudan dari asas oportunitas, sehingga dengan demikian
perwujudan dari asas oportunitas tidak perlu dipermasalahkan, mengingat
dalam kenyataannya perundang-undangan posisif di negara kita, yakni dalam
KUHAP penjelasan resmi Pasal 77 dan dalam Undang – Undang Nomor 15
Tahun 1961 (Undang-Undang Pokok Kejaksaan) Pasal 8 secara tegas
20
RM Surachman Jan S. Maringka, Peran Jaksa Dalam Sistem Peradilan Pidana di Kawasan Asia
Pasifik, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm. 17.
mengakui eksistensi dari perwujudan asas oportunitas, yaitu kepada Jaksa
Agung selaku Penuntut Umum tertinggi berdasarkan kepada keadaan-keadaan
yang nyata untuk tidak menuntut suatu perkara pidana dimuka persidangan
pengadilan pidana agar kepentingan umum tidak lebih dirugikan.21
Maksud dan tujuan undang-undang memberikan kewenangan pada Jaksa
Agung tersebut adalah untuk menghindarkan tidak timbulnya penyalahgunaan
kekuasaan dalam hal pelaksanaan asas oportunitas, sehingga dengan demikian
satu-satunya pejabat negara di negara kita yang diberi wewenang
melaksanakan asas oportunitas adalah Jaksa Agung dan tidak kepada setiap
Jaksa selaku Penuntut Umum dan alasannya mengingat kedudukan Jaksa
Agung selaku Penuntut Umum tertinggi.
Untuk terjaminnya kepastian hukum dalam rangka pelaksanaan asas
oportunitas, Jaksa Agung menuangkan dalam suatu surat penetapan atau
keputusan yang salinannya diberikan kepada yang dikesampingkan
perkaranya demi kepentingan umum, hal mana dapat dipergunakan sebagai
alat bukti bagi yang bersangkutan.
Terhadap perkara yang dikesampingkan demi kepentingan umum, penuntut
umum tidak berwenang melakukan penuntutan terhadap tersangka dalam
perkara tersebut dikemudian hari.
Dasar hukum pelaksanaan penyampingan perkara (deponering) berdasarkan
asas oportunitas di Indonesia adalah:
a. Hukum tidak tertulis (hukum kebiasaan);
b. Pasal 4 PERPU No 24 Tahun 1960 Tentang Pengusutan,
Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi ;
c. Pasal 35 sub (c) UU No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI;
d. Pasal 46 ayat (1) huruf c KUHAP.
b.
21
R.M. Surachman dan Andi Hamzah, Jaksa di Berbagai Negara, Peranan dan Kedudukannya, (Jakarta:
Sinar Grafika, 1996), hlm. 6.
BAB III
KESIMPULAN
Alfiah, RN. 1986. Praperadilan dan Ruang Lingkupnya. Jakarta: CV. Akademika
Presindo.
Saropie, Ervan. 2009. Lembaga Hakim Literatur, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia.
Nasution, Adnan Buyung. 1988. Bantuan Hukum di Indonesia, Jakarta.
Harahap, M. Yahya. 2003. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
(Pemeriksaan sidang pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali).
Jakarta: Sinar Grafika.
Hamzah, Andi. 2010. Penjelasan Beberapa Hal dalam RUU Hukum Acara Pidana,
Makalah. disampaikan pada Sosialisasi NA RUU HAP di Jakarta.
Adji, Oemar Seno. 1980. Hukum Pidana. Jakarta: Erlangga.
Siahaan, Lintong Oloan. 1981. Jalannya Peradilan Prancis Lebih Cepat dari
Peradilan Kita. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Raharjo, Satjipto. Agustus 2007. Membangun Polisi Umum Prefektif Hukum, Sosial
dan Kemasyarakatan, Kompas, Jakarta.
Darwan S.H., 1993. Praperadilan dan Perkembangannya di dalam praktik, cet. 1,.
Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
Harahap, M. Yahya. 2007. Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP :
Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta : Sinar Grafika.
Surachman, R.M., Maringka, Jan S. 2015. Peran Jaksa Dalam Sistem Peradilan
Pidana di Kawasan Asia Pasifik. Sinar Grafika. Jakarta.
Surachman, R.M., Hamzah, Andi. 1996. Jaksa di Berbagai Negara, Peranan dan
Kedudukannya. Jakarta: Sinar Grafika.