Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Seperti yang sudah diketahui, demi untuk terlaksananya kepentingan
pemeriksaan tindak pidana, Undang-Undang memberikan kewenangan kepada
penyidik dan penuntut umum untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa
penangkapan, penahanan, penyitaan dan sebagainya. Seorang aparat sebagai penegak
hukum dalam melaksanakan kewajibannya tidak terlepas dari kemungkinan untuk
berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku, sehingga
perbuatan yang dilakukan dengan tujuan untuk pemeriksaan demi terciptanya
ketertiban dan keadilan masyarakat justru mengakibatkan kerugian bagi tersangka,
keluarga tersangka, atau pihak ketiga yang berkepentingan. 1 Oleh karena itu, untuk
menjamin perlindungan hak asasi manusia dan agar aparatur negara menjalankan
tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka KUHAP mengatur
sebuah lembaga yang dinamakan praperadilan.2
Pra Peradilan merupakan inovasi (lembaga baru) dalam KUHAP bersamaan
dengan inovasi-inovasi yang lain seperti limitasi atas proses penangkapan atau
penahanan, membuat KUHAP disebut juga sebagai karya agung (master-piece) (Al.
Wisnubroto dan G. Widiartna, 2005: 7). Hal di atas dipertegas oleh Luhut M.P.
Pangaribuan (2006: 21), dalam penerapan upaya-upaya paksa (dwang midelen),
sebagaimana dimungkinkan dalam proses peradilan pidana seperti penangkapan dan
penahanan, tidak merendahkan harkat dan martabat manusia, maka diperkenankanlah
lembaga baru untuk melakukan pengawasan, yaitu lembaga pra peradilan.
Munculnya lembaga praperadilan dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terinspirasi oleh
prinsip-prinsip dalam habeas corpus dari sistem Anglo Saxon yang memberikan hak
sekaligus jaminan fundamental kepada seorang tersangka untuk melakukan tuntutan
atau gugatan terhadap pejabat (polisi atau jaksa) yang menahannya agar
membuktikan bahwa penahanan itu benar-benar sah dan tidak melanggar hak asasi
manusia.3 Hadirnya praperadilan bukan merupakan lembaga peradilan tersendiri,

1
Ratna Nurul Alfiah, Praperadilan dan Ruang Lingkupnya, Jakarta : Akademika Pressindo C.V., 1986,
hlm.35.
2
Ervan Saropie, Lembaga Hakim Literatur, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009.
3
Adnan Buyung Nasution, Bantuan Hukum di Indonesia, Jakarta, 1988.
tetapi hanya merupakan pembagian wewenang dan fungsi yang baru dilimpahkan
KUHAP kepada setiap pengadilan negeri yang telah ada selama ini.4
Berdasarkan pemaparan diatas, praperadilan merupakan suatu hal yang
menarik untuk dibahas. Maka dari itu, penulis akan membahas mengenai seputar
praperadilan secara menyeluruh dan rinci didalam makalah ini sesuai dengan
literatur-literatur yang ada dan juga dalam sudut pandang KUHAP.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan Praperadilan menurut KUHAP?
2. Bagaimana acara Praperadilan menurut KUHAP?
3. Bagaimana Kewenangan Praperadilan menurut KUHAP?
4. Siapa sajakah pihak-pihak yang dapat mengajukan Praperadilan menurut
KUHAP?
5. Bagaimana fungsi Praperadilan menurut KUHAP?
6. Bagaimana ruang lingkup Praperadilan menurut KUHAP?
7. Bagaimana gugurnya Praperadilan menurut KUHAP
8. Apa yang menjadi Objek Praperadilan setelah adanya beberapa putusan
Mahkamah Konstitusi?
9. Apa itu Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan Surat Ketetapan
Penghentian Penuntutan (SKPP) dan Deponering?

C. TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan pemaparan diatas, maka tujuan dari penulisan makalah ini ialah
sabagai berikut.
1. Untuk mengetahui pengertian praperadilan menurut KUHAP
2. Untuk mengetahui acara Praperadilan menurut KUHAP
3. Untuk mengetahui kewenangan Praperadilan menurut KUHAP
4. Untuk mengetahui pihak-pihak yang dapat mengajukan Praperadilan menurut
KUHAP
5. Untuk mengetahui ruang lingkup Praperadilan menurut KUHAP
6. Untuk mengetahui gugurnya Praperadilan menurut KUHAP
7. Untuk mengetahui Objek Praperadilan setelah adanya beberapa putusan
Mahkamah Konstitusi

4
M. Yahya Harahap (a), Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan sidang
pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hlm. 1.
8. Untuk mengetahui Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan Surat
Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP)

D. KEGUNAAN PENULISAN
Adapun kegunaan dari penulisan makalah ini ialah sebagai berikut.
1. Sebagai informasi mengenai pengertian praperadilan bagi masyarakat.
2. Sebagai informasi mengenai acara Praperadilan bagi masyarakat.
3. Sebagai informasi mengenai kewenangan Praperadilan bagi masyarakat.
4. Sebagai informasi mengenai pihak-pihak yang dapat mengajukan
Praperadilan bagi masyarakat.
5. Sebagai informasi mengenai fungsi Praperadilan bagi masyarakat.
6. Sebagai informasi mengenai ruang lingkup Praperadilan bagi masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. ISTILAH DAN PENGERTIAN PRAPERADILAN MENURUT KUHAP
Pra artinya sebelum, atau mendahului, berarti “praperadilan” sama dengan
sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan. Di Eropa dikenal lembaga semacam itu,
tetapi fungsinya memang benar-benar melakukan pemeriksaan pendahuluan. Jadi,
fungsi hakim komisaris (Rechter commissaris) di negeri Belanda dan Judge d’
Instruction di Perancis benar-benar dapat disebut praperadilan, karena selain
menentukan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan, juga melakukan
pemeriksaan pendahuluan atas suatu perkara.5
Misalnya penuntut umum di Belanda dapat minta pendapat hakim mengenai
suatu kasus, apakah misalnya kasus itu pantas dikesampingkan dengan transaksi
(misalnya perkata tidak diteruskan ke persidangan dengan mengganti kerugian)
ataukah tidak. Meskipun ada kemiripannya dengan hakim komisaris itu, namun
wewenang praperadilan terbatas. Wewenang untuk memutuskan apakah penangkapan
atau penahanan sah ataukah tidak. Apakah penghentian penyidikan atau penuntutan
sah ataukah tidak. Tidak disebut apakah penyitaan sah ataukah tidak.
Menurut Oemar Seno Adji, lembaga rechter commissris ( hakim yang
memimpin pemeriksaan pendahuluan) muncul sebagai perwujudan keaktifan hakim,
yang di Eropa Tengah mempunyai posisi penting yang mempunyai kewenangan
untuk menangani upaya paksa (dwang mid-delen)¸penahanan, penyitaan,
penggeledahan badan, rumah, dan pemeriksaan surat-surat.6 Menurut KUHAP
Indonesia, praperadilan tidak mempunyai wewenang seluas itu. Hakim komisaris
selain misalnya berwenang untuk menilai sah tidaknya suatu penangkapan, penahan
seperti praperadilan, juga sah atau tidaknya suatu penyitaan yang dilakukan oleh
jaksa.
Selain itu, kalau hakim komisaris di Negeri Belanda melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan tugas jaksa, kemudian jaksa melakukan hal yang sama terhadap
pelaksanaan tugas polisi maka praperadilan di Indonesia melakukan pengawasan
terhadap kedua instansi tersebut. Begitu pula Judge d’Instruction di Prancis,
mempunyai wewenang yang luas dalam pemeriksaan pendahuluan. Ia dapat membuat
berita acara, penggeledahan rumah dan tempat-tempat tertentu. Setelah pemeriksaan
pendahuluan yang dilakukan rampung, ia menentukan apakah suatu perkata cukup

5
Andi Hamzah, Penjelasan Beberapa Hal dalam RUU Hukum Acara Pidana, Makalah, disampaikan
pada Sosialisasi NA RUU HAP di Jakarta, 1 November 2010.
6
Oemar Seno Adji, Hukum, Hukum Pidana. Jakarta: Erlangga, 1980, hlm. 88.
alasan untuk dilimpahkan ke pengadilan ataukah tidak. Kalau cukup alasan, ia akan
mengirimkan perkara tersebut dengan surat pengiriman yang disebut ordonance de
Renvoi, sebaliknya jika tidak cukup alasan, ia akan membebaskan tersangka dengan
ordonance de non lieu.
Namun demikian, menurut Siahaan, tidak semua perkata harus melalui Judge
d’ Instruction. Hanya perkara-perkara besar dan yang sulit pembuktiannya yang
ditangani olehnya. Selebihnya yang tidak begitu sulit pembuktiannya pemeriksaan
pendahuluannya dilakukan sendiri oleh polisi di bawah perintah dan petunjuk-
petunjuk jaksa7.
Menurut KUHAP, tidak ada ketentuan di mana hakim praperadilan
melakukan pemeriksaan pendahuluan atau memimpinnya. Hakim pra-peradilan tidak
melakukan pemeriksaan pendahuluan, penggeledahan, penyitaan, dan seterusnya
yang bersifat pemeriksaan pendahuluan. Ia tidak pula menentukan apakah suatu
perkara cukup alasan ataukah tidak untuk diteruskan ke pemeriksaan sidang
pengadilan.
Penentuan diteruskan ataukah tidak suatu perkara tergantung kepada jaksa
penuntut umum. Seperti telah disebut di muka dominus litis adalah jaksa. Bahkan
tidak ada kewenangan hakim praperadilan untuk menilai sah tidaknya suatu
penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan oleh jaksa dan penyidik. Padahal kedua
hal itu sangat penting dan merupakan salah satu asas dasar hak asasi manusia.
Penggeledahan yang tidak sah merupakan pelanggaran terhadap ketentraman rumah
tempat kediaman orang. Begitu pula penyitaan yang tidak sah merupakan
pelanggaran serius terhadap hak milik orang.
Hakim komisaris di negeri Belanda dapat selalu minta agar terdakwa
dihadapkan kepadanya walaupun terdakwa diluar kehendaknya. Ia dapat meminta
terdakwa dibawa kepadanya. Jika perlu untuk kepentingan pemeriksaan yang
mendesak meminta dalam waktu satu kali dua puluh empat jam dapat juga memeriksa
saksi-saksi dan ahli-ahli. Oleh karena itu, menurut Van Bemmelen hakim komisaris
itu memerlukan pengetahuan yang luas disamping pengetahuan yuridisnya seperti
bagaimana memeriksa saksi dan terdakwa. Diperlukan pengetahuan psikologis untuk
semua itu8.

7
Lintong Oloan Siahaan. Jalannya Peradilan Prancis Lebih Cepat dari Peradilan Kita. Jakarta: Ghalia
Indonesia. 1981, hlm. 92-94.
8
Andi Hamzah, Op.Cit, hlm. 189.
Tugas praperadilan diIndonesia terbatas. Dalam pasal 78 yang berhubungan
dengan pasal 77 KUHAP dikatakan bahwa yang melaksanakan wewenang pengadilan
negeri memeriksa dan memutus tentang berikut9.

a. Sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau


penghentian penuntutan
b. Ganti kerugian dan atau rehabilitas bagi seorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan, adalah praperadilan.
Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh pengadilan
negeri dan dibantu oleh seorang panitera.

Dalam pasal 79,80,81 diperinci tugas praperadilan itu yang meliputi tiga hal
pokok sebagai berikut.

a. Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau


penahanan yang diajukan oleh tersangka, keluarga, atau kuasanya kepada
ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya
b. Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan,
atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum, pihak
ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan
menyebutkan alasannya
c. Permintaan ganti rugi atau rehabilitas akibat tidak sah nya penagkapan atau
penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan
diaajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua
pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.

Dalam penjelasan undang-undang, hanya pasal 80 yang diberi komentar, yaitu


bahwa pasal ini bermaksud untuk menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran
melalui sarana pengawasan secara horizontal. Sebenarnya pasal 80 KUHAP itu
kurang tepat dalam perumusannya, karena yang dapat mengajukan permintaan
pemeriksaan sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan ialah
penyidik, atau penuntut umum atau pihak ketiga. Menurut pendapat penulis, sesuai
pula dengan jiwa penjelasan pasal tersebut maka penyidik dapat mengajukan
permintaan pemeriksaan dalam hal sah atau tidaknya suatu penuntutan, dan
sebaliknya penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan dalam hal sah
atau tidaknya suatu penghentian penyidikan. Jadi penuntut umum tidak secara
langsung memerintahkan kepada penyidik untuk meneruskan suatu penghentian
9
KUHAP.Pasal.1 butir 10.
penyidikan yang dilakukan oleh penyidik. Dalam hal ini ketentuan menyatakan
bahwa pada setiap penyidikan yang dilakukan oleh penyidik diberitahukan kepada
penuntut umum tidak mempunyai arti banyak.

Bagaimana hakim praperadilan itu diangkat dan untuk berapa lama


pengangkatan itu tidak dijelaskan dalam undang-undang. Pasal 78 KUHAP hanya
menyatakan bahwa praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh
ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera. Di negeri Belanda hakim
komisaris diangkat untuk masa jabatan dua tahun. atas prmohonan mereka, mereka
segera dapat diangkat kembali. Ditentukan juga bahwa mereka harus berpengalaman
dalam perkara pidana, misalnya pernah bekerja dibagian pidana dipengadilan itu.
Hakim komisaris itu diadakan untuk menjamin objektifitas sehingga mereka dilarang
10
mengambil bagian dalam pemeriksaan akhir (pasal 268 Ned.Sv.) dalam KUHAP
tidak ada larangan semacam itu bagi seorang hakim praperadilan.

B. ACARA PRAPERADILAN MENURUT KUHAP

Acara praperadilan untuk ketiga hal, yaitu pemerikaan sah atau tidaknya suatu
penangkapan atau penahanan (Pasal 79 KUHAP), pemeriksaan sah tidaknya suatu
penghentian penyidikan atau penuntutan (Pasal 80 KUHAP), pemeriksaan tentang
penggantian ganti kerugian dan/atau rehabilitas akibat tidak sahnya penangkapan atau
penahanan atau akibatnya atau akibat tidak sahnya penghentian penyidikan (Pasal 81
KUHAP) ditentukan beberapa hal berikut.

1. Dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk
menetapkan hari sidang.
2. Dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau
penanhanan sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan,
permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi akibat tidak sahnya
penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau
penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian,
hakim mendengar keterangan baik tersangka atau pemohon maupun dari
pejabat yang berwenang.
3. Pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh
hari, hakim harus sudah menjatuhkan putusannya.

10
Satjipto Raharjo, Membangun Polisi Umum Prefektif Hukum, Sosial dan Kemasyarakatan, Kompas,
Jakarta, Agustus 2007, hlm 87.
4. Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri,
sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperailan belum
selesai maka permintaan tersebut gugur.
5. Putusan praperadilan pada tingkat poenyidikan tidak menutup kemungkinan
untuk mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan
oleh penutut umu, jika untuk itu diajukan permintaan baru (semua yang
tersebut dalam butir satu sampai dengan butir lima ini diatur dalam Pasal 82
ayat (1) KUHAP).
6. Putusan hakim dalam acara pemeriksaan peradilan dalam ketiga hal tersebut
dimuka harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya (Pasal 82 ayat (2)
KUHAP).
7. Selain daripada yang tersebut dalam butir enam, putusan hakim itu memuat
pula:
a. Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau
penahanan tidak sah maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada
tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka.
b. Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan
atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau pentuntutan terhadap tersangka
wajib dilanjutkan.
c. Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan
tidak sah maka dalam putusan dicantumlan jumlah besarnya ganti
kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu
penghentian, penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya
tidak ditahan maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya.
d. Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada dan tidak
termasuk alat pembuktian maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda
tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda
itu disita.

C. KEWENANGAN PRAPERADILAN MENURUT KUHAP

Pasal 78 ayat (1) KUHAP menetapkan Praperadilan sebagai pelaksana


wewenang Pengadilan untuk memeriksa dan memutuskan tentang sah atau tidak
sahnya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan penghentian
penuntutan serta tentang ganti rugi dan rehabilitasi. Dalam hal hakim praperadilan
memutuskan penangkapan atau penahanan Penyidik adalah tidak sah, maka
Praperadilan berwenang untuk:

1. Memerintahkan pembebasan tersangka (Pasal 82 ayat (3) sub a) dan


menentukan jumlah besarnya ganti rugi dan rehabilitasi;
2. Menetapkan rehabilitasi saja apabila tersangka tidak ditahan;
3. Menetapkan penyidikan dan penuntutan (yang dihentikan) dilanjutkan;
4. Supaya benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian,
dikembalikan kepada tersangka atau kepada orang dari siapa benda itu disita.

Dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas, maka dapat dikatakan bahwa


kedudukan Praperadilan adalah sebagai suatu pengadilan umum dengan wewenang
khusus yang terbatas, yakni mempunyai acara sendiri yang agak berbeda dengan
proses pidana biasa. Perbedaan yang terlihat adalah, berbeda dengan proses pidana
umum dan khusus, proses Praperadilan tidak mengenal penuntut umum. Kedudukan
lembaga Praperadilan dalam hubungan ini dapat disamakan dengan kedudukan hakim
Pengadilan Ekonomi yang juga ditetapkan oleh Pengadilan Negeri, juga mempunyai
wewenang khusus dan terbatas yakni mengadili perkara tindak pidana ekonomi
semata-mata, dan mempunyai acara yang agak menyimpang dari hukum acara pidana
umum (KUHAP). Pemeriksaan dan pengadilan tindak pidana ekonomi diatur dalam
undang-undang tersendiri, hal ini juga dapat dilakukan dengan lembaga Praperadilan,
tetapi pembuat Undang-undang telah mengaturnya dalam KUHAP. Tetapi meskipun
demikian hakekatnya, kedua lembaga tersebut tetap sama saja, memeriksa dan
memutus perkara tindakan melawan hukum yang khusus.

Selanjutnya dapat dikatakan, bahwa dalam hal-hal perkara-perkara tindakan-


tindakan pidana ekonomi, korupsi dan subversi, lembaga Praperadilan tidak berlaku.
Dapat juga dicatat, bahwa putusan Praperadilan adalah final, tidak dapat dibanding
(atau dikasasikan) kecuali dalam hal putusan yang menetapkan penghentian
penyidikan dan pengusutan adalah tidak sah.11 Baik Pasal ini maupun Pasal lain di
KUHAP tidak menjelaskan apakah pemeriksaan ditingkat banding ini juga harus
mematuhi proses yang singkat seperti proses Praperadilan, dan tidak jelas pula
bagaimana harus dilakukan terhadap tersangka yang sudah dibebaskan oleh penyidik
atau penuntut umum; dibiarkan bebas atau harus atau bisa ditahan kembali.
Kedudukan hakim Praperadilan dalam KUHAP pada hakekatnya adalah sama dengan
kedudukan hakim dalam mengadili perkara pidana biasa, dalam arti kedua-duanya
11
Indonesia (b), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, No. 8 Tahun 1981, LN No. 9 Tahun 1951,
TLN No. 81, ps. 3 ayat (2).
harus tunduk dan menerapkan ketentuan-ketentuan KUHAP dalam memeriksa dan
memutus perkara dalam sidang Praperadilan. Karena hakim Praperadilan adalah
hakim dalam lingkungan peradilan umum, maka sudah tentu berlaku juga baginya
Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970). Akhirnya kita juga dapat melihat lembaga Praperadilan sebagai suatu upaya
hukum luar biasa (buitengewon rechts middel) bagi tersangka untuk memperoleh
kepastian hukum dan keadilan.

D. PIHAK-PIHAK YANG DAPAT MENGAJUKAN PRAPERADILAN


MENURUT KUHAP

Pihak-pihak yang berhak mengajukan permohonan praperadilan sangat erat


hubungannya dengan jenis pemeriksaan yang ingin diminta kepada praperadilan itu
sendiri. Dengan demikian maka pihak yang berhak mengajukan permohonan
praperadilan dikelompokkan menurut alasan yang menjadi dasar diajukannya
permintaan pemeriksaan praperadilan dan sekaligus dikaitkan dengan pihak yang
berhak mengajukan permintaan.

1. Tersangka, keluarganya, atau kuasanya Berdasarkan ketentuan Pasal 79


KUHAP, pihak Tersangka, keluarganya, atau kuasanya (orang yang diberi
kuasa oleh tersangka) berhak mengajukan permintaan pemeriksaan tentang
sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan.
2. Penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan Pasal 80 KUHAP
memberikan hak kepada penuntut umum dan pihak ketiga yang
berkepentingan untuk mengajukan pemeriksaan kepada praperadilan
mengenai sah atau tidaknya penghentian penyidikan yang dilakukan oleh
penyidik.

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 6 huruf b KUHAP bahwa yang


dimaksud dengan penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-
undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Hak untuk
mengajukan pemeriksaan praperadilan kepada penuntut umum dalam hal penghentian
penyidikan yang dilakukan oleh penyidik, pada hakekatnya telah sesuai dengan
prinsip pengawasan yang diinginkan dalam KUHAP. Selain adanya pengawasan
secara vertikal yang dilaksanakan oleh atas dari instansi yang bersangkutan, ada pula
pengawasan secara horisontal, dari sesama aparat penegak hukum. Mengenai pihak
ketiga yang berkepentingan, tidak dijelaskan secara eksplisit oleh KUHAP. Secara
umum, pihak ketiga yang berkepentingan dalam suatu pemeriksaan perkara pidana
adalah saksi yang menjadi korban tindak pidana yang bersangkutan sehingga dalam
hal ini maka saksi korbanlah yang berhak mengajukan permintaan pemeriksaan
tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan kepada praperadilan.12

c) Penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan Penyidik atau pihak ketiga yang
berkepentingan, berdasarkan Pasal 80 KUHAP dapat mengajukan permintaan
pemeriksaan sah atau tidaknya penghentian penuntutan yang dilakukan oleh penuntut
umum. Bila dibandingkan dengan penghentian penyidikan, maka disini terjadi
pengawasan secara timbal balik. Pada penghentian penyidikan, penuntut umum
diberikan hak untuk mengawasi penyidik, sedangkan dalam penghentian penuntutan,
penyidik yang diberi hak untuk mengawasi penuntut umum. Di dalam KUHAP, telah
diatur pengawasn berlapis dengan jalan memberikan hak kepada pihak ketiga yang
berkepentingan untuk mengajukan permintaan pemeriksaan sah atau tidaknya
penghentian penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum. Dengan demikian,
jikalau sekiranya penyidik tidak menanggapi penghentian penuntutan yang dilakukan
oleh penuntut umum, maka pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan
permintaan pemeriksaan sah atau tidaknya penghentian penuntutan yang dilakukan
oleh penuntut umum kepada praperadilan.13

d) Tersangka, ahli warisnya atau kuasanya Pasal 95 ayat (2) KUHAP menyebutkan
bahwa tersangka, ahli warisnya atau kuasanya dapat mengajukan tuntutan ganti
kerugian kepada praperadilan atas alasan:

1. Penangkapan atau penahanan tidak sah;


2. Penggeladahan atau penyitaan tanpa alasan yang sah;
3. Karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yangditerpkan, yang
perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

e) Tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan Berdasarkan ketentuan Pasal


95 ayat (2) KUHAP, tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat
mengajukan tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi karena sahnya penghentian
penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum.

Jika praperadilan memutuskan bahwa penghentian penuntutan itu sah, maka hal
tersebut menjadi dasar bagi tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan untuk
mengajukan tuntutan ganti kerugian atau rehabilitasi kepada praperadilan.

12
M. Yahya Harahap (a), Op.Cit, hlm. 9.
13
Ibid, Hlm. 10.
f) Tersangka Pasal 97 ayat (3) KUHAP memberikan hak kepada tersangka untuk
mengajukan rehabilitasi kepada praperadilan atas alasan sebagai berikut:
1) Penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang;
2) Kekeliruan mengenai orang atau badan hukum yang diterapkan yang
perkaranya tidak diteruskan ke pengadilan.

E. FUNGSI PRAPERADILAN MENURUT KUHAP

Lembaga Praperadilan lahir bersama Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981


Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Sementara peraturan itu sendiri
lahir sesuai amanah Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman guna menggantikan produk perundang-
undangan zaman kolonial yakni Herziene Indlansch Reglement (HIR) atau Reglemen
Indonesia yang Diperbaharui (RIB) dengan produk Indonesia merdeka. HIR atau RIB
itu dinilai sudah usang dan tidak mencerminkan nilai-nilai yang hidup dan
berkembang ditengah masyarakat serta tidak melindungi hak asasi manusia, karena
tidak membatasi masa penahanan tersangka/terdakwa dan setiap kali dapat
diperpanjang untuk tiga puluh hari lamanya serta tidak diberikannya kesempatan
untuk didampingi oleh penasehat hukum pada pemeriksaan pendahuluan oleh
Penyidik sangat dirasakan sebagai tidak menghormati hak-hak Tersangka14

Tujuan utama dari Praperadilan sangat erat dengan dilaksanakannya pengawasan


dalam suatu proses pidana. Proses ini haruslah mendapatkan perhatian dan tempat
yang khusus, karena tanpa suatu pengawasan yang ketat tidak mustahil hak asasi
manusia akan ditindas oleh kekuasaan. Selama hal ini tidak terhindarkan, pihak polisi
yang banyak tersangkut dalam Praperadilan. Harus diakui banyak hal tindakan-
tindakan oknum-oknum polisi membuat masyarakat menjadi prihatin, tindakan yang
memakai upaya paksa dan penyiksaan dalam memperoleh pengakuan dan barang
bukti dari tersangka. KUHAP mengatur wewenang penyidikan diberikan sepenuhnya
kepada Kepolisian, maka pengawasan atas tindakan-tindakan penegak hukum ini
harus diadakan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang. Praperadilan
melaksanakan wewenang Pengadilan Negeri (Pasal 77 KUHAP). Dipimpin oleh
Hakim tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri dibantu oleh seorang
panitera. Adapun tugas-tugasnya meliputi:

14
Ratna Nurul Alfiah, Op.Cit. Hlm. 75.
• Memeriksa sah tidaknya suatu penangkapan dan penahanan (Pasal 79
KUHAP).
• Memeriksa sah tidaknya suatu penghentian penyidikan dan penuntutan
(Pasal 80 KUHAP).15
• Memeriksa permohonan ganti-rugi atau rehabilitasi akibat tidak sahnya
penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan
(Pasal 81 KUHAP).
Berdasarkan tugas-tugas tersebut tercermin bahwa Praperadilan mengemban
fungsi pengawasan atau kontrol terhadap tindakan penyidikan dan penuntutan. Yaitu
pengawasan oleh hakim Praperadilan terhadap Polisi dan terhadap Jaksa. Pengawasan
ini termasuk pengawasan horisontal, merupakan kontrol dari instansi yang sejajar dan
tidak hierarkis dalam jajarannya. Dengan Lembaga Praperadilan maka hukum acara
pidana memiliki fungsi pengawasan baik terhadap perilaku warga masyarakat
maupun terhadap perilaku para penegak hukum yang berperan dalam proses
bekerjanya secara pidana. Oleh karena itu Praperadilan dimaksudkan sebagai
pengawasan horisontal oleh Hakim Pengadilan Negeri terhadap pelaksanaan tugas
Penyidik dan Penuntut Umum, terutama menyangkut pelaksanaan upaya paksa.
Hakim dalam Praperadilan bukan berarti fungsionaris peradilan, bukan pula wasit
yang mengadili sengketa hukum. Hakim dalam Praperadilan dipinjam karena
diperlukan suatu fungsionaris netral untuk mengontrol penangkapan dan penahanan
itu. Jelaslah bahwa prosedur Praperadilan mengganti atau mengalihkan tugas
pengawasan terhadap penangkapan dan penahanan serta penghentian penyidikan dan
penuntutan dari Kepala-kepala Kejaksaan atau Kepala-kepala Kepolisian kepada
Hakim Pengadilan Negeri yang berkedudukan netral.

F. RUANG LINGKUP PRAPERADILAN MENURUT KUHAP

Ruang lingkup kompetensi lembaga Praperadilan berdasarkan Pasal 77 KUHAP


adalah pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam KUHAP, yaitu tentang:

1. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau


penghentian penuntutan
2. Ganti kerugian atau rehabilitasi yang berhubungan dengan penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan.

15
Darwan S.H., Praperadilan dan Perkembangannya di dalam praktik, cet. 1, (Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti, 1993), hal. 2.
Praperadilan berdasarkan Pasal 78 ayat (1) KUHAP merupakan lembaga yang
melaksanakan wewenang pengadilan negeri seperti yang dijelaskan pada pasal
sebelumnya yaitu Pasal 77 KUHAP. Untuk mengetahui ruang lingkup
Praperadilan, dibawah ini merupakan rincian wewenang yang diberikan undang-
undang.

G. GUGURNYA PRAPERADILAN MENURUT KUHAP

Menurut pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP menyatakan dalam hal suatu perkara
sudah mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai
permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur.

Penyidik dan penuntut juga acapkali resisten dengan penggunaan mekanisme


praperadilan oleh tersangka/terdakwa. Sering ditemukan ketika suatu kasus diajukan
praperadilan, biasanya penyidik akan mempercepat proses pemeriksaan agar perkara
pokoknya bisa segera dilimpahkan ke pengadilan, sehingga upaya praperadilan gugur.

Pemeriksaan praperadilan bisa gugur, yang artinya dapat dihentikan sebelum


putusan dijatuhkan atau pemeriksaan dihentikan tanpa putusan. Hal ini diatur dalam
Pasal 82 ayat (1) huruf d yang berbunyi: dalam hal suatu perkara sudah mulai
diperiksa oleh pengadilan negeri sedang pemeriksaan mengenai permintaan kepada
praperadilan belum selesai maka permintaan tersebut gugur. Sehingga, gugurnya
pemeriksaan praperadilan terjadi: (1) apabila perkaranya telah diperiksa oleh PN, dan
(2) pada saat perkaranya diperiksa PN, pemeriksaan praperadilan belum selesai.

Apabila perkara pokok telah diperiksa PN, sedang praperadilan belum


menjatuhkan putusan, dengan sendirinya permintaan praperadilan gugur. Hal ini
dimaksudkan untuk menghindari penjatuhan putusan yang berbeda. Oleh karena itu,
penghentian pemeriksaan praperadilan lebih tepat dengan menggugurkan permintaan
dan sekaligus semua hal yang berkenan dengan perkara itu ditarik ke dalam
kewenangan PN untuk menilai dan memutusnya.

Putusan yang dijatuhkan praperadilan dalam tingkat penyidikan tidak


menggugurkan atau menghapuskan hak tersangka untuk mengajukan sekali lagi
permintaan dalam tingkat penuntutan. Demikian pula permintaan dan putusan yang
dijatuhkan praperadilan dalam tingkat pemeriksaan penyidikan bukan merupakan
faktor yang menggugurkan hak tersangka untuk mengajukan sekali lagi permintaan
pemeriksaan praperadilan dalam tingkat penuntutan.
Oleh karena itu pemohon tetap berhak mengajukan permintaan pemeriksaan
praperadilan dalam tingkat penuntutan jika memang ada alasan yang dibenarkan
undang-undang. Bahkan bukan hanya dua kali namun bisa juga beberapa kali.16 Dari
apa yang telah dipaparkan maka yang mengugurkan hak pemohon mengajukan
permintaan hanya ditentukan oleh pemeriksaan perkara yang bersangkutan di sidang
PN. Apabila perkaranya telah diperiksa PN maka gugur haknya untuk mengajukan
permintaan pemeriksaan praperadilan.

Ada pendapat yang menyatakan bahwa gugurnya permintaan dalam Pasal 82 ayat
(1) tidak mengurangi/tidak dianggap mengurangi hak tersangka, sebab semua
permintaan itu dapat ditampung kembali oleh PN dalam pemeriksaan pokok,
khususnya tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan atau
penyitaan. Apa yang tidak bisa diperoleh pemohon pada praperadilan dapat dialihkan
pengajuannya ke PN. Hanya saja, proses dan tatacaranya semakin panjang, khususnya
mengenai ganti kerugian dan rehabilitasi yang pengajuannya baru diperkenankan
setelah perkaranya diputus dan putusan itu sendiri telah memperoleh kekuatan hukum
tetap. Sedangkan, jika hal itu diajukan kepada praperadilan maka prosesnya lebih
singkat dan lebih cepat.17

H. OBJEK PRAPERADILAN SETELAH ADANYA BEBERAPA PUTUSAN


MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

Bahwa salah satu pranata Praperadilan sebagaimana dimaksud dalam pengertian


Praperadilan menurut Pasal 10 huruf a KUHAP, diatur dalam ketentuan Pasal 77
huruf a KUHAP, yang menyebutkan: “Pengadilan Negeri berwenang untuk
memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-
Undang ini tentang : sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan”.

Adapun Objek tambahan diluar KUHAP mengenai Praperadilan berdasarkan


putusan-putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah sebagai berikut :

1. Penetapan Tersangka, penggeladahan dan penyitaan

16
Misalnya tersangka pertama kali mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya
penahanan yang dilakukan penyidik, kedua permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya
penahanan yang dilakukan penyidik, ketiga permintaan pemeriksan mengenai tentang sah tidaknya
penyitaan yang dilakukan penyidik, bahkan keempat masih diperkenankan undang-undang untuk
mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penahanan yang dilakukan penuntut
umum dalam tingkat penuntutan.
17
M. Yahya (a) Harahap, Pembahasan ... Op.Cit., hlm. 16.
Dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-
XII/2014 menyebabkan objek praperadilan mengalami perluasan yang
kemudian menjadi dasar penetapan tersangka merupakan salah satu objek
praperadilan. Dengan dikeluarkannya putusan tersebut membuka peluang
kepada tersangka untuk mengajukan gugatan praperadilan mengenai sah
tidaknya penetapan tersangka.
Oleh karena ketentuan Pasal 77 huruf a KUHAP di atas, oleh Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia dianggap tidak dapat memenuhi hak-hak
konstitusional setiap warga Negara, maka Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia melalui Putusannya No.: 21/PUU-XII/2014, yang diputus pada
tanggal 28 April 2015, dalam norma hukumnya, pada bagian [3.16] angka 1
huruf k, halaman 105 dan 106, menyebutkan:
“… oleh karena penetapan Tersangka adalah bagian dari proses penyidikan
yang merupakan perampasan terhadap Hak Asasi Manusia, maka seharusnya
penetapan Tersangka oleh Penyidik merupakan obyek yang dapat dimintakan
perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan … dimasukkannya
keabsahan penetapan Tersangka sebagai obyek pranata praperadilan adalah
agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan
Tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan
kedudukan yang sama di hadapan hukum;

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil


Pemohon mengenai penetapan Tersangka menjadi obyek yang diadalili oleh
pranata praperadilan adalah beralasan menurut hukum”

Dan dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, pada bagian
“mengadili”, nomor 1.3 dan 1.4, halaman 110, menyebutkan:

“1.3 Menyatakan Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981


Tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan Tersangka,
Penggeledahan dan Penyitaan;
1.4 Menyatakan Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
Tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai
termasuk penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan”

Maka berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia


tersebut, obyek pranata praperadilan sebagaimana pengertian Praperadilan
dalam Pasal 10 huruf a KUHAP, telah diperluas maknanya, sehingga proses
penyidikan yang di dalamnya termasuk juga Penetapan Tersangka,
penggeladahan dan penyitaan adalah bagian dari pranata praperadilan;

2. Penyerahan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP)


Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015
menyatakan penyampaian Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP)
tidak hanya diwajibkan terhadap jaksa penuntut umum akan tetapi juga
terhadap terlapor dan korban/pelapor dengan waktu paling lambat 7 (tujuh)
hari dipandang cukup bagi penyidik untuk mempersiapkan/menyelesaikan hal
tersebut.
Menurut Mahkamah, penyampaian Surat Pemberitahuan Dimulainya
Penyidikan (SPDP) kepada jaksa penuntut umum adalah kewajiban penyidik
untuk menyampaikannya sejak dimulainya proses penyidikan, sehingga
proses penyidikan tersebut berada dalam pengendalian penuntut umum dan
pemantauan terlapor dan korban/pelapor. Faktanya, yang terjadi selama ini
kadangkala Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) baru
disampaikan setelah penyidikan berlangsung lama. Adanya alasan tertundanya
penyampaian Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) karena
terkait dengan kendala teknis. Menurutnya hal tersebut justru dapat
menyebabkan terlanggarnya asas due process of law seperti dijamin Pasal 28
D ayat (1). Mahkamah berpendapat, tertundanya penyampaian Surat
Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) oleh penyidik kepada jaksa
penuntut umum bukan saja menimbulkan ketidakpastian hukum, tetapi juga
merugikan hak konstitusional terlapor dan korban/pelapor.
Karena itu, terpenting bagi MK menyatakan pemberian Surat Pemberitahuan
Dimulainya Penyidikan (SPDP) tidak hanya diwajibkan terhadap jaksa
penuntut umum, tetapi juga diwajibkan terhadap pelapor dan korban/pelapor.
Alasan Mahkamah didasarkan pertimbangan bahwa terhadap pelapor yang
telah mendapatkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP),
yang bersangkutan dapat mempersiapkan bahan-bahan pembelaan dan dapat
menunjuk penasihat hukumnya.
Sedangkan bagi korban/pelapor dapat dijadikan momentum untuk
mempersiapkan keterangan atau bukti yang diperlukan dalam pengembalian
penyidikan atas laporannya. Atas dasar itu, menurut Mahkamah, dalil
permohonan yang diajukan para pemohon bahwa Surat Pemberitahuan
Dimulainya Penyidikan (SPDP) bersifat wajib beralasan menurut hukum.
Sifat wajib tersebut bukan hanya dalam kaitannya dengan jaksa penuntut
umum, akan tetapi juga dalam kaitannya dengan terlapor dan korban/pelapor.
Putusan ini memberikan ruang bagi pihak yang berkepentingan melakukan
praperadilan apabila pada saat berstatus sebagai terlapor belum menerima
SPDP atau lewatnya waktu 7 (tujuh) hari penyerahan SPDP kepada terlapor
saat itu.

I. SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN (SP3) DAN SURAT


KETETAPAN PENGHENTIAN PENUNTUTAN (SKPP) DAN
DEPONERING

1. Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)


Bagi Kepolisian dasar hukum kewenangan untuk menerbitkan SP3 bukanlah
(hanya) ketentuan Pasal 109 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Sekalipun pada Pasal 109 ayat
(2) KUHAP diatur alasan formal penerbitan SP3. Bagi penyelidik dari
kepolisian, ketentuan yang lebih penting dan jaraknya tidak terlalu jauh dan
sebab itu menjadi acuan konkrit yang mengatur perilaku mereka adalah:
Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan
Tindak Pidana (Perkap 14/2012) dan Peraturan Kepala Bareskrim Polri
Peraturan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Standar Operasional Prosedur
Pengorganisasian Penyidikan Tindak Pidana (Perkaba 2/2014). Ketentuan
Pasal 76 ayat (1) Perkap 14/2012 mengatur bahwa:
Penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf i,
dilakukan apabila:
a. tidak terdapat cukup bukti;
b. peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana; dan
c. demi hukum, karena:
1) tersangka meninggal dunia;
2) perkara telah kadaluarsa;
3) pengaduan dicabut (khusus delik aduan); dan
4) tindak pidana tersebut telah memperoleh putusan hakim
yang mempunyai kekuatan hukum tetap (nebis in idem).

SP3 diberikan dengan merujuk pada pasal 109 ayat (2) KUHAP, yaitu:
1. Jika yang menghentikan penyidikan adalah penyidik Polri, pemberitahuan
penghentian penyidikan disampaikan pada penuntut umum dan
tersangka/keluarganya
2. Jika yang menghentikan penyidikan adalah penyidik PNS, maka
pemberitahuan penyidikan disampaikan pada:
a. penyidik Polri, sebagai pejabat yang berwenang melakukan
koordinasi atas penyidikan; dan
b. penuntut umum

2. Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP)


Penghentian penuntutan diatur dalam pasal 140 ayat (2) Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang menegaskan bahwa penuntut
umum dapat menghentikan penuntutan suatu perkara.

“Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan


karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan
merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum
menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan.”

Dalam arti, hasil pemeriksaan penyidikan tindak pidana yang disampaikan


penyidik tidak dilimpahkan oleh penuntut umum ke sidang pengadilan. Dalam
penghentian penuntutan, alasannya bukan didasarkan pada kepentingan umum
melainkan semata-mata didasarkan pada alasan dan kepentingan hukum itu
sendiri. Suatu perkara dapat dihentikan karena pasti memiliki alasan yang
berkaitan dengan kepentingan hukum itu sendiri.

Alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut :


a. Perkara yang bersangkutan tidak mempunyai pembuktian yang cukup,
sehingga jika perkaranya diajukan di pemeriksaan sidang pengadilan,
diduga keras terdakwa akan dibebaskan oleh hakim atas alasan kesalahan
yang didakwakan tidak terbukti. Untuk menghidari keputusan
pembebasan yang demikian, lebih bijaksana penuntut umum
menghentikan penuntutannya.
b. Apa yang dituduhkan kepada terdakwa bukan merupakan tindak pidana
kejahatan atau pelanggaran. Setelah penuntut umum mempelajari berkas
perkara hasil pemeriksaan penyidikan dan berkesimpulan bahwa apa yang
disangkakan penyidik terhadap terdakwa bukan merupakan tindak pidana
kejahatan ataupun pelanggaran, penuntut umum lebih baik menghentikan
penuntutan
c. Alasan ketiga dalam penghentian penuntutan adalah atas dasar perkara
ditutup demi hukum atau set aside. Penghentian penuntutan atas dasar
perkara ditutup demi hukum adalah tindak pidana yang terdakwanya oleh
hukum itu sendiri telah dibebaskan dari tuntutan atau dakwaan dan
perkara itu sendiri oleh hukum harus ditutup atau dihentikan pada semua
tingkat pemeriksaan. alasan perkara ditutup demi hukum adalah :
i. Tersangka atau terdakwanya meninggal dunia.
ii. Atas alasan nebis in idem
iii. Terhadap perkara yang hendak dituntut oleh penuntut umum
ternyata telah kadaluwarsa sebagaiman diatur dalam Pasal 78
sampai dengan Pasal 80 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.18

Penghentian penuntutan tidak dengan sendirinya menurut hukum


menghilangkan hak dan kewenangan penuntut umum untuk melakukan
penuntutan kembali perkara tersebut. Penuntutan kembali perkara yang telah
dihentikan bisa terjadi bilamana :
a. Di kemudian hari ditemukan "alasan baru"
b. Keputusan praperadilan menetapkan penghentian penuntutan yang
dilakukan penuntut umum tidak sah menurut hukum.19
3. Deponering

18
M. Yahya Harahap (b), Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP : Penyidikan dan
Penuntutan, Jakarta : Sinar Grafika 2007, hlm. 437-438.
19
Ibid, hlm. 439.
Secara sederhana deponering dapat diartikan sebagai wewenang Jaksa Agung
mengesampingkan perkara demi kepentingan umum berdasarkan asas
oportunitas. Juga dapat dipahami sebagai wewenang tidak menuntut karena
alasan kebijakan. Jadi perkara yang bersangkutan tidak dilimpahkan ke
pengadilan, akan tetapi di”kesampingkan”.
Hal ini ditegaskan pada Pasal 35 huruf (c) Undang-Undang No. 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang menyatakan “Jaksa Agung
dapat menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum”. Dimana
yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan
negara dan atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas
oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah
memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang
mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Jadi, hanya Jaksa Agung lah
yang berwenang dalam deponering ini. Hal lain juga di jelaskan oleh RM
Surachman Jan S. Maringka yang menyebutkan sebagai berikut:20
“Asas oportunitas yaitu asas yang memberikan kesempatan kepada jaksa
untuk tidak menuntut perkara pidana, bila mana penuntutan tidak selayaknya
dilakukan atau bilamana penuntutan itu akan merugikan kepentingan umum
dan kepentinganpemerintah.”.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan RI, dalam
Pasal 32 ( c ), yang menyatakan bahwa Jaksa Agung mempunyai tugas dan
wewenang untuk menyampingkan perkara yang lebih dipertegas lagi dalam
buku pedoman pelaksanaan KUHAPsebagai berikut, Penyampingan perkara
untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung (Penjelasan
resmi pasal 77 Dengan dinyatakannya dalam penjelasan resmi Pasal 77 yaitu
berupa : “Yang dimaksudkan dengan “penghentian penuntutan” tidak
termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi
wewenang Jaksa Agung” maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP mengakui
eksistensi perwujudan dari asas oportunitas, sehingga dengan demikian
perwujudan dari asas oportunitas tidak perlu dipermasalahkan, mengingat
dalam kenyataannya perundang-undangan posisif di negara kita, yakni dalam
KUHAP penjelasan resmi Pasal 77 dan dalam Undang – Undang Nomor 15
Tahun 1961 (Undang-Undang Pokok Kejaksaan) Pasal 8 secara tegas

20
RM Surachman Jan S. Maringka, Peran Jaksa Dalam Sistem Peradilan Pidana di Kawasan Asia
Pasifik, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm. 17.
mengakui eksistensi dari perwujudan asas oportunitas, yaitu kepada Jaksa
Agung selaku Penuntut Umum tertinggi berdasarkan kepada keadaan-keadaan
yang nyata untuk tidak menuntut suatu perkara pidana dimuka persidangan
pengadilan pidana agar kepentingan umum tidak lebih dirugikan.21
Maksud dan tujuan undang-undang memberikan kewenangan pada Jaksa
Agung tersebut adalah untuk menghindarkan tidak timbulnya penyalahgunaan
kekuasaan dalam hal pelaksanaan asas oportunitas, sehingga dengan demikian
satu-satunya pejabat negara di negara kita yang diberi wewenang
melaksanakan asas oportunitas adalah Jaksa Agung dan tidak kepada setiap
Jaksa selaku Penuntut Umum dan alasannya mengingat kedudukan Jaksa
Agung selaku Penuntut Umum tertinggi.
Untuk terjaminnya kepastian hukum dalam rangka pelaksanaan asas
oportunitas, Jaksa Agung menuangkan dalam suatu surat penetapan atau
keputusan yang salinannya diberikan kepada yang dikesampingkan
perkaranya demi kepentingan umum, hal mana dapat dipergunakan sebagai
alat bukti bagi yang bersangkutan.
Terhadap perkara yang dikesampingkan demi kepentingan umum, penuntut
umum tidak berwenang melakukan penuntutan terhadap tersangka dalam
perkara tersebut dikemudian hari.
Dasar hukum pelaksanaan penyampingan perkara (deponering) berdasarkan
asas oportunitas di Indonesia adalah:
a. Hukum tidak tertulis (hukum kebiasaan);
b. Pasal 4 PERPU No 24 Tahun 1960 Tentang Pengusutan,
Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi ;
c. Pasal 35 sub (c) UU No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI;
d. Pasal 46 ayat (1) huruf c KUHAP.
b.

21
R.M. Surachman dan Andi Hamzah, Jaksa di Berbagai Negara, Peranan dan Kedudukannya, (Jakarta:
Sinar Grafika, 1996), hlm. 6.
BAB III
KESIMPULAN

Pra artinya sebelum, atau mendahului, berarti “praperadilan” sama dengan


sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan. Menurut Pasal 77 KUHAP, Pengadilan
negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam undang-undang ini tentang:
a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan;
b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Tugas praperadilan diIndonesia terbatas. Dalam pasal 78 yang berhubungan
dengan pasal 77 KUHAP dikatakan bahwa yang melaksanakan wewenang pengadilan
negeri memeriksa dan memutus tentang berikut:
a. Sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan
b. Ganti kerugian dan atau rehabilitas bagi seorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan, adalah praperadilan.
Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh pengadilan
negeri dan dibantu oleh seorang panitera.
Dalam pasal 79,80,81 diperinci tugas praperadilan itu yang meliputi tiga hal
pokok sebagai berikut:
a. Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau
penahanan yang diajukan oleh tersangka, keluarga, atau kuasanya kepada
ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya
b. Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan,
atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum, pihak
ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan
menyebutkan alasannya
c. Permintaan ganti rugi atau rehabilitas akibat tidak sah nya penagkapan atau
penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan
diaajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua
pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.
Acara praperadilan untuk ketiga hal, yaitu pemerikaan sah atau tidaknya suatu
penangkapan atau penahanan (Pasal 79 KUHAP), pemeriksaan sah tidaknya suatu
penghentian penyidikan atau penuntutan (Pasal 80 KUHAP), pemeriksaan tentang
penggantian ganti kerugian dan/atau rehabilitas akibat tidak sahnya penangkapan atau
penahanan atau akibatnya atau akibat tidak sahnya penghentian penyidikan (Pasal 81
KUHAP).
Pasal 78 ayat (1) KUHAP menetapkan Praperadilan sebagai pelaksana
wewenang Pengadilan untuk memeriksa dan memutuskan tentang sah atau tidak
sahnya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan penghentian
penuntutan serta tentang ganti rugi dan rehabilitasi. Dalam hal hakim praperadilan
memutuskan penangkapan atau penahanan Penyidik adalah tidak sah, maka
Praperadilan berwenang untuk:
1. Memerintahkan pembebasan tersangka (Pasal 82 ayat (3) sub a) dan menentukan
jumlah besarnya ganti rugi dan rehabilitasi;
2. Menetapkan rehabilitasi saja apabila tersangka tidak ditahan;
3. Menetapkan penyidikan dan penuntutan (yang dihentikan) dilanjutkan;
4. Supaya benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, dikembalikan
kepada tersangka atau kepada orang dari siapa benda itu disita.
Pihak yang berhak mengajukan permohonan praperadilan dikelompokkan
menurut alasan yang menjadi dasar diajukannya permintaan pemeriksaan
praperadilan dan sekaligus dikaitkan dengan pihak yang berhak mengajukan
permintaan.
a) Tersangka, keluarganya, atau kuasanya Berdasarkan ketentuan Pasal 79
KUHAP, pihak Tersangka, keluarganya, atau kuasanya (orang yang diberi kuasa oleh
tersangka) berhak mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya
suatu penangkapan atau penahanan.
b) Penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan Pasal 80 KUHAP
memberikan hak kepada penuntut umum dan pihak ketiga yang berkepentingan untuk
mengajukan pemeriksaan kepada praperadilan mengenai sah atau tidaknya
penghentian penyidikan yang dilakukan oleh penyidik.
Praperadilan mengemban fungsi pengawasan atau kontrol terhadap tindakan
penyidikan dan penuntutan. Yaitu pengawasan oleh hakim Praperadilan terhadap
Polisi dan terhadap Jaksa. Pengawasan ini termasuk pengawasan horisontal,
merupakan kontrol dari instansi yang sejajar dan tidak hierarkis dalam jajarannya.
Dengan Lembaga Praperadilan maka hukum acara pidana memiliki fungsi
pengawasan baik terhadap perilaku warga masyarakat maupun terhadap perilaku para
penegak hukum yang berperan dalam proses bekerjanya secara pidana.
Ruang lingkup kompetensi lembaga Praperadilan berdasarkan Pasal 77 KUHAP
adalah pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam KUHAP, yaitu tentang:
1. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan
2. Ganti kerugian atau rehabilitasi yang berhubungan dengan penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan. Praperadilan berdasarkan Pasal
78 ayat (1) KUHAP merupakan lembaga yang melaksanakan wewenang
pengadilan negeri seperti yang dijelaskan pada pasal sebelumnya yaitu
Pasal 77 KUHAP. Untuk mengetahui ruang lingkup Praperadilan, dibawah
ini merupakan rincian wewenang yang diberikan undang-undang.

Seiring berkembangnya hukum, Mahkamah Konstitusi memperluas objek


praperadilan yakni dengan menambah objek pra peradilan berupa penetapan
tersangka, penggeladahan dan penyitaan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 21/PUU-XII/2014 dan penyerahan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan
(SPDP) berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015. Hal
ini dilakukan untuk menjamin hak-hak terlapor, pelapor dan tersangka.

Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) diterbitkan oleh penyidik untuk


menghentikan penyidikan terhadap suatu perkara untuk memberikan kepastian
hukum. Penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud dilakukan apabila:
a. tidak terdapat cukup bukti;
b. peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana; dan
c. demi hukum, karena:
1) tersangka meninggal dunia;
2) perkara telah kadaluarsa;
3) pengaduan dicabut (khusus delik aduan); dan
4) tindak pidana tersebut telah memperoleh putusan hakim yang
mempunyai kekuatan hukum tetap (nebis in idem).

Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) diterbitkan oleh Kejaksaan


untuk menghentikan/tidak mengajukan ke persidangan suatu perkara yang telah
dilimpahkan oleh penyidik. Dalam arti, hasil pemeriksaan penyidikan tindak pidana
yang disampaikan penyidik tidak dilimpahkan oleh penuntut umum ke sidang
pengadilan. Dalam penghentian penuntutan, alasannya bukan didasarkan pada
kepentingan umum melainkan semata-mata didasarkan pada alasan dan kepentingan
hukum itu sendiri. Suatu perkara dapat dihentikan karena pasti memiliki alasan yang
berkaitan dengan kepentingan hukum itu sendiri.

Alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut :

a. Perkara yang bersangkutan tidak mempunyai pembuktian yang cukup,


b. Apa yang dituduhkan kepada terdakwa bukan merupakan tindak pidana
kejahatan atau pelanggaran.
c. Alasan ketiga dalam penghentian penuntutan adalah atas dasar perkara
ditutup demi hukum atau set aside. Alasan perkara ditutup demi hukum
adalah :
i. Tersangka atau terdakwanya meninggal dunia.
ii. Atas alasan nebis in idem
iii. Terhadap perkara yang hendak dituntut oleh penuntut umum
ternyata telah kadaluwarsa sebagaiman diatur dalam Pasal 78
sampai dengan Pasal 80 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Berdasarkan Pasal 35 huruf (c) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang


Kejaksaan Republik Indonesia yang menyatakan “Jaksa Agung dapat
menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum”. Dimana yang dimaksud
dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau
kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas, yang hanya dapat
dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-
badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Jadi,
hanya Jaksa Agung lah yang berwenang dalam deponering ini.
DAFTAR PUSTAKA

Alfiah, RN. 1986. Praperadilan dan Ruang Lingkupnya. Jakarta: CV. Akademika
Presindo.
Saropie, Ervan. 2009. Lembaga Hakim Literatur, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia.
Nasution, Adnan Buyung. 1988. Bantuan Hukum di Indonesia, Jakarta.
Harahap, M. Yahya. 2003. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
(Pemeriksaan sidang pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali).
Jakarta: Sinar Grafika.
Hamzah, Andi. 2010. Penjelasan Beberapa Hal dalam RUU Hukum Acara Pidana,
Makalah. disampaikan pada Sosialisasi NA RUU HAP di Jakarta.
Adji, Oemar Seno. 1980. Hukum Pidana. Jakarta: Erlangga.
Siahaan, Lintong Oloan. 1981. Jalannya Peradilan Prancis Lebih Cepat dari
Peradilan Kita. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Raharjo, Satjipto. Agustus 2007. Membangun Polisi Umum Prefektif Hukum, Sosial
dan Kemasyarakatan, Kompas, Jakarta.
Darwan S.H., 1993. Praperadilan dan Perkembangannya di dalam praktik, cet. 1,.
Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
Harahap, M. Yahya. 2007. Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP :
Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta : Sinar Grafika.
Surachman, R.M., Maringka, Jan S. 2015. Peran Jaksa Dalam Sistem Peradilan
Pidana di Kawasan Asia Pasifik. Sinar Grafika. Jakarta.
Surachman, R.M., Hamzah, Andi. 1996. Jaksa di Berbagai Negara, Peranan dan
Kedudukannya. Jakarta: Sinar Grafika.

Anda mungkin juga menyukai