Anda di halaman 1dari 12

SISTEM PERADILAN ANAK DALAM POLITIK HUKUM INDONESIA

PENDAHULUAN

Kebijakan hukum adalah kebijakan hukum atau administrasi (kebijakan) hukum, yang
dilaksanakan baik dengan mengundangkan undang-undang baru atau mengganti undang-undang
lama untuk mencapai tujuan negara. Kebijakan hukum mengacu pada pilihan undang-undang
yang dapat dilaksanakan, serta pilihan undang-undang yang dicabut atau tidak dapat
dilaksanakan, semuanya dirancang untuk mencapai tujuan negara yang tercantum dalam
pembukaan UUD 1945.

Penyimpangan sebagai pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses pidana ke non
pidana apabila penulis mengaitkannya dengan UU Pengadilan Anak No. 11 Tahun 2012,
disahkan dan diundangkan oleh Presiden pada tanggal 30 Juli 2012. Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, kebijakan hukum pemerintah
Indonesia memandang anak sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kelangsungan hidup
manusia dan pembangunan berkelanjutan bangsa dan negara Indonesia.

Anak memiliki peran strategis dalam konstitusi Indonesia yang secara tegas menyatakan
bahwa negara menjamin hak setiap anak untuk kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang,
serta dilindungi dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu, kepentingan terbaik bagi anak
harus diinternalisasikan sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup manusia.
Konsekuensi dari ketentuan Pasal 28B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD
1945) harus disikapi melalui pelaksanaan kebijakan pemerintah untuk melindungi warga
negaranya. UU Pengadilan Anak No. 3 Tahun 1997 (sebelum adanya amandemen UU
Pengadilan Anak No. 11 Tahun 2012) bertujuan untuk melindungi dan mengamankan anak yang
berkonflik dengan hukum, termasuk pelaku kejahatan anak, korban anak dan saksi anak. Agar
anak dapat menghadapi masa depannya yang panjang dan memberikan kesempatan kepada anak
untuk memperoleh jati dirinya sebagai manusia yang mandiri, bertanggung jawab dan berguna
bagi dirinya, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara melalui pembinaan.

Dalam praktiknya, anak diobjekkan dan perlakuan terhadap anak di luar nikah cenderung
merugikan anak. Hukum juga tidak lagi memenuhi kebutuhan hukum masyarakat dan tidak
memberikan perlindungan khusus secara menyeluruh kepada anak yang melanggar hukum. Oleh
karena itu diperlukan perubahan paradigma dalam kekerasan terhadap anak, misalnya kepada
peran dan tanggung jawab masyarakat, negara dan lembaga negara lainnya yang memiliki tugas
dan tanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan anak dan memberikan perlindungan
khusus. bagi anak yang berkonflik dengan hukum. Berdasarkan uraian di atas latar belakang
dalam kontribusi ini terhadap perumusan masalah hukum-politik dalam penerapan sanksi
pengadilan anak untuk mencapai perubahan paradigma dalam perlakuan terhadap anak yang
berkonflik dengan peradilan. Hukum. Sejalan dengan pokok bahasan makalah ini, maka tujuan
dan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

Menjelaskan kebijakan hukum dalam sistem penerapan sanksi dalam perlakuan terhadap
anak di Indonesia. Mampu menganalisis hukum yang menjadi dasar atau pedoman reformasi
peradilan pidana. Mari ciptakan paradigma hukum untuk menangani anak yang berkonflik
dengan hukum.  

PEMBAHASAN

Sistem Peradilan Pidana Anak

Sistem peradilan anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak di hadapan
hukum, mulai dari tahap penyidikan sampai dengan pembinaan pasca tindak pidana, yang
berlandaskan pada perlindungan, keadilan, tidak diskriminatif, kepentingan terbaik bagi anak dan
penghargaan terhadap anak. . , kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, proporsionalitas,
perampasan kemerdekaan dan penghukuman sebagai upaya terakhir dan penghindaran
pembalasan (lihat Pasal 1 (1) dan Pasal 2 UU Pelanggaran Anak Republik Indonesia No. 11
Tahun 2012 Tata Hukum).

Dalam peradilan anak, anak adalah anak yang bermasalah dengan hukum, anak yang
menjadi korban dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Anak yang bermasalah dengan
hukum adalah anak yang belum berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga
melakukan tindak pidana; Korban yang belum dewasa adalah seseorang yang belum berumur 18
(delapan belas tahun) yang menderita kerugian fisik, mental dan/atau finansial sebagai akibat
dari tindak pidana tersebut; Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun
yang dapat memberikan keterangan untuk kepentingan proses peradilan mulai dari tingkat
penyidikan, penuntutan, dan proses peradilan dalam suatu proses peradilan pidana yang sedang
diproses, dilihat dan/atau dialaminya; Apabila anak tersebut telah melakukan tindak pidana
sebelum berusia 18 tahun dan akan diadili setelah anak tersebut melewati batas usia 18 tahun
tetapi belum berusia 21 tahun dari Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2012
tentang Tindak Pidana Anak Pasal 20).

Selain itu, jika seorang anak di bawah usia 12 tahun melakukan tindak pidana atau diduga
melakukan tindak pidana, penyidik atau pekerja sosial memutuskan untuk menyerahkannya
kepada orang tua/wali atau mendaftarkannya dalam program pendidikan di lembaga pemerintah
atau sosial. organisasi kemasyarakatan yang mengurus bidang kemasyarakatan (Pasal 11 UU
Sisdiknas Anak Tahun 2012 jo Keputusan Pemerintah Republik Indonesia No. 65 Tahun 2015
tentang Pelaksanaan Penerjemahan Pasal 67) Perlakuan Anak dibawah 12 tahun ( Dua belas
tahun). Orang dewasa (18+) tidak perlu didampingi oleh orang tua/wali yang sah di setiap tingkat
ujian, namun anak di luar nikah harus didampingi oleh orang tua/wali yang sah. Penyidik, jaksa,
hakim, pembimbing sosial dan pekerja sosial terlibat dalam proses peradilan anak. 

Penyidik adalah Penyidik Anak

jaksa penuntut anak; Hakimnya adalah hakim remaja; Pendamping masyarakat adalah
petugas kepolisian yang melakukan penelitian masyarakat, pendampingan, pengawasan dan
pendampingan terhadap anak di dalam dan di luar proses peradilan pidana. Pekerja sosial adalah
seseorang yang bekerja di lingkungan pemerintah dan swasta yang memiliki keterampilan dan
profesi pekerjaan sosial dan pendidikan pekerjaan sosial dan/atau pengalaman pekerjaan sosial
praktis untuk mengimplementasikan masalah sosial; Proses penyidikan dan penuntutan kasus
anak.

Penyidikan dilakukan oleh penyidik yang ditunjuk oleh Kapolri atau pejabat lain yang
ditunjuk oleh Kapolri, sedangkan penuntutan dilakukan oleh Kejaksaan yang ditunjuk dengan
Surat Keputusan Kepolisian Republik Indonesia. Menteri Kehakiman atau pejabat lain yang
ditunjuk oleh Jaksa Agung. Untuk penelitian yang melibatkan anak, peneliti harus meminta
tanggapan atau saran dari pembimbing sosial setelah ada pengaduan atau pengaduan pidana,
setelah itu Pusat Penelitian Masyarakat harus menyerahkan hasil penelitian sosial paling lambat
3 hari setelah permintaan peneliti.
Dalam melakukan penyidikan anak korban, penyidik harus meminta laporan sosial dari
pekerja sosial atau pekerja sosial setelah melaporkan tindak pidana; Selain itu, penjabaran anak
yang lahir sebagai anak luar kawin (ABH) diperlukan pada tingkat penyidikan, penegakan
hukum dan penyidikan dalam perkara anak. Pengalihan adalah pemindahan penyelesaian
masalah anak dari acara pidana di luar acara pidana ke acara itu dengan ketentuan sebagai
berikut:  

Dihukum kurang dari 7 (tujuh) tahun penjara; Dan tidak ada pengulangan kejahatan;
Selain peraturan tersebut, juga berlaku bagi anak yang dituduh melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara kurang dari 7 (tujuh) tahun dan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara (tujuh) tahun atau lebih Subsidiarity. , biaya kumulatif atau gabungan.
(gabungan) (Pasal 7 PERMA Nomor 4 Tahun 2014, Pedoman Pelaksanaan Pelanggaran Dalam
Sistem Peradilan Anak)

untuk membangun perdamaian antara korban dan anak-anak; Penyelesaian sengketa di


luar pengadilan yang berkaitan dengan anak; Mencegah anak kehilangan kemandiriannya;
mendorong partisipasi masyarakat; Dan ajari anak rasa tanggung jawab;

Dalam proses diversi itu sendiri tentunya ada pihak-pihak yang terlibat yaitu anak, orang
tua, korban dan/atau orang tua/wali, pembimbing sosial dan pekerja sosial profesional, yang
berlandaskan restorative justice, artinya pelaku ditindak dalam proses pidana. , korban dan pihak
terkait lainnya untuk bersama-sama mencari solusi yang adil, menekankan pemulihan ke keadaan
semula.  

Pengaturan Diversi pada Sistem Peradilan Anak

Sementara itu, upaya diversi diprioritaskan agar anak yang pernah bermasalah dengan
hukum tidak mengalami trauma karena perbuatannya dan akibat perbuatannya yang dapat berupa
pengalihan penyelesaian perkara anak dari pengadilan. sistem peradilan pidana dapat berjalan. ke
proses non-kriminal.

Namun dalam praktiknya, selalu ada masalah dengan kebijakan yang diatur dalam
undang-undang. Menurut kehendak pembuat undang-undang, kemauan untuk menuntut dalam
hukum pidana anak dapat dipandang sebagai momok dalam pelaksanaannya.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tanggal 30 Juli 2012 merupakan salah satu
bentuk kebijakan peradilan negara yang bertujuan untuk memahami pentingnya peran
pemerintah dalam perkara tindak pidana anak dimana undang-undang tersebut disebut dengan
SPPA yaitu Sistem Peradilan Anak. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Pidana menyebutkan bahwa sistem peradilan pidana anak mengacu pada keseluruhan
proses penyelesaian perkara anak yang melakukan pelanggaran hukum, mulai dari tahap
penyidikan sampai dengan tahap pelayanan purna bakti. Kejahatan sebagai hukum pidana anak
yang terintegrasi. Kerja peradilan pidana sebagai sarana untuk memberantas kejahatan dilakukan
secara sistematis melalui mekanisme peradilan pidana. Penerapan siklus pada hakekatnya berarti
menempatkan harkat dan martabat manusia pada tempatnya yang sebenarnya, dan diharapkan
akan tercipta dan menumbuhkan rasa saling menghargai. Martabat Manusia mencakup 5 (lima)
poin yang terkait dengan konsep Martabat Manusia, yaitu:  

1. Makhluk yang paling indah dan sempurna dalam penciptaannya;


2. Makhluk yang paling tinggi derajatnya;
3. Khalifah dimuka bumi;
4. Mahluk yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
5. Pemilik hak asasi manusia.

Kendala Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

Anak haram yang dibawa ke pengadilan hanyalah perkara berat dimana kepentingan
terbaik bagi anak harus selalu didahulukan dan proses pidana merupakan upaya terakhir
(ultimum remedium) namun tidak mengabaikan hak-hak anak. Selain itu, kasus anak dapat
diselesaikan melalui mekanisme informal berdasarkan kebijakan standar. Bentuk penanganan
informal dapat dilakukan sebagai proses mediasi sesat yang dibantu oleh penegak hukum di
semua tingkatan untuk mencapai keadilan restoratif, yang dapat diselesaikan dengan mewajibkan
anak yang bermasalah dengan hukum untuk mengikuti pendidikan di lembaga pendidikan
tertentu untuk berpartisipasi, yaitu. B. tindakan lain yang berkaitan dengan pemulihan anak dan
korban atau ketika hak anak harus dihukum, tidak dapat diabaikan. Sehingga proses informal
akhirnya dapat terlaksana dengan baik bila diimbangi dengan upaya menciptakan sistem hukum
yang kondusif.
Pemrosesan informal dapat dilakukan dengan baik bila diimbangi dengan upaya
menciptakan sistem peradilan yang mendukung. Unsur-unsur yang bekerja sama dalam sistem
peradilan pidana adalah kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan (LP).
Pentingnya sistem peradilan pidana terpadu adalah sinkronisasi atau kesatuan dan keselarasan,
yang dapat dibedakan sebagai berikut: 

1. Sinkronisasi struktural (structural syncronization) adalah keserampakan atau keselarasan


dalam rangka hubungan antarlembaga penegak hukum;
2. Sinkronisasi substansi (substansi syncronization) adalah keserampakan atau keselarasan
yang bersifat vertical dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif; dan
3. Sinkronisasi cultural (cultural syncronization) adalah keserampakan dan keselarasan
dalam menghayati pandanganpandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara
menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.

Dalam sistem peradilan pidana dikenal 3 (tiga) bentuk pendekatan hak-hak anak yang
memiliki berhadapan dengan hukum, yaitu :

1. Pendekatan normatif memandang keempat aparat penegak hukum sebagai institusi


pelaksana peraturan perundangundangan yang berlaku sehingga keempat aparatur
tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum semata-
mata.
2. Pendekatan administratif memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu
organisasi manajemen yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat
horizontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku
dalam organisasi tersebut. Sistem yang digunakan adalah sistem administrasi.
3. Pendekatan sosial memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga masyarakat ikut bertanggung jawab
atas keberhasilan atau ketidakberhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut
dalam melaksanakan tugasnya. Sistem yang digunakan adalah sistem sosial.

Sistem hukum domestik yang terdiri dari struktur hukum, substansi hukum, dan budaya
hukum, terutama berfungsi untuk mencapai tujuan hukum, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan
dan keadilan bagi masyarakat luas, dalam hal ini negara, korban dan pelaku di wilayah tersebut.
dari peradilan anak. sistem dengan kontrol. Kekuasaan pengakuan biasanya digariskan dalam
konstitusi pemisahan kekuasaan, sedangkan delegasi dan otorisasi adalah kekuasaan yang berasal
dari delegasi.

Dianalisis dengan menggunakan teori kewenangan Philipus M. Hadjon, kebijakan hukum


peradilan anak adalah pelaksana peradilan anak adalah penyidik kepolisian, jaksa, dan hakim.
Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 4 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah
No. 65 Tahun 2015, penyidik Polri, Jaksa dan Hakim yang menangani perkara dapat bertindak
sebagai penasehat dalam sistem peradilan anak. Kewenangan penyidik, penuntut umum, dan
hakim yang menangani tindak pidana anak dalam peradilan anak didasarkan pada Peraturan
Mahkamah Agung (Perma) No. 4 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015,
Kewenangan Penyidik, Jaksa, dan Hakim Polri. Dalam peradilan anak, yang menangani diversi
adalah aparat penegak hukum sebagaimana ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan.  

Analisis dan Konsep Politik Hukum Diversi pada Sistem Peradilan Pidana Anak

Politik Hukum diversi pada Sistem Perdilan Pidana Anak, jika dianalisis dengan teori
Sistem hukum dari Friedman bahwa sistem hukum dalam operasional aktualnya terdiri dari
struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. Unsur-unsur tersebut saling memengaruhi
dalam terlaksananya penegakan hukum. Sistem hukum tidak saja merupakan serangkaian
larangan atau perintah, tetapi juga sebagai aturan yang bisa menunjang, meningkatkan,
mengatur, dan menyuguhkan cara mencapai tujuan. Terkait dengan itu yang melaksanakan
diversi pada Sistem Peradilan Pidana Anak adalah Penyidik kepolisian, Jaksa Penuntut Umum
dan Hakim, berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012, PERMA Nomor 4 Tahun 2014
dan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015. Berdasarkan data tersebut yang termasuk
dalam struktur hukum adalah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012, PERMA Nomor 4 Tahun
2014 dan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015, serta Penyidik kepolisian, Jaksa Penuntut
Umum dan Hakim. Subtansi hukum adalah diversi pada Sistem Peradilan Pidana Anak,
sedangkan budaya hukum adalah budaya hukum yang ada pada Penyidik kepolisian, budaya
hukum Jaksa Penuntut Umum, budaya hukum hakim, dan budaya hukum masyarakat setempat.

Kebijakan peradilan pidana Sistem Peradilan Pidana Anak, bila dianalisis dengan
menggunakan sistem hukum Friedman, menyatakan bahwa sistem hukum dalam operasionalnya
yang sebenarnya terdiri dari struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum. Faktor-faktor
tersebut saling mempengaruhi dalam pelaksanaan penegakan hukum. Sistem hukum bukan
hanya seperangkat larangan atau peraturan, tetapi juga aturan yang dapat mendukung,
meningkatkan, mengatur dan menyediakan sarana untuk mencapai tujuan. Dalam konteks ini,
Penasihat dalam Peradilan Anak adalah penyidik Polri, Jaksa Penuntut Umum dan Hakim
berdasarkan UU No. 11 Tahun 2012, PERMA No. 4 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah No.
65 Tahun 2015.

Berdasarkan informasi tersebut, struktur hukum meliputi UU No. 11 Tahun 2012,


PERMA No. 4 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015, serta penyidik Polri,
Jaksa dan Hakim. Persoalan hukumnya adalah diversifikasi peradilan anak, sedangkan budaya
hukumnya adalah budaya hukum penyidik Polri, budaya hukum kejaksaan, budaya hukum
hakim, dan budaya hukum masyarakat setempat.

Dengan demikian Sistem hukum dalam yang terdiri dari struktur hukum, substansi
hukum, dan budaya hukum tersebut sebagai aturan untuk mencapai tujuan hukum yaitu kepastian
hukum, manfaat serta keadilan bagi masyarakat dalam hal ini pemerintah, korban dan pelaku
pada Sistem Peradilan Pidana Anak melalui diversi.

Teori Kewenangan sebagai middle theory menurut Philipus M. Hadjon, kewenangan


dapat diperoleh melalui tiga sumber, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan atribusi
lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh undang- -undang dasar,
sedangkan kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan.
Politik Hukum diversi pada Sistem Perdilan Pidana Anak, jika dianalisis dengan teori
kewenangan dari Philipus M. Hadjon adalah, bahwa yang melaksanakan diversi pada Sistem
Perdilan Pidana Anak adalah Penyidik kepolisian, Jaksa Penuntut Umum dan Hakim. Menurut
Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah Nomor 65
tahun 2015, yang dapat melakukan diversi pada Sistem Perdilan Pidana Anak, adalah Penyidik
kepolisian, Jaksa Penuntut Umum dan Hakim yang menangani kasus tersebut. Kewenangan
Penyidik kepolisian, Jaksa Penuntut Umum dan Hakim yang menangani diversi pada Sistem
Perdilan Pidana Anak berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2014
dan Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2015. Dengan demikian kewenangan yang diperoleh
Penyidik kepolisian, Jaksa Penuntut Umum dan Hakim yang menangani diversi pada Sistem
Perdilan Pidana Anak, adalah kewenangan atribusi, karena diperoleh berdasarkan peraturan
perundang-undangan.

Mempunyai kewenangan menjatuhkan sanksi pidana itu adalah negara. Negara sebagai
sebuah organisasi dalam suatu wilayah mempunyai kekuasaan tertinggi sah dan ditaati oleh
rakyat. Sebagai sebuah organisasi tertinggi, maka melalui undang-undang, negara menunjuk
pejabat tertentu untuk menjatuhkan sanksi pidana kepada pelaku kejahatan. Pejabat diberikan
kewenangan menjatuhkan sanksi pidana kepada pelaku kejahatan adalah hakim.

Sistem hukum internal yang terdiri dari struktur hukum, substansi hukum, dan budaya
hukum, berfungsi terutama untuk mencapai tujuan hukum, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan
dan keadilan bagi masyarakat, dalam hal ini negara, korban dan pelaku dalam hukum pidana
anak. sistem dengan kontrol. Teori Kewenangan sebagai Teori Sentral Menurut Philipus M.
Hadjon, kewenangan dapat berasal dari tiga sumber, yaitu merit, delegasi, dan mandat.
Kekuasaan pengakuan biasanya digariskan oleh pemisahan kekuasaan konstitusional, sedangkan
delegasi dan otorisasi adalah kekuasaan yang berasal dari delegasi. Tujuan hukum pidana dan
tujuan hukum pidana adalah dua hal yang berbeda. Namun, niat kriminal tidak dapat dipisahkan
dari aliran hukum pidana. Jika aliran hukum pidana menurut tujuan pidana terdiri dari aliran
klasik, aliran modern dan aliran neo klasik, maka tujuan pidana juga secara garis besar terbagi
menjadi tiga, yaitu. H. teori absolut, teori relatif dan teori gabungan. Namun dalam
perkembangannya, seiring dengan ketiga teori tersebut, muncul pula teori modern tentang niat
kriminal.

Berdasarkan analisis ini, peneliti mengusulkan konsep politik desentralisasi hukum


peradilan anak, yaitu. H. Secara formal desentralisasi dalam peradilan anak dapat dilihat dalam
Undang-Undang Sistem Peradilan Anak No. 11 tahun 2012. Mengingat peraturan teknis belum
ada, maka Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 4 Tahun
2014 yang mengatur pedoman pelaksanaan pedoman dalam sistem peradilan anak. PERMA
mengatur aturan pelaksanaan pedoman di pengadilan. Pada tahun 2015, Presiden mengeluarkan
Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015 tentang pedoman pelaksanaan dan pengelolaan
penyuluhan bagi anak di bawah usia 12 tahun.
Berdasarkan data empiris pelaksanaan pedoman dalam peradilan anak tetap berjalan,
namun pelaksanaan pedoman tersebut tidak mempengaruhi rasa keadilan dari segi isi. Karena
penyidik, penuntut umum dan hakim yang melakukan sidang keliling bukanlah penuntut umum,
penuntut umum dan hakim khusus. 

Penyidik, penuntut umum, dan hakim penasehat dalam peradilan anak adalah penyidik,
penuntut umum, dan hakim ketua yang tugas dan tanggung jawabnya terus menerus terdiri dari
menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, biasanya sedemikian rupa sehingga nasihat formal
tidak semata-mata bersifat faktual. . Penyidik, penuntut umum, dan hakim yang menangani tugas
pembantuan peradilan adalah penyidik khusus, penuntut umum dan hakim khusus, yaitu. mereka
yang sangat siap untuk menangani pelanggaran dalam peradilan anak. Oleh karena itu, penyidik,
penuntut umum dan hakim lebih teliti dan bersemangat untuk menyelidiki pelanggaran dalam
sistem peradilan anak. Jaksa khusus, jaksa khusus dan hakim khusus tidak dibebani dengan
tugas-tugas lain yang tentunya menghambat pelaksanaan desentralisasi ini.

Oleh karena itu, kebijakan hukum pemerintah mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 65
Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Pedoman dan Perlakuan Terhadap Anak Di Bawah Umur 12
Tahun, dengan menambahkan ketentuan tentang Penuntut Umum, Penuntut Umum dan Hakim
Khusus tentang Pedoman. dalam peradilan anak. Demikian pula kebijakan hukum yang
ditempuh oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia bertujuan untuk mengubah Keputusan
Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Pedoman dalam Sistem
Peradilan Anak dengan menambahkan ketentuan tentang hakim khusus untuk kenakalan anak.
Hukum. Dengan kebijakan hukum ini, rasa keadilan harus diwujudkan dalam desentralisasi
peradilan anak.

Secara teoritis, penelitian ini menyempurnakan teori keadilan restoratif yang


dikemukakan oleh Tony F. Marshall, yang menyatakan bahwa “keadilan restoratif adalah proses
dimana pihak-pihak yang terlibat dalam kejahatan tertentu memutuskan secara kolektif
bagaimana menghadapi akibat dan akibat dari kejahatan yang akan terjadi. masa depan
“Keadilan restoratif dengan demikian merupakan suatu proses di mana semua peserta dalam
kejahatan tertentu bersama-sama memecahkan masalah bagaimana menangani konsekuensi di
masa depan dan keputusan yang diambil harus memenuhi rasa keadilan masyarakat.  
PENUTUP

Berdasarkan hasil pembahasan dan analisis pada bab sebelumnya, maka dalam penelitian
ini ditarik kesimpulan sebagai berikut, yaitu:

1. 1. Penerapan desentralisasi dalam peradilan anak di Indonesia dalam penyelenggaraan


peradilan untuk memulihkan keadaan yang berkeadilan di pengadilan dilaksanakan
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 yang menjadi pedoman pelaksanaan
Peraturan Pemerintah tersebut. dan penggunaan penitipan anak. Belum genap 12 (dua
belas) tahun. Dulu, hakim mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) 4 Tahun
2014 yang mengatur pedoman pelaksanaan pedoman dalam sistem peradilan anak. Jika
desentralisasi selesai dan berhasil, penyidikan/persidangan/penyidikan awal atas kasus
anak diperintahkan untuk menyimpulkan perjanjian damai, restitusi/kompensasi kepada
korban dan proses pidana terjadi. Prinsip keadilan restoratif dalam penyelesaian tindak
pidana yang dilakukan oleh anak, melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan
pihak terkait lainnya untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan
mempertimbangkan pemulihan keadaan semula dan tidak menekankan balas dendam.
Desentralisasi membutuhkan profesionalisme dari pihak-pihak yang tujuannya
mengambil keputusan yang terbaik bagi anak dan korban.
2. Politik hukum yang ideal dalam pedoman pelaksanaan restorative justice pada peradilan
anak dan umumnya berlaku sehingga hanya pedoman formal saja yang tidak
dilaksanakan secara materiil. Penyidik, penuntut umum, dan hakim yang menangani
tugas pembantuan peradilan adalah penyidik khusus, penuntut umum dan hakim khusus,
yaitu. mereka yang sangat siap untuk menangani pelanggaran dalam peradilan anak. Oleh
karena itu, penyidik, penuntut umum dan hakim lebih teliti dan bersemangat untuk
menyelidiki pelanggaran dalam sistem peradilan anak. Jaksa khusus, jaksa khusus dan
hakim khusus tidak dibebani dengan tugas-tugas lain yang tentunya menghambat
pelaksanaan desentralisasi ini.
3. Sejalan dengan itu kebijakan hukum pemerintah mengubah Peraturan Pemerintah Nomor
65 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Pedoman dan Perlakuan Terhadap Anak Di Bawah
Umur 12 Tahun, dengan menambahkan ketentuan tentang Jaksa Penuntut Umum,
Penuntut Umum Khusus dan Hakim Khusus tentang Pedoman. dalam peradilan anak.
Demikian pula kebijakan hukum yang ditempuh oleh Mahkamah Agung Republik
Indonesia bertujuan untuk mengubah Keputusan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014
tentang Pedoman Pelaksanaan Pedoman dalam Sistem Peradilan Anak dengan
menambahkan ketentuan tentang hakim khusus untuk kenakalan anak. Hukum. Dengan
kebijakan hukum ini, rasa keadilan harus diwujudkan dalam desentralisasi peradilan
anak.  

DAFTAR PUSTAKA

A. Azhar, V. A. S. Maryanto, M. Apriyanto, and A. Samosir, “Penanganan Kejahatan Preman


Pada Wilayah Hukum Polisi Resort Indragiri Hilir,” Res Nullius Law J., vol. 2, no. 2, pp.
158–164, 2020.

I. M. Adnan, M. Ridwan, and V. A. Siregar, “Penyuluhan Hukum tentang Pemahaman Siswa


SMK terhadap Bullying dalam Perspektif Hukum Pidana dan Perdata di SMK Dr. Indra
Adnan Indragiri College Tembilahan,” KANGMAS Karya Ilm. Pengabdi. Masy., vol. 1,
no. 3, pp. 167–173, 2020, doi: 10.37010/kangmas.v1i3.126.

A. Azhar, M. Maryanto, and V. A. Siregar, “Penanganan Tindak Pidana Kejahatan Premanisme


di Wilayah Hukum Indragiri Hilir,” Log. J. Multidiscip. Stud., vol. 11, no. 02, pp. 79–86,
2020, doi: 10.25134/logika.v11i02.3121.

Mulono Apriyanto;, A. Alfa, Y. Riono, K. Ihwan, Marlina;, and Jamri, “Pelatihan Jurnalistik dan
Public Speaking Petani dalam Menangkal Isu Negatif Kelapa Sawit,” E-Amal J.
Pengabdi. Kpd. Masy., vol. 01, no. 02, pp. 173–178, 2021.

D. Martien, “Politik Hukum Penerapan Diversi Pada Sistem Peradilan Pidana Anak Untuk
Mewujudkan Keadilan Restoratif,” J. Penelit. Huk. Leg., 2017, [Online]. Available:
https://core.ac.uk/download/pdf/27021866 7.pdf.

S. C. Sirait, “Tanggung Jawab Pemerintah Untuk Memberikan Pendidikan Kepada Anak


Terlantar Dalam Perspektif UndangUndang Perlindungan Anak,” Lega Lata, vol. 2, no. 1,
pp. 158–182, 2017, doi: 10.31219/osf.io/75tp2.

Anda mungkin juga menyukai