Anda di halaman 1dari 19

HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK

SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

Nuri Puspitasari

150710101451

KELAS A

Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan

Tinggi Republik Indonesia

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS JEMBER

2018
DAFTAR ISI

HALAMAN

DAFTAR ISI.................................................................................................. i

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................1

1.1 Latar Belakang........................................................................................3


1.2 Rumusan Masalah...................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................5

2.1 Sistem Peradilan Pidana Anak......................................................................5

a. Pengertian Anak di Bawah Umur...........................................................6

b. Penjatuhan Sanksi..............................................................................6

c. Hak – hak Anak..................................................................................8

2.2 Keriteria dan Sanksi Pidana Anak................................................................10

2.3 Hak – Hak Dalam Peradilan Pidana Anak......................................................13

2.4 Konsep Perlindungan Hukum Terhadap anak................................................14

2.5 Lembaga Pemasyarakatan Anak.................................................................16

BAB III PENUTUP......................................................................................18

3.1 KESIMPULAN...........................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................19
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Anak adalah bagian warga Negara yang harus dilindungi karena
mereka merupakan generasi bangsa yang dimasa yang akan datang akan
melanjutkan kepemimpinan bangsa Indonesia. Setiap anak selain wajib
mendapatkan pendidikan formal seperti sekolah, juga wajib mendapatkan
pendidikan moral sehingga meraka dapat tumbuh menjadi sosok yang
berguna bagi bangsa dan negara. Sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak
Anak (Convention on the Rights of the Child) yang diratifikasi oleh pemerintah
Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga
dituangkan dalam Undang– Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak dan Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak yang kesemuanya mengemukakan prinsip-
prinsip umum perlindungan anak, yaitu non diskriminasi, kepentingan terbaik
bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang dan menghargai
partisipasi anak.
Perlindungan hukum bagi anak dapat dilakukan sebagai upaya
perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak.
Perlindungan terhadap anak ini juga mencakup kepentingan yang
berhubungan dengan kesejahteraan anak. Perlindungan Anak yang
Berhadapan dengan Hukum (ABH), merupakan 2 tanggung jawab bersama
aparat penegak hukum. Tidak hanya anak sebagai pelaku, namun mencakup
juga anak yang sebagai korban dan saksi. Aparat penegak hukum yang
terlibat dalam penanganan ABH agar tidak hanya mengacu pada Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak atau
peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penanganan
ABH, namun lebih mengutamakan perdamaian daripada proses hukum formal
yang mulai diberlakukan 2 tahun setelah Undang-Undang Sistem Peradilan
Pidana Anak (UU SPPA) diundangkan (Pasal 108 UU No. 11 Tahun 2012).
Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak yang mengatur tentang Anak yang Berkonflik dengan
Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12
(dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang
diduga melakukan tindak pidana.

RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sisem Peradilan Pidana anak?
2. Keriteria dan sanksi sistem Peradilan Pidana Anak?
BAB II

PEMBAHASAN

1. SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

undang-undang terbaru yang mengatur tentang anak yang berhadapan dengan


hukum adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak (“UU SPPA”) yang mulai diberlakukan dua tahun setelah
tanggal pengundangannya, yaitu 30 Juli 2012 sebagaimana disebut dalam Ketentuan
Penutupnya (Pasal 108 UU SPPA). Artinya UU SPPA ini mulai berlaku sejak 31 Juli
2014.

UU SPPA ini merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun


1997 tentang Pengadilan Anak (“UU Pengadilan Anak”) yang bertujuan agar
dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan
terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. UU Pengadilan Anak dinilai
sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum
secara komprehensif memberikan perlindungan khusus kepada anak yang
berhadapan dengan hukum.

Adapun substansi yang diatur dalam UU SPPA antara lain mengenai penempatan
anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan
Khusus Anak (LPKA). Substansi yang paling mendasar dalam Undang-Undang ini
adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang
dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan
sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan
hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.
Demikian antara lain yang disebut dalam bagian Penjelasan Umum UU SPPA.
Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang
terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta
menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik
dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk
memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan
pembalasan. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses
peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Berikut kami rangkum hal-hal penting yang diatur dalam UU SPPA:

1. Definisi Anak di Bawah Umur


UU SPPA mendefenisikan anak di bawah umur sebagai anak yang telah
berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun, dan membedakan anak yang
terlibat dalam suatu tindak pidana dalam tiga kategori:
a. Anak yang menjadi pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 3 UU SPPA);
b. Anak yang menjadi korban tindak pidana (Anak Korban) (Pasal 1 angka
4 UU SPPA); dan
c. Anak yang menjadi saksi tindak pidana (Anak Saksi) (Pasal 1 angka 5
UU SPPA)

Sebelumnya, UU Pengadilan Anak tidak membedakan kategori Anak Korban


dan Anak Saksi. Konsekuensinya, Anak Korban dan Anak Saksi tidak
mendapatkan perlindungan hukum. Hal ini mengakibatkan banyak tindak pidana
yang tidak terselesaikan atau bahkan tidak dilaporkan karena anak cenderung
ketakutan menghadapi sistem peradilan pidana.

2. Penjatuhan Sanksi
Menurut UU SPPA, seorang pelaku tindak pidana anak dapat dikenakan dua jenis
sanksi, yaitu tindakan, bagi pelaku tindak pidana yang berumur di bawah 14
tahun (Pasal 69 ayat (2) UU SPPA) danPidana, bagi pelaku tindak pidana
yang berumur 15 tahun ke atas.
a. Sanksi Tindakan yang dapat dikenakan kepada anak meliputi (Pasal 82 UU
SPPA):

• Pengembalian kepada orang tua/Wali;


• Penyerahan kepada seseorang;
• Perawatan di rumah sakit jiwa;
• Perawatan di LPKS;

• Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang


diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;
• Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau
• Perbaikan akibat tindak pidana.

b. Sanksi Pidana

Sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana anak
terbagi atas Pidana Pokok dan Pidana Tambahan(Pasal 71 UU SPPA):
Pidana Pokok terdiri atas:
· Pidana peringatan;
· Pidana dengan syarat, yang terdiri atas: pembinaan di luar
lembaga, pelayanan masyarakat, atau pengawasan;
· Pelatihan kerja;
· Pembinaan dalam lembaga;
· Penjara.

Pidana Tambahan terdiri dari:


· Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
atau
· Pemenuhan kewajiban adat.
Selain itu, UU SPPA juga mengatur dalam hal anak belum berumur 12 (dua
belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik,
Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil
keputusan untuk: (lihat Pasal 21 UU SPPA)
a. menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau
b. mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan
pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang
menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun
daerah, paling lama 6 (enam) bulan.

3. Hak-hak Anak
Setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak: (Pasal 3 UU SPPA)
a. diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai
dengan umurnya;
b. dipisahkan dari orang dewasa;
c. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
d. melakukan kegiatan rekreasional;
e. bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam,
tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
f. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
g. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir
dan dalam waktu yang paling singkat;
h. memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak
memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
i. tidak dipublikasikan identitasnya;
j. memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya
oleh anak;
k. memperoleh advokasi sosial;
l. memperoleh kehidupan pribadi;
m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
n. memperoleh pendidikan;
o. memperoleh pelayananan kesehatan; dan
p. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 4 UU SPPA menyatakan bahwa anak yang sedang menjalani masa pidana
berhak atas:
a. Remisi atau pengurangan masa pidana;
b. Asimilasi;

c. Cuti mengunjungi keluarga;


d. Pembebasan bersyarat;
e. Cuti menjelang bebas;
f. Cuti bersyarat;

g. Hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

4. Penahanan
Pasal 32 ayat (2) UU SPPA menyatakan bahwa penahanan terhadap anak
hanya dapat dilakukan dengan syarat anak telah berumur 14 (empat belas)
tahun, atau diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara
tujuh tahun atau lebih. Jika masa penahanan sebagaimana yang disebutkan di
atas telah berakhir, anak wajib dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

5. Pemeriksaan Terhadap Anak Sebagai Saksi atau Anak Korban


UU SPPA ini memberikan kemudahan bagi anak saksi atau anak korban dalam
memberikan keterangan di pengadilan. Saksi/korban yang tidak dapat hadir
untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan dengan alasan
apapun dapat memberikan keterangan di luar sidang pengadilan melalui
perekaman elektronik yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan
setempat, dengan dihadiri oleh Penyidik atau Penuntut Umum, dan Advokat atau
pemberi bantuan hukum lainnya yang terlibat dalam perkara tersebut. Anak
saksi/korban juga diperbolehkan memberikan keterangan melalui pemeriksaan
jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi audiovisual. Pada saat
memberikan keterangan dengan cara ini, anak harus didampingi oleh orang
tua/Wali, Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lainnya [lihat Pasal 58
ayat (3) UU SPPA].
6. Hak Mendapatkan Bantuan Hukum
UU SPPA memperbolehkan anak yang terlibat dalam tindak pidana untuk
mendapatkan bantuan hukum tanpa mempermasalahkan jenis tindak pidana
telah dilakukan.

2. KRITERIA DAN SANKSI PIDANA ANAK

Kriteria Dan Sanksi Pidana Anak Dibawah Umur Menurut Hukum Positif

Kriteria anak dibawah umur menurut hukum positif. Dalam bab II diatas telah
dijelaskan bahwa salah satu alasan penghapusan pidana adalah umur yang masih
muda atau anak dibawah umur. Di dalam KUHP mengenai batas-batas kedewasaan
seseorang tidak ada yang ada ialah istilah cukup umur dan belum cukup umur
(Minderjaring). Ketentuan telah cukup umur atau belum cukup umur disebutkan
dalam pasal 45 KUHP yang berbunyi : “Jika seseorang yang belum dewasa dituntut
karena perbuatan yang dikerjakannya ketika umurnya dalam enam belas tahun,
hakim dapat menentukan tiga hal: 1). Memerintahkan supaya yang bersalah
dikembalikan kepada oarng tuanya, walinya, atau pemeliharanya, tanpa pidana
apapun. (2). Diserahkan kepada pemerintah. (3). Menjatuhkan hukuman
pidana.1Dari bunyi pasal tersebut jelas bahwa orang yang telah cukup umur. Ada
suatu permasalahan, berapakah batas umur seseorang menurut hukum pidana
untuk dapat bertanggungjawab atas perbuatannya.

A. Ridlwan Halim, SH dalam bukunya hukum pidana dalam tanya jawab


menyebutkan bahwa : menurut pasal 45 KUHP seseorang yang dinyatakan cukup
umur dan dapat bertanggungjawab atas perbuatannya, apabila ia telah berumur 16
(enam belas tahun) keatas. Didalam KUH Pedata, ukuran dewasa seseorang telah
ditentukan dalam pasal 330 yang berbunyi : Belum dewasa adalah mereka yang
belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah
kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum mereka genap dua puluh satu
tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa. 3Batasan
tersebut dalam hukum pidana bertujuan untuk membatasi apakah seseorang dapat
dihukum dengan sanksi pidana pabila melakukan tindak pidana. Kerena seseorang
yang telah dewasa menurut hukum pidana dikategorikan dapat bertanggungjawab
atas perbuatannya. Selain batasan umur, para ahli hukum juga memberikan batasan
yang lain tentang kemampuan bertanggungjawab seseorang antara lain :

a. Simons, seorang dikatakan mampu bertanggungjawab, jika jiwanya

sehat, yakni apabila :

1. Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan


dengan hukum. umur 18 tahun. Administrasi itu dapat memilih antara penempatan
dalam rumah pendidikan negeri atau mempercayakan unutk didik oleh orang,
perserikatan, lembaga atau badan kesusilaan partikuler. Lihat pasal 45. Peraturan
tentang penyelenggaraan ketentuan dalam ayat pertama dapat dibaca dalam LN.
1917 No. 741.12 Jadi ada perbedaan bentuk sanksi pidana antara perbuatan pidana
yang dilakukan oleh orang yang telah dewasa dengan orang yang belum dewasa.
Kalau tindak pidana dilakukan oleh orang yang telah dewasa maka akan dijatuhi
sanksi pidana sesuai dengan pasal-pasal yang ada dalam KUHP tergantung dari jenis
pidana yang diperbuat. Sedangkan sanksi pidana untuk anak yang belum dewasa
hanya dapat dijatuhi pidana sesuai dengan KUHP pasal 45, seperti yang telah
dijelaskan di atas. Adanya perbedaan sanksi pidana tersebut bertujuan untuk
melindungi anak yang belum dewasa, disamping itu juga untuk memberikan
pembinaan yang lebih baik agar ketika sudah dewasa tidak mengulangi perbuatan
pidana seperti yang telah dilakukannya.Menurut Undang-undang Republik Indonesia
nomor : 4 Tahun 1979. Tentang kesejahteraan anak, bahwa anak adalah seseorang
yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) dan belum pernah kawin. Sanksi
pidana anak dibawah umur menurut hukum positif Setelah memaparkan kriteria
anak dibawah umur (belum dewasa), berikut akan kami uraikan sanksi pidana
terhadap anak belum dewasa.
Dalam KUHP pasal 45 disebutkan : Jika seseorang yang belum dewasa dituntut
karena perbuatan yang dikerjakannya krtika umurnya belum enam belas tahun,
hakim boleh : memerintahkan, supaya sitersalah itu dikembalikan pada orang
tuannya ; atau memerintahkan, supaya sitersalah diserahkan kepada pemerintah
dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman, yakni jika perbuatan itu masuk bagian
kejahatan atau salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam pasal 489, 490, 492,
496, 497, 503-505, 514, 417, 519, 526, 531, 536 dan 540 dan perbuatannya itu
dilakukan sebelum lalu dua tahun sesudah keputusan banding dahulu yang
menyalahkan dia melakukan salah satu pelanggaran ini atau sesuatu kejahatan ;
atau menghukum anak yang bersalah itu memeliharanya dengan tidak dijatuhkan.
Akan tetapi apabila hakim menganggap anak-anak berumur 13 atau 15 tahun telah
berbuat suatu kejahatan dengan akal yang cukup mampu membeda-bedakan, hakim
ada kesempatan pula untuk menjatuhkan hukuman akan tetapi hukuman yang

dijatuhkan itu tidak boleh lebih dari dua pertiga maksimum hukuman yang
diancamkan.10Dalam pasal berikutnya yaitu pasal 46 disebutkan : (1) Jika hakim
memerintahkan, sepaya sitersalah diserahkan kepada pemerintah, maka ia : baik
ditempatkan didalam rumah pendidikan negara, supaya disitu, atau denga kemudian
denga cara lain, ia mendapat pendidikan dari pihak pemerintah, baik diserahkan
pada seorang-orang yang ada dinegara Indonesia atau kepada perserikatan yang
mempunyai hak badan hukum (rechtspersoon) yang ada dinegara Indonesia atau
pada balai derma yangt ada dinegara Indonesia supaya disitu mendapat pendidikan
dari mereka, atau kemudian dengan cara lain, dari pemerintah, dalam hal kedua itu
selama-lamanya sampai cukup delapan belas tahun. (2) Peraturan untuk
menjalankan ayat pertama dari pasal ini ditetapkan dengan ordonansi. Pasal ini
memberi aturan atministrasi tentang apa yang harus dikerjakan, apabila hakim telah
memberi perintah, bahwa tersalah akan diserahkan kepada pemerintah. Penyerahan
ini selesai jika telah dicapaiumur 18 tahun. Administrasi itu dapat memilih antara
penempatan dalam rumah pendidikan negeri atau mempercayakan unutk didik oleh
orang, perserikatan, lembaga atau badan kesusilaan partikuler. Lihat pasal 45.
Peraturan tentang penyelenggaraan ketentuan dalam ayat pertama dapat dibaca
dalam LN. 1917 No. 741.12 Jadi ada perbedaan bentuk sanksi pidana antara
perbuatan pidana yang dilakukan oleh orang yang telah dewasa dengan orang yang
belum dewasa. Kalau tindak pidana dilakukan oleh orang yang telah dewasa maka
akan dijatuhi sanksi pidana sesuai dengan pasal-pasal yang ada dalam KUHP
tergantung dari jenis pidana yang diperbuat. Sedangkan sanksi pidana untuk anak
yang belum dewasa hanya dapat dijatuhi pidana sesuai dengan KUHP pasal 45,
seperti yang telah dijelaskan di atas. Adanya perbedaan sanksi pidana tersebut
bertujuan untuk melindungi anak yang belum dewasa, disamping itu juga untuk
memberikan pembinaan yang lebih baik agar ketika sudah dewasa tidak mengulangi
perbuatan pidana seperti yang telah dilakukannya.

3. HAK – HAK ANAK DALAM PERADILAN PIDANA

Setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak: (Pasal 3 UU SPPA)


a. diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai
dengan umurnya;
b. dipisahkan dari orang dewasa;
c. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
d. melakukan kegiatan rekreasional;
e. bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam,
tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
f. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
g. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir
dan dalam waktu yang paling singkat;
h. memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak
memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
i. tidak dipublikasikan identitasnya;
j. memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya
oleh anak;
k. memperoleh advokasi sosial;
l. memperoleh kehidupan pribadi;
m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
n. memperoleh pendidikan;
o. memperoleh pelayananan kesehatan; dan
p. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 4 UU SPPA menyatakan bahwa anak yang sedang menjalani masa pidana
berhak atas:
a. Remisi atau pengurangan masa pidana;
b. Asimilasi;

c. Cuti mengunjungi keluarga;


d. Pembebasan bersyarat;
e. Cuti menjelang bebas;
f. Cuti bersyarat;

g. Hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Hak Mendapatkan Bantuan Hukum


UU SPPA memperbolehkan anak yang terlibat dalam tindak pidana untuk
mendapatkan bantuan hukum tanpa mempermasalahkan jenis tindak pidana
telah dilakukan.

Anak berhak mendapatkan bantuan hukum di setiap tahapan pemeriksaan, baik


dalam tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun tahap pemeriksaan
di pengadilan (Pasal 23 UU SPPA). Anak Saksi/Anak Korban wajib didampingi
oleh orang tua/Wali, orang yang dipercaya oleh anak, atau pekerja sosial dalam
setiap tahapan pemeriksaan. Akan tetapi, jika orang tua dari anak
tersebut adalah pelaku tindak pidana, maka orang tua/Walinya tidak wajib
mendampingi (Pasal 23 Ayat (3) UU SPPA).

4. KONSEP PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perlindungan Anak menentukan bahwa


perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan
hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasaan dan diskriminasi.

Undang-Undang Perlindungan Anak mengatur tentang asas dan tujuan


perlindungan anak yakni pasal 2 dan pasal 3, sebagai berikut:
Pasal 2: penyelenggara perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip
dasar konvensi hak anak meliputi:
1. Non diskriminasi
2. Kepentingan yang terbaik bagi anak
3. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan
4. Penghargaan terhadap anak.

Pasal 3: perlindungan terhadap anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya


hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat martabat manusia, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas,
berakhlak, mulia dan sejahtera.

Pasal 2 huruf c Undang-Undang tentang Perlindungan Anak menegaskan hak


untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan merupakan hak asasi yang
paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh Negara, pemerintrah, keluarga,
orang tua, sekaligus merupakan hak setiap manusia yang paling asasi.

Perlindungan anak diusahakan oleh setiap orang, orang tua, keluarga,


masyarakat, pemerintah maupun Negara. Pasal 20 Undang-Undang Perlindungan
Anak menentukan:
“Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan
bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.”
Kewajiban dan tanggung jawab Negara dan Pemerintah dalam usaha
perlindungan anak diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak yaitu:
1. Menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku,
agama, ras, golongan, jenis kelamin,etnik, budaya, dan bahasa, status hukum anak,
urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau mental (Pasal 21);
2. Memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan
perlindungan anak (Pasal 22);
3. Menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan
memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara
umum bertanggung jawab terhadap anak dan mengawasi penyelenggaraan
perlindungan anak (Pasal 23);
4. Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat
sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak (Pasal 24)

Kewajiban dan tanggungjawab masyarakat terhadap perlindungan anak


dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan
perlindungan anak (Pasal 25 Undang-Undang Perlindungan Anak).
Kewajiban tanggungjawab keluarga dan orang tua dalam usaha perlindungan
anak diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak, yaitu:
a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
b. Menumbuhkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

5. LEMBAGA PERMASYARAKATAN ANAK

Dalam Pasal 86 ayat (1) UU SPPA, anak yang belum selesai menjalani pidana
di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (“LPKA”) dan telah mencapai umur 18 (delapan
belas) tahun dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan pemuda. Pengaturan tersebut
tidak ada dalam Pasal 61 UU Pengadilan Anak.
Walaupun demikian, baik UU SPPA dan UU Pengadilan Anak sama-sama
mengatur bahwa penempatan anak di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan dengan
menyediakan blok tertentu bagi mereka yang telah mencapai umur 18 (delapan
belas) tahun sampai 21 (dua puluh satu) tahun (Penjelasan Pasal 86 ayat (2)
UU SPPA dan Penjelasan Pasal 61 ayat (2) UU Pengadilan Anak).
BAB III

KESIMPULAN

Peradilan Anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun


1997 tentang Pengadilan dalam prakteknya banyak diwarnai dengan disfungsi norma
serta penyimpangan yang bertentangan prinsip-prinsip perlindungan hak anak,
sehingga sangat berpotensi mencederai masa depan anak sebagai asset bangsa.

Sebagai bagian dari masyarakat internasional, bangsa Indonesia merasa perlu dan
bersifat mendesak terhadap kebutuhan reformasi di bidang sistem peradilan pidana
anak yang bersifat “eksklusif” dengan mengacu pada kepentingan perlindungan
anak sebagaimana diatur dalam berbagai instrument hukum nasional maupun
internasional.

Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana ditur dalam Undang-Undang


Nomor 11 Tahun 2012 adalah bagian dari reformasi atau pembaruan hukum dan
peradilan anak yang beranjak dari respon hukum progresif, dan konsep Restorative
Justice.

Dalam masa transisi ini, agar segera diwujudkan struktur dan instrument hukum
pelaksanaan dari UU-SPPA, baik bersifat regulasi, sarana dan prasarana, termasuk
aparat struktural yang merupakan bagian dari stakeholder dari instrumen
penanganan masalah anak yang berkonflik dengan hukum, termasuk kemampuan
dan keahlian dari aparat structural meliputi polisi, advokat, jaksa, hakim, Petugas
Pembimbing Kemasyarakatan, Lapas, Bapas, Pekerja Sosial Profesional, Tenaga
Kesejahteraan Sosial, yang harus dibekali dengan pelatihan berkaitan dengan
pengananan perkara atau permasalahan anak yang berkonflik dengan hukum,
sehingga sistem tersebut berjalan secara optimal.
DAFTAR PUSTAKA

Kartini Kartono, Patologi Sosial II Kenakalan Remaja, cet 5, PT Raja Grafindo


Persada, Jakarta, tahun 2003, hlm.6.
Kartini Kartono, Patologis Sosial 3 Gangguan-gangguan Kejiawaan, CV. Rajawali,
Jakarta, 1986, hlm 209.
Petter Salim, Salim Ninth Collegiate English Indonesian Dictionary, Modern Engglish
Press, tt, hlm. 300.

Anda mungkin juga menyukai