Anda di halaman 1dari 17

Makalah Hukum Pidana

“Pertanggungjawaban Pidana dan Ajaran Kesalahan dalam Hukum Pidana”

Oleh:
1. Eduard Awang Maha Putra (D1A018082)
2. Fareh Aldino Jahwasy (D1A018093)
3. Darwin Surya Atmaja (D1A018069)
4. Faras Cahya Apriningdiah (D1A018092)
5. Caesario Susmadi Mahendra (D1A018065)
6. Baiq Wiwit Yulia Pratiwi (D1A018060)
7. Bayu Prawira Putra Haryawan (D1A018062)

PEMBIMBING:
Lalu Saipudin, SH., MH.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MATARAM

2019

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat, rahmat,
dan karunia-Nyalah kami dapat menyelesaikan Makalah Hukum Tata Negara tentang
Pertanggungjawaban Pidana dan Ajaran Kesalahan dalam Pidana ini tepat pada waktunya.Makalah
ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dari Bapak Lalu Saipudin,SH.,MH, selaku dosen
Hukum Pidana.

Dalam penulisan makalah ini mengalami banyak hambatan. Namun berkat dukungan dari
berbagai pihak, akhirnya makalah ini dapat terselesaikan. Untuk itu sudah sepantasnya kami
mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah mendukung.

Makalah ini mungkin saja masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, dengan tangan
terbuka kami menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca untuk
kesempurnaan makalah yang kami susun ini di masa yang akan datang. Semoga makalah ini
bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.

Mataram, 25 April 2019

Penyusun

2
DAFTAR ISI
COVER:...................................................................................................................1
Kata Pengantar:.......................................................................................................2
Daftar Isi...................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................4
A.Latar Belakang.......................................................................................................4
B.Rumusan Masalah..................................................................................................6
C. Tujuan...................................................................................................................6
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................7
A. Pertanggungjawaban Pidana………………………………………………..7
1. Pengertian pertanggungjawaban pidana………………………………….7
2. Unsur – unsur pertanggungjawaban pidana………………………….......7
a. Adanya suatu tindak pidana……………………………………….......8
b. Adanya pembuat yang bertanggung jawab………………………........8
c. Tidak ada alasan pemaaf………………………………………….......10
d. Adanya kesalahan…………………………………………………….11
B. Ajaran Kesalahan dalam Pidana………………………………………….12
1. Kesengajaan (dolus)…………………………………………………..12
2. Kealpaan (culpa)……………………………………………………...15
BAB III PENUTUP..............................................................................................16
A. Kesimpulan.................................................................................................16
B. Saran……………………………………………………………………...16
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pertanggungjawaban pidana merupakan salah satu bagian dari hukum pidana di samping
tindak pidana, pidana dan pemidanaan. Pertanggungjawaban pidana merupakan hal yang penting
dalam hukum pidana, karena tidak ada artinya pidana yang diancamkan kepada orang yang
melakukan tindak pidana kalau orang yang melakukannya tidak diminta pertanggungjawaban
pidana.Jika seseorang diduga melakukan suatu tindak pidana tetapi tidak diproses berdasarkan
hukum acara pidana untuk menentukan dapat atau tidak dapatnya diminta pertanggungjawaban
pidananya, maka akan dapat merendahkan wibawa hukum pidana di dalam masyarakat. Hal ini
akan bisa menyebabkan ada pandangan masyarakat bahwa tidak perlu takut melakukan tindak
pidana karena tidak akan diminta pertanggungjawaban pidananya.

Mempelajari kesalahan pidana sangat erat kaitannya dengan pertanggungjawaban pidana,


keduanya bisa dikatakan sebagai alat penentu seseorang bisa dikenakan pidana atau tidak. Hal ini
mensyiratkan hukum pidana tidak bisa diterapkan secara merta-merta namun harus melalui
beberapa tahapan. Ada sifat kehati-hatian dalam menerapkan pidana kepada seseorang, karena ini
menyangkut masalah perampasan kemerdekaan warga negara.

Dalam membahas dan mempelajari kesalahan itu harus mengerti segi psikologi dan segi
yuridis pelaku tindak pidana. Segi psikologis merupakan dasar untuk mengadakan pencelaan yang
ada terlebih dahulu, baru kemudian segi yang kedua untuk dipertanggungjawabkan dalam hukum
pidana. Dasar kesalahan yang dicari dalam psikis orang yang melakukan perbuatan itu sendiri
dengan menyelidiki bagaimana hubungan batinnya itu dengan apa yang telah diperbuat.

Dalam keterangan diatas, bisa diketahui, untuk mengetahui adanya suatu kesalahan harus
ada keadaan psikis atau batin tertentu dan juga harus ada keterkaitan antara sikap batin tersebut
dengan perbuatan yang dilakukan sehingga menimbulkan celaan, yang nantinya bisa dijadikan
ukuran untuk menentukan dapat atau tidaknya seseorang dipertanggungjawabkan secara pidana.

4
Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas
kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas. Sistem pertanggungjawaban pidana
dalam hukum pidana nasional menerapkan asas yakni Geen straf Zonder Schuld (Jerman)
atau actus non facit reum nisi mens sit rea atau actus reus mens rea ( Latin ) yang memiliki arti
tiada pidana tanpa kesalahan. Dengan demikian, seseorang baru dapat dipidana kalau pada orang
tersebut terdapata kesalahan. Tidak adil kalau orang yang tidak mempunyai kesalahan terhadapnya
dijatuhi pidana. Menurut Barda Nawawi Arief, asas kesalahan merupakan asas yang sangat
fundamental dalam meminta pertanggungjawaban pidana terhadap si pembuat yang bersalah
melakukan tindak pidana.

Dikatakan sebagai asas fundamental karena kesalahan yang menentukan seseorang dapat
dipidana atau tidak. Bila seseorang yang sudah memenuhi semua unsur tindak pidana yang
didakwakan kepadanya, maka untuk dapat dipidana orang tersebut harus terdapat kesalahan.
Sebaliknya bila tidak terdapat kesalahan, maka orang tersebut tidak dapat dipidana.

Asas ini merupakan salah satu asas fundamental yang perlu ditegaskan secara eksplisit
sebagai pasangan asas legalitas. Asas ini tidak tersebut dalam hukum tertulis namun asas ini
merupakan dasar dari pertanggungjawaban pidana dan tidak ditemukan dalam Undang-Undang.

5
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana ajaran pertanggungjawaban pidana?

2. Bagaimana ajaran kesalahan dalam hukum pidana?

C. Tujuan

1. Tujuan

Tujuan disusunnya makalah ini adalah :

 Agar pembaca dapat memiliki pengetahuan dan wawasan tentang pertanggungjawaban


pidana.
 Agar pembaca dapat memiliki pengetahuan dan wawasan tentang ajaran kesalahan dalam
hukum pidana.

6
BAB II

PEMBAHASAN

A Pertanggungjawaban Pidana

1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut dengan teorekenbaardheid atau


criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk
menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertang gung jawabkan atas suatu
tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Konsep pertanggungjawaban pidana sesungguhnya tidak
hanya menyangkut soal hukum semata-mata melaikan juga menyangkut soal nilai-nilai moral atau
kesusilaan umum yang dianut oleh suatu masyarakat atau kelompok-kelompok dalam masyarakat,
hal ini dilakukan agar pertanggungjawaban pidana itu dicapi dengan memenuhi keadilan.

Pengertian pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang tercela oleh


masyarakat yang harus dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya atas perbuatan yang
dilakukan. Untuk adanya pertanggungjawaban pidana, harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat
dipertanggungjawabkan. Ini berarti harus dipastikan dahulu yang dinyatakan sebagai pembuat
suatu tindak pidana. Pertanggungjawaban itu diminta atau tidak, adalah persoalan kedua,
tergantung kebijakan pihak yang berkepentingan untuk memutuskan apakah dirasa perlu atau tidak
untuk menuntut pertanggungjawaban tersebut. Masalah ini menyangkut subjek tindak pidana yang
umumnya telah dirumuskan oleh pembuat undang-undang. Kenyataannya memastikan siapakah
yang bersalah sesuai dengan proses sistem peradilan pidana. Sistem pertanggungjawaban pidana
dalam hukum pidana nasional menerapkan asas yakni Geen straf Zonder Schuld (Jerman)
atau actus non facit reum nisi mens sit rea atau actus reus mens rea ( Latin ) yang memiliki arti
tiada pidana tanpa kesalahan.

2. Unsur-Unsur Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban adalah bentuk untuk menenutukan apakah seseorang akan dilepas


atau dipidana atas tindak pidana yang telah terjadi, dalam hal ini untuk mengatakan bahwa
seseorang memiliki aspek pertanggung jawaban pidana maka dalam hal itu terdapat beberapa
7
unsur yang harus terpenuhi untuk menyatakan bahwa seseornag tersebut dapat dimintakan
pertanggungjawaban. Unsur-unsur tersebut ialah:

a) Adanya suatu tindak pidana

Unsur adanya suatu tindak pidana merupakan salah satu unsur pokok
pertanggungjawaban pidana, karena seseorang tidak dapat dipidana apabila tidak
melakukan suatu perbuatan dimana perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang
dilarang oleh undang-undang dan termasuk tindak pidana. Hal itu sesuai dengan asas
legalitas yang kita anut yakni nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali artinya
tidak dipidana suatu perbuatan apabila tidak ada undang-undang atau aturan yang mengatur
mengenai larangan perbuatan tersebut.

Dalam hukum pidana Indonesia menghendaki perbuatan yang konkret atau perbuatan
yang tampak, artinya hukum menghendaki perbuatan yang tampak keluar, karena didalam
hukum tidak dapat dipidana seseorang karena atas dasar keadaaan batin seseorang.
Seseorang yang melakukan tindak pidana wajib mempertanggungjawabkan perbuatan
pidananya.

b) Adanya pembuat yang dapat bertanggung jawab

Kemampuan bertanggungjawab selalu berhubungan dengan keadaan fisik pembuat.


Kemampuan bertanggungjawab ini selalu dihubungkan dengan pertanggungjawaban
pidana, hal ini yang menjadikan kemampuan bertanggungjawaban menjadi salah satu
unsur pertanggungjawaban pidana. Kemampuan bertanggung jawab merupakan dasar
untuk menentukan pemidanaan kepada pembuat. Kemampuan bertanggung jawab ini harus
dibuktikan ada tidaknya oleh hakim, karena apabila seseorang terbukti tidak memiliki
kemampuan bertanggung jawab hal ini menjadi dasar tidak dipertanggungjawabkannya
pembuat, artinya pembuat perbuatan tidak dapat dipidana atas suatu kejadian tindak pidana.

Dalam KUHP tidak mengatur tentang kemampuan bertanggung jawab namun yang
diatur dalam KUHP sendiri yakni orang-orang yang tidak mampu untuk melakukan
pertanggung jawaban pidana. Pasal yang mengatur tentang orang yang tidak memiliki
kemampuan bertanggung jawab adalah pasal 44.

8
Pasal 44 KUHP berbunyi;

1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya


karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak
dipidana.
2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena
pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat
memerintahkan supaya orang itu di- masukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu
tahun sebagai waktu percobaan.
3) Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan
Pengadilan Negeri.

Dalam pasal 44 ini seseorang yang melakukan tindak pidana tidak dapat bertanggung
jawab atas berbuatan yang telah ia lakukan apabila tidak memiliki unsur kemampuan bertanggung
jawab, ketidak mampuan untuk bertanggung jawab apabila didalam diri pelaku terdapat kesalahan,
kesalahan tersebut ada 2 yaitu ;

1. Dalam masa pertumbuhan pelaku, pelaku mengalami cacat mental, sehingga hal itu
mempengaruhi pelaku untuk membedakan antara perbuatan yang baik adan buruk.

Contoh kasus:

Seorang anak yang mengalami cacat mental atau idiot sejak lahir bermain-main dengan
korek api disofa ruang tamu tetangganya, karena tidak ada yang mengawasi akhirnya sofa diruang
tamu terbakar sehingga menyebabkan kebakaran rumah akibat perbuatan si anak cacat mental
bermain dengan korek tadi. Berdasarkan kasus tersebut, bagaimanapun juga sudah jelas bahwa
anak itulah yang membakar rumah tersebut, setidak-tidaknya bahwa karena perbuatan anak itu
rumah tadi terbakar, tetapi tidak ada seorang pun yang akan mengajukan dia ke muka hakim
bahkan si pemilik rumah untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya , hal itu karena anak yang
cacat mental itu tidak mengerti apa yang dilakukan dan tidak tahu akibat yang terjadi dari
perbuatan yang dilakukan.

2. Jika jiwa pelaku mengalami gangguan kenormalan yang menyebabkan gangguan kejiwaan
(gila) sehingga tidak memiliki akal sehat secara optimal atau akalnya tidak berfungsi secara
optimal untuk membedakan hal-hal yang baik dan buruk.

9
Contoh kasus :

Orang gila yang tanpa disangka-sangka melempar batu ,memukuli hingga babak belur
sehingga menyebakan korban terluka dan dibawa ke rumah sakit. Berdasarkan kasus tersebut,
sudah jelas bahwa orang gila ini bersalah karena melakukan penganiyayaan,akan tetapi orang gila
itu tidak dapat diajukan ke muka hakim pidana tetapi dikirim ke rumah sakit jiwa karena orang
gila itu tidak berakal sehat sehinga tidak menyadari apa yang diperbuatnya.

Kemampuan bertanggung jawab juga berhubungan dengan umur tertentu bagi pelaku
tindak pidana. Artinya hanya pelaku yang memenuhi batas umur tertentu yang memilki
kemampuan bertanggung jawab serta memilki kewajiban pertanggung jawaban atas perbuatan
yang telah dilakukan, hal ini dikarenakan karena pada umur tertentu secara pshikologi dapat
mempengaruhi seseorang untuk melakukan suatu perbuatan. Pada dasarnya anak pada umur
tertentu belum dapat menyadari dengan baik apa yang telah dilakukan, artinya anak pada umur
tertentu juga tidak dapat memisahkan mana yang baik dan mana yang salah tentu juga hal ini
mempengaruhi anak tidak dapat menginsafkan perbuatannya. Apabila anak pada tertentu
melakukan tindak pidana dan oleh karena perbuatannya dilakukan proses pidana makan secara
pshikologi anak tersebut akan terganggu dimasa dewasanya.

Dalam proses pemidanaan nya hakim wajib mencari dan membuktikan apakah pelaku
memiliki unsur kemampuan bertanggung jawab, sebab apabila pelaku tidak memiliki kemampuan
bertanggung jawab baik karena usia yang belum cukup umur, atau dikarenakan keadaan pshikologi
seseorang terganggu maka orang tersebut tidak dapat diminta pertanggung jawabanya.

c) Tidak ada alasan pemaaf

Dalam doktrin hukum pidana alasan pemaaf dan alasan pembenar, alasan pembenar adalah
suatu alasan yang menghapus sifat melawan hukumnya suatu perbuatan. Alasan pembenar dan
alasan pemaaf ini dibedakan karena keduanya memiliki fungsi yang berbeda. Adanya perbedaan
ini karena alasan pembenar adalah suatu alasan “pembenaran” atas suatu tindak pidana yang
melawan hukum sedangkan alasan pemaaf berujung pada “pemaafan” terhadap seseorang
sekalipun telah melakukan pelanggar hukum atas tindak pidana yang telah diperbuat.Dalam
hukum pidana yang termasuk alasan pembenar seperti keadaaan darurat, pembelaan terpaksa,
Menjalankan peraturan perundang-undangan, menjalankan perintah jabatan yang sah.

10
Dalam hukum pidana yang dimaksud dengan alasan pemaaf adalah hukum pidana adalah
tidak mampu bertanggungjawab, daya paksa, pembelaan terpaksa melampaui batas mengenai
ketidak mampuan bertanggung jawab telah dijabarkan sebelumnya, hal ini berkaitan dengan
keadaan seseorang dapat atau tidak diri seorang pelaku tersebut melakukan pertanggungjawaban
mengenai suatu hal yang telah diperbuat.

Pembelaan terpaksa melampaui batas, apabila pembelaan terpaksa merupakan salah satu
alasan pembenar maka dalam pembelaan terpaksa melampaui batas masuk dalam alasan pemaaf,
hal ini karena pembelaan terpaksa melampui batas dapat dicela namun tidak dapat dipidana. Diberi
contoh seseorang yang sedang memasak didapur dihadapkan maling dirumahnya yang memegang
pisau maka untuk membela dirinya orang tersebut menusuk maling tersebut dengan pisau hingga
meninggal. Berkaitan dengan hal ini hakim harus menggali apakah seseorang tersebut tidak pidana
karena suatu alasan pemaaf atau karena alasan pembenar.

d) Adanya Kesalahan

Kesalahan yang dalam bahasa asing disebut dengan schuld adalah keadaan psikologi
seseorang yang berhubungan dengan perbuatan yang ia lakukan yang sedemikian rupa sehingga
berdasarkan keadaan tersebut perbuatan tersebut pelaku dapat dicela atas perbuatannya. Kesalahan
adalah dasar untuk pertanggungjawaban, jadi seseorang tidaklah cukup dipidana hanya karena
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang atau bersifat melawan hukum.
Jadi, meskipun seseorang telah memenuhi unsur delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan
(an objective breach of a penal provision), namun hal tersebut belum bisa dikatakan telah
memenuhi syarat untuk menjatuhkan pidana.

11
B. Ajaran Kesalahan dalam Pidana
Dalam hukum pidana dikenal asas yang dinamakan asas kesalahan. Asas kesalahan
merupakan asas yang fundamental dalam hukum pidana. Meskipun demikian fundamentalnya asas
tersebut namun asas kesalahan tidak terdapat dalam KUHP,namun berlakunya asas tersebut
sekarang tidak diragukan, karena tidak adil apabila orang yang tidak bersalah dipidana. Dalam
hukum pidana asas kesalahan ini dikenal dengan adegium Geen straf zonder schuld atau Actus
non facit reum nisi mens sit rea yang artinya tiada pidana tanpa ada kesalahan.

Istilah kesalahan dapat digunakan dalam arti psikologi maupun dalam arti normative.
Kesalahan psikologis adalah kejahatan yang sesungguhnya dari seseorang, kesalahan psikologis
ini adalah kesalahan yang ada dalm diri seseorang, kesalahn mengenai apa yang orang itu pikirkan
dan batinya rasakan, kesalahan psikologis ini sulit untuk dibuktikan karena bentuk nya tidak real,
kesalahan psikologis susah dibuktikan karena wujudnya tidak dapat diketahui dalam hukum pidana
di Indonesia sendiri yang digunakan adalah kesalahan dalam arti normative. Kesalahan normative
adalah kesalahan adalah kesalahan dari sudut pandang orang lain mengenai suatu perbuatan
seseorang. Kesalahan normative merupakan kesalahan yang dipandang dari sudut norma-norma
hukum pidana, yaitu kesalahan kesengajaan dan kesalahan kealpaan. Dari suatu perbuatan yang
telah terjadi maka orang lain akan menilai menurut hukum yang berlaku apakah terhadap
perbuatan tersebut terdapat kesalah baik disengaja maupun karena suatu kesalahan kealpaan.

Bentuk kesalahan (schuld) dapat dikelompokan ke dalam dua kelompok yaitu :

1.) Kesengajaan (dolus/opzet)

Dalam tindak pidana kebanyakan di Indonesia memiliki unsur kesengajaan atau opzettelijik
bukan unsur culpa. Hal ini berkaitan bahwa orang yang lebih pantas mendapatkan hukuman adalah
orang yang melakukan hal tersebut atau melakukan tindak pidana dengan unsur kesengajan.

Dolus/opzet tidak ditujukan pada sifat terlarangnya perbuatan. Dolus/opzet, selalu


dikaitkan dengan perbuatan, akibat, dan unsur delik. Dalam dolus selalu terdapat unsur willens
(kehendak) dan unsur wettens (disadari/diketahui). Atas dasarnya inilah, muncul teori tentang
dolus dari Simons dan Van Hamel, yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan.

a. Teori Kehendak (Wilstheori)

12
Menurut Wilstheori yang dikemukakan Simons bahwa kesengajaan adalah kehendak yang
diarahkan pada terwujudnya perbuatan yang dirumuskan dalam undang-undang. Untuk
membuktikan apakah suatu perbuatan itu dikehendaki (willens) atau tidak oleh terdakwa perlu
dibuktikan dalam dua hal:

1) harus ada persesuaian antaraa motif (alasan) untuk berbuat dengan tujuan yang hendak
dicapai,
2) harus ada hubungan kausal antara motif, perbuatan, dan tujuan.

Untuk membuktiakn kedua hal diatas memang tidak mudah dan memakan waktu serta tenaga,
karena yang harus dibuktikan adalah persesuaian dan hubungan kausal antara motif, perbuatan,
dan tujuan yang dicapai.

b. Teori Pengetahuan (Voorstellingstheori)

Menurut Voorstellingstheori yang dikemukakan Van Hamel, bahwa Kesengajaan adalah


kehendak untuk berbuat sengan mengetahui unsur-unsur yang ada dalam rumusan undang-undang.
Dengan demikian, untuk menentukan ada tidaknya kesengajaan, menurut teori ini, terletak pada
persoalan : apakah ia (pelaku) tahu, insyaf, atau mengerti, jika suatu perbuatan itu dilakukan akan
menimbulkan akibat. Untuk membukjtikan apakah suatu perbuatan itu diketahui (wettens) atau
tidak oleh terdakwa, perlu dibuktikan dua hal : 1) adanya hubungan kausal antara motif dengan
tujuan, 2) adanya hubungan antara pengetahuan, penginsyafan dengan akibat edan keadaan-
keadaan yang menyertainya.

Untuk membuktikannya lebih singkat, karena yang dibuktikan hanya yang berhubungan
dengan pengetahuan atau penginsyafan terdakwa saja. Dalam teori, kesengajaan biasanya
dibedakkan dalam 3 (tiga) corak :

1. Kesengajaan sebagai maksud/tujuan (dolus als oogmerk atau opset als oogmerk) artinya
terjadinya akibat itu memang dikehendaki terdakwa/pelaku.

2. Kesengajaan sebagai kepastian (opzet met zekerheidsbewuszijn atau


noodzakelijkheidbewustzijn)artinya seseorang yang melakukan suatu perbiatan, ia
mengetahui akan timbul akibat-akibat lain yang pasti/harus terjadi

13
3. Kesengajaan sebagai kemungkinan (opzetbijumogelijkheidqbewustzijn) corak kesengajaan
ini sering disebut jugan dengan dolus eventualis. Menurut corak kesengajaan ini,
pelaku/terdakwa harus dapat mengetahui atau menduga berbagai kemungkinan yang akan
terjadi jika ia melakukan suatu perbuatan.

Kesengajaan telah berkembang dalam yurisprudensi dan doktrin sehingga umumnya telah diterima
beberapa bentuk kesengajaan, yaitu :

 Sengaja sebagai maksud

Sengaja sebagai maksud dalam kejahatan bentuk ini pelaku benar-benar menghendaki
(willens) dan mengetahui (wetens) atas perbuatan dan akibat dari perbuatan yang pelaku perbuatan.
Diberi contoh A merasa dipermalukan oleh B, oleh karena itu A memiliki dendam khusus terhadap
B, sehingga A memiliki rencana untuk mencelakai B, suatu hati A membawa sebilah pisau dan
menikam B, menyebabkan B tewas, maka perbuatan A tersebut dapat dikatakan adalah perbuatan
yang benar-benar ia kehendaki. Matinya B akibat tikaman pisau A juga dikehendaki olehnya

 Sengaja sebagai suatu keharusan

Kesangajaan semacam ini terjadi apabila sipelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan
untuk mencapi akibat dari perbuatanya, tetapi ia melakukan perbuatan itu sebagai keharusan untuk
mencapai tujuan yang lain. Artinya kesangajan dalam bentuk ini, pelaku menyadari perbuatan
yang ia kehendaki namun pelaku tidak menghendaki akibat dari perbuatan yang telah ia perbuat.

Diberi contoh A ingin mengambil tas yang berada dibelakang estalase took, untuk
mencapai tas tersebut maka A perlu memecahkan kaca estalase, maka pecahnya kaca tersebut
bukan kehendak utama yang ingin dicapi oleh A, namun perbuatan itu dilakukannya demi
mencapai tujuan yang lain.kesengajaan menghancurkan kaca merupakan sengaja dengan
kesadaran tenatang keharusan.

 Sengaja sebagai kemungkinan

Dalam sengaja sebagai kemungkinan, pelaku sebenarnaya tidak menghendaki akibat


perbuatanya itu, tetapi pelaku sebelumnya telah mengetahui bahwa akibat itu kemungkinan juga
dapat terjadi, namun pelaku tetap melakukan perbuatannya dengan mengambil resiko tersebut.
Scaffrmeister mengemukakan contoh bahwa ada seorang pengemudi yang menjalankan mobilnya

14
kearah petugas polisi yang sedang memberi tanda berhenti. Pengemudi tetap memacu mobil
dengan harapan petugas kepolisian tersebut melompat kesamping, padahal pengemudi menyadari
resiko dimanda petugas kepolisian dapat saja tertabrak mati atau melompat kesamping.

b. Kealpaan (culpa)

Dalam pasal-pasal KUHP sendiri tidak memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud
dengan kealpaan. Sehingga untuk mengerti apa yang dimaksud dengan kealpaan maka
memerlukan pendapat para ahli hukum. Kelalaian merupakan salah satu bentuk kesalahan yang
timbul karena pelakunya tidak memenuhi standar yang telah ditentukan, kelalian itu terjadi karena
perilaku dari orang itu sendiri. Kealpaan adalah suatu struktur gecompliceerd yang disatu sisi
mengarah kepada perbuatan seseorang secara konkret sedangkan disisi lain mengarah kepada
keadaan batin seseorang. Kelalain terbagi menjadi dua yaitu :

1. Kelalain yang ia sadari atau alpa : adalah kelalain yang ia sadari, dimana pelaku menyadari
dengan adanya resiko namun tetap melakukan dengan mengambil resiko dan berharap
akibat buruk atau resiko buruk tidak akan terjadi.
2. Kelalaian yang tidak disadari atau lalai adalah seseorang tidak menyadari adanya resiko
atau kejadian yang buruk akibat dari perbuatan ia lakukan pelaku berbuat demikian
dikarena antara lain karena kurang berpikir atau juga bisa terjadi karena pelaku lengah
dengan adanya resiko yang buruk.

Walaupun tidak ada definisi tidak memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud dengan
kealpaan namun dalam buku II KUHP terdapat beberapa pasal yang memuat unsur kealpaan. Ini
adalah delik-delik culpa (culpose delicten). Delik-delik itu dimuat antara lain dalam :
Pasal 191 KUHP:
“Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan suatu bangunan listrik hancur, rusak atau
tidak dapat dipakai atau menyebabkan jalannya atau bekerjanya bangunan itu terganggu, atau
usaha untuk menyelamatkan atau membentulkan bangunan itu gagal atau menjadi sukar, diancam
pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana kurungan paling lama tiga bulan
atau pidana denda paling banyak tiga ratus ribu rupiah”.
Pasal 359 KUHP:
“Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun atau kurungan paling lama satu tahun”.

15
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari paparan atau penjelasan diatas mengenai ajaran kesalahan dan pertanggungjawaban pidana
,dapat ditarik kesimpulan yakni:

1. Pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat yang
harus dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya atas perbuatan yang dilakukan. Untuk adanya
pertanggungjawaban pidana, harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan.

2. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana nasional menerapkan asas yakni
Geen straf Zonder Schuld (Jerman) atau actus non facit reum nisi mens sit rea atau actus reus
mens rea ( Latin ) yang memiliki arti tiada pidana tanpa kesalahan.

3. Unsur – unsur pertanggungjawaban pidana diantanya yakni adanya suatu tindak pidana,
adanya pembuat yang bertanggung jawab, tidak ada alasan pemaaf , dan adanya kesalahan.

4. Bentuk kesalahan (schuld) dapat dikelompokan ke dalam dua kelompok yaitu:

a. Kesengajaan (dolus)

b. Kealpaan (culpa)

B. SARAN

1. Sebaiknya kita sebagai warga negara yang baik dalam melakukan suatu tindakan hendaklah
memahami maksud dan akibat dari perbuatan yang dilakukan apakah perbuatan tersebut dapat
memberikan dampak positif atau justru memberikan dampak negatif terhadap kehidupan dan dapat
menjerumuskan kita kedalam suatu tindak pidana.

2. Sebaiknya kita sebagai kaum berintelektual dan sebagai warga negara Indonesia haruslah
memiliki kesadaran hukum yang tinggi dan memiliki wawasan pengetahuan tentang ajaran
kesalahan dan pertanggungjawaban dalam pidana.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Moeljatno. 2015. Asas- Asas Hukum Pidana Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta.

2. Hamzah, Andi. 2010. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

3. Amiruddin. 2015. Hukum Pidana Indonesia. Yogyakarta: GENTA Publishing 2015.

4. Poernomo,Bambang. 1985. Asas-Asas Hukum Pidana. Penerbit Ghalia Indonesia.

5. Maramis,Frans. 2012. Hukum PIdana Umum dan Tertulis di Indonesia. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.

6. Mutiara.Sitsa. 2017. Pertanggungjawaban Pidana. https://sitsamutiaramandiri.


wordpress.com/2017/05/02/pertanggungjawaban-pidana/ . Diakses pada 2 Mei 2017

7. Fatin, Nur. 2016. Pengertian dan Unsur Pertanggungjawaban Pidana.


http://seputarpengertian.blogspot.com/2016/09/pengertian-dan-unsur-
pertanggungjawaban-pidana.html. Diakses pada 19 September 2016.

17

Anda mungkin juga menyukai