Anda di halaman 1dari 10

KATA PENGANTAR

            Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
dan rahmat,serta penyertaan-Nya,sehingga makalah “ Ilmu Sosial Budaya Dasar ”, ini
dapat kami selesaikan.

            Dalam penulisan makalah ini kami berusaha menyajikan bahan dan bahasa  yang
sederhana,singkat serta mudah dicerna isinya oleh para pembaca.

            kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna serta masih terdapat
kekurangan dan kekeliruan dalam penulisan makalah ini.Maka kami berharap adanya
masukan dari berbagai pihak untuk perbaikan dimasa yang akan mendatang.

            Akhir kata,semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan
dipergunakan dengan layak sebagaimana mestinya.

                                                          Makassar 26 April 2022

                                                        
                                                                                                          Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang........................................................................................................1
A. Rumusan Permasalahan..........................................................................................1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Pertanggungjawaban Pidana.....................................................................2
A. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana Positif.......................4
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.............................................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Sistem pertanggung jawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut
asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas. Sistem pertanggung
jawaban pidanadalam hukum pidana nasional yang akan datang menerapkan
asas tindak pidana tanpa kesalahan yang merupakan salah satu asas
fundamental yang perlu ditegaskan secara eksplisit sebagai pasangan asas legalitas.
Kedua asas tersebut tidak dipandang syarat yang kaku dan bersifat absolut. Oleh
karena itu memberi kemungkinan dalam hal-hal tertentu untuk menerapkan asas
strict liability ,vicarious liability, erfolgshaftung, kesesatan atau error, rechterlijk
pardon,culpa in causa dan pertanggung jawaban pidana yang berhubungan dengan
masalah subjek
tindak pidana. Maka dari itu ada pula ketentuan tentang subjek berupa korporasi. Se
mua asas itu belum diatur dalam KUHP.
Dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk pertanggungjawaban pidana.
Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan
suatu pidana. Namunorang yang melakukan tindak pidana belum tentu dijatuhi
pidana sebagaimana yang diancamkan,

A. Rumusan Permasalahan
1. Apa definisi dari pertanggungjawaban pidana itu?
2. Bagaimana sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif 
saat ini?

1
BAB II

PEMBAHASAN

Seseorang yang melakukan tindak pidana baru boleh dihukum apabila si pelaku
sanggupmempertanggungjawabkan perbuatan yang telah diperbuatnya, masalah
penanggungjawaban eratkaitannya dengan kesalahan, oleh karena adanya asas
pertanggungjawaban yang menyatakandengan tegas "Tidak dipidana tanpa ada
kesalahan" untuk menentukan apakah seorang pelakutindak pidana dapat dimintai
pertanggungjawaban dalam hukum pidana, akan dilihat apakahorang tersebut pada saat
melakukan tindak pidana mempunyai kesalahan. Secara doktrinerkesalahan diartikan
sebagai keadaan pysikis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatantindak
pidana dan adanya hubungan antara kesalahan tersebut dengan perbuatan yang
dilakukandengan sedemikian rupa, sehingga orang tersebut dapat dicela karena,
melakukan perbuatan pidana.Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan
pelaku, jika melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah
ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dariterjadinya perbuatan yang terlarang, ia akan
diminta pertanggungjawaban apabila perbutantersebut melanggar hukum. Dilihat dari
sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orangyang mampu bertanggungjawab
yang dapat diminta pertanggungjawaban.
A. Definisi Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggung jawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan
teorekenbaardheidatau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan
petindak dengan maksud untukmenentukan apakah seseorang terdakwa atau
tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau
tidak. Dalam Pasal 34 Naskah Rancangan KUHP Baru (1991/1992) dirumuskan
bahwa pertanggung jawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif pada
tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Secara subjektif kepada
pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam undang-undang (pidana) untuk dapat
dikenai pidana karena perbuatannya itu. Di dalam penjelasannya dikemukakan:

2
Tindak pidana tidak berdiri sendiri, itu baru bermaknamanakala terdapat
pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana
tidak dengan sendirinya harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus
ada pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan
diteruskannya celaan(vewijbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang
dinyatakan sebagai tindak pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada
pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana
karena perbuatannya. Dalam bahasa Belanda, istilah pertanggungjawaban pidana
menurut Pompee terdapat padanan katanya, yaitu aansprakelijk, verantwoordelijk,
dan toerekenbaar. Orangnya yang aansprakelijk atau verantwoordelijk,
sedangkan toerekenbaar bukanlahorangnya, tetapi perbuatan yang dipertanggung
jawaban kepada orang. Biasa pengarang lainmemakai istilah toerekeningsvatbaar.
Pompee keberatan atas pemakaian istilah yang terakhir,karena bukan orangnya
tetapi perbuatan yang toere kening svatbaar. Kebijakan menetapkan suatu sistem
pertanggung jawaban pidana sebagai salah satu
kebijakan kriminal merupakan persoalan pemilihan dari berbagai alternative.
Dengan demikian, pemilihan dan penetapan sistem pertanggung jawaban
pidana tidak dapat dilepaskan dari berbagai pertimbangan yang rasional dan
bijaksana sesuai dengan keadaan dan perkembangan masyarakat. Sehubungan
dengan masalah tersebut di atas maka Romli Atmasasmita menyatakan
sebagai berikut :
“Berbicara tentang konsep liability atau “pertanggung jawaban” dilihat
dari segifalsafat hukum, seorang filosof besar dalam bidang hukum pada abad ke-
20, Roscou Pound, dalam An Introduction to the
Philosophy of Law, telah mengemukakan pendapatnya ”I Use the simple word
“liability” for the situation whereby one exact legally and other is legally subjected
to the exaction Bertitik. tolak pada rumusan tentang “pertanggungjawaban” atau
liability tersebut diatas, Pound membahasnya dari sudut pandang filosofis dan
sistem hukum secara timbal balik. Secarasistematis, Pound lebih jauh
menguraikan perkembangan konsepsi liability. Teori pertama,menurut Pound,
bahwa liability diartikan sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasanyang
akan diterima pelaku dari seseorang yang telah “dirugikan” . Sejalan dengan

3
semakin efektifnya perlindungan undang-undang terhadap kepentingan
masyarakat akan suatu kedamaian dan ketertiban, dan adanya keyakinan bahwa
“pembalasan” sebagai suatu alat penangkal, maka pembayaran “ganti rugi”
bergeser kedudukannya, semula sebagai suatu “hakistimewa” kemudian menjadi
suatu “kewajiban”. Ukuran “ganti rugi” tersebut tidak lagi dari nilai suatu
pembalasan yang harus “dibeli”, melainkan dari sudut kerugian atau
penderitaanyang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku yang bersangkutan.

A. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana Positif
Pembicaraan mengenai pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari
pembicaraan mengenai perbuatan pidana. Orang tidak mungkin dipertanggung
jawabkan untuk dipidana, apabila ia tidak melakukan tindak pidana. 
Para penulis sering menggambar kan bahwa dalam menjatuhkan pidana unsur
“tindak pidana” dan “pertanggung jawaban pidana” harus dipenuhi. Gambaran itu
dapat dilihat dalam bentuk skema berikut:

TINDAK PIDANA + PERTANGGUNG JAWABAN = PIDANA

Unsur tindak pidana dan kesalahan (kesengajaan) adalah unsur yang sentral


dalam hukum pidana. Unsurperbuatan pidana terletak dalam lapangan objektif
yang diikuti oleh unsur sifat melawan hukum, sedangkan unsur pertanggung
jawaban pidana merupakan unsur subjektif yang terdiri dari kemampuan
bertanggung jawab dan adanya kesalahan (kesengajaan dan kealpaan).
a) Sistem Pertanggungjawaban Pidana dalam KUHP
KUHP tidak menyebutkan secara eksplisit sistem pertanggung jawaban pidana
yang dianut. Beberapa pasal KUHP sering menyebutkan kesalahan berupa
kesengajaan atau kealpaan. Namun
sayang, kedua istilah tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut oleh undang-
undang tentang maknanya. Jadi, baik kesengajaan maupun kealpaan tidak
ada keterangan lebih lanjut dalam KUHP.
Dari rumusan yang tidak jelas itu, timbul pertanyaan, apakah pasal-pasal tersebu
t sengaja dibuat begitu, dengan maksud ke arah pertanggung jawaban terbatas
(strict liability)? Kalau benar,  tanpa  disadari  sebenarnya  KUHP  kita  juga

4
menganut pengecualian terhadap asas kesalahan, terutama terhadap pasal-pasal
pelanggaran.
b) Sistem Pertanggungjawaban Pidana di Luar KUHP
Untuk   mengetahui   kebijakan   legislatif   dalam   menetapkan sistem
Pertanggung jawaban pidana di luar KUHP, seperti contoh dalam perundang
undangan dibawah ini :
a. UU No. 7 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi;
b. UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;
c. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
d. UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-undang tersebut sengaja dipilih khusus yang menyimpang dari
ketentuan KUHP dan KUHAP yang bersifat umum, terutama mengenai
subjek delik dan pertanggungjawaban pidana, serta  proses  beracara  di
pengadilan. Dari  masing-masing  undang- undang   tersebut  dapat
dianalisis  kecenderungan  legislatif dalam menetapkan sistem
pertanggungjawaban pidana   sesuai   dengan perkembangan sosial
ekonomi Masyarakat yang  berdampak pada perkembangan kejahatan.Baik
negara-negara civil law maupun common law, umumnya pertanggung
jawaban pidana dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti dalam hukum
pidana Indonesia, sebagaimana civil law system lainnya, undang-undang
justru merumuskan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat
tidak dipertanggung jawabkan. Perumusan pertanggungjawaban pidana
secara negatif dapat terlihat dari ketentuan Pasal 44, 48, 49, 50, dan 51
KUHP. Kesemuanya merumuskan hal-hal yang dapat mengecualikan
pembuat dari pengenaan pidana.
Perumusan negatif tersebut berhubungan dengan fungsi represif hukum
pidana. Dalam hal ini, dipertanggungjawabkannya seseorang dalam hukum
pidana berarti dipidana. Dengan demikian, konsep pertanggungjawaban
pidana merupakan syarat-syarat yang diperlukan untuk mengenakan pidana
terhadap seorang pembuat tindak pidana.Pertanggung jawaban pidana dapat
dihubungkan dengan fungsi preventif hukum pidana. Pada konsep tersebut
harus terbuka kemungkinan untuk sedini mungkin pembuat menyadari

5
sepenuhnya konsekuensi hukum perbuatannya.Dengan demikian,
konsekuensi atas tindak pidana merupakan risiko yang sejak awal dipahami
oleh pembuat.Pertanggung jawaban pidana adalah pertanggungjawaban
orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang
dipertanggung jawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya.
Maka, terjadinya pertanggung jawaban pidana karena telah ada tindak
pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggung jawaban pidana pada
hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana
untuk berekasi terhadap pelanggaran atas “kesepakatan menolak” suatu
perbuatan tertentu. Dapat dikatakan bahwa orang tidak mungkin
dipertanggung jawabkan dan dijatuhi pidana jika ia tidak melakukan tindak
pidana. Tetapi meskipun ia telah melakukan tindak pidana, tidak pula selalu
ia akan dijatuhi pidana. Pembuat suatu tindak pidana akan hanya akan
dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana
tersebut. Kapankah orang dikatakan mempunyai kesalahan, adalah hal yang
merupakan masalah pertanggungjawaban pidana.

6
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pertanggung jawaban bisa terjadi apabila celaan yang obyektif terhadap perbuatan itu
kemudian diteruskan kepada si terdakwa, jadi yang obyektif sifat tercelanya itu,
secara subyektif harus dipertanggungjawabkan kepadanya, hal ini terjadi karena
musabab dari pada perbuatan itu adalah diri daripada si pembuatnya.
Dalam menentukan bahwa seseorang itu bersalah atau tidak harus diperhatikan:
a. Keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan.  
b. Hubungan antara keadaan batin itu dengan perbuatan yang dilakukan.
Seseorang mampu bertanggungjawab harus memenuhi syarat:
a. Dapat memenuhi makna yang senjatanya dari pada perbuatannya;
b. Dapat menginsafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam
pergaulan masyarakat;
c. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan.
Kesengajaan dan kelalaian merupakan unsur kesalahan, jika tidak ada salah satunya
maka terdakwa tidak dipidana apabila seseorang sudah dituduh melakukan perbuatan
pidana, maka harus diselidiki apakah ada atau tidak dari kedua unsur tersebut
Pembuktian tentang kesengajaan dapat menempuh dua jalan:
a. Membuktikan adanya hubungan kausal dalam batin terdakwa antara motif dan
tujuan.
b. Membuktikan adanya penginsyafan atau pengertian terhadap apa yang dilakukan
beserta akibat-akibat dan keadaan-keadaan yang menyertainya.
Yang dimaksud dengan poging adalah pelaksanaan awal suatu kejahatan yang tidak
diselesaikan.

7
DAFTAR PUSTAKA

Moeljatno, Prof. SH. 2008, Asas Asas Hukum Pidana Edisi Revisi. Jakarta; Rineka
Cipta
Hatrik, Hamzah, SH. MH. 1996, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum
Pidana Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo.
Huda, Choerul, Dr.SH. MH. , 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju
Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana tanpa Kesalahan, Jakarta: Kencana.
Prakoso, Djoko, SH.  1987, Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia. Yogyakarta:
Liberty.
http://princemalekrove.blogspot.co.id/2012/05/pertanggungjawaban-pidana.html
http://knowledgeisfreee.blogspot.co.id/2015/12/makalah-hukum-pidana
pertanggungjawaban.html

Anda mungkin juga menyukai