Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

Disusun oleh:

1. Afdhal Yaumil Fikri (221130517)

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMBILANBELAS NOVEMBER


KOLAKA

TAHUN AJARAN 2023/2024


KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat-Nya kita dapat
menyelesaikan makalah ini dengan judul "Hukum Pidana." Makalah ini disusun sebagai salah
satu tugas mata kuliah Hukum Pidana yang diampuh oleh Bapak Patma Sari, S.H., M.H.

Hukum Pidanal menjadi hal yang semakin relevan di tengah dinamika hubungan
antarnegara yang semakin kompleks. Dalam konteks globalisasi dan interkoneksi yang semakin
erat, pemahaman mendalam tentang hukum internasional merupakan keharusan bagi semua
pihak yang terlibat dalam dunia hukum dan hubungan internasional.

Makalah ini bertujuan untuk mengulas konsep dasar dalam hukum pidana sendiri, seperti
definisi pertanggungjawaban dalam hukum pidana Kami juga akan mengilustrasikan berbagai
konsep dan prinsip dalam hukum pidana melalui contoh kasus-kasus yang relevan.

Kami berharap bahwa makalah ini dapat menjadi sumber pengetahuan yang berguna dan
membantu pembaca untuk lebih memahami kompleksitas tentang pertanggung jawaban dalam
hukum pidana.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih memiliki keterbatasan, namun kami
berkomitmen untuk terus belajar dan memperbaiki kualitas tulisan kami di masa mendatang.

Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat dan memberikan kontribusi positif dalam
pemahaman tentang hukum pidana.

Kami berharap agar pembaca dapat mendapatkan wawasan yang lebih dalam tentang topik
ini, serta merasa terinspirasi untuk terus mendalami hukum internasional. Terima kasih atas
perhatian dan kesempatan yang diberikan kepada kami.

Kolaka, 22 November 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. i

DAFTAR ISI............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang....................................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................... 2

2.1 Definisi Pertanggungjawaban Pidana.............................................................. 2


2.2 Sistem Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Positif......................... 3
BAB III PENUTUP.................................................................................................. 6

3.1 Kesimpulan......................................................................................................... 6
3.2 Saran.....................................................................................................................6

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas
kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas. Sistem pertanggungjawaban pidana
dalam hukum pidana nasional yang akan datang menerapkan asas tiada pidana tanpa kesalahan
yang merupakan salah satu asas fundamental yang perlu ditegaskan secara eksplisit sebagai
pasangan asas legalitas. Kedua asas tersebut tidak dipandang syarat yang kaku dan bersifat
absolut.
Oleh karena itu memberi kemungkinan dalam hal-hal tertentu untuk menerapkan asas
strict liability ,vicarious liability, erfolgshaftung, kesesatan atau error, rechterlijk pardon,
culpa in causa dan pertanggungjawaban pidana yang berhubungan dengan masalah subjek
tindak pidana. Maka dari itu ada pula ketentuan tentang subjek berupa korporasi. Semua asas
itu belum diatur dalam KUHP (Wvs).
Dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk pertanggungjawaban pidana. Tindak
pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Namun
orang yang melakukan tindak pidana belum tentu dijatuhi pidana sebagaimana yang diancamkan,
hal ini tergantung pada “apakah dalam melakukan perbuatan ini orang tersebut mempunyai
kesalahan”, yang merujuk kepada asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana : “
tidak dipidana jika tidak ada kesalahan “. Asas ini memang tidak diatur dalam hukum tertulis tapi
dalam hukum tidak tertulis yang juga berlaku di Indonesia.

B. Rumusan Permasalahan
1. Apa definisi dari pertanggungjawaban pidana itu?
2. Bagaimana sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini?

1
BAB II
PEMBAHASAN

Seseorang yang melakukan tindak pidana baru boleh dihukum apabila si pelaku sanggup
mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah diperbuatnya, masalah penanggungjawaban erat
kaitannya dengan kesalahan, oleh karena adanya asas pertanggungjawaban yang menyatakan
dengan tegas "Tidak dipidana tanpa ada kesalahan" untuk menentukan apakah seorang pelaku
tindak pidana dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hukum pidana, akan dilihat apakah
orang tersebut pada saat melakukan tindak pidana mempunyai kesalahan. Secara doktriner
kesalahan diartikan sebagai keadaan pysikis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan
tindak pidana dan adanya hubungan antara kesalahan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan
dengan sedemikian rupa, sehingga orang tersebut dapat dicela karena, melakukan perbuatan
pidana.
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika melakukan suatu
tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dari
terjadinya perbuatan yang terlarang, ia akan diminta pertanggungjawaban apabila perbutan
tersebut melanggar hukum. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang
yang mampu bertanggungjawab yang dapat diminta pertanggungjawaban.

A. Definisi Pertanggungjawaban Pidana


Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan teorekenbaardheid
atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk
menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu
tindakan pidana yang terjadi atau tidak[1].
Dalam Pasal 34 Naskah Rancangan KUHP Baru (1991/1992) dirumuskan bahwa
pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif pada tindak pidana
berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.[2]
Secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam undang-undang
(pidana) untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu. Sedangkan, syarat untuk adanya
pertanggungjawaban pidana atau dikenakannya suatu pidana, maka harus ada unsur kesalahan
berupa kesengajaan atau kealpaan.
Pasal 27 konsep KUHP 1982/1983 mengatakan pertanggungjawaban pidana adalah
diteruskannya celaan yang objektif ada pada tindakan berdasarkan hukum yang berlaku, secara
subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat undang-undang yang dapat dikenai
pidana karena perbuatannya itu.[3]
Konsep Rancangan KUHP Baru Tahun 2004/2005, di dalam Pasal 34 memberikan
definisi pertanggungjawaban pidana sebagai berikut: Pertanggungjawaban pidana ialah

2
diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada
seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu.
Di dalam penjelasannya dikemukakan: Tindak pidana tidak berdiri sendiri, itu baru
bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang
melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana.
Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban
pidana lahir dengan diteruskannya celaan (vewijbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang
dinyatakan sebagai tindak pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak
pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya.[4]
Dalam bahasa Belanda, istilah pertanggungjawaban pidana menurut Pompee terdapat padanan
katanya, yaitu aansprakelijk, verantwoordelijk, dan toerekenbaar.[5]
Orangnya yang aansprakelijk atau verantwoordelijk, sedangkan toerekenbaar bukanlah
orangnya, tetapi perbuatan yang dipertanggungjawaban kepada orang. Biasa pengarang lain
memakai istilah toerekeningsvatbaar. Pompee keberatan atas pemakaian istilah yang terakhir,
karena bukan orangnya tetapi perbuatan yang toerekeningsvatbaar.[6]
Kebijakan menetapkan suatu sistem pertanggungjawaban pidana sebagai salah satu kebijakan
kriminal merupakan persoalan pemilihan dari berbagai alternative.
Dengan demikian, pemilihan dan penetapan sistem pertanggungjawaban pidana tidak dpat
dilepaskan dari berbagai pertimbahangan yang rasional dan bijaksana sesuai dengan keadaan dan
perkembangan masyarakat.
Sehubungan dengan masalah tersebut di atas maka Romli Atmasasmita menyatakan sebagai
berikut :
“Berbicara tentang konsep liability atau “pertanggungjawaban” dilihat dari segi
falsafat hukum, seorang filosof besar dalam bidang hukum pada abad ke-20, Roscou Pound,
dalam An Introduction to the Philosophy of Law, telah mengemukakan pendapatnya ”I ….
Use the simple word “liability” for the situation whereby one exact legally and other is legally
subjected to the exaction[7]
Bertitik tolak pada rumusan tentang “pertanggungjawaban” atau liability tersebut diatas,
Pound membahasnya dari sudut pandang filosofis dan sistem hukum secara timbal balik. Secara
sistematis, Pound lebih jauh menguraikan perkembangan konsepsi liability. Teori pertama,
menurut Pound, bahwa liability diartikan sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan
yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah “dirugikan” .
Sejalan dengan semakin efektifnya perlindungan undang-undang terhadap kepentingan
masyarakat akan suatu kedamaian dan ketertiban, dan adanya keyakinan bahwa “pembalasan”
sebagai suatu alat penangkal, maka pembayaran “ganti rugi” bergeser kedudukannya, semula
sebagai suatu “hak istimewa” kemudian menjadi suatu “kewajiban”. Ukuran “ganti rugi” tersebut
tidak lagi dari nilai suatu pembalasan yang harus “dibeli”, melainkan dari sudut kerugian atau
penderitaan yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku yang bersangkutan.[8]

B. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana Positif

Pembicaraan mengenai pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan


mengenai perbuatan pidana. Orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan untuk dipidana,
apabila ia tidak melakukan tindak pidana. Para penulis sering menggambarkan bahwa dalam

3
menjatuhkan pidana unsur “ tindak pidana” dan “pertanggungjawaban pidana” harus dipenuhi.
Gambaran itu dapat dilihat dalam bentuk skema berikut:

TINDAK PIDANA + PERTANGGUNGJAWABAN = PIDANA

Unsur tindak pidana dan kesalahan (kesengajaan) adalah unsur yang sentral dalam hukum
pidana. Unsur perbuatan pidana terletak dalam lapangan objektif yang diikuti oleh unsur
sifat melawan hukum, sedangkan unsur pertanggungjawaban pidana merupakan unsur subjektif
yang terdiri dari kemampuan bertanggung jawab dan adanya kesalahan (kesengajaan dan
kealpaan).

a). Sistem Pertanggungjawaban Pidana dalam KUHP

KUHP tidak menyebutkan secara eksplisit sistem pertanggung jawaban pidana yang
dianut. Beberapa pasal KUHP sering menyebutkan kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan.
Namun sayang, kedua istilah tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut oleh undang-undang
tentang maknanya. Jadi, baik kesengajaan maupun kealpaan tidak ada keterangan lebih lanjut
dalam KUHP.
Dari rumusan yang tidak jelas itu, timbul pertanyaan, apakah pasal-pasal tersebut
sengaja dibuat begitu, dengan maksud ke arah pertanggungjawaban terbatas (strict liability)?
Kalau benar, tanpa disadari sebenarnya KUHP kita juga menganut pengecualian terhadap
asas kesalahan, terutama terhadap pasal-pasal pelanggaran.

b). Sistem Pertanggungjawaban Pidana di Luar KUHP

Untuk mengetahui kebijakan legislatif dalam menetapkan sistem


pertanggungjawaban pidana di luar KUHP, seperti contoh dalam perundang-undangan dibawah
ini :
a. UU No. 7 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi;
b. UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;
c. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
d. UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-undang tersebut sengaja dipilih khusus yang menyimpang dari ketentuan KUHP dan
KUHAP yang bersifat umum, terutama mengenai subjek delik dan pertanggungjawaban pidana,
serta proses beracara di pengadilan.
Dari masing-masing undang- undang tersebut dapat dianalisis kecenderungan legislatif
dalam menetapkan sistem pertanggungjawaban pidana sesuai dengan perkembangan sosial
ekonomi Masyarakat yang berdampak pada perkembangan kejahatan.
Baik negara-negara civil law maupun common law, umumnya pertanggungjawaban pidana
dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana civil law

4
system lainnya, undang-undang justru merumuskan keadaan-keadaan yang dapat
menyebabkan pembuat tidak dipertanggungjawabkan.[9]
Perumusan pertanggungjawaban pidana secara negatif dapat terlihat dari ketentuan Pasal 44, 48,
49, 50, dan 51 KUHP. Kesemuanya merumuskan hal-hal yang dapat mengecualikan pembuat
dari pengenaan pidana.

Perumusan negatif tersebut berhubungan dengan fungsi represif hukum pidana. Dalam
hal ini, dipertanggungjawabkannya seseorang dalam hukum pidana berarti dipidana. Dengan
demikian, konsep pertanggungjawaban pidana merupakan syarat-syarat yang diperlukan untuk
mengenakan pidana terhadap seorang pembuat tindak pidana.[10]

Pertanggungjawaban pidana dapat dihubungkan dengan fungsi preventif hukum pidana.


[11]
Pada konsep tersebut harus terbuka kemungkinan untuk sedini mungkin pembuat menyadari
sepenuhnya konsekuensi hukum perbuatannya.
Dengan demikian, konsekuensi atas tindak pidana merupakan risiko yang sejak awal
dipahami oleh pembuat.
Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang
dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang
dilakukannya. Maka, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang
dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu
mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk berekasi terhadap pelanggaran atas
“kesepakatan menolak” suatu perbuatan tertentu.
Dapat dikatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana
jika ia tidak melakukan tindak pidana. Tetapi meskipun ia telah melakukan tindak pidana, tidak
pula selalu ia akan dijatuhi pidana. Pembuat suatu tindak pidana akan hanya akan dipidana jika ia
mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapankah orang dikatakan
mempunyai kesalahan, adalah hal yang merupakan masalah pertanggungjawaban pidana.

5
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
Ø Pertanggung jawaban bisa terjadi apabila celaan yang obyektif terhadap perbuatan itu kemudian
diteruskan kepada si terdakwa, jadi yang obyektif sifat tercelanya itu, secara subyektif harus
dipertanggungjawabkan kepadanya, hal ini terjadi karena musabab dari pada perbuatan itu adalah
diri daripada si pembuatnya.
Ø Dalam menentukan bahwa seseorang itu bersalah atau tidak harus diperhatikan:
a. Keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan.
b. Hubungan antara keadaan batin itu dengan perbuatan yang dilakukan.
Ø Seseorang mampu bertanggungjawab harus memenuhi syarat:
a. Dapat memenuhi makna yang senjatanya dari pada perbuatannya;
b. Dapat menginsafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan
masyarakat;
c. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan.
Ø Kesengajaan dan kelalaian merupakan unsur kesalahan, jika tidak ada salah satunya maka
terdakwa tidak dipidana apabila seseorang sudah dituduh melakukan perbuatan pidana, maka harus
diselidiki apakah ada atau tidak dari kedua unsur tersebut
Ø Pembuktian tentang kesengajaan dapat menempuh dua jalan:
a. Membuktikan adanya hubungan kausal dalam batin terdakwa antara motif dan tujuan.
b. Membuktikan adanya penginsyafan atau pengertian terhadap apa yang dilakukan beserta
akibat-akibat dan keadaan-keadaan yang menyertainya.
Ø Yang dimaksud dengan poging adalah pelaksanaan awal suatu kejahatan yang tidak diselesaikan.

b.Saran
Ø Sebagai saran untuk masa depan, kita harus terus mendorong pemahaman dan pematuhan
terhadap hukum pidana. Pendidikan dan kesadaran publik tentang prinsip-prinsip hukum pidana
harus ditingkatkan, sehingga individu, negara-negara, dan organisasi dapat lebih efektif dan paham
tentang cara pertanggung jawaban dalam tindak hukum pidana dan mengetahui cara sistematika
tentang pertanggungjawaban hukum pidana.

Sumber

http://repository.umy.ac.id

6
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Harit's Ketaren, dkk, Pertanggungjawaban Pidana Notaris Dalam Hal Tindak
Pidana Pemalsuan Akta Authentik (Studi Putusan Nomor:40/Pid.B/2013/P.Lsm), Universitas
Sumatra Utara, Jurnal Mahupiki Vol 1, No 01, Sumatra Utara, 2015.

Adami Chazawi, 2001, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada.
_______________2002, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1; Stelsel Pidana, Teori-Teori Pemidanaan
& Batas Berlakunya Hukum Pidana, Jakarta : PT Raja Grafindo.

Amirrudin .2015, Hukacm Pidana Indonesia, Yogyakarta; Penerbit Genta Publishing.

Bambang Sunggono, 2003, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Raja Grafindo Perkasa

Bani Ahmad Saebani, 2009, Metode Penelitian Hukum, Bnadung : Pustaka Setia

Daeng Naja, 2012, Yogyakarta : Teknik Pembuatan Akta,Pustaka Yustisia. Dody Radjasa Waluyo,
2001, Kewenangan Notaris Selaku Pejabat Umum, Jakarta : Media Notaris.

Anda mungkin juga menyukai