Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH HUKUM PENITENSIER

PIDANA TAMBAHAN

Oleh:

Andi Virah Annisa Putri

H1A119149

Kelas I

JURUSAN ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HALU OLEO
2022
Kata Pengantar
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah dengan pidana tambahan dapat tersusun sampai dengan selesai.
Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang
telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun
materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan


dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar
makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan


dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman
Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Kendari, 13 Juli 2022

Penyusun

2
Daftar Isi

Halaman Judul.................................................................................................. 1

Kata Pengantar.................................................................................................. 2

Daftar Isi........................................................................................................... 3

BAB I Pendahuluan.......................................................................................... 4

A. Latar Belakang Masalah....................................................................... 4

B. Rumusan Masalah................................................................................. 6

C. Tujuan Penulisan.................................................................................. 6

BAB II Tinjauan Pustaka.................................................................................. 7

A. Hukum Penitensier................................................................................ 7

B. Pidana Tambahan.................................................................................. 9

BAB III Pembahasan........................................................................................ 10

A. Pidana Tambahan Dalam KUHP.......................................................... 10

B. Perbedaan Pidana Tambahan Dalam KUHP dan RKHUP................... 11

BAB IV ............................................................................................................ 17

Kesimpulan.................................................................................................. 17

Daftar Pustaka................................................................................................... 18

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana yang tertuang dalam


Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Negara Indonesia
adalah negara hukum”. Dalam konteks kali ini hukum pidana dan pemidanaan
dipergunakan memiliki hakikat pidana sebagai penderitaan yang dikenakan oleh
negara kepada seseorang yang melakukan tindak pidana, yang dalam
penerapannya akan bersinggungan dengan hak asasi manusia. Bukan hanya
menyangkut kriteria pengancaman, penjatuhan suatu jenis atau macam pidana
dalam rangka pembalasan, dan perlindungan serta pengayoman masya-rakat,
tetapi juga bagaimana upaya untuk memperbaiki pelaku yang tersesat, dan
mengembalikan kepercayaan masyarakat serta memberikan pengampunan
terhadap “dosa” yang dilakukan oleh si pelaku.

Pemidanaan merupakan suatu aspek dalam hukum pidana yang seringkali


dijadikan bahan perbincangan oleh masyarakat. Terkadang pemidanaan terasa
sangat ringan dan ada yang tersa sangat berat jika dibandingkan dengan perbuatan
yang telah dilakukan oleh pelaku. Nyatanya dalam proses penjatuhan pidana
banyak hal yang menjadi pertimbangan hakim, baik pertimbangan melalui aspek
yuridis maupun dari aspek sosiologis. Akan tetapi banyak masyarakat awam yang
kurang tahu mengenai proses pertimbangan dalam penjatuhan pidana. Sehingga
muncul lah anggapan pemidanaan terasa sangat ringan dan ada yang tersa sangat
berat jika dibandingkan dengan perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku

Secara harfiah hukum penitensier itu dapat diartikan sebagai suatu


keseluruhan dari norma-norma yang mengatur masalah pidana dan pemidanaan.
Hukum penitensier atau hukum pelaksanaan pidana adalah keseluruhan ketentuan
atau peraturan yang berisi tentang cara bagaimana melaksanakan putusan hakim
terhadap seseorang yang memiliki status sebagai terhukum. Menurut Utrecht,

4
yang dimaksud dengan hukum penitensier adalah segala peraturan positif
mengenai sistem hukuman (strafstelsel) dan sistem tindakan (maatregel stelsel).

Van Bemmelen memberikan pengertian terhadap hukum penitensier sebagai


hukum yang berkenaan dengan tujuan, daya kerja, dan organisasi lembaga-
lembaga pemidanaan. Walaupun secara harfiah hukum penitensier sebagai suatu
keseluruhan norma yang mengatur masalah pidana dan pemidanaan, ternyata Van
Bemmelen telah berpikir maju untuk tidak memandang pidana itu semata-mata
sebagai pidana atau melihat pemidanaan semata-mata sebagai pemidanaan,
melainkan beliau telah mengaitkan lembaga-lembaga pemidanaan dengan tujuan
yang ingin dicapai orang dengan pemidanaan itu sendiri. Dengan daya kerja yang
dimiliki oleh lembaga pemidanaan tersebut dan organisasi yang diperlukan,
pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim dapat mencapai tujuannya secara efektif
dan efisien.

Hukum penitensier merupakan bagian dari hukum pidana yang


mengatur/memberi aturan tentang sistem sanksi dalam hukum pidana. W.H.A.
Jonkers menyebut penitentiair recht (hukum penitensier) sebagai strafrechtelijk
atau bahasa Indonesianya hukum sanksi kepidanaan.6 Tujuannya adalah apa yang
ingin dicapai orang dengan pemidanaannya itu, yaitu melalui suatu organisasi.
P.A.F. Lamintang, memberikan pengertian bahwa “Hukum Penitensier adalah
keseluruhan dari norma-norma yang mengatur lembaga-lembaga pidana atau
pemidanaan, lembaga-lembaga penindakan dan lembaga-lembaga kebijaksanaan
yang telah diatur oleh pembentuk undang-undang di dalam hukum pidana
material.” Selama ini dapat dikatakan bahwa perhatian ahli hukum pidana dan
kriminologi lebih banyak tertuju hanya kepada permasalahan yang tergambar pada
konsep tindak pidana dan pertanggungjawaban saja, sementara masalah pidana
dan pemidanaan itu lebih berkesan dan seolah-olah hanya dianggap sebagai anak
tiri dalam hukum pidana. Anggapan seperti ini tidak dapat dibenarkan karena
pidana dan pemidanaan itu memiliki fungsi dan kedudukan yang strategis dalam
pemidanaan sebab tanpa adanya pidana dan pemidanaan itu tidak akan mungkin
dinamakan hukum pidana apabila tidak ada unsur pidana di dalamnya.

5
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana penjelasan pidana tambahan di KUHP?
2. Apa saja perbedaan pidana tambahan dalam KUHP dan RKUHP?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui pidana tambahan dalam KUHP
2. Untuk mengetahui perbedaan pidana tambahan dalam KUHP dengan
RKUHP

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Hukum Penitensier

Defenisi Hukum Penitensier

Pada umumnya, suatu batasan diberikan oleh seseorang/sekelom-pok orang


sesuai dengan cara pandang atau persepsi masing-masing. Begitu pula halnya
dengan pengertian hukum penitensier.

Apabila dilihat dari kata-kata dasar yang membentuk istilah hukum


penitensier, secara harafiah mempunyai arti hukum pemidanaan, yaitu Penitentier
Recht/Straffen Recht. Namun apabila ditinjau lebih jauh, da-lam praktiknya
hukum penitensier tidak hanya berbicara mengenai lem-baga pemidanaan dalam
arti sempit, melainkan juga meliputi lembaga tindakan (opvoedende maatregel).

J.M. van Bemmelen, seorang pakar hukum pidana Belanda menya-takan


bahwa Penitentier Recht adalah: “het recht betreffende doel, werking en
organisatie der straf-instituten (hukum yang berkenaan dengan tujuan, daya kerja
dan organisasi dari lembaga-lembaga pemidanaan)

Berdasarkan pengertian di atas, van Bemmelen melihat bahwa pida-na


masih sebatas sanksi pidana, meskipun ia menghubungkan lembagalembaga
pemidanaan dengan tujuan yang ingin dicapai, daya kerja lembaga pemidanaan
dan organisasi yang perlu dibuat supaya pidana yang dijatuhkan oleh hakim
mencapai tujuan sesuai yang dikehendaki. Daya kerja yang dimaksudkannya
dapat dilihat dari sudut kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki organisasi yang
diserahi tugas untuk menjalankan fungsi yang dikehendaki dalam pemidanaan.
Dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system), lembaga pelaksana
peniten-sier merupakan salah satu subsistem pendukung, di samping penyidik,
penuntut umum, hakim dan bahkan pembela (penasihat hukum) dan bahkan lebih
luas mencakup partisipasi masyarakat. 18 Menyangkut or-ganisasi, berkaitan erat
dengan susunan kelembagaan yang ditugaskan melaksanakan apa yang
dikehendaki dalam upaya mencapai tujuan pemidanaan.

7
Penulis lain, P.A.F. Lamintang, memberikan pengertian berikut: “Hukum
Penitensier adalah keseluruhan dari norma-norma yang mengatur lembaga-
lembaga pidana atau pemidanaan, lembagalembaga penindakan dan lembaga-
lembaga kebijaksanaan yang te-lah diatur oleh pembentuk undang-undang di
dalam hukum pidana material.

Dibandingkan dengan definisi sebelumnya, Lamintang tidak menyinggung


tujuan dan usaha yang disebutkan dalam definisi yang dikemukakan oleh van
Bemmelen, meskipun mengakui majunya pemikiran van Bemmelen yang ditandai
dengan tujuan, daya kerja, dan organisasi yang diperlukan agar pidana yang telah
dijatuhkan hakim dapat menca-pai tujuan secara efektif dan efisien

Djoko Prakoso menyatakan bahwa hukum penitensier ialah bagian dari


hukum yang mengatur atau memberi aturan tentang stelsel sanksi. Sanksi dalam
hukum pidana meliputi pidana (straf) dan tindakan (maat-regel). Ditambahkan
bahwa hukum penitensier meliputi peraturan-peraturan tentang pemberian pidana
(straftoemeting) dan eksekusi sank-si pidana. Peraturan tentang pemberian pidana
sendiri masih dapat di-bagi atas jenisjenis pidana (strafsoort), ukuran pemidanaan
(strafmaat), dan bentuk atau cara pemidanaan (strafmodus).

Peraturan Perundang-undangan tentang Hukum Penitensier


Pada dasarnya banyak peraturan-peraturan perundangan yang berisi aspek-
aspek hukum penitensier, sebab di dalam peraturan perundangundangan tersebut
memuat ketentuan pidananya. Bukan hanya per-aturan yang bersifat pidana saja
yang memuat ketentuan pidana, tetapi banyak peraturan yang bersifat perdata,
administrasi dan sebagainya, pun memberikan ruang bagi keberadaan sanksi
pidana untuk menegak-kan peraturan tersebut. Dalam peraturan yang bersifat
administrasi, contohnya UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, diatur sanksi
pidananya. Demikian pula dalam UU No. 42 Tahun 1999 tentang Ja-minan
Fidusia, walaupun Fidusia merupakan masalah keperdataan namun untuk
memperkuat nama kelembagaan, moralitas individu dan sosial serta tujuan untuk
melindungi pihak-pihak yang beritikad baik, baik orang perseorangan maupun
korporasi, maka dalam undang-undang ini dimuat ketentuan pidana bagi para
pelanggar undang-undang tersebut. Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang
Ling-kungan Hidup bahkan sekaligus memiliki beberapa sifat, sebab berisi as-pek
perdata, administrasi dan pidana. Dikatakan bersifat perdata, antara lain karena
dimungkinkan adanya gugatan class action; bersifat adminis-trasi karena perizinan

8
suatu bidang usaha harus melalui badan peme-rintah, dan berkaitan dengan pidana
apabila terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan, dapat dilakukan
penyelidikan, penyidikan, pe-nuntutan hingga pemeriksaan di sidang pengadilan
B. Pidana Tambahan

Pidana tambahan adalah pidana yang bersifat menambah pidana pokok yang
dijatuhkan, tidaklah dapat berdiri sendiri kecuali dalam hal-hal tertentu dalam
perampasan barang-barang tertentu.Pidana tambahan ini bersifat fakultatif artinya
dapat dijatuhkan tetapi tidaklah harus.

Menurut Hermin Hadiati Koeswati bahwa ketentuan pidana tambahan ini


berbeda dengan ketentuan bagi penjatuhan pidana pokok, ketentuan tersebut
adalah:

1. Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan di samping pidana pokok.


Artinya, pidana tambahan tidak boleh dijatuhkan sebagai pidana satu-
satunya.
2. Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan apabila di dalam rumusan
suatu perbuatan pidana dinyatakan dengan tegas sebagai ancaman, ini
berarti bahwa pidana tambahan tidak diancamkan.
3. Pada setiap jenis perbuatan pidana, akan tetapi hanya diancamkan
kepada beberap perbuatan pidana tertentu.
4. Walaupun diancamkan secara tegas di dalam perumusan suatu perbuatan
pidana tertentu, namun sifat pidana tambahan ini adalah fakultatif.
Artinya, diserahkan kepada hakim untuk menjatuhkannya atau tidak.

9
BAB III
PEMBAHASAN

A. Pidana Tambahan Dalam KUHP

Melanjutkan penjelasan pada bagian pendahuluan dapat diketahui bahwa


hukum penitensier merupakan hukum pelaksanaan pidana (pidana dan
pemidanaan) yang dilakukan setelah adanya putusan hakim. Oleh karena itu, Pasal
10 KUHP yang mengatur jenis sanksi pidana menjadi dasar bagi hukum
pelaksanaan pidana untuk membuat norma hukum pelaksanaan pidananya,
Menurut ketentuan yang berlaku di dalam KUHP, pada dasarnya penjatuhan
pidana tambahan tidak diperbolehkan secara mandiri tanpa penjatuhan pidana
pokok, kecuali terhadap yang dicakup oleh ketentuan Pasal 39 ayat (3), yaitu
dalam hal hakim memerintahkan perampasan paksa, tetapi hanya atas barang-
barang yang telah disita. Lengkapnya pasal tersebut berbunyi pidana terdiri atas
sebagai berikut:

1. Pidana pokok, terdiri dari:


a. pidana mati;
b. pidana penjara;
c. pidana kurungan;
d. pidana denda;
e. pidana tutupan.
2. Pidana tambahan, terdiri dari:
a. pencabutan hak-hak tertentu;
b. perampasan barang-barang tertentu;
c. pengumuman putusan hakim

Berikut definisi dari tiap jenis-jenis pidana tambahan:

Pencabutan

10
Istilah pencabutan tidak sama dengan pemberhentian, demi-kian juga
dengan istilah pemecatan. Pencabutan hanya me-nyatakan tidak adanya hak
seseorang. Sedang pemecatan atau pemberhentian merupakan hak atau tugas dari
atasan atau pimpinan terpidana yang bersangkutan (vide: Pasal 227 KUHP).

Perampasan

Istilah perampasan merupakan terjemahan dari verbeurd verklaren,


sedangkan penyitaan merupakan terjemahan dari in beslag nemen. Menurut Drs.
P.A.F. Lamintang, verbeurdsverklaring van bepaalde voorwerpen pada Pasal 10
huruf b angka 2 KUHP sebaiknya diterjemahkan “pernyataan disitanya benda-
benda tertentu;” karena kurang tepat jika dipakai istilah “perampasan barang-
barang tertentu,” yang mengingatkan bunyi Pasal 338 yang juga digunakan untuk
menerjemahkan perkataan beroeven (merampok). Namun istilah disita di sini
diperbeda-kan dengan ketentuan KUHAP dalam hal penyitaan terhadap benda-
benda untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan
peradilan.145 Bandingkan juga istilah penyitaan sebagai terjemahan dari in beslag
nemen.

Putusan Hakim

Istilah ini tidak sama dengan keputusan hakim. Putusan atau vonis adalah
dapat berupa pemidanaan, pembebasan pelepasan. Sedangkan keputusan
(beschikking/schikking) ada-lah pernyataan tidak berwenang, tidak dapat
diterima, daluwarsa, batal surat dakwaan, adanya hubungan kekeluargaan, dan
sebagainya.

B. Perbedaan Pidana Tambahan Dalam KUHP dengan RKUHP

Pemberlakuan hukum Pidana di Indonesia, sebagaimana yang kita ketahui


bersama, aturan pidana Indonesia merupakan aturan pidana yang berasal berasal
masa kolonialisme Belanda. Pemisahan yang tegas antara hukum perdata yang
bersifat privat dan hukum pidana yang bersifat publik bersumber berasal sistem
aturan Eropa, yang lalu berkembang pada Indonesia. Meskipun buku Undang-

11
Undang aturan Pidana telah diberlakukan secara nasional tidak berarti bahwa
upaya buat menghasilkan sistem aturan pidana yang baru terhenti.

Upaya melakukan pembaruan hukum pidana terus berjalan semenjak tahun


1958 dengan berdirinya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional sebagai upaya
untuk membentuk KUHP Nasional yang baru. Seminar Hukum Nasional I yang
diadakan pada tahun 1963 telah menghasilkan berbagai resolusi yang antara lain
adanya desakan untuk menyelesaikan KUHP Nasional dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya. Upaya tersebut masih terus berjalan dan telah menghasilkan
beberapa konsep rancangan undang-undang.Meskipun demikian, konsepkonsep
tersebut tidak pernah sampai pada kata “final” dengan menyerahkannya pada
legislatif. Hingga pada September 2019 telah ada draft Rancangan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang disiapkan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR RI) untuk kemudian disahkan oleh Presiden.

Pembaharuan hukum pidana Indonesia didasarkan pada alasan-alasan


sebagai berikut : Pertama, KUHP dipandang tidak lagi sesuai dengan dinamika
perkembangan hukum pidana nasional Indonesia. Kedua, Perkembangan Hukum
Pidana diluar KUHP, baik berupa hukum pidana khusus maupun hukum pidana
administrasi telah menggeser keberadaan sistem hukum pidana dalam KUHP.
Keadaan ini telah mengakibatkan terbentuknya lebih dari satu sistem hukum
pidana yang berlaku dalam sistem hukum pidana nasional. Ketiga, Dalam
beberapa hal telah juga terjadi duplikasi norma hukum pidana antara norma
hukum pidana dalam KUHP dengan norma hukum pidana dalam undang-undang
di luar KUHP. Selain alasan-alasan diatas, Indonesia sebagai masyarakat
Internasional yang tergabung dalam Perhimpunan bangsa-bangsa harus tunduk
dalam perjanjian internasional yang mengikat sebagaimana pembaharuan KUHP
memperhatikan rekomendasi dari United Nation Convention Against Corruption
(UNCAC).

Ada banyak ketentuan baru yang diatur dalam RUU KUHP atau Rancangan
KUHP (RKUHP). Mulai dari membedakan kategori Kejahatan dan Pelanggaran;
asas legalitas dengan mengakui living law; tujuan pemidanaan; jenis pidana;

12
alasan pemaaf dan pemberat pidana; Pemaafan Peradilan (Judicial Pardon);
alternatif pidana penjara; denda; pidana tambahan; dan tindakan. Mengenai pidana
tambahan, Rancangan KUHP (RKUP) tetap mempertahankan jenisjenis pidana
tambahan seperti yang ada dalam KUHP sekarang, hanya ditambah dengan dua
jenis lagi, yaitu:

1. pembayaran ganti kerugian; dan


2. pemenuhan kewajiban adat.

Kedua jenis pidana tambahan ini sebenarnya dapat saja dioperasionalkan


lewat pidana bersyarat menurut KUHP saat ini (lihat Pasal 14e ayat 1 dan 2),
hanya saja menurut KUHP tidak disebut sebagai pidana tambahan.

Perbedaan pidana tambahan dalam KUHP dan RKUHP


Pasal 10 KUHP Pasal 60 RKHUP
1. Pencabutan Hak-Hak Tertentu 1. Pencabutan Hak Tertentu
2. Penyitaan Benda-Benda 2. Perampasan Barang Tertentu
Tertentu dan/atau tagihan
3. Pengumuman dari Putusan 3. Pengumuman Putusan Hakim
Hakim 4. Pembayaran Ganti Rugi
5. Pencabutan Izin tertentu
6. Pemenuhan Kewajiban Adat
Setempat

1. Pencabutan Hak Tertentu

Pencabutan hak-hak tertentu merupakan pidana tambahan yang diatur dalam Pasal
35 ayat (1) KUHP Hak-hak yang dapat dicabut itu, antara lain:

1. hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;


2. hak memasuki angkatan bersenjata;
3. hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan
aturan-aturan umum;

13
4. hak untuk menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan
pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu, atau pengampu
pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri;
5. hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian, atau
pengampuan atas anak sendiri;
6. hak menjalankan mata pencaharian tertentu.
2. Penyitaan Benda-benda tertentu

Menurut Pasal 39 KUHP, ada dua jenis barang yang dapat dirampas, yaitu sebagai
berikut:

1. Barang yang dirampas dari suatu kejahatan Misal: uang palsu yang
diperoleh karena kejahatan. Barang-barang ini disebut dengan corpora
deliari.
2. Barang yang digunakan untuk suatu kejahatan Misal: pisau/senpi yang
digunakan untuk membunuh. Barang barang ini disebut dengan intrumenta
deliari

Dengan demikian, Pasal 39 KUHP ini memiliki tiga petunjuk data. yaitu sebagai
berikut:

1. Barang yang dapat dirampas adalah barang yang diperoleh dari kejahatan
dan barang yang digunakan untuk kejahatan.
2. Hanya untuk kejahatan saja tidak untuk pelanggaran.
3. Barang yang dirampas milik yang terpidana saja

Terdapat dua bentuk pidana kurungan pengganti, yaitu:

1. pidana kurungan pengganti denda;


2. pidana kurungan pengganti barang-barang.

Seorang terpidana dibebaskan dari terpidana kurungan apabila pidana


kurungan pengganti perampasan barang yang pembayaran sejumlah uang yang
ditetapkan besarnya sama dengan nilai yang dirampas. Pidana kurungan pengganti
denda hanya dapat dibebaskan dengan membayar denda yang ditetapkan dengan

14
putusan hakim. Pidana kurungan ini dapat diperpanjang paling lama 6 bulan,
sedangkan pidana kurungan pengganti barang tidak dapat diperpanjang dari batas
maksimum 6 bulan.

Dalam Rancangan KUHP Tahun 2019 pengaturan pidana perampasan


barang diatur dalam Pasal 91 dan Pasal 92.

Barang dan/atau tagihan yang dapat dirampas menurut Pasal 91 adalah:

Pidana tambahan berupa perampasan barang tertentu dan/atau tagihan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf b yang dapat dirampas
meliputi barang tertentu dan/atau tagihan:

1. yang dipergunakan untuk mewujudkan atau mempersiapkan tindak


pidana;
2. yang khusus dibuat atau diperuntukkan mewujudkan tindak pidana;
3. yang berhubungan dengan terwujudnya tindak pidana;
4. milik terpidana atau orang lain yang diperoleh dari tindak pidana;
5. dari keuntungan ekonomi yang diperoleh, baik secara langsung maupun
tidak langsung dari tindak pidana; dan/atau
6. yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan.

Kemudian, di Pasal 92 ditentukan sebagai berikut:

1. Pidana tambahan berupa perampasan barang tertentu sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 91 dapat dijatuhkan atas barang yang tidak disita
dengan menentukan bahwa barang tersebut harus diserahkan atau diganti
dengan sejumlah uang menurut taksiran hakim sesuai dengan harga pasar.
2. Dalam hal barang yang tidak disita tidak dapat diserahkan, barang tersebut
diganti dengan sejumlah uang menurut taksiran hakim sesuai dengan harga
pasar.
3. Jika terpidana tidak mampu membayar seluruh atau sebagian sesuai harga
pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diberlakukan
ketentuan pidana pengganti untuk pidana denda.

15
Pengumuman dari Putusan Hakim

Pengumuman putusan pidana oleh hakim senantiasa diucapkan di muka


umum, tetapi bila dianggap perlu, di samping sebagai pidana tambahan, putusan
tersebut akan langsung disiarkan sejelas-jelasnya dengan cara yang ditentukan
oleh hakim, misalnya melalui:

1. televisi;
2. radio;
3. surat kabar, dan lain-lain.

Semuanya itu atas biaya orang yang dihukum yang dapat dipandang sebagai
suatu pengecualian karena pada umumnya penyelenggaraan hukuman itu harus
dipikul oleh negara.

Dalam pengumuman putusan pidana menurut Pasal 93 Rancangan KUHP


Tahun 2019, sebagai berikut:

1. Jika dalam putusan pengadilan diperintahkan supaya putusan


diumumkan, harus ditetapkan cara melaksanakan pengumuman tersebut
dengan biaya yang ditanggung oleh terpidana.
2. Jika biaya pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dibayar oleh terpidana, maka diberlakukan ketentuan pidana pengganti
untuk pidana denda

16
BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan

1. Pidana tambahan dalam pasal 10 KUHP yaitu


a. pencabutan hak-hak tertentu;
b. perampasan barang-barang tertentu;
c. pengumuman putusan hakim
2. Perbedaan Pidana Tambahan Dalam KUHP dan RKUHP

Perbedaan pidana tambahan dalam KUHP dan RKUHP


Pasal 10 KUHP Pasal 60 RKHUP
4. Pencabutan Hak-Hak Tertentu 7. Pencabutan Hak Tertentu
5. Penyitaan Benda-Benda 8. Perampasan Barang Tertentu
Tertentu dan/atau tagihan
6. Pengumuman dari Putusan 9. Pengumuman Putusan Hakim
Hakim 10. Pembayaran Ganti Rugi
11. Pencabutan Izin tertentu
12. Pemenuhan Kewajiban Adat
Setempat

17
Daftar Pustaka

Buku:

Lamintang, P. A. F., & Lamintang, T. 2010. Hukum Penitensier: Edisi Kedua.


Sinar Grafika, Jakarta.

Panggabean, M. L. 2005. Pokok-pokok hukum penitensier di Indonesia. UKI


Press.

Widyawati, Anis dan Ade Adhari. 2020. Hukum Penitensier di Indonesia: Konsep
dan Perkembangannya. Depok: Rajawali Pers.

Jurnal dan Artikel:

Haryadi, Wahyu. “Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum


Pidana (Ruu Kuhp) Di Indonesia Perspektif Teori Pembaharuan Hukum.”
Veritas 6, no. 1 (2020): 65–78. https://doi.org/10.34005/veritas.v6i1.566.

Ulfah, Maria. “SANKSI PIDANA POKOK DALAM KUHP DAN RKUHP 2019
Sub Tema Tulisan : Sistem Perumusan Sanksi Pidana Dalam RKUHP,”
2019, 247–70.

Wulandari, N. (2016). Pidana Tambahan Pengumuman Putusan Hakim di


Indonesia dan Prancis. Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi
Peradilan.

Peraturan Perundang-Undangan:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Rancangan Undang-Undang.

18
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

19

Anda mungkin juga menyukai