Anda di halaman 1dari 12

Makalah

FILSAFAT PEMIDANAAN

Dosen : Faris Fachrizal Jodi SH, MH

Mata Kuliah : Hukum Penitensier

Pertemuan : Ke 3 Tentang Filsafat Pemidanaan

Nama : Alfarizi Nabawi Yusuf

Npm : 221000076

Kelas :E

Universitas Pasundan

Fakultas Hukum

2023
1
Daftar Isi
BAB I ......................................................................................................................................... 4
Pendahuluan ............................................................................................................................... 4
A. Latar Belakang ................................................................................................................ 4
B. Permasalahan .................................................................................................................. 4
BAB II .................................................................................................................................... 5
Pembahasan ............................................................................................................................ 5
2.1 Konsep Pemidanaan ................................................................................................ 5
2.1.1 Pembentukan Hukum ........................................................................................... 5
2.2 Politik Pemidanaan dalam KUHP ........................................................................... 7
BAB III .................................................................................................................................... 11
Kesimpulan .............................................................................................................................. 11
Daftar Pustaka .......................................................................................................................... 12

2
Abstrak
When the judges tried to understand a certain text, he was influenced by an existing
perperception associated with the text. The philosophy of punishment applied by the judges
in this court decision could be viewed from this context. With this background, the author
believed that even though the judge have tried to accommodate the value and merit of legal
certainty in the decision, but the value of justice that they tried to bring forth was still not
ideal yet, mainly in consideration of the fact that corruption has been categorized a serious
crime in this country.

Apabila hakim senantiasa terpaku untuk memahami teks yang sudah pasti (aturan
hukum), maka dapat dipastikan pandangannya akan terpengaruh oleh teks tersebut. Hakim
dalam memutuskan perkara juga didasarkan pada falsafah pemidanaannya. Berdasarkan latar
belakang di atas, penulis percaya bahwa hakim dalam putusan ini mencoba mengakomodir
nilai dan manfaat kepastian hukum dalam memutuskan perkara, sementara nilai keadilan
masih belum mendapatkan porsi yang tepat. Padahal, nilai keadilan masih menjadi tataran
ideal terutama dalam mempertimbangkan fakta kasus korupsi yang dikategorikan kejahatan
serius di negara ini justru terbaikan.1

1
Apriani, L. R. (2017). PENERAPAN FILSAFAT PEMIDANAAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI. Jurnal Yudisial, 3(1), 1–14.
https://doi.org/10.29123/jy.v3i1.11

3
BAB I

Pendahuluan
A. Latar Belakang
Sejak diterbitkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum
Pidana jo Undang-undang Nomor 73 tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah
Republik Indonesia, perkembangan hukum pidana masih mengacu kepada ketentuan umum
hukum pidana sebagaimana diatur dalam Buku I KUHP.

Pengembangan asas-asas hukum pidana dan pemidanaan dalam peraturan perundang-


undangan dan penegakan hukum pidana masih dapat dikendalikan berdasarkan asas-asas
hukum pidana dan pemidanaan dalam Buku I KUHP. Dalam perkembangannya, terutama
setelah Tahun 1958, lahirlah produk hukum pidana dalam peraturan perundang-undangan di
luar KUHP yang memuat asas-asas hukum pidana baik dalam di bidang hukum pidana
materiil maupun hukum pidana formil yang menyimpang dari asas-asas umum hukum pidana
materiil dalam Buku I KUHP dan hukum acara pidana (HIR).

Pernyimpangan tersebut tidak terbendung ketika kekuasaan Presiden semakin


menguat/dominan dalam menerbitkan produk hukum di bidang hukum pidana melalui
Penetapan Presiden atau Peraturan Presiden. Proses pembuatan Penetapan Presiden dan
Peraturan Presiden lebih sederhana yang berbeda dengan proses pembentukan undang-
undang, karena harus melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1).

Setelah terjadinya pergeseran kekuasaan dari Orde Lama kepada Orde Baru, produk
hukum (termasuk hukum pidana) dalam bentuk Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden
ini, diadakan legislative review sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara No. XIX/MPRS/ 1966 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
No. XXXIX/MPRS/1968, dalam usaha untuk memurnikan pelaksanaan Undang-Undang
Dasar 1945. Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden yang isi dan
tujuannya tidak sesuai dengan suara hati nurani rakyat telah dinyatakan tidak berlaku dan
Penetapanpenetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden yang memenuhi tuntutan
suara hati nurani rakyat tetap berlaku melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang
Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-undang.

B. Permasalahan
Dari latar belakang permasalahan di atas dirumuskan permasalahan pokok yang menjadi
titik sentral kegiatan ini sebagai berikut :

1. Bagaimana Pesoalan konsep pemidanaan?


2. Bagaimana Politik Pemidanaan dalam KUHP?2

2
DR.Mudzakkir, S.H.M.H. PERENCANAAN PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL BIDANG HUKUM PIDANA DAN SISTEM
PEMIDANAAN (POLITIK HUKUM DAN PEMIDANAAN) Hal 4-6

4
BAB II

Pembahasan

2.1 Konsep Pemidanaan


Filsafat pemidanaan sebagai landasan filosofis merumuskan ukuran atau dasar keadilan
apabila terjadi pelanggaran hukum pidana. Dalam konteks ini, pemidanaan erat hubungannya
dengan proses penegakan hukum pidana. Sebagai sebuah sistem, telaahan mengenai
pemidanaan dapat ditinjau dari 2 (dua) sudut, yaitu sudut fungsional dan sudut norma
substantif1 . Dari sudut fungsional, sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai keseluruhan
sistem (aturan perundangundangan) untuk fungsionali-sasi/operasionalisasi/ konkretisasi
pidana dan keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) yang mengatur bagaimana
hukum pidana ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret, sehingga seseorang dijatuhi
sanksi (hukum) pidana.

Dari sudut ini maka sistem pemidanaan identik dengan sistem penegakan hukum
pidana yang terdiri dari sub-sistem Hukum Pidana Materiil/Substantif, sub-sistem Hukum
Pidana Formil dan sub-sistem Hukum Pelaksanaan Pidana. Sedangkan dari sudut norma-
substantif (hanya dilihat dari norma-norma hukum pidana substantif), sistem pemidanaan
dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem aturan/norma hukum pidana materiil untuk pe-
midanaan; atau Keseluruhan sistem aturan/norma hukum pidana materiel untuk
pemberian/penjatuhan dan pelaksanaan pidana.

Lebih dapat dijelaskan bahwa pemidanaan bicara tentang bagaimana penerapan atau
pelaksanaan dari hukum pidana itu sendiri. konsep pemidanaan di Indonesia hanya
melaksanakan sesuai dengan aturan yang ada, KUHP tidak menyebutkan tujuan ataupun
pedoman pemidanaan sehingga proses didalamnya sesuai dengan pemaknaan penegak
hukum, hakim yang dengan interpretasinya masing-masing sangat memungkinkan perbedaan
pengartian dari substansi pasal yang ada.

2.1.1 Pembentukan Hukum


Pembahasan mengenai bagaimana pembentukan hukum berawal dari harapan untuk
menjamin keadilan. pada dasarnya hukum harus selalu berakar pada asas-asas yang ada,
walaupun asas hukum bersifat abstrak dan asas hukum kebanyakan tidak dituangkan pada
peraturan positif secara konkrit namun keberadaan asas hukum sangat penting karena
merupakan dasar yang sangat fundamental. 3

Namun juga ada asas hukum yang dituangkan atau diwujudkan dalam aturan positif
seperti beberapa contoh dalam hukum pidana pasal 1 ayat 1 KUHP, pasal 8 ayat 1 UU No. 48
tahun 2009. asas hukum tetap menjadi dasar hanya saja untuk asas yang tidak dipositifkan
menjadi pasal sifatnya tetap abstrak yang tidak bisa secara langsung dapat diterapkan pada
masalah atau peristiwa konkrit. asas hukum pada umunya bersifat dinamis, berkembang
mengikuti kaidah hukumnya, sedangkan kaidah hukum akan berubah mengikuti

3
DR.Mudzakkir, S.H.M.H Dan Team Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Hukum Pidana Dan Sistem Pemidanaan (Politik
Hukum Dan Pemidanaan) 2008, hlm 10

5
perkembangan masyarakat, jadi terpengaruh waktu dan tempat ”historisch bestimmt”.
Menurut Scholten ada lima asas hukum secara universal, yaitu:

Asas kepribadian

Yang mana artinya manusia menginginkan adanya kebebasan individu, ingin


memperjuangkan kepentingannya dan sebagai subjek hukum menyandang hak dan kewajiban
asas persekutuan yang dikehendaki adalah suatu kehidupan bersama yang tertib, aman dan
damai,persatuan dan kesatuan, serta cinta kasih.

Asas kesamaan

Menghendakisetiap orang dianggap sama dalam hukum. yang dianggap adil adalah
apabila setiap orang memperoleh hak yang sama, setiap orang minta diperlakukan sama, tidak
dibeda-bedakan. Equality before the law.

Asas kewibawaan

Memperkirakan atau mengasumsikan adanya ketidaksamaan. di dalam masyarakat


harus ada yang memimpin. asas pemisahan antara baik dan buruk empat asas diatas terdapat
dalam setiap sisten hukum dari empaat asas itu terdapat juga kaidah hukum nya yang
mengatur apa yang seyogya nya dilakukan atau tidak. artinya ini berarti pemisahan yangbaik
dan buruk2 Pembentukan atau penciptaan hukum itu berkenaan dengan tiga hal yaitu:

1. perumusan aturan-aturan umum, yang dapat berupa penambahan atau perubahan


aturan-aturan yang sudah berlaku;
2. ditimbulkan dari keputusan-keputusan konkret (hukum preseden atau yurisprudensi)
; dan
3. berkenaan dengan tindakan nyata, yaitu suatu tindakan yang hanya terjadi sekali saja
(einmalig), yang dilakukan oleh organ-organ negara berdasarkan konstitusi tanpa
disertai dengan perubahan undangundang atau UUD.”4 Dari sudut pandang teoritis,
proses pembentukan peraturan perundangundangan dibagi dalam tahapan berikut
yaitu: a. Momen Idiil: Proses menafsirkan kenyataan alamiah, serta kenyataan dan
sejarah kemasyarakatan dalam pandangan hidup, filsafat hukum dan kesadaan
hukum masyarakat sehingga diketahui prinsip fundamental seperti apa yang perlu
dimunculkan dalam aturan yang dibentuk; b. Momen Politik: Peng-artikulasi-an
aspirasi masyarakat menjadi bentuk kepentingan dan tujuan politik; c. Momen
Normatif: Hasil dari pengolahan prinsip fundamental dalam momen idiil,
menghasilkan cita hukum, nilai dan asas-asas serta kaidah da n pranata hukum; d.
Momen Teknikal: Hasil interaksi dialektikan antara momen politik dan normatif,
dituangkan dalam teknik perancangan peraturan perUU-an. Secara teknis
pembentukan peraturan perundang-undangan dibuat oleh lembaga yang berwenang
seperti legislatif. 4

4
Sudigno Mertokusumo, Penemuan Hukum (Yogayakarta, Cahaya Atma Pustaka,2014) Hal 12

6
Tahap pertama adalah perencanaan terkait penyusunan RUU yamg biasa disebut dengan
program legislatif nasional (prolegnas). - Selanjutnya penyusunan dimana dalam tahap ini
dilakukan penyiapan sebelum pembahasan RUU DPR dan pemerintah. tahap ini terdiri dari :

1) Naskah akademik,
2) penyusunan RUU,
3) harmonisasi, pembulatan dan pemantapan konsepsi.
4) pembahasan materi RUU antara DPR dan presiden
5) pengesahan setelah ada persetujuan bersama DPR dan presiden terkait RUU yang
dibahas
6) pengundangan adalah penetapan undang-undang yang telah disahkan kedalam
lembaran negara.

2.2 Politik Pemidanaan dalam KUHP


Perumusan politik pemidanaan dalam KUHP dilihat dari sudut kajian, yaitu ketentuan
umum hukum pidana dalam Buku I KUHP dan perumusan ancaman sanksi pidana dalam
Buku II dan Buku III KUHP. Perumusan ancaman pidana dalam Buku I KUHP mengacu
kepada norma pemidanaan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP, yaitu :

Pasal 10 Pidana terdiri atas:

a. pidana pokok:

1. pidana mati;
2. pidana penjara;
3. pidana kurungan;
4. pidana denda;
5. pidana tutupan.

b. pidana tambahan

1. pencabutan hak-hak tertentu;


2. perampasan barang-barang tertentu;
3. pengumuman putusan hakim.

Ketentuan pidana tersebut metode pengamanannya dalam norma hukum pidana diatur
dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 43 KUHP. Ketentuan pemidanaan dalam Buku I KUHP
ini diformulasikan secara konsisten dalam norma hukum pidana dalam Buku II dan Buku II
KUHP. Fungsi ketentuan umum hukum pidana dalam Buku I benar-benar menjadi pedoman
dalam memformulasikan ancaman pidana dalam norma hukum pidana dan dalam
pelaksanaan pidana. Dalam merumuskan norma hukum pidana dan merumuskan ancaman
pidana, paling tidak terdapat 3(tiga) hal yang ingin dicapai dengan pemberlakuan hukum
pidana di dalam masyarakat, yaitu: 5

5
Barda Nawawi Arief, Sistem Pemidanaan Dalam Konsep RUNDANG-UNDANG KUHP, Bahan Sosialisasi RUNDANG-UNDANG KUHP
2004, diselenggarakan oleh Departemen Hukum dan HAM, tgl. 23-24 Maret 2005, di Hotel Sahid Jakarta

7
a. Membentuk atau mencapai cita kehidupan masyarakat yang ideal atau masyarakat
yang dicitakan,
b. Mempertahankan dan menegakkan nilai-nilai luhur dalam masyarakat,
c. Mempertahankan sesuatu yang dinilai baik (ideal) dan diikuti oleh masyarakat
dengan teknik perumusan norma yang negatif.

Tujuan pengenaan sanksi pidana dipengaruhi oleh alasan yang dijadikan dasar
pengancaman dan penjatuhan pidana, dalam konteks ini alasan pemidanaan adalah
pembalasan, kemanfaatan, dan gabungan antara pembalasan yang memiliki tujuan atau
pembalasan yang diberikan kepada pelaku dengan maksud dan tujuan tertentu. .

Filsafat pemidanaan sebagai landasan filosofis merumuskan ukuran atau dasar


keadilan apabila terjadi pelanggaran hukum pidana. Dalam konteks ini, pemidanaan erat
hubungannya dengan proses penegakan hukum pidana. Sebagai sebuah sistem, telaahan
mengenai pemidanaan dapat ditinjau dari 2 (dua) sudut, yaitu sudut fungsional dan sudut
norma substantif. Dari sudut fungsional, sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai
keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk fungsionalisasi/operasionalisasi/
konkretisasi pidana dan keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) yang mengatur
bagaimana hukum pidana ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret, sehingga
seseorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana.

Dari sudut ini maka sistem pemidanaan identik dengan sistem penegakan hukum
pidana yang terdiri dari sub-sistem Hukum Pidana Materiil/Substantif, sub-sistem Hukum
Pidana Formil dan sub-sistem Hukum Pelaksanaan Pidana. Sedangkan dari sudut norma-
substantif (hanya dilihat dari norma-norma hukum pidana substantif), sistem pemidanaan
dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem aturan/norma hukum pidana materiil untuk
pemidanaan; atau Keseluruhan sistem aturan/norma hukum pidana materiel untuk
pemberian/penjatuhan dan pelaksanaan pidana.

Dengan pengertian demikian, maka keseluruhan peraturan perundang-undangan


(“statutory rules”) yang ada di dalam KUHP maupun undang-undang khusus di luar KUHP,
pada hakikatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan, yang terdiri dari “aturan
umum” (“general rules”) dan “aturan khusus” (“special rules”). Aturan umum terdapat di
dalam Buku I KUHP, dan aturan khusus terdapat di dalam Buku II dan III KUHP maupun
dalam undang-undang khusus di luar KUHP, 1 baik yang mengatur hukum pidana khusus
maupun yang mengatur hukum pidana umum.

Ditinjau dari tiga sisi masalah dasar dalam hukum pidana, yaitu pidana, perbuatan
pidana, dan pertanggungjawaban pidana, muatan hukum pidana dalam KUHP yang perlu
mendapat perhatian adalah mengenai: a. Pidana atau pemidanaan: KUHP tidak menyebutkan
tujuan dan pedoman pemidanaan, sehingga pidana dijatuhkan ditafsirkan sesuai dengan
pandangan aparat penegak hukum dan hakim yang masing-masing memiliki interpretasi yang
berbeda. 6

6
Ahmad Bahiej, Sejarah dan Problematika Hukum Pidana Materiel di Indonesia,

8
Pidana dalam KUHP juga bersifat kaku, dalam arti tidak dimungkinkannya modifikasi
pidana yang didasarkan pada perubahan atau perkembangan diri pelaku. Sistem pemidanaan
dalam KUHP yang demikian itu jelas tidak memberi keleluasaan bagi hakim untuk memilih
pidana yang tepat untuk pelaku tindak pidana. Sebagai contoh mengenai jenis-jenis pidana,
pelaksanaan pidana pidana mati, pidana denda, pidana penjara, dan pidana bagi anak.

Sistem beracara pidana pada kasus yang diancam dengan hukuman mati (pasal 340
KUHP) dan yang tidak dengan ancaman pidana mati (pasal 338 KUHP) prosedurnya sama,
tidak mempunyai perbedaan dan tidak mempunyai kualifikasi dan prosedur yang berbeda.
Sebagai contoh, seorang didakwa mencuri ayam dan seorang yang didakwa dengan
pembunuhan berencana dengan ancaman hukuman mati, prosedurnya sama. Hal ini seringkali
memunculkan adanya praktek-praktek rekayasa yang dapat mencederai rasa keadilan di
dalam masyarakat. Buku ke-I KUHP yang berisi asas-asas umum dalam pengaturan hukum
pidana nasional, ternyata tidak mampu menampung perkembangan hukum di Indonesia.
Akibatnya, perkembangan asas hukum Indonesia tidak lagi hanya berpegang pada Buku ke-I
karena segala unsur (politik negara dan politik hukum) bangsa berkembang dengan pesat.
Akibatnya, pengembangan asas cenderung di luar KUHP. Undang-undang khusus dikatakan
sangat liar karena mengatur hal-hal dan asas-asas sendiri yang tidak ada rujukannya dengan
KUHP yang diatur dalam Buku ke-II.

Sebagai contoh keberadaan Undang-undang Otonomi yang melahirkan undangundang


khusus dan memberi daerah wewenang untuk membuat Hukum Pidananya sendiri seperti
dalam kasus hukum Qonun di Aceh dan Peraturan Daerah yang mengatur tentang hukum
pidana di daerah. Terkait dengan pemidanaan, KUHP tidak mengatur adanya ancaman pidana
minimum khusus. Seharusnya, jika hendak mengatur mengenai ancaman pidana minimum
khusus dalam hukum pidana khusus dalam undang-undang di lur KUHP, terlebih dahulu
dimulai dari melakukan amandemen KUHP maka seharusnya pasal dalam KUHP
diamandemen dahulu sebelum ada undang-undang di luar KUHP, sehingga undang-undang
yang bersifat khusus tersebut mempunyai cantolan terhadap KUHP yang merupakan
ketentuan umum hukum pidana nasional Indonesia. b. Perbuatan Pidana: Dalam menetapkan
dasar patut dipidananya perbuatan, KUHP bersifat positivis dalam arti harus dicantumkan
dengan undang-undang (asas legalitas formil).

Dengan demikian, KUHP tidak memberikan tempat bagi hukum yang hidup di
tengah-tengah masyarakat yang tidak tertulis dalam perundang-undangan. Oleh karena itu,
secara sosiologis KUHP telah ketinggalan zaman dan sering tidak sesuai dengan nilai-nilai
yang hidup di masyarakat. KUHP sebagai hukum tertulis selalu lamban dalam merespon
perkembangan hukum yang terjadi dalam masyarakat, keadaan ini kemudian melahirkan ide
untuk membentuk hukum pidana baru di luar KUHP.

9
Namun dalam perumusan norma hukum pidana di luar KUHP tersebut cenderung
melepaskan diri ikatannya dari KUHP, terutama Buku I KUHP, yang kemudian melahirkan
sistem norma sendiri yang memiliki nilai dan asas-asas hukum pidana yang lepas dari
ketentuan umum hukum pidana Buku I KUHP, bahkan dalam kaitannya dengan Buku II dan
Buku II KUHP acap kali terjadi duplikasi atau pengulangan pengaturan dan sebagian di
antaranya ada yang triplikasi pengaturan, yakni pengaturan norma yang sama diatur dalam
tiga peraturan yang berbeda dengan disertai dengan ancaman sanksi pidana yang berbeda.

Pertanggungjawaban pidana: Beberapa masalah yang muncul dalam aspek


pertanggungjawaban pidana antara lain mengenai asas kesalahan (culpabilitas) yang tidak
dicantumkan secara tegas dalam KUHP, namun hanya disebutkan dalam Memorie van
Toelichting (MvT) sebagai penjelasan WvS. Asas culpabilitas merupakan penyeimbang dari
asas legalitas yang dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (1), yang berarti bahwa seseorang dapat
dipidana karena secara obyektif memang telah melakukan tindak pidana (memenuhi rumusan
asas legalitas) dan secara subyektif terdapat unsur kesalahan dalam diri pelaku (memenuhi
rumusan asas culpabilitas)2 . Demikian juga tidak mengatur mengenai subjek hukum
korporasi dan pertanggungjawaban korporasi yang menyebabkan terjadinya penafsiran yang
tidak sama mengenai siapa yang bertangungjawab apabila ditengarai terjadinya pelanggaran
hukum yang melibatkan korporasi.

10
BAB III

Kesimpulan
Politik hukum pidana dan pemidanaan dalam hukum pidana nasional dalam KUHP
dan undang-undang di luar KUHP dikelompokkan menjadi tiga periode, yaitu a. Periode
pertama, setelah merdeka hingga tahun 1960an mempertahankan pola perumusan hukum
pidana dan ancaman sanksi pidana dalam KUHP dan kebijakan legislasi ditekankan kepada
amandemen KUHP. Periode kedua, tahun 1960an sampai dengan tahun 1998an
mengembangkan hukum pidana di luar KUHP tetapi sistem perumusan norma dan
perumusan ancaman sanksi pidana masih mengacu kepada sistem perumusan norma dan
pengancaman sanksi pidana dalam ketentuan umum hukum pidana sebagaimana yang dimuat
dalam Buku I KUHP.

Periode ketiga, tahun 1998an sampai dengan tahun 2008 mengembangkan hukum
pidana di luar KUHP yang melepaskan diri dari kaedah umum hukum pidana sebagaimana
dimuat dalam Buku I KUHP dan membentuk sistem norma hukum pidana dan sistem
pemidanaan sendiri di luar KUHP. Pilihan politik hukum pidana akan berpengaruh terhadap
praktek penegakan hukum pidana.

Politik hukum pidana dan pemidanaan yang periode terakhir menimbulkan kerancuan
dalam penegakan hukum pidana karena adanya dublikasi atau bahkan sebagian triplikasi
norma hukum pidana dan penormaan hukum pidana bersifat sektoral dengan ancaman sanksi
pidana yang berbedabeda. Hukum pidana internasional memiliki pengaruh yang besar
terhadap politik hukum pidana dan pemidanaan hukum pidana nasional Indonesia, khususnya
dalam undang-undang hukum pidana di luar KUHP baik yang termasuk ketegori hukum
pidana khusus maupun hukum pidana umum.

Perumusan politik hukum pidana dan pemidanaan hukum pidana nasional Indonesia
di masa datang agar membentuk satu sistem politik hukum pidana dan perumusan sanksi
pidana sebagai parameter keadilan dalam hukum pidana nasional Indonesia yaitu: a.
Melakukan politik kodifikasi hukum pidana nasional secara total b. Mencegah tumbuh dan
dikembangkannya hukum pidana di luar KUHP, kecuali hukum pidana administrasi yang
dilakukan secara selekstif sesuai dengan prinsip penggunaan sanksi pidana dalam hukum
adminisrasi yaitu sebagai senjata pamungkas (ultimum remedium).

11
Daftar Pustaka
DR.Mudzakkir, S. (2008). ,. PERENCANAAN PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL BIDANG HUKUM
PIDANA DAN SISTEM PEMIDANAAN, 1-27.

12

Anda mungkin juga menyukai