Anda di halaman 1dari 3

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH

TUGAS 2

Nama Mahasiswa : RIDHO ALFARIZI THOHARI

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 043427652

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4401/INTERPRETASI DAN PENALARAN HUKUM

Kode/Nama UPBJJ : 13/MEDAN

Masa Ujian : 2022/23.2(2023.1)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
Lakukan analisa asas-asas hukum penting apa saja dalam memeriksa/memutus perkara, sebagai batasan
melakukan interpretasi atas kasus tersebut di atas; (Max 500 kata)

Asas hukum dalam membuat putusan, merupakan seperangkat alat yang sifatnya wajib digunakan oleh
hakim. Putusan akan sempurna bila asas-asas putusan dipenuhinya. Pelaksanaan putusan atau eksekusi, akan
senantiasa dapat dilakukan tanpa ada suatu halangan akibat kesalahan penerapan hukum dan aturan. Human
error bagi hakim akibat melakukan pelanggaran hukum acara dan asas dalam membuat putusan jelas di-
haram-kan. Untuk itulah, patutlah kiranya kita sudah hafal diluar kepala tentang hukum acara dan juga asas-
asas dalam membuat putusan.

Sesuai kasus diatas, Asas putusan yang dilakukan adalah memuat dasar alasan yang jelas dan rinci. Menurut
asas ini putusan yang dijatuhkan harus berdasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup, Putusan yang tidak
memenuhi ketentuan itu dikategorikan Putusan yang tidak cukup pertimbangan atau onvoldoende
gemotiveerd (insufcient judgement). Alasan-alasan hukum yang menjadi dasar pertimbangan bertitik tolak
dari ketentuan:
1. Pasal-pasal tertentu peraturan perundang-undangan,
2. Hukum kebiasaan,
3. Yurisprudensi,
4. Doktrin hukum.

Pasal 50 Ayat 1 Undang-Undang 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menegaskan Putusan
pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili. Sedangkan menurut Pasal 178 ayat (1) HIR, hakim karena jabatannya atau secara ex officio, wajib
mencukupkan segala alasan hukum yang tidak dikemukakan para pihak yang beperkara. Pasal 5 Ayat 1
Undang-Undang 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, mewajibkan Hakim dan hakim konstitusi
untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai- nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Penjelasan Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi
sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat, sehingga putusan hakim tidak membuat gaduh terhadap
tatanan hidup yang telah terbentuk dalam sendi-sendi kemasyarakatan.

Apabila penafsiran literal hukum diterapkan pada persoalan Soal Kasus yang telah diberikan, analisalah
faktor-faktor apa saja yang harus masuk dalam pertimbangan.( Max 500 kata).

Pertimbangan moral misalnya, memiliki kadar keberlakuan yang lebih tinggi dari pada pertimbangan hukum
karena moralitas (nilai-nilai moral) merupakan sumber bagi hukum. Dengan demikian hukum (literer) dan
pertimbangan hukum tidak boleh mencederai moralitas. Atau dengan rumusan lain, pertimbangan hukum
pada akhirnya harus dapat ‘dijustifikasi’ berhadapan dengan pertimbangan moral. Hukum yang baik adalah
hukum yang mewujudkan moralitas. Hukum yang mencederai moralitas bukanlah hukum yang baik. Guna
mengungkap makna sesungguhnya sebuah teks hukum, konstruksi hukum secara cermat dan tepat diperlukan.
Dalam proses terebut makna teks atau wacana secara keseluruhan harus ikut dipertimbangkan. Dengan
demikian pertimbangan makna sebuah teks bukanlah parsial dan fragmentaris melainkan holistik dan
integratif. Perlu juga diselidiki apakah makna teks tersebut mutlak atau relatif, universal atau parsial. Efek-
efek yang dihasilkan dari konstruksi dan interpretasi teks tersebut itu pun harus ikut dipertimbangkan (efek
minimum atau maksimum). Di sini, lagi-lagi kepentingan masyarakat yang lebih besar tidak boleh dikalahkan
demi kepentingan yang lebih spesifik dan terbatas.

Pertimbangan hukum atas bukti-bukti atau fakta-fakta hukum yang terungkap di pengadilan dalam kasus ini
sangat dibantu oleh pengakuan dan penyesalan terdakwa sendiri. Secara hukum, penggunaan landasan hukum
lain sebagai dasar pertimbangan putusan cukup luas dan relevan. Landasan-landasan hukum yang digunakan
sebagai dasar pertimbangan tidak hanya pasal-pasal yang dituntut pada terdakwa melainkan juga ketentuan
hukum lain seperti ketentuan pasal 54 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang
menyebutkan bahwa pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial; ketentuan Pasal 103 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 35 Tahun 2009
tentang Narkotika yang menyebutkan bahwa Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat
memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan / atau perawatan melalui
rehabilitasi, jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika;
Lakukan analisa terhadap batasan apa saja bagi ahli hukum/hakim dalam melakukan penafsiran hukum yang
harus diperhatikan dalam perkara tersebut di atas.( Max 500 kata).

Interpretasi atau penafsiran ini dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu secara:

1) Gramatikal, yaitu penafsiran menurut bahasa sehari-hari.


2) Historis, yaitu penafsiran berdasarkan sejarah hukum.
3) Sistimatis, yaitu menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-
undangan.
4) Teleologis, yaitu penafsiran menurut makna/tujuan kemasyarakatan.
5) Perbandingan hukum, yaitu penafsiran dengan cara membandingkan dengan kaedah hukum di tempat laen.
6) Futuristis, yaitu penafsiran antisipatif yang berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai
kekuatan hukum.

Konstruksi hukum, dapat digunakan hakim sebagai metode penemuan hukum apabila dalam mengadili
perkara tidak ada peraturan yang mengatur secara secara khusus mengenai peristiwa yang terjadi.

Konstruksi hukum ini dapat dilakukan dengan menggunakan logika berpikir secara:
1. Argumentum per analogiam atau sering disebut analogi. Pada analogi, peristiwa yang berbeda namun
serupa, sejenis atau mirip yang diatur dalam undang-undang diperlakukan sama.
2. Penyempitan hukum. Pada penyempitan hukum, peraturan yang sifatnya umum diterapkan terhadap
peristiwa atau hubungan hukum yang khusus dengan penjelasan atau konstruksi dengan memberi ciri-
ciri.
3. Argumentum a contrario atau sering disebut a contrario, yaitu menafsirkan atau menjelaskan undang-
undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan
peristiwa yang diatur dalam undang-undang.

Selanjutnya, bahwa penjelasan itu tidak boleh ditafsirkan menyimpang dari bunyi (isi) perjanjian, azas ini
disebut “Sens Clair” tercantum dalam pasal 1342 KUHPerdata :“Apabila kata-kata dalam perjanjian itu tegas
maka tidak dibenarkan untuk menyimpang dari padanya dengan jalan penafsiran”.

Demikian Pemahaman saya, terimakasih Bapak/Ibu.

Sumber :
BMP Digital HKUM 4401
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4f0aa8449485b/kapan-dan-bagaimana-hakim-
melakukan- penemuan-hukum-
https://media.neliti.com/media/publications/112498-ID-hermeneutika-hukum-prinsip-dan-kaidah-in.pdf

Anda mungkin juga menyukai