Anda di halaman 1dari 6

RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER

LOGIKA DAN PENALARAN HUKUM

Pertemuan 11
Penalaran Berbasis Peraturan Perundang-Undangan (Bagian Kedua)

A. Tujuan Pembelajaran

Dari hasil pertemuan pertama ini, diharapkan mahsiswa akan mengerti


dan memahami tentang :
1. Jenis-jenis penafsiran undang-undang
2. Pembuktian dan praduga

B. Materi

1. Penafsiran Undang-Undang
Penafsiran undang-undang adalah sebuah upaya penafsiran untuk
memahami sebuah hal menggunakan sudut pandang undang-undang.

Jenis-jenis penafsiran undang-undang


a. Penafsiran gramatikal: bertolak dari pemakaian bahasa sehari-hari atau
makna teknis yuridis yang sudah lazim dalam memahami teks yang di
dalamnya kaidah hukum dirumuskan;
b. Penafsiran sistematis: makna dari formulasi kaidah hukum ditetapkan
dengan mengacu pada hukum sebagai sistem. Metode ini pada dasarnya
bersifat mandiri tetapi juga dapat juga dikombinasikan dengan metode
lainnya;
c. Penafsiran sejarah undang-undang:
merujuk pada sejarah (lahirnya) norma dalam undang-undang;
d. Penafsiran sejarah hukum:
penentuan makna suatu kaidah hukum atau suatu pengertian hukum
dengan mempertimbangkan sejarah kaidah atau pengertian hukum dengan
menautkannya dengan penulis-penulis atau (secara umum) pada konteks
kemasyarakatan pada masa lampau. Namun, metode ini jarang dilakukan;
e. Penafsiran teleologis atau sosiologis:
Penafsiran ini merujuk pada tujuan dan jangkauan kaidah hukum yang
ditafsirkan itu. Tekanannya ialah bahwa pd setiap kaidah hukum terdapat
tujuan atau asas yang melandasi yang berpengaruh (bahkan menentukan)
interpretasi.
f. Penafsiran antisipatif:
Penafsiran dilakukan dengan merujuk ke masa depan (pada sebuah
rancangan perundang-undangan);
g. Penafsiran evolutif-dinamis:
Dalam penafsiran evolutif-dinamis disini hakim melakukan penafsiran
dengan memberikan makna yang sangat menentukan pada perkembangan
hukum yang terjadi setelah kemunculan atau keberlakuan aturan-aturan
hukum tertentu. Namun, penafsiran ini lazimnya baru dilakukan jika benar-
benar terjadi evolusi atau pergeseran atau perubahan pandangan dalam
masyarakat. Di sini hakim seolah-olah mengambil alih peran pembentuk
undang-undang. Itulah sebab banyak kritik ditujukan terhadap penafsiran
ini.

Proses reasoning atau penalaran dengan menggunakan undang-undang


adalah cara berpikir deduktif.
a. Suatu kata-kata telah disusun di dalam undang-undang, hal ini tidak dapat
dipandang ringan karena kata-kata tersebut merupakan kemauan pembuat
undang-undang (legislatif). Pihak legislatif mungkin saja menyimpan suatu
kasus tertentu di dalam pikirannya, tetapi yang dikeluarkan adalah kata-
kata yang berbentuk terminologi umum.
b. Dalam pelaksanaan undang-undang, keinginan legislatif adalah penting,
tetapi kata-kata yang digunakan tidaklah cukup jelas untuk dimengerti.
Bagaimanapun juga akan sulit untuk menemukan keinginan yang pasti
dari pihak legislatif, untuk itu diperlukan keahlian dalam menafsirkan
undang-undang untuk menyusun legal reasoning melalui undang-undang.
c. Dengan demikian dipandang bahwa penyusunan legal reasoning
berdasarkan penafsiran undang-undang adalah melibatkan cara berpikir
yang deduktif. Karena ketetapan yang diambil dari kata-kata yang ada di
dalam undang-undang yang sifatnya umum ditarik ke dalam suatu kasus
tertentu secara khusus.

Prof. A. Hamid S. Attamimi menyatakan bahwa Peraturan perundang-


undangan yang secara hierarkis berkedudukan lebih rendah :
a. tidak dapat mengubah materi yang ada didalam aturan yang lebih tinggi;
b. tidak menambah;
c. tidak mengurangi;
d. tidak menyisipi suatu ketentuan baru;
e. tidak memodifikasi materi dan pengertian yang telah ada dalam aturan
induknya

2. Pembuktian, dan Praduga


Pembuktian
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata pembuktian
adalah proses, cara, perbuatan membuktikan. Arti lainnya dari pembuktian
adalah usaha menunjukkan benar atau salahnya sesuatu hal.
Pembuktian secara lebih rinci harus menunjukan argumen-agumen dan
alat-alat yang digunakan untuk membuktikan hal yang akan dibuktikan itu
sendiri. Hal tersebut tentunya harus dilakukan dengan cara terstruktur agar
menjadi sebuah bangunan yang dapat diterima oleh siapapun yang
menerima penjelasan tersebut. Tujuan dari pembuktian adalah menunjukan
kebenaran atas suatu hal yang masih dianggap belum jelas kenyataan yang
sebenarnya.
Terdapat beragam bentuk pembuktian, hal tersebut amat bergantung pada
bagaimana seorang ahli hukum meberikan definisi-definisi pada tiap-tiap
pembuktian tersebut. Para ahli hukum akan memberikan definisi tentunya
dengan terlebih dahuku mendefinisikan makana dari sebuah oembuktian
tersebut. Beberapa pakar memberikan pandangannya terkait tentang arti dari
istilah system pembuktian seperti berikut :
a. Subekti yang berpandangan bahwa membuktikan adalah upaya untuk
meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang
dikemukakan dalam suatu persengketaan.
b. Sudikno Mertokusumo memiliki pendapat berbeda yakni, yang disebut
dalam arti yuridis dari konteks pembuktian adalah upaya untuk memberi
dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang
bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa hukum
yang diajukan tersebut
Konteks hukum pembuktian bagi hakim dalam hal ini pembuktian
merupakan upaya hukum yang dilakukan guna memberikan kejelasan
berkaitan tentang kedudukan hukum bagi pihak-pihak dengan dilandasi
dengan dalil-dalil hukum yang di utarakan oleh para pihak, Sehingga dapat
memberikan gambaran jelas pada hakim untuk membuat kesimpulan dan
keputusan tentang kebenaran dan kesalahan para pihak-pihak yang
berperkara tersebut. Tujuan dari pembuktian adalah untuk memberikan
gambaran berkaitan tentang kebenaran atas suatu peristiwa, sehingga dari
peristiwa tersebut dapat diperoleh kebenaran yang dapat diterima oleh akal.
Pembuktian mengandung arti bahwa benar suatu peristiwa pidana telah
terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus
mempertanggungjawabkannya. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang
berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-
undang.
Praduga
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata praduga adalah
anggapan tentang sesuatu tanpa (harus) membuktikannya terlebih dahulu.
Arti lainnya dari praduga adalah prasangka.
Praduga sangat diperlukan oleh para penalar hukum terutama polisi dan
jaksa yang akan memberikan praduga kepada seseorang, atau sekelompok
orang atau badan hukum apabila ada laporan tindak pidana yang dilakukan
oleh subjek hukum tersebut.
Pada proses penyelidikan Polisi akan menerapkan praduga tidak bersalah
atas subjek hukum yang menjadi terlapor, namun saat penyelidikan dinaikan
kepada proses penyidikan maka polisi akan menetapkan praduga bersalah
kepada subjek hukum tersebut. Begitupula dengan jaksa sebagai penuntut
umum yang akan menerapkan praduga tak bersalah kepada terdakwa saat
melakukan pendakwaan di persidangan, namun apabila telah dilakukan
pembuktian dengan alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang maka
jaksa akan menuntut terdakwa dengan menerapkan praduga bersalah kepada
terdakwa.

C. Soal dan Tugas


Jelaskan Kembali tentang :

1. Jenis-jenis penafsiran undang-undang


2. Pembuktian dan praduga

D.Daftar Pustaka,

1. Abintoro Prakoso, Hukum, Filsafat, Logika, dan Argumenytasi Hukum,


LaksBang Justitia, Surabaya, 2015
2. Sukarno Aburaera, Filsafat Hukum, Teori dan Praktek, Fajar Interpratama
Mandiri, 2016
3. Soetjipto Wirosardjono, Dialog Dengan Kekuasaan, Mizan 1995
4. Amsal Bakhtiar, Filsafa Ilmu, Raja grafindo Persada, 2016
5. Muhamad Syukri Albani Nasution dan Zul Fahmi Lubis, Hukum Dalam
pendekatan Filsafat, Fajar Interpratama Mandiri, 2017
6. Zainudin Ali, Filsafat Hukum, Sinar Grafika 2011
7. Budiono Kusumo Hadidjojo, Filsafat Hukum, Problematika Ketertiban Yang
Adil, Manda Maju,, Bandung, 2011
8. Deskartez, Spinoza, Berkeley, Menguak Tabir Pemikiran Filsafat, Sociality
Bandung, 2017
9. Bernard L.Tanya, Yoan N. Simajuntak, dan Markus Y. Huge, Teori Hukum,
Strategi Tertib Manusia, Lintas Ruang dan Generasi, Genta, 2013
10. Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, PT. Gramdia
Pustaka UItama, Jakarta, 2008
11. Fokky Fuad Wasitaamadja, Filsafat Hukum, Akar Religiositas Hukum,
Kharisma Putera Utama, 2015
12. Suri Ratnapala, Jurisprudence, Camridge University, 2009
13. The Liang Gie, Teori-Teori Keadilan, Super, Yogyakarta, 1979
14. I Dewa Gede Atmadja, Perdebatan Akan Derajat Keilmuan Dari Ilmu Hukum,
Suatu Renungan Filsafat Hukum, Dalam Kartha Patrikha, No.58 Tahun XVIII,
Maret 1992
15. Sudikno Martokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya
Bhakti 1993
16. Punadi Purwacaraka dan Soerjono Soekanto,Perihal Kaedah Hukum, Alumni
Bandung, 1979.

Anda mungkin juga menyukai