Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas Pengantar Ilmu Hukum


Dosen:
Dr. Ilham Hermawan, SH, MH

Disusun oleh:
Mutiara Nisa (3023210195)

ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PANCASILA
2023
BAB VIlI

PENEGAKAN HUKUM DAN PENEMUAN HUKUM

A. PENEGAKAN HUKUM
Dalam bahasa Indonesia dikenal beberapa istilah di luar penegakan hukum tersebut, seperti
"penerapan hukum". Tetapi tampaknya istilah penegakan hukum adalah yang paling sering
digunakan. Sedangkan dalam bahasa Asing kita juga mengenal berbagai peristilahan,
seperti: rechtstoepassing, rechtshandhaving (Belanda), law enforcement, application
(Amerika).
Penegakan hukum yang mendekatkan hukum sebagai suatu sollen gesetze dalam kehidupan
sehari-hari, maka pada saat itulah hukum itu diuji oleh dan diterapkan pada dunia kenyataan
sehari-hari, sehingga terjadi proses interaksi yang melibatkan empat unsur, yaitu:
1. Kemauan hukum, artinya tujuan-tujuan dan janji-janji yang tercantum dalam peraturan
hukum;

2. Tindakan para penegak hukum;

3. Struktur penegak hukum;

4. Pengaruh atau bekerjanya kekuatan-kekuatan yang berasal dari kenyataan kehidupan


sehari-hari.

Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa dalam menegakkan hukum ada tiga
unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu:
1. Kepastian Hukum (Rechtssicherheit)
Hukum harus dilaksanakkan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat
ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa yang konkret.
Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku; pada dasarnya tidak dibolehkan
menyimpang: fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh, hukum harus
ditegakan).

2. Kemanfaatan (Zweckmassigkeit)
Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus
memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat.

3. Keadilan (Gerechtigkeit)
Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum,
keadilan di perhatikan. Pelaksanaan atau penegakan harus adil. Hukum tidak identik dengan
keadilan.
B. PENEMUAN HUKUM (Rechtsvinding)
Dalam hal terjadi pelanggaran undang-undang, hakim harus melaksanakan
atau menegakan undang-undang. Hakim tidak dapat menangguhkan pelaksanaan atau
penegakan undang-undang yang telah dilanggar. Hakim tidak dapat dan tidak boleh
menangguhkan atau menolak menjatuhkan putusan dengan alasan karena hukumannya
tidak lengkap atau tidak jelas.
berusaha untuk menafsirkan suatu ketentuan hukum atau kaedah perundang-undangan
yang tidak ada atau kurang jelas (Pasal 22AB dan Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman).
Istilah penemuan hukum (rechtsvinding) telah lama dikenal, tetapi Paul Scholten adalah
seorang ahli hukum Belanda yang memberikan pemahaman baru dan menguraikan metode-
metode secara jelas.
Ketentuan yang dijadikan sebagai alasan/dasar hukum penemuan hukum di Indonesia
adalah:
1. Ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang - Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang menyebutkan, bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada
atau kurang jelas.
2. ⁠Pasal 28 UU No. 48 Tahun 2009 menyebutkan, bahwa hakim sebagai penegak hukum
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
3. ⁠Untuk mengisi kekosongan hukum. Untuk itu suatu perkara yang tidak ada aturannya,
hakim tetap wajib untuk memeriksa dan memutus perkara tersebut dengan menggunakan
metode analogi terhadap suatu peraturan yang mirip dengan perkara yang diperiksa.
Dengan dasar hukum di atas, maka ada tiga dasar pemikiran atau alasan untuk melakukan
penemuan hukum oleh hakim, yaitu:
1. Karena peraturannya tidak ada, tetapi essensi perkaranya sama atau mirip dengan suatu
perkara lain sehingga dapat diterapkan dalam perkara tersebut.
2. Peraturannya memang ada, tetapi kurang jelas sehingga hakim perlu menafsirkannya.
3. Peraturan juga sudah ada, tetapi sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi dan kebutuhan
warga masyarakat.

C. METODE PENEMUAN HUKUM


Metode penemuan hukum ada 2 (dua) yaitu:

1. METODE INTERPRETASI ATAU PENAFSIRAN


Macam-macam Metode Interpretasi atau Penafsiran, yaitu:
INTERPRETASI GRAMATIKAL (TATA BAHASA)
Bahasa merupakan sarana yang penting bagi hukum. Oleh karena itu, hukum terikat pada
bahasa. Penafsiran undang-undang itu pada dasarnya selalu akan merupakan penjelasan
dari segi bahasa. Titik tolak disini adalah bahasa sehari-hari. Penafsiran undang-undang
secara tata bahasa (gramatikal).
oleh pembentuk undang-undang digunakan sebagai simbol terhadap suatu peristiwa.
Misalnya:
-Artinya istilah "istimewa" mengenai surat kuasa dalam Pasal 123 ayat (1) HIR: Pihak-pihak
yang menurut kehendaknya sendiri dapat dibantu atau diwakili oleh kuasanya, kuasa mana
untuk itu harus mempunyai surat kuasa istimewa.
-Artinya istilah "dipercayakan" seperti yang tercantum dalam Pasal 432 KUHP. Sebuah paket
yang diserahkan kepada dinas perkeretaapian (PT. KA), sedangkan yang berhubungan
dengan pengiriman tidak ada lain kecuali dinas it berarti dipercayakan.
-Artinya istilah "menggelapkan" dari Pasal 41 KUHP ada kalanya ditafsirkan sebagai
menghilangkan.

B. INTERPRETASI TELEOLOGIS ATAU SOSIOLOGIS


Interpretasi teleologis adalah apabila mana undang-undang it ditetapkan berdasarkan tujuan
kemasyarakatan. Dengan interpretasi teleologis ini undang-undang yang masih berlaku
tetapi sudah usang atau sudah tidak sesuai lagi, diterapkan terhadap peristiwa, hubungan,
kebutuhan dan kepentingan masa kini, tidak peduli apakah hal ini semuanya pada waktu
diundangkannya undang-undang tersebut dikenal atau tidak.

C. INTERPRETASI SISTEMATIS
Terjadinya suatu undang-undang selalu berkaitan dan berhubungan dengan peraturan
perundang-undangan lain, dan tidak ada undang-undang yang berdiri sendiri lepas sama
sekali dari keseluruhan perundang-undangan.

D. INTERPRETASI HISTORIS
Interpretasi historis adalah menafsirkan undang-undang dengan cara melihat sejarah
terjadinya suatu undang-undang itu dibuat.
Interpretasi historis, dibagi atas 2 jenis yaitu:
1. Penafsiran menurut sejarah undang-undang Penafsiran menurut sejarah undang-undang
hendak dicari maksud ketentuan undang-undang seperti yang dilihat oleh pembentuk
undang-undang pada waktu pembentukannya.
2. Penafsiran menurut sejarah hukum
Penafsiran menurut sejarah hukum merupakan
suatu cara
penafsiran hukum dengan jalan menyelidiki dan mempelajari sejarah perkembangan segala
sesuatu yang berhubungan dengan hukum seluruhnya.
Misalnya, apabila hendak menjelaskan ketentuan dalam BW dengan meneliti sejarahnya
yang tidak terbatas sampai pada terbentuknya BW saja, tetapi masih mundur ke belakang
sampai pada hukum Romawi.
E. INTERPRETASI KOMPARATIF
Interpretasi komparatif atau penafsiran dengan jalan
membandingkan adalah penjelasan berdasarkan perbandingan hukum.
Dengan membandingkan hendak dicari kejelasan mengenai suatu ketentuan undang-
undang.
F. INTERPRETASI FUTURISTIS
Interpretasi futuristis atau metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi adalah
penjelasan ketentuan undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum.
G. INTERPRETASI RESTRIKTIF DAN EKSTENSIF
- Interpretasi restriktif adalah penjelasan atau penafsiran yang bersifat membatasi. Untuk
menjelaskan suatu ketentuan undang-undang, ruang lingkup ketentuan dibatasi.
- ⁠Interpretasi ekstensif adalah suatu penafsiran yang dilakukan dengan cara memperluas arti
kata-kata yang terdapat dalam peraturan undang-undang sehingga suatu peristiwa dapat
dimasukkan ke dalam.

2. METODE ARGUMENTASI
A. ARGUMENTASI ANALOGI/ARGUMENTUM PER ANALOGIAN
Yaitu penemuan hukum yang mencari essensi dari suatu peristiwa hukum ke peraturan yang
bersifat umum.
lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut.
Misalnya:
1. Pengertian "menyambung" aliran listrik dianggap sama dengan
"mengambil" aliran listrik.
2. Pasal 1576 BW: "Perjanjian tidak dapat memutuskan perjanjian sewa menyewa sebelum
jangka waktu sewa-menyewa itu berakhir".

B. PENYEMPITAN HUKUM (rechtsverfijning)


Yaitu mengkonkretkan suatu ketentuan dalam undang-undang yang terlalu luas
cakupannya. Kadang-kadang lagi peraturan perundang-undangan it rang lingkupnya terlalu
umum atau luas, maka perlu dipersempit untuk dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa
tertentu (penyempitan hukum/rechtsfining).

C. ARGUMENTASI A CONTRARIO (menurut pengingkaran)


Suatu cara menafsirkan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian
antara sal yang dihadapi dan soal yang diatur undang-undang.

D. TUGAS PERADILAN DAN ALIRAN-ALIRAN PRAKTIS


Dalam sejarah hukum Eropah Kontinental, apa yang menjadi tugas hakim telah melalui tiga
tahap perkembangan yaitu:
1. Menerapkan hukum, di sini tugas hakim semata-mata menerapkan hukum dalam arti
menerapkan undang-undang yang berlaku.
2. ⁠Membentuk hukum, di sini tugas hakim adalah membentuk atau menciptakan hukum.
3. Menemukan hukum, di sini tugas hakim adalah menemukan hukum dari sumber-sumber
hukum yang ada dengan menggunakan teknik penafsiran dan konstruksi.

Aliran-aliran tersebut akan diuraikan berikut ini:


1. Aliran Legisme;
Aliran legisme berkembang dan berpengaruh sampai abad ke-19.
Menurut aliran legisme hukum hanya terbentuk oleh perundang-undangan (Wetgeving).

2. Aliran Frei Rechtslehre,


Aliran Frei Rechtslehre ini (peradilan abad ke-19 sampai abad ke-20)
Menurut aliran Frei Rechtslehre hukum hanya terbentuk oleh peradilan (rechtspraak).

3. Aliran Rechtsvinding (yang dianut dewasa ini).


Aliran Legisme dan Frei Rechtslehre yang ekstrem tersebut secara tegas membedakan
hukum yang berasal dari perundang-undangan dan hukum yang berasal dari peradilan.

Adapun ajaran Rechtsvinding ini menyatakan bahwa:


a. Hukum itu terbentuk melalui beberapa cara.
b. Pertama-tama karena wetgever (pembentuk undang-undang) yang membuat aturan-
aturan umum, hakim harus menerapkan undang-undang.
c. Penerapan undang-undang tidak dapat langsung secara mekanis melainkan melalui
penafsiran (interpretasi) dan karena itu a sendiri kreatif.
d. Perundang-undangan tidak dapat lengkap sempurna.
e. Di samping oleh perundang-undangan dan peradilan, hukum juga terbentuk karena di
dalam pergaulan sosial terbentuk kebiasaan.
f. Peradilan kasasi berfungsi terutama untuk memelihara kesatuan hukum dalam
pembentukan hukum.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum itu terbentuk dari
kebiasaan, perundang-undangan dan proses peradilan.

Anda mungkin juga menyukai