Anda di halaman 1dari 6

Mohammad Belvananda Athaya Syah Putra

11000121130344
E/2021
RP Bab 8 Penemuan Hukum

Minggu Ke-10 Pertemuan Ke-20 (26/10/21)


PPT Dosen Bab 8 Penemuan Hukum
- Definisi Penemuan Hukum (Rechtsvinding)
1. Penemuan Hukum: Proses pembentukan hukum oleh hakim, atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk
penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkrit.
2. Penemuan hukum merupakan proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (Das Sollen) yang
bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (Das Sein) tertentu.
3. Penemuan Hukum dalam literatur lain disebut sebagai Pelaksanaan Hukum, Penerapan Hukum, Pembentukan
Hukum atau Penciptaan Hukum.
4. Dalam penemuan hukum, undang-undang diprioritaskan atau didahulukan dari sumber-sumber hukum lainnya.
Karena bersifat otentik dan tertulis yang lebih menjamin kepastian hukum.
5. Menurut Pandangan Klasik (Montesquieu dan Immanuel Kant): Hakim dalam menerapkan undang-undang
terhadap peristiwa hukum sesungguhnya tidak menjalankan peranannya secara mandiri. Hakim hanyalah
penyambung lidah atau corong undang-undang (la bouche de la loi), sehingga tidak dapat mengubah kekuatan
hukum undang-undang, tidak dapat menambah dan tidak dapat mengurangi. Karena menurut Montesquieu,
undang-undang adalah satu-satunya sumber Hukum Positif.
6. Tidak mudah membaca undang-undang, karena tidak hanya sekedar membaca bunyi kata-katanya saja (naar de
letter van de wet), tetapi harus pula mencari arti, makna, atau tujuannya.
7. Kecuali, apa yang dalam undang-undang berlaku sebagai hukum bagi peristiwa konkrit tertentu tidak secara
langsung dapat dilihat dengan mudah dalam undang-undang. Maka Hakim haruslah menafsirkan undang-undang
tersebut.

- Kapan Penemuan Hukum Diperlukan?


1. Untuk mengantisipasi kekosongan hukum (rechtsvacuum), biasanya di dalam peraturan perundang-undangan di
bagian paling akhir memiliki ketentuan peralihan untuk mengisi kekosongan hukum (Hukum tidak jelas mengatur).
2. Jika ternyata dalam perundang-undangan tidak ada ketentuannya, maka hakim dapat mencari di dalam hukum
kebiasaan (hukum tidak tertulis yang ada di dalam masyarakat).
3. Hukum kebiasaan timbul dalam waktu yang cukup lama, perilaku yang berulang-ulang (longa et inveterate
consuetudo), menimbulkan keyakinan umum (opnion necessitates), sampai menimbulkaan kewajiban hukum (die
normatieve kraft des faktischen, yakni kekuatan normatif dari perilaku yang diulang).
4. Ketika menerapkan UU dalam peristiwa konkrit sehingga menghasilkan putusan, maka hakim perlu melakukan
silogisme (subsumptie atau anggapan) adalah bentuk berpikir logis dengan mengambil kesimpulan dari hal yang
umum ke hal yang khusus.
5. Hal yang umum (premis mayor) yakni undang-undang, dan hal yang khusus (premis minor) yakni peristiwa atau
kasus.

- Silogisme (Subsumptie Logis atau Deduksi)


1. Premis Minor: X mencuri barang milik Y
2. Kesimpulan: X dihukum pidana penjara paling lama 5 tahun.

- Pembentukan Hukum
1. Proses merumuskan peraturan-peraturan umum yang berlaku umum. Lazimnya pembentukan hukum selain
dilakukan oleh pembentuk UU juga dimungkinkan pula oleh hakim.
2. Paul Scholten: Hakim menjalankan rechtsvinding (turut menemukan hukum).
3. Senada dengan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman (rechtsvinding): “Hakim
dan hakim konstitusi waib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat”.
4. Hakim melakukan pembentukan hukum untuk mengisi kekosongan hukum.
5. Ada beberapa aliran atau pandangan:
A. Materiil Yuridis
Berpendapat bahwa hakim secara otonom menciptakan hukum.
B. Logicistis
Berpendapat bahwa hakim dalam penemuan hukum itu heteronom (menemukan hukum hanya dari
penerapan undang-undang yang sudah ada atau tunduk kepada UU). Jadi, hakim harus menggunakan ketepatan
logika dalam menerapkan undang-undang terhadap peristiwa yang konkrit. Dalam menerapkan undang-undang,
hakim menggunakan beberapa cara penafsiran peraturan atau interpretasi hukum.

6. Putusan hakim berlaku bagi para pihak yang berperkara (bersangkutan dengan putusan tersebut).
7. Putusan dalam bagian dictum, mengikat para pihak baik secara deklaratif (mematuhi) maupun dispositive
(melaksanakan bunyi dictum).
8. Stare Decisis: Putusan hakim sebagai penetapan kaidah hukum merupakan pedoman bagi hakim lain untuk
memutus perkara yang serupa dengan yang diputus oleh putusan tersebut dikemudian hari.
9. Dalam sistem Anglo-Saxon, suatu putusan dapat mengandung pandangan yang sifatnya sepintas lalu, tidak
relevan, yang tidak secara langsung mengenai pokok perkara yang diajukan (obiter dictum), dan pandangan yang
mengenai pokok perkara secara langsung (ratio decidendi).
10. Obiter Dictum: Pertimbangan-pertimbangan mengenai peristiwa konkrit atau pertimbangan-pertimbangan
hukum yang tidak relevan sehingga tidak bersifat mengikat.
11. Ratio Decidendi: Pertimbangan secara langsung mengenai pokok perkara yang menjadi dasar dictum hukum
sehingga sifatnya mengikat.

- Penafsiran Hukum
1. Proses penjelasan yang harus menuju pada penerapan (atau tidak menerapkan) suatu peraturan hukum umum
terhadap peristiwa konkrit yang dapat diterima masyarakat. Hal ini untuk menjelaskan peraturan perundang-
undangan yg tidak jelas dan lengkap.
2. Hakim menggunakan metode penafsiran hukum yang membenarkan rumusan suatu peraturan. Selain itu juga
digunakan untuk membenarkan metode-metode konstruksi hukum.
3. Undang-undang tidak boleh ditafsirkan bertentangan dengan undang-undang itu sendiri (contra legem). Terlebih
lagi jika UU itu sudah cukup jelas.
4. In Dubio Pro Reo: Ketika hakim ragu untuk memutus, maka hakim harus memutus seringan-ringannya yang
menguntungkan bagi terdakwa untuk menghindari menghukum orang yang tidak bersalah.

- Metode-Metode Penafsiran Hukum


1. Penafsiran Tata Bahasa atau Gramatikal
Berdasarkan bunyi UU dengan pedoman pada arti kata-kata dalam hubungannya satu sama lain dalam
kalimat yg dipakai dalam UU. Titik tolak dalam penafsiran menurut bahasa adalah bahasa sehari-hari. Biasanya
digunakan kamus Bahasa atau dimintakan keterangan dari ahli Bahasa.
2. Penafsiran Sahih atau Autentik atau Resmi
Penjelasan terhadap kata-kata, istilah dan pengertian dalam peraturan perundang-undangan yang telah
ditetapkan oleh pembuat UU itu sendiri.
3. Penafsiran Historis
Meneliti sejarah atau riwayat perundang-undangan yang bersangkutan, ada pun 2 jenisnya yakni:
A. Intrepertasi Menurut Sejarah Hukum (rechst historische-interpretatie): Menyelidiki asal peraturan perundang-
undangan dari suatu sistem hukum yang dulu pernah berlaku dan sekarang tidak berlaku lagi atau asal usul
peraturan itu dari sistem hukum lain yang masih berlaku di negara lain. Contohnya KUHP kita yang berasal dari
Belanda. Ditinjau dari sistem hukumnya adalah berasal dari Code Penal Napoleon berhubung Belanda dijajah oleh
Perancis pada saat itu.
B. Interpretasi Menurut Sejarah Penetapan Suatu Ketentuan Perundang-Undangan (wet historische-interpretatie):
Sumber yang dicari dalam melakukan interpretasi ini adalah surat menyurat, pembicaraan, atau pembahasan di
dalam badan legislatif yang kesemuanya itu memberi gambaran tentang apa yang dikehendaki oleh pembentuk
UU.

4. Penafsiran Sistematis (Dogmatis)


Suatu peristiwa hukum senantiasa berkaitan dengan peristiwa lain (interdepedensi). Menafsirkan UU yang
menjadi bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan cara menghubungkan dengan UU lain.
5. Penafsiran Nasional
Menilik sesuai tidaknya dengan sistem hukum yang berlaku. Contohnya hak milik dalam KUHPer Pasal
570 harus ditafsirkan menurut hak milik sistem hukum Indonesia (Pancasila).
6. Penafsiran Teleologis (Sosiologis)
Memperhatikan tentang tujuan UU itu, mengingat kebutuhan masyarakat yang dinamis sedangkan UU
tetap. Soerjono S. menjelaskan bahwa penafsiran ini yaitu menafsirkan UU dengan menyelidiki maksud pembuatan
dan tujuan dibuatkannya UU tersebut.
7. Penafsiran Ekstensif
Memperluas arti kata-kata dalam peraturan sehingga suatu peristiwa dapat dimasukannya. Contohnya
“aliran listrik” tergolong “benda”.
8. Penafsiran Restriktif
Membatasi arti kata-kata dalam peraturan itu. Contohnya “kerugian” tidak termasuk yang “tidak berwujud”
seperti sakit, cacat, dan lainnya.
9. Penafsiran Komparatif atau Perbandingan Hukum
Membandingkan hukum yang berlaku di beberapa negara atau konvensi internasional, menyangkut masalah
tertentu yang sama, akan dicari kejelasan mengenai makna suatu ketentuan perundang-undangan. Menurut
Sudikno, metode ini penting terutama untuk hukum yang timbul karena perjanjian internasional karena dengan
pelaksanaan yang seragam akan dapat direalisir kesatuan hukum.
10. Penafsiran Antisipatif atau Futuristis
Penjelasan UU dengan berpedoman pada UU yang belum mempunyai kekuatan hukum. Dicari pemecahan
dalam peraturan-peraturan yg belum punya kekuatan berlaku yaitu dalam Rancangan Undang-Undang.

Minggu Ke-11 Pertemuan Ke-21 (01/11/21)


- Metode-Metode Konstruksi Hukum
Dilakukan ketika tidak ada hukumnya (UU) atau terjadi kekosongan hukum.
1. Argumentum per analogiam (Analogi)
A. Adalah penafsiran yang memberi ibarat (kias) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya.
B. Intinya adalah persamaan bentuk antara suatu hal yang di gunakan sebagai dasar untuk hal yang lain.
C. Dari peraturan yang ada, dianologikan untuk memenuhi kebutuhan peraturan yang baru (positif).
D. Lebih diterima pada perkara perdata (pada pidana bisa, tetapi ada sudut pandang tidak karena adanya dasar asas
legalitas).
E. Contoh Perdata
~ Pasal 1576: Bahwa jual beli tidak memutuskan sewa menyewa.
Dalam perkembangan yang terjadi banyak perkembangan yang terjadi, ketika sewa menyewa si pemilik
juga dapat berlaku curang karena telah menjual hal yang telah disewakan sebelum kontraknya habis. Di sini terjadi
kekosongan hukum tentang kecurangan ini. Untuk itu, akhirnya di analogikan antara hibah dan wasiat memiliki
persamaan dengan jual beli, berupa peralihan hak sehingga hibah dan wasiat tidak dapat diputuskan pada sewa
menyewa.
F. Contoh Pidana
~ Hakim besar Bismar Siregar (progresif & berintegritas) menangani suatu pidana, dimana ada kasus penipuan
yang dilakukan laki-laki kepada perempuan/pacarnya. Mereka berpacaran, sama-sama dewasa. Si laki-laki minta
untuk berhubungan badan dengan janji dia akan menikahi akhirnya mereka melakukan. Setelah itu, si laki-laki
meninggalkan akhirnya si perempuan melaporkan. Pasal yang didakwakan adalah pasal penipuan. Jika dengan
pandangan normatif, kasus ini tidak dapat dikenakan pidana penipuan (karena ini barang), akhirnya Pak Bismar
melakukan analogi dengan menempatkan alat kelamin wanita sebagai barang untuk memberikan keadilan kepada
si wanita. Selain mendapat banyak apresiasi, analogi ini juga sangat berbahaya karena jika kepunyaan perempuan
dianggap sebagai barang, maka hal tersebut analoginya juga dapat diperjual-belikan (menurut pegiat feminisme).

2. Argumentum a contrario (a contrario)


A. Mengambil kesimpulan dengan cara berlawanan terhadap apa yang diatur dalam UU.
B. Dari yang semulanya kosong menjadi dipastikan atau mengurangi atau mempersempit (negatif).
C. Contoh:
Dalam Pasal 43 KUH Perdata disebutkan bahwa seorang wanita tidak diperbolehkan kawin lagi sebelum
lewat waktu 300 hari sejak perceraian (waktu tunggu).
D. Lalu bagaimana jika perempuan yang cerai dalam kondisi hamil?
Dalam Pasal 39 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan disebutkan bahwa waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2)
UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah:
~ Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.
~ Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih datang bulan ditetapkan 3 kali suci
dengan sekurang-kurangnya 90 hari dan bagi yang tidak datang bulan ditetapkan 90 hari.
~ Apabila perkawinan putus dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

Berdasarkan argumentum a contrario (berlawanan), kita bisa menyimpulkan bahwa laki-laki tidak
mengikuti ketentuan ini, sedangkan wanita memiliki masa tunggu untuk menikah lagi setelah bercerai. Sebab
dalam Pasal 34 KUH Perdata, tidak menyebutkan tentang laki-laki tetapi khusus ditujukan pada perempuan.
Namun, tidak boleh menyimpang dari nilai-nilai kesusilaan.

E. Persamaan Analogi dan A Contrario:


A. Penggunaan UU sama-sama berdasarkan kontruksi hukum.
B. Kedua cara tersebut dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah.
C. Kedua cara tersebut diterapkan saat pasal dalam UU tidak menyebut masalah yang dihadapi.
D. Maksud dan Tujuan kedua cara tersebut sama-sama untuk mengisi kekosongan hukum.
F. Perbedaaan Penggunaan secara analogi dan undang-undang berdasarkan argumentum a contrario:
~ Menggunakan undang-undang secara analogi memperoleh hasil yang positif, sedangkan argumentum a contrario
memperoleh hasil negatif.
~ Menggunakan undang-undang secara analogi adalah memperluas berlakunya ketentuan hukum atau peraturan
perundang-undangan, sedangkan secara a contrario mempersempit berlakunya ketentuan undang-undang.

Minggu Ke-11 Pertemuan Ke-22 (02/11/21)


3. Rechtsverfijning (Penyempitan atau Penghalusan Hukum)
1. Rechtsverfijining (Pengkokretan Hukum, Penyempitan Hukum, atau Penghalusan Hukum), yaitu mengkokretkan
suatu ketentuan dalam UU yang abstrak atau terlalu luas cakupannya, sehingga perlu dikonkretkan oleh hakim.
2. Dalam penyempitan hukum dibentuklah pengecualian atau penyimpangan baru dari peraturan yang bersifat
umum. Peraturan yang bersifat umum diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan hukum yang khusus dengan
penjelasan atau konstruksi dengan memberi ciri-ciri.
3. Menurut tujuan hukum, hukum tidak boleh menyelesaikan suatu perkara dengan tidak adil, kadang kala hakim
tidak dapat menerapkan suatu ketentuan tertentu meskipun ketentuan itu menyebut secara jelas mengenai
penyelesaian permasalahan tersebut. Apabila ketentuan tersebut diterapkan hakim maka perkara itu tidak dapat
selesai secara adil dan tidak sesuai dengan realita sosial, dalam hal ini positivitas dengan realitas sosial sangat
berbeda. Maka dari itu, hakim terpaksa mengeluarkan perkara yang bersangkutan dari ketentuan itu, dan
menyelesaikan menurut suatu norma yang dibuatnya sendiri. Tindakan ini disebut dengan Penghalusan Hukum
4. Contoh:
Ketentuan pasal 1365 “perbuatan melawan hukum”. Di artikan perbuatan yang bertentangan dengan
undang-undang (hal ini dianggap masih abstrak, tidak sesuai dengan realitas sosial yang kompleks).
5. Contoh Kasus:
Kasus kohen vs linden baw (perusahaan besar dibidang percetakan di Belanda)
Sewaktu-waktu perusahaan kohen membujuk karyawan linden baw untuk membocorkan data tentang
pelanggannya Linden Baw. Si karyawan mau memberikan, lalu kohen berupaya memberi tawaran baru kepada
pelanggan Linden Baw dengan harga yang lebih murah agar pelanggan berpindah ke Kohen. Lalu, Linden Baw
mengetahuinya dan menggugat di pengadilan tingkat 1 hingga kemudian yang menjadi putusan bisa kita terima
hingga saat ini atau doktrin kita bisa melihat putusan MA yang memenangkan Kohen karena perbuatan melawan
hukum hanya menyatakan perbuatan yang melawan UU, karena perbuatan Kohen tidak bertentangan dengan UU,
sehingga tidak dapat dikatakan bersalah, akhirnya diadakan penghalusan hukum oleh MA Belanda karena UU
tersebut masih terlalu abstrak, perbuatan melawan hukum itu melanggar hal yang bertentangan dengan UU,
bertentangan dengan subjek hukum yang berlaku pada masyarakat, dan melihat tentang kepatutan nilai-nilai,
sehingga MA Belanda memenangkan Linden Baw.

Anda mungkin juga menyukai