Anda di halaman 1dari 9

PEMBENTUKAN DAN PENGISIAN

KEKOSONGAN HUKUM
Inisiasi Tuton Ke-6
PIH/PTHI
Program Studi Hukum
Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Penulis: Dr. Uu Nurul Huda, S.H., M.H.


E-mail : uunurulhuda@gmail.com
Penelaah : Megafury Apriandhini, S.H., M.H.
E-mail :megafury@ecampus.ut.ac.id
Mengisi Kekosongan Hukum
• Definisi Kekosongan Hukum
Untuk memahami tentang kekosongan hukum dimulai dari memahami kata hukum dan kekosongan, karena
belum ada definisi yang baku mengenai kekosongan hukum (rechtsvacuum).
• Definisi Hukum atau recht (Belanda)
Dalam Kamus Hukum, hukum berarti recht (Belanda) yang artinya undang-undang atau hukum. Grotius
mendefinisikan hukum adalah peraturan tentang perbuatan moral yang menjamin keadilan (dalam bukunya De
Jure Belli ac Pacis). Van Vollenhoven mendefiniskan hukum adalah suatu gejala dalam pergaulan hidup yang
bergejolak terus menerus dalam keadaan bentur dan membentur tanpa henti-hentinya dengan gejalagejala
lainnya (dalam bukunya Het Adatrecht van Nederlance Indie)”. Surojo Wignjodipuro, hukum yaitu Hukum
adalah himpunan peraturan-peraturan hidup yang besifat memaksa, berisikan suatu perintah, larangan atau izin
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu serta dengan maksud untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan
masyarakat”. Yang dimaksud “peraturan-peraturan hidup” adalah peraturan-peraturan yang tertulis dalam
peraturan perundangundangan maupun yang tidak tertulis/adat atau kebiasaan (dalam bukunya “Pengantar
Ilmu Hukum”.
• Kekosongan atau vacuum (Belanda)
Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia (cetakan kedua, 1989), “Kekosongan adalah perihal (keadaan, sifat, dan
sebagainya) kosong atau kehampaan”, yang dalam Kamus Hukum diartikan dengan Vacuum yang diterjemahkan atau
diartikan sama dengan “kosong atau lowong”.  Dalam arti sempit kekosongan hukum adalah suatu keadaan kosong atau
ketiadaan peraturan perundang-undangan (hukum) yang mengatur tata tertib (tertentu) dalam masyarakat. Berdasarkan
pengertian tersebut, kekosongan hukum dalam Hukum Positif lebih tepat dikatakan sebagai “kekosongan undang-
undang/peraturan perundang-undangan”.
• Mengapa Terjadi Kekosongan Hukum?
1. Lamanya penyusunan peraturan perundang-undangan baik oleh Legislatif maupun Eksekutif, sehingga pada saat
peraturan perundang-undangan itu dinyatakan berlaku maka hal-hal atau keadaan yang hendak diatur oleh peraturan
tersebut sudah berubah.
2. hal-hal atau keadaan yang terjadi belum diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan, atau sekalipun telah diatur
dalam suatu peraturan perundang-undangan namun tidak jelas atau bahkan tidak lengkap.
• Dengan demikian, bahwa peraturan perundang-undangan (hukum positif) yang berlaku pada suatu negara dalam suatu
waktu tertentu merupakan suatu sistem yang formal, yang tentunya agak sulit untuk mengubah atau mencabutnya
walaupun sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat yang harus diatur oleh peraturan perundang-
undangan tersebut.
• Akibat apa yang timbul dari Kekosongan Hukum?
Akibat yang ditimbulkan dengan adanya kekosongan hukum tentunya dapat menimbulkan hal-hal atau keadaan
yang melahirkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) atau ketidakpastian peraturan perundang-undangan
di masyarakat, yang lebih jauh lagi akan berakibat pada kekacauan hukum (rechtsverwarring). Dalam kondisi
demikian, selama tidak diatur berarti boleh, selama belum ada tata cara yang jelas dan diatur berarti bukan tidak
boleh. Hal inilah yang menyebabkan kekacauan dalam masyarakat mengenai aturan apa yang harus dipakai atau
diterapkan.

• Bagaimana solusi apabila terjadi kekosongan hukum?


Solusi apabila terjadi kekosongan hukum adalah dengan rechtsvinding (penemuan hukum oleh hakim).
Rechtsvinding dilakukan melalui konstruksi hukum dan interpretasi atau penafsiran hukum. konstruksi hukum,
dapat digunakan hakim sebagai metode penemuan hukum apabila dalam mengadili perkara tidak ada peraturan
yang mengatur secara khusus mengenai peristiwa yang terjadi. SedangkanInterpretasi atau penafsiran
merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang tidak jelas mengenai teks
undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Dengan
demikian, Rechtsvinding diartikan sebagai sebuah proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas hukum
lainnya terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit atau merupakan upaya konkretisasi peraturan hukum
yang bersifat umum dan abstrak berdasarkan peristiwa yang real terjadi agar terwujud tujuan hukum, yakni
mencapai kepastian dan keadilan hukum.
Konstruksi Hukum
Konstruksi hukum dapat dilakukan apabila suatu perkara yang dimajukan kepada hakim, tetapi tidak ada ketentuan
yang dapat dijalankan untuk menyelesaikan perkara tersebut, meskipun telah dilakukan penafsiran hukum. Di
samping itu, konstruksi hukum dapat dilakukan pada hukum tidak tertulis (adat), apabila setelah dicari dalam
hukum kebiasaan atau hukum adat, namun tidak ada hukum adat yang dapat membawa penyelesaian terhadap kasus
tersebut. Melalui konstruksi hukum, hakim dapat melakukan pengertian hukum berdasarkan pendapatnya.
Konstruksi Hukum dapat dilakukan melalui:
1. Konstruksi Analogi (argumentum per analogiam)
Analogi adalah proses konstruksi yang dilakukan dengan cara mencari rasio ledis (genus) dari suatu undang-
undang dan kemudian menerapkannya kepada hal-hal lain yang sebenarnya tidak diatur oleh undang-undang
itu.
Konstruksi Analogi hanya dapat dilakukan dalam kasus-kasus hukum perdata. Sementara, dalam hukum pidana
tidak mengenal analogy, karena bertentangan dengan asas pokok hukum pidana yaitu nullum crimen sine lege
(tiada pidana tanpa ketentuan perundang-undangan yang menetapkannya terlebih dahulu). Jika menggunakan
konstruksi analogi dalam hokum pidana, maka akan menciptakan delik baru.
2. Konstruksi Penghalusan Hukum (rechtsverfijning)
Penghalusan hukum dilakukan apabila penerapan hukum tertulis sebagaimana adanya akan mengakibatkan
ketidakadilan yang sangat sehingga ketentuan hukum tertulis itu sebaiknya tidak diterapkan atau diterapkan
secara lain apabila hendak dicapai keadilan. Jenis konstruksi ini sebenarnya merupakan bentuk kebalikan dari
konstruksi analogi, sebab bila di satu pihak analogi memperluas lingkup berlaku suatu peraturan perundang-
undangan, maka di lain pihak Penghalusan Hukum justru mempersempit lingkup berlaku suatu peraturan
perundang-undangan (bersifat restriktif).
3. Argumentum a Contrario
Dalam keadaan ini, hakim akan memberlakukan peraturan perundang-undangan yang ada seperti pada kegiatan
analogi, yaitu menerapkan suatu peraturan pada perkara yang sebenarnya tidak dimaksudkan untuk diselesaikan
oleh peraturan itu. Perbedaannya adalah dalam analogi hakim akan menghasilkan suatu kesimpulan yang
positif, dalam arti bahwa ia menerapkan suatu aturan pada masalah yang sedang dihadapinya. Sedangkan pada
konstruksi Argumentum a Contrario hakim sampai pada kesimpulan yang negatif, artinya ia justru tidak
mungkin menerapkan aturan tertentu dalam perkara yang sedang dihadapinya.
Interpretasi atau Penafsiran Hukum

• Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi
penjelasan yang tidak jelas mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat
ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Interpretasi atau penafsiran hukum dapat
dilakukan terhadap suatu peraturan perundang-undangan yang dianggap tidak lengkap atau
tidak jelas, agar seorang ahli hukum tidak bertindak sewenang-wenang.
• J.H.A. Logemann berpendapat bahwa dalam melakukan penafsiran hukum, seorang ahli
hukum diwajibkan untuk mencari maksud dan kehendak pembuat undang-undang
sedemikian rupa sehingga menyimpang dari apa yang dikehendaki oleh pembuat undang-
undang itu.
• Dalam usaha mencari dan menentukan kehendak pembuat undang-undang itulah maka
dalam ilmu hukum dikembangkan beberapa metoda atau cara menafsirkan peraturan
perundang-undangan yang dapat digunakan seorang ahli hukum.
Metode-metode Interpretasi atau Penafsiran Hukum:
1. Penafsiran Gramatikal (taatkundige interpretatie), yaitu penafsiran yang dilakukan terhadap peristilahan atau kata-kata
tata kalimat didalam suatu konteks bahasa yang digunakan pembuat undang-undang dalam merumuskan peratura
perundang-undangan tertentu.
2. Penafsiran Sejarah (historische interpretatie), yaitu penafsiran yang dilakukan terhadap isi suatu peraturan perundang
undangan dengan meninjau latar belakang sejarah dari pembentukan atau terjadinya peraturan undang-undang yan
bersangkutan.
3. Penafsiran Sistematis (systematische interpretatie), yaitu penafsiran terhadap satu atau lebih peraturan perundang
undangan, dengan cara menyelidiki suatu sistem tertentu yang terdapat didalam suatu tata hukum, dalam rangk
penemuan asas-asas hukum umum yang dapat diterapkan dalam suatu masalah hukum tertentu.
4. Penafsiran sosiologis (teleologis), sejalan dengan pandangan L.J.van Apeldoorn, maka salah satu tugas utama seoran
ahli hukum adalah menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan hal-hal konkrit yang ada di dalam
masyarakat.
5. Penafsiran otentik, yaitu penafsiran terhadap kata, istilah atau pengertian didalam peraturan perundang-undangan yan
telah ditetapkan sebelumnya oleh pembuat undang-undang sendiri.
SEKIAN
DAN
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai