Anda di halaman 1dari 11

KEKOSONGAN DALAM DINAMIKA HUKUM DI INDONESIA

Nama Penulis

ABSTRAK
Penegakan hukum adalah sebuah proses dilakukannya upaya untuk mengurangi
tingkat kejahatan dengan menerapkan aturan tertentu kepada orang yang
perbuatannya memenuhi syarat – syarat tertentu untuk dijatuhi hukuman. Norma
hukum dalam masyarakat dianggap sebagai peraturan hidup yang bersifat
memaksa dan mempunyai sanksi yang tegas. Tipe penelitian hukum yang
dilakukan adalah yuridis normatif dimana penelitian ini menekankan pada
pengkajian dan penelusuran bahan hukum sebagai akibat dan adanya kekaburan
maupun kekosongan hukum. Berdasarkan hal-hal tersebut maka langkah utama
dalam upaya untuk mengatasai kekosongan hukum yang ada dalam dinamika
perkembangan masyarakat seperti yang sudah disebutkan yaitu diperlukannya
kebijakan serta prakarsa dari Badan Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan
yang berdasarkan Pasal 20 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Dewan Perwakilan
Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang” dan “Setiap
rancangan Undang-Undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden
untuk mendapat persetujuan bersama”.

Kata Kunci : Hukum, Kebijakan, Kekosongan

ABSTRACT
Law enforcement is a process of making efforts to reduce crime rates by
applying certain rules to people whose actions meet certain conditions to be
sentenced. Legal norms in society are considered as coercive living
regulations and have strict sanctions. The type of legal research being carried
out is normative juridical where this research emphasizes the study and
tracing of legal materials as a result of the existence of legal ambiguity and
vacuum. Based on these matters, the main step in efforts to overcome the
legal vacuum that exists in the dynamics of community development as
already mentioned is the need for policies and initiatives from the Legislative
Forming Body based on Article 20 paragraphs (1) and (2) of the Law The
1945 Constitution of the Republic of Indonesia which states that "The House
of Representatives holds the power to form laws" and "Every draft law is
discussed by the House of Representatives and the President for mutual
approval".

Keywords: Law, Policy, Vacancy


PENDAHULUAN
Penegakan hukum adalah sebuah proses dilakukannya upaya untuk
mengurangi tingkat kejahatan dengan menerapkan aturan tertentu kepada orang
yang perbuatannya memenuhi syarat – syarat tertentu untuk dijatuhi hukuman.
Norma hukum dalam masyarakat dianggap sebagai peraturan hidup yang bersifat
memaksa dan mempunyai sanksi yang tegas1 . Peraturan yang timbul dari norma
hukum dibuat oleh penguasa negara. Isinya mengikat setiap orang dan
pelaksanaanya dapat dipertahankan dengan segala paksaaan oleh alat – alat
negara. Maka untuk itulah dalam mengatur hubungan - hubungan hukum pada
masyarakat, diadakan suatu kodifikasi hukum yang mempunyai tujuan luhur yaitu
menciptakan kepastian hukum dan mempertahankan nilai keadilan dari subtansi
hukum tersebut.
Sekalipun telah terkodifikasi, hukum tidaklah dapat bersifat statis karena
hukum harus terus menyesuaikan diri dengan masyarakat, apalagi yang berkaitan
dengan hukum publik karena bersentuhan langsung dengan hajat hidup orang
banyak dan berlaku secara umum2. Hal ini bertujuan untuk terciptanya sebuah
masyarakat ideal yang mematuhi hukum. Namun masyarakat yang seperti ini
belum bisa diwujudkan dikarenakan meningkatnya kualitas dan kuantitas
kejahatan yang membuat sebuah negara menjatuhkan hukuman yang bengis
sekaligus dapat membuat pelaku jera. Pidana merupakan salah satu hukuman yang
dapat dijatuhkan kepada pelaku yang tingkat kejahatannya sudah tidak dapat di
toleransi lagi. Masyarakat Indonesia dalam mematuhi peraturan – peraturan yang
berlaku, masih terbilang minim untuk ditaati. Sehingga dalam hal ini bergeraklah
sistem pidana untuk menegakkanya.
Penegakan dan penerapan hukum khususnya di Indonesia seringkali
menghadapi kendala berkaitan dengan perkembangan masyarakat. Berbagai kasus
yang telah terjadi menggambarkan sulitnya penegak hukum atau aparat hukum
mencari cara agar hukum dapat sejalan dengan norma masyarakat yang ada.
Namun perkembangan masyarakat lebih cepat dari perkembangan aturan
perundang-undangan, sehingga perkembangan dalam masyarakat tersebut menjadi
1
Yulies Tiena Masriani, 2004, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, Hal 5
2
Yulies Tiena Masriani, Op.cit, Hal 8
titik tolak dari keberadaan suatu peraturan. Dalam kehidupan bermasyarakat
memang diperlukan suatu sistem hukum untuk menciptakan kehidupan
masyarakat yang harmonis dan teratur. Kenyataannya hukum atau peraturan
perundang-undangan yang dibuat tidak mencakup seluruh perkara yang timbul
dalam masyarakat sehingga menyulitkan penegak hukum untuk menyelesaikan
perkara tersebut.
Asas legalitas yang kerap dianggap sebagai asas yang memberikan suatu
kepastian hukum dihadapkan oleh realita bahwa rasa keadilan masyarakat tidak
dapat dipenuhi oleh asas ini karena masyarakat yang terus berkembang seiring
kemajuan teknologi. Perubahan cepat yang terjadi tersebut menjadi masalah
berkaitan dengan hal yang tidak atau belum diatur dalam suatu peraturan
perundang-undangan, karena tidak mungkin suatu peraturan perundang-undangan
dapat mengatur segala kehidupan manusia secara tuntas sehingga adakalanya
suatu peraturan perundang-undangan tidak jelas atau bahkan tidak lengkap yang
berakibat adanya kekosongan hukum di masyarakat.

METODE PENELITIAN
Tipe penelitian hukum yang dilakukan adalah yuridis normatif dimana
penelitian ini menekankan pada pengkajian dan penelusuran bahan hukum sebagai
akibat dan adanya kekaburan maupun kekosongan hukum3 . Penulis memilih tipe
penelitian yuridis normatif dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian
hanya terdapat dalam peraturan-peraturan perundang- undangan mengenai tindak
pidana korupsi, dan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hukum
acara pidana serta peraturan yang mengatur tentang kewenangan penyidik dalam
melakukan kordinasi dengan BPK dan BPKP selaku auditor audit investigasi.
Namun demikian penelitian ini tidak hanya terbatas pada peraturan perundang-
undangan saja, tetapi juga doktrin- doktrin hukum yang mengatur mengenai
tindak pidana korupsi, hukum acara pidana, dan audit investigasi.
Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan kali ini adalah yuridis
normatif maka pendekatan yang digunakan adalah: Pendekatan perundang-

3
1 Ibrahim, Jhonny, Prof, SH. 2009. Teknik Penulisan Hukum Normatif. Jakarta Bayumedia. Hlm 40
undangan (statue approach). Pendekatan tersebut melakukan pengkajian
perundang-undangan yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi, hukum
acara pidana, dan audit investigasi. Pendekatan perundang-undangan memiliki
sifat Comprehensive artinya norma-norma hukum yang berkaitan dengan hukum
acara pidana, tindak pidana korupsi dan audit investigasi yang ada di dalamnya
terkait antara satu dengan lain secara logis, Allinclusive yang artinya bahwa
kumpulan norma hukum tersebut cukup menampung permasalahan hukum yang
ada, sehingga tidak akan ada kekurangan hukum, Systematic bahwa disamping
bertautan antara satu dengan yang lain, norma-norma hukum tersebut juga
tersusun secara hierarkis4.

PEMBAHASAN
Tidak ada pengertian atau definisi yang baku mengenai kekosongan
hukum (rechts vacuum), namun secara harafiah dapat diartikan sebagai berikut :
1. Hukum atau recht (Bld)
Menurut Kamus Hukum, recht (Bld) secara obyektif berarti undang-undang atau
hukum. Grotius dalam bukunya “De Jure Belli ac Pacis (1625)” menyatakan
bahwa “hukum adalah peraturan tentang perbuatan moral yang menjamin
keadilan”. Sedangkan Van Vollenhoven dalam “Het Adatrecht van Ned. Indie”
mengungkapkan bahwa “hukum adalah suatu gejala dalam pergaulan hidup yang
bergejolak terus menerus dalam keadaan bentur dan membentur tanpa henti-
hentinya dengan gejala-gejala lainnya”. Surojo Wignjodipuro, SH dalam
“Pengantar Ilmu Hukum” memberikan pengertian mengenaihukum yaitu “Hukum
adalah himpunan peraturan-peraturan hidup yang besifat memaksa, berisikan
suatu perintah, larangan atau izin untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu serta
dengan maksud untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat”. Dengan
peraturan-peraturan hidup disini dimaksudkan baik peraturan-peraturan yang
tertulis dalam peraturan perundang-undangan maupun yang tidak tertulis (adat
atau kebiasaan).
2. Kekosongan atau vacuum (Bld)

4
Ibid. hlm 45
Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI) cetakan kedua tahun 1989,
“Kekosongan adalah perihal (keadaan, sifat, dan sebagainya) kosong atau
kehampaan”, yang dalam Kamus Hukumdiartikan dengan Vacuum (Bld) yang
diterjemahkan atau diartikan sama dengan “kosong ataulowong”. Dari penjelasan
diatas maka secara sempit “kekosongan hukum” dapat diartikansebagai “suatu
keadaan kosong atau ketiadaan peraturan perundang-undangan (hukum) yang
mengatur tata tertib (tertentu) dalam masyarakat”, sehingga kekosongan hukum
dalam Hukum Positif lebih tepat dikatakan sebagai “kekosongan undang-
undang/peraturan perundang-undangan”.
“Negara Indonesia merupakan Negara hukum”, sebagaimana yang
dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Maka dari itu dalam kehidupan bermasyarakat diperlukan
suatu sistem/aturan/hukum untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang
harmonis dan teratur. Sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa dan berdasar
pada amanah Undang-Undang ditempatkanlah Pancasila sebagai sumber dari
segala sumber hukum di Indonesia seperti yang tertuang dalam Pasal 2 Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Namun dalam kenyataannya hukum atau peraturan perundang-
undangan yang dibuat tidak mencakup seluruh perkara/keadaan yang timbul
dalam dinamika masyarakat suatu negara sehingga kadang kala menyulitkan para
penegak hukum untuk menyelesaikan hal tersebut. Dalam hal ini perkembangan
masyarakat yang lebih cepat daripada perkembangan peraturan perundang-
undangan menjadi masalah berkaitan dengan hal-hal yang belum atau tidak diatur
dalam Peraturan Perundang-Undangan, karena berdasarkan pernyataan tersebut
bisa diambil suatu konklusi bahwa tidak mungkin suatu peraturan perundang-
undangan dapat mengatur segala kehidupan manusia secara tuntas sehingga
memungkinkan terjadinya keadaan dimana aturan yang ada di suatu Negara
dianggap tidak lengkap dan tidak menjamin kepastian hukum warganya yang
berakibat adanya kekosongan hukum (rechtsvacuum) di masyarakat.
Seringkali ditemukan juga ketidak konsistensian Lembaga Eksekutif
(Pemerintah) atau badan lain dalam rangka melaksanakan Undang-Undang dalam
upaya menjamin kepastian hukum masyarakat, hal ini bisa kita temui dalam hal
adanya amanah suatu Peraturan Perundang-Undangan yang mengharuskan
diterbitkannya peraturan pelaksana namun pada kenyataannya aturan pelaksanaan
tersebut yang pada dasaranya merupakan suatu kumpulan pedoman untuk menjadi
dasar menjalankan lebih lanjut isi suatu Peraturan Perundang-Undangan yang
lebih tinggi tidak pernah ada / dibuat. Maka dari itu diperlukan sinergisitas serta
kesadaran lebih (awareness) dengan menghilangkan ego sektor terkait dengan
tugas dan tanggung jawab selaku penyelenggara negara antara para pihak
pembentuk peraturan dan peran serta aktif masyarakat, seperti yang tertuang
dalam Pasal 96 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 terkait dengan “Partisipasi
Masyarakat” dalam pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sesuai dengan
semangat perkembangan dunia dewasa ini yang mengedepankan transparansi
antara pemerintah dengan rakyatnya yang tetap mengacu pada koridor hukum
sesuai ideologi bangsa.
Hal lain yang kerap terjadi dalam fenomena berlakunya hukum jika
disandingkan dengan perkembangan dinamika masyarakat terkait kekosongan
hukum tidak hanya berhubungan langsung dengan Badan Pembentuk Peraturan
Perundang-Undangan namun dapat juga berhubungan dengan Badan Peradilan itu
sendiri. Yang pada hakikatnya Badan Peradilan merupakan bentuk penjabaran
lebih lanjut mengenai Kekuasaan Kehakiman sebagaimana yang tercantum dalam
Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sehingga dalam hal ini lebih dititikberatkan pada integritas serta profesionalitas
aparat penegak hukum khususnya dalam Badan Peradilan untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia sesuai dengan yang
tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
Kemudian permasalahan kekosongan hukum lain yang berkaitan erat
dengan Badan Peradilan apabila telah terjadi kekosongan hukum dalam
masyarakat yakni akan timbul adanya perbuatan/hal baru yang menyimpang
namun belum dikategorikan sebagai suatu tindak pidana, apa bisa dikategorikan
perbuatan tersebut sebagai suatu tindakan kriminal. Untuk menjawab hal tersebut
perlu dikaitkan dengan sistem peradilan hukum Indonesia, sistem peradilan
hukum di Indonesia yang tidak menganut aliran freie rechtslehre (hakim bebas
melakukan sesuatu / menciptakan hukum) dan aliran legisme (hakim selaku
pelaksana pelaksana Undang-Undang belaka), tetapi menganut aliran
rechtsvinding yang merupakan perpaduan antara aliran freie rechtslehre dengan
aliran legisme (hakim terikat pada Undang-Undang, tetapi mempunyai kebebasan
untuk menciptakan hukum/kebebasan yang terikat/keterikatan yang bebas). Oleh
karena itu meskipun terjadi kekosongan hukum hakim harus lah berperan untuk
melakukan penemuan hukum (rechtsvinding).
Penemuan hukum dapat dimaknai sebagai sebuah proses untuk
menemukan hukum RechtsVinding Online yang konkret terhadap gejala/peristiwa
hukum yang konkret yang nantinya akan dibentuk oleh hakim atau petugas hukum
terkait berdasarkan perkembangan yang ada di masyarakat. Dengan kata lain, ada
kalanya hakim dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab profesi harus
menyesuaikan Peraturan Perundang-Undangan dengan hal-hal nyata oleh karena
peraturanperaturan yang ada tidak dapat mencakup segala peristiwa yang timbul
dalam masyarakat. Sehingga dapat diberikan keputusan yang sungguh-sungguh
adil dan sesuai dengan maksud hukum, yakni untuk mencapai kepastian hukum.
Berdasarkan Pasal 22 A.B. (Algemene Bepalingen) dinyatakan bahwa
“Hakim yang menolak mengadili dengan alasan UndangUndangnya bungkam,
tidak jelas atau tidak lengkap, dapat dituntut karena menolak mengadili”. Selain
itu disebutkan pula dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman “Pengadilan dilarang menolak untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya”. Sehingga jika mengacu pada Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tersebut secara tidak langsung memberikan ruang seluas-
luasnya kepada hakim untuk tetap memeriksa perkara meski belum diatur dalam
Undang-Undang dengan ketentuan hakim tersebut harus mampu berperan sebagai
penemu hukum yang belum ada agar tetap sejalan dengan prinsip/asas legalitas
yang masih dianut dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Karena jika kita
mengacu pada amanah Undang-Undang sangat tegas dikatakan bahwa Kekuasaan
Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, independent dan bebas dalam
intervensi manapun, merdeka dapat diartikan bahwa hakim diberikan kewenangan
yang sangat luas oleh Undang-Undang untuk menjalankan peradilan dan
mengadilinya termasuk jika diperlukan melakukan inovasi dengan cara penemuan
dan pembentukan hukum baru dengan tetap menegakan serta menerapkan hukum
dan keadilan yang berdasarkan Pancasila. Namun perlu diingat walaupun hakim
mempunyai peran untuk penemuan dan pembentukan hukum, kedudukan hakim
bukanlah sebagai pemegang kekuasaan legislatif ataupun eksekutif seperti halnya
Badan Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan. Keputusan hakim tidak
mempunyai kekuatan hukum yang berlaku seperti peraturan umum. Keputusan
hakim hanya berlaku terhadap pihak-pihak yang bersangkutan. Hal ini
sebagaimana ditegaskan dalam pasal 1917 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
bahwa “Kekuasaan keputusan kehakiman hanya berlaku tentang hal-hal yang
diputuskan dalam keputusan itu”.
Dalam hal ini berarti kebijakan serta prakarsa dari Badan Pembentuk
Peraturan Perundang-Undangan memegang peranan yang sangat penting dalam
menciptakan atau membentuk suatu Peraturan Perundang-Undangan baik
mengatur hal-hal atau keadaan yang tidak diatur sebelumnya maupun perubahan
atau penyempurnaan dari Peraturan Perundang-Undangan yang telah ada namun
tidak sesuai dengan dinamika perkembangan dalam masyarakat. Selain itu
diperlukan juga peran serta masyarakat dalam Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan agar terciptanya kestabilan, keteraturan dan keharmonisan hukum
nasional. Yang tidak kalah pentingnya harus ada integritas serta sikap
profesionalitas dari Badan Peradilan untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
RechtsVinding Online Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Karena
pada hakekatnya keadilan sebagaimana yang tercantum dalam sila ke 5 Pancasila
tidak hanya sebatas adil/penyamarataan terhadap seluruh rakyat namun lebih
mengacu pada kemampuan menjalankan hak dan kewajiban secara seimbang baik
dalam pemenuhan kebutuhan terhadap setiap orang sesuai hak masing-masing
serta kekuasaan hukum yang menjamin dan mampu/wajib memberi konsekuensi
sanksi terhadap seluruh para pelanggar hukum sesuai dengan tingkat kesalahan
dalam masyarakat.
Berdasarkan hal-hal tersebut maka langkah utama dalam upaya untuk
mengatasai kekosongan hukum yang ada dalam dinamika perkembangan
masyarakat seperti yang sudah disebutkan yaitu diperlukannya kebijakan serta
prakarsa dari Badan Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan yang
berdasarkan Pasal 20 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat
memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang” dan “Setiap rancangan
Undang-Undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama”. Pasal 5 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menegaskan pula bahwa “Presiden berhak mengajukan
Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat” dan “Presiden
menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang
sebagaimana mestinya”. Dalam hal ini berarti kebijakan serta prakarsa dari Badan
Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan memegang peranan yang sangat
penting dalam menciptakan atau membentuk suatu Peraturan Perundang-
Undangan baik mengatur hal-hal atau keadaan yang tidak diatur sebelumnya
maupun perubahan atau penyempurnaan dari Peraturan Perundang-Undangan
yang telah ada namun tidak sesuai dengan dinamika perkembangan dalam
masyarakat.

KESIMPULAN
Adanya kekosongan hukum mengenai tindakan Jaksa dalam melaksanakan
Putusan Pengadilan mengenai hal pengembalian barang bukti kepada pemiliknya
namun pemilik tidak diketahui identitas lengkap sehingga menyulitkan Penuntut
Umum mengembalikan serta bagaimana status barang bukti tersebut apabila
keadaannya demikian. Akibat yang ditimbulkan dengan adanya kekosongan
hukum, terhadap hal-hal atau keadaan yang tidak atau belum diatur itu dapat
terjadi ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) atau ketidakpastian peraturan
perundang-undangan di dalam Penegakan Hukum yang lebih jauh lagi akan
berakibat pada kekacauan hukum (rechtsverwarring), dalam arti bahwa selama
tidak diatur berarti boleh, selama belum ada tata cara yang jelas dan diatur berarti
bukan tidak boleh. Hal inilah yang menyebabkan kebingungan (kekacauan) dalam
Penegak Hukum (Penuntut Umum) mengenai aturan apa yang harus dipakai atau
diterapkan.
Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya bahwa perkembangan masyarakat
selalu lebih cepat dari perkembangan peraturan perundang-undangan. Peraturan
perundang-undangan sebenarnya dibuat sebagai panduan bersikap tindak
masyarakat yang dapat menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh.
Oleh karenanya, dalam upaya mengatasi kekosongan hukum di masyarakat sangat
diperlukan kebijakan atau prakarsa dari Badan Pembentuk Perundang-undangan,
yang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD 1945 yang telah diamandemen) Pasal 20 ayat (1) dan (2) menyatakan
bahwa “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang” dan “setiap
rancangan undang undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat
persetujuan bersama”. Pasal 5 UUD Negara RI Tahun 1945 menegaskan pula
bahwa “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR”
dan “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan
undangundang sebagaimana mestinya”.
Dalam hal ini berarti prakarsa atau kebijakan (political will) dari DPR dan
Pemerintah (Presiden) memegang peranan yang sangat penting dalam
menciptakan atau membentuk suatu undang-undang (lebih luas peraturan
perundang-undangan) baik mengatur hal-hal atau keadaan yang tidak diatur
sebelumnya maupun perubahan atau penyempurnaan dari peraturan perundang-
undangan yang telah ada namun sudah tidak sesuai dengan perkembangan di
masyarakat dan sistem penegakan hukum. Lebih lanjut dalam upaya mengatasi
kekosongan hukum maka dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa “Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan
yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan,
perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan”.
Kemudian dalam Pasal 15 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004 ditegaskan bahwa
“Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam suatu Program
Legislasi Nasional (Prolegnas)”. Prolegnas itu sendiri menurut Pasal 1 angka 9
adalah “instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang
disusun secara berencana, terpadu dan sistematis”. Prolegnas menjadi salah satu
dari mekanisme program legislasi.

DAFTAR PUSTAKA
Agustine, Dwi. “Pembaruan Sistem Hukum Acara Perdata,”
rechtsvinding.bphn.go.id, last modifed 2017, diakses Februari 8, 2020,
https://rechtsvinding.bphn.go.id/view/view_online.php?id=236.
Ariani, Nevey Varida. “Gugatan Sederhana Dalam Sistem Peradilan di
Indonesia.” Jurnal Penelitian Hukum De Jure 18, No.3, (2018): 381-396.
Askin, Zainal. Hukum Acara Perdata di Indonesia. Jakarta: Prenadamedia Grup,
2018.
Hakim, Faisal Luqman, “Simplifikasi Prosedur dengan Pemanfaatan Teknologi
dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdata”, Jurnal Hukum
Acara Perdata (Adhaper) 5, no.1 (2019): 1-17.

Anda mungkin juga menyukai