OLEH :
Hukum mengatur hubungan anggota masyarakat antara seseorang dengan yang lainnya,
begitupula hubungan antara anggota itu dengan masyarakat. Hubungan itu beraneka macam
dalam masyarakat, dalam masyarakat terdapat hubungan antara orang yang satu dengan yang
lainnya sebagai masyarakat, antara orang dengan golongannya, antara orang dengan
keluarganya, antara orang dengan agamanya, orang dengan lingkungannya, orang dengan
organisasinya dan bermacam - macam perjanjian yang diadakan dalam perniagaan dan lain –
lainnya. Aturan-aturan yang terdapat dalam masyarakat itu adalah apa yang selama ini di sebut
sebagai Hukum. Hukum sebagai gejala masyarakat, gejala sosial. Agar ada hukum maka harus
adanya masyarakat Dalam bahasa yunani ibi socciates ibi iyus (dimana ada masyarakat disitu
ada hukum). Sistem hukum berlaku dalam masyarakat karena disahkan oleh pemerintahan
masyarakat itu. Sistem hukum yang sah dan berlaku di suatu waktu tertentu dan di Negara
tertentu dinamakan hukum positif "Lius Costitunum". Sistem hukum dapat berkembang sesuai
dengan kebutuhan masyarakat yang senantiasa berkembang. Hukum di tengah-tengah
masyarakat memiliki peranan yang sangat strategis meliputi pergaulan hidup antar warga
masyarakat, hubungan antara negara dengan warganya, hubungan antara negara dengan negara
dan warga dunia. Keberadaan hukum sebagai social control, a tool of social engineering, alat
politik, sarana integrasi social.
Hukum sebagai social control berarti bahwa keberadaan hukum di tengah kehidupan
masyarakat memiliki peran membatasi tingkah laku manusia beserta akibat yang akan diterima
jika terjadi perbuatan yang tidak sesuai dengan pembatasan tersebut. Hukum sebagai a tool of
social engineering, berarti hukum memiliki peranan yang lebih luas, yaitu menciptakan
perubahan masyarakat menuju kehidupan yang terencana dan mengantarkannya pada
kehidupan yang lebih baik. Fungsi hukum menurut masyarakat yaitu, hukum merupakan sarana
perubahan sosial. Dalam hal ini, hukum hanyalah berfungsi sebagai ratifikasi dan legitimasi saja
sehingga dalam kasus seperti ini bukan hukum yang mengubah masyarakat, melainkan
perkembangan masyarakat yang mengubah hukum. Sikap dan kehidupan suatu masyarakat
berasal dari berbagai stimulus sebagai berikut :
E. Law as a tool of sosial engineering merupakan teori yang dikemukakan oleh Roscoe Pound,
yang berarti hukum sebagai alat pembaharuan/merekayasa dalam masyarakat, dalam istilah
ini hukum diharapkan dapat berperan merubah nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Dengan
disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia, konsepsi “law as a tool of social
engineering” yang merupakan inti pemikiran dari aliran pragmatic legal realism itu, oleh
Mochtar Kusumaatmadja kemudian dikembangkan di Indonesia. Menurut pendapat Mochtar
Kusumaatmadja konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat Indonesia lebih
luas jangkauan dan ruang lingkupnya daripada di Amerika Serikat tempat kelahirannya,
alasannya oleh karena lebih menonjolnya perundangundangan dalam proses pembaharuan
hukum di Indonesia (walau yurisprudensi memegang peranan pula) dan ditolaknya aplikasi
mekanisme daripada konsepsi tersebut yang digambarkan akan mengakibatkan hasil yang
sama daripada penerapan faham legisme yang banyak ditentang di Indonesia.
- Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dan oleh karena itu untuk
mewujudkan kekuasaan Kehakiman yang mandiri dan terlepas dari kekuasaan Pemerintah
dipandang perlu melaksanakan pemisahan yang tegas antar fungsi-fungsi dari eksekutif.
Pengorganisasian, pengadministrasian, dan pengaturan finansial Badan-badan Peradilan yang
berada di masing-masing Departemen sbagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1970 tenang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
perlu disesuaikan dengan tuntutan perkembangan keadaan. Ketentuan mengenai
penyelesaian perkara koneksitas yang ada di lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan
Militer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman perlu diatur kembali untuk disesuaikan.
Atas dasar pertimbangan sebagaimana dimaksud di atas, perlu membentuk Undang-undang
tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman.
- Dasar hukum undang-undang ini adalah Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 24, Pasal 25
Undang-Undang Dasar 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
No. X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam rangka Penyelamatan
dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara; dan Undang-undang Nomor 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
- Undang-Undang ini antara lain mengatur mengenai Perubahan atas Undang-undang Nomor
24 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman meliputi:
a. pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dari badan-badan peradilan yang semua
berada di bawah kekuasaan masing-masing departemen yang bersangkutan menjadi berada di
bawah kekuatan mahkamah agung
b. pengalihan kewenangan dari Menteri Pertahanan Keamanan dan Menteri Kehakimabn
kepada Ketua Mahkamah Agung dalam menentukan badan peradilan yang berwenang
memeriksa perkara koneksitas;
c. penambahan ketentuan mengenai : penegasan jangka waktu yang berkaitan dengan
pelaksanaan pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dari badan-badan peradilan
yang dilakukan secara bertahap dan dalam waktu paling lama 5 (lima) tahun, namun untuk
Peradilan Agama tidak ditentukan waktunya; dan penegasan mengenai peraturan perundang-
undangan yang masih tetap berlaku sebagai akibat perubahan Pasal 11 dan Pasal 22.
Apabila kita melihat kembali perkembangan perjalanan sistem peradilan di Indonesia sejak
berlakunya Undang – Undang Nomor. 14 Tahun 1970 tentang Pokok - Pokok Kekuasaan Kehakiman
Republik Indonesia, kita akan melihat perjalanan yang unik karena di dalam perjalannya terurai
dengan jelas suatu kontradiksi perilaku aparatur penegak hukum masa lalu dan masa kini, mulai
pejabat kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan serta para Advokat.
Kontradiksi perilaku tersebut jelas bukan di sebabkan semata- mata tingkat penghasilan
yang diperolehnya melainkan juga disebabkan cara pandang yang jauh berbeda dan persepsi yang
tidak sama tentang nilai – nilai keadilan. Cara pandang yang benar adalah bahwa kekuasaan
mencapai kesejahteraan sosial. Hal ini kemudian di perkuat lagi oleh Praktek hubungan antar
bangsa pasca perang dingin yang mengedepankan Prinsip “ Interdependency” dalam rangka
mewujudkan Kesejahteraan Global.
Pertaruhan yang penuh resiko (potetial Risk) yang harus dipikul oleh bangsa Indonesia di
tengah-tengah gelombang kuat liberalisasi perdagangan dan cita-cita kesejahteraan global ialah
semakin melunturnya wawasan dan jiwa kebangsaan yang saat ini mengalami krisis. Bahkan krisis
ini di rasakan telah semakin dalam terutama di bidang pembangun ekonomi dan perdagangan dan
juga dalam perbaharuan bidang hukum dan penegakan hukum. Krisis kebangsan dalam
pembaruaan hukum telah terjadi dalam bidang ekonomi dimana perlindungan terhadap kaum
pemilik modal khususnya orang asing saat ini sudah semakin dapat dirasakan.
Kita saat ini sudah dapat merasakan adanya ketidak pastian hukum dan terasa sangat jauh
dari rasa keadilan dalam hampir seluruh bidang kehidupan masyarakat. Dalam kontek penegakan
hukum sering kita berusaha mencari jawaban dari para ahli hukum yang sering memberikan solusi
yang berbeda-beda dan bahkan bertentangan satu dengan yang lainnya sehingga menambah keruh
wajah hukum dan penegakan Hukum saat ini. Disisi lain kita menyaksikan kinerja aparatur penegak
hukum ( termasuk Advokat) yang larut dalam praktek penegakan hukum yang sering Kontroversial
dengan sudut pandang yang berbeda tajam tentang masalah kepastian hukum dan keadilan dari
suatu perkara.
Pendapat ahli mengatakan, sesungguhnya kata kunci dari masalah ketikpastian hukum dan
ketidakadilan adalah “Legal Apparatus” atau “the men behind the court system”. Yang terlupakan
oleh Fredmann ketika mengkolaborasi apa yang dinamakannya “the legal system”, “Kinerja” ,“legal
apparatus” ini berkaitan erat dengan kode etik profesi penegak hukum dalam arti luas (termasuk
advokat). Penegakan kode etik profesi penegak hukum diharapkan merupakan faktor yang
signifikan dalam menjawab tantangan penegakan hukum dan sistem peradilan dimasa yang akan
datang.
Untuk para Advokat penegakan hukum diperlukan kode etik sebagaimana di cantumkan
dalam Undang – Undang Nomor 18 tahun 2003, tentang Advokat, dalam Kode Etik Advokat
Indonesia (KEAI tahun 2002) yang disahkan pada tanggal 23 Mei 2002, ditegaskan bahwa
advokat adalah suatu profesi terhormat (officium mobile) yang mengandung arti adanya
kewajiban mulia atau terpandang dalam melaksanakan pekerjaannya dan bertanggung jawab
(responsible). Hal ini berarti bahwa seorang anggota profesi advokat, tidak saja harus berprilaku
jujur dan bermoral tinggi, tetapi juga harus mampu membangun dan mendapatkan kepercayaan
publik (trust). Kode etik Profesi didalam penegakan sistem peradilan dan penegakan hukum
merupakan titik sentral dalam menciptakan peradilan yang independen, bersih dan bebas KKN.
Penegasan sistem peradilan dan penegakan hukum yang sedemikian itu merupakan pilar yang
menentukan kokohnya negara hukum. Kode etik profesi merupakan dasar-dasar tuntunan
perilaku bagi setiap pemegang jabatan yang bersifat profesional termasuk jabatan penegak
hukum dalam arti luas.
Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang
menjadi tanggung jawab didalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang teguh kepada kode
etik profesi dan peraturan perundang-undangan. Advokat tidak dapat di tuntut baik secara
perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk
kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan. (Pasal 14,16. UU No.18/2003). Ada
perbedaan yang sangat signifikan antara meneyelesaikan masalah hukum dan memenangkan
permasalahan hukum, Menyelesaikan masalah hukum adalah tindakan seorang advokat untuk
menangani sebuah perkara hukum sesuai dengan prinsip keadilan, asas hukum, penegakan hak-
hak asasi manusia, serta tak lupa mengikuti prosedur yang telah ditentukan secara yuridis.
Kasus dugaan suap yang dilakukan pengacara senior OC Kaligis kembali mencoreng pilar
penegakan hukum. Sejatinya advokat berperan dan bertanggungjawab sebagai penegak hukum
menjalankan tugas pokok dan fungsinya sesuai dengan amanah UU No.18 Tahun 2003 tentang
Advokat. Bukan sebaliknya melanggar hukum dan melanggar sumpah jabatannya. Advokat
merupakan bagian dari pondasi penegakan hukum. Karena itulah penegakan hukum tidak boleh
menabrak aturan demi memuaskan klien. Jika saja prinsip itu menjadi pegangan seluruh
advokat, niscaya keadilan dan penegakan hukum dapat optimal.
Pengacara OC Kaligis pada tahun 2015 ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus suap hakim
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Medan. Perkara ini berasal dari Operasi Tangkap
Tangan yang dilakukan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) pada Kamis 9 Juli 2015.
KPK awalnya menetapkan tersangka ada lima orang yait Irianto Putro , Amir Fauzi,
Dermawan Ginting (Hakim PTUN Medan Tripeni) dan, Syamsir Yusfan (Panitera penggantian
PTUN) , serta M Yagari Bhastara alias Gerry (pengacara dari kantor OC Kaligis). OC Kaligis
dinyatakan bersalah dan divonis 5 tahun penjara yang kemudian oleh Mahkamah Agun RI
diperberat menjadi 10 tahun penjara. Melihat kasus OC Kaligis, ada 2 unsur pelanggaran Kode
Etik Advokat Indonesia yaitu sebagai berikut:
1. Tidak jujur dan tidak bermoral, berdasarkan Pasal 2 : “ Advokat Indonesia adalah warga
negara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam
mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia dan
yang dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi hukum, Undang Undang Dasar,
Kode etik dan sumpah jabatannya.”
2. Menjatuhkan martabat advokat, berdasarkan Pasal 3 (g) : “ Advokat harus senantiasa
menjunjung tinggi profesi advokat sebagai profesi terhotmat (officium nobilie) “