Anda di halaman 1dari 9

ANALISIS KASUS DAN IMPLEMENTASI KODE ETIK PROFESI KHUSUSNYA DALAM

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT

Diajukan untuk menyelesaikan tugas pada mata kuliah Etika Profesi

OLEH :

Budi Gunawan - L215021031


Albert Karnof Purba - L210210028
James Panjaitan - L2102100XX
Mirza Maulana Sugiri - L210210010
Novita Sari Mangadil - L210210017
Tommy Prasetyo - L210210026

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS PASCASARJANA
UNIVERSITAS LANGLANGBUANA
TAHUN 2021
1. PENGANTAR SISTEM PENEGAKAN HUKUM

Hukum mengatur hubungan anggota masyarakat antara seseorang dengan yang lainnya,
begitupula hubungan antara anggota itu dengan masyarakat. Hubungan itu beraneka macam
dalam masyarakat, dalam masyarakat terdapat hubungan antara orang yang satu dengan yang
lainnya sebagai masyarakat, antara orang dengan golongannya, antara orang dengan
keluarganya, antara orang dengan agamanya, orang dengan lingkungannya, orang dengan
organisasinya dan bermacam - macam perjanjian yang diadakan dalam perniagaan dan lain –
lainnya. Aturan-aturan yang terdapat dalam masyarakat itu adalah apa yang selama ini di sebut
sebagai Hukum. Hukum sebagai gejala masyarakat, gejala sosial. Agar ada hukum maka harus
adanya masyarakat Dalam bahasa yunani ibi socciates ibi iyus (dimana ada masyarakat disitu
ada hukum). Sistem hukum berlaku dalam masyarakat karena disahkan oleh pemerintahan
masyarakat itu. Sistem hukum yang sah dan berlaku di suatu waktu tertentu dan di Negara
tertentu dinamakan hukum positif "Lius Costitunum". Sistem hukum dapat berkembang sesuai
dengan kebutuhan masyarakat yang senantiasa berkembang. Hukum di tengah-tengah
masyarakat memiliki peranan yang sangat strategis meliputi pergaulan hidup antar warga
masyarakat, hubungan antara negara dengan warganya, hubungan antara negara dengan negara
dan warga dunia. Keberadaan hukum sebagai social control, a tool of social engineering, alat
politik, sarana integrasi social.
Hukum sebagai social control berarti bahwa keberadaan hukum di tengah kehidupan
masyarakat memiliki peran membatasi tingkah laku manusia beserta akibat yang akan diterima
jika terjadi perbuatan yang tidak sesuai dengan pembatasan tersebut. Hukum sebagai a tool of
social engineering, berarti hukum memiliki peranan yang lebih luas, yaitu menciptakan
perubahan masyarakat menuju kehidupan yang terencana dan mengantarkannya pada
kehidupan yang lebih baik. Fungsi hukum menurut masyarakat yaitu, hukum merupakan sarana
perubahan sosial. Dalam hal ini, hukum hanyalah berfungsi sebagai ratifikasi dan legitimasi saja
sehingga dalam kasus seperti ini bukan hukum yang mengubah masyarakat, melainkan
perkembangan masyarakat yang mengubah hukum. Sikap dan kehidupan suatu masyarakat
berasal dari berbagai stimulus sebagai berikut :

1. Berbagai perubahan secara evolutif terhadap norma-norma dalam masyarakat.


2. Kebutuhan dadakan dari masyarakat karena adanya keadaan khusus atau keadaan darurat
khususnya dalam hubungan distribusi sumber daya atau dalam hubungan dengan standar
baru tentang keadilan.
3. Atas inisiatif dari kelompok kecil masyarakat yang dapat melihat jauh ke depan yang kemudian
sedikit demi sedikit mempengaruhi pemandangan dan cara hidup masyarakat.
4. Ada ketidakadilan secara teknikal hukum yang meminta diubahnya hukum tersebut.
5. Ada ketidak konsistenan dalam tubuh hukum yang juga meminta perubahan terhadap hukum
tersebut.
6. Ada perkembangan pengetahuan dan teknologi yang memunculkan bentukan baru untuk
membuktikan suatu fakta.

2. SISTEM PENEGAKAN HUKUM

A. HUKUM SEBAGAI GEJALA SOSIAL


Hukum sebagai gejala sosial dan berfungsi sebagai kontrol sosial dalam masyarakat, karena
dengan adanya hukum di lingkungan masyarakat, maka setiap anggota masyarakat akan
berhati-hati karena apabila melanggar atau berbuat suatu hal yang merugikan lingkungan
maka akan diberikan sanksi yang membuatnya jera.

B. HUKUM SEBAGAI SEGI BUDAYA


Manusia dalam kehidupan bermasyarakat telah dibekali untuk berlaku dan menjunjung tinggi
nilai-nilai budaya tertentu. Nilai-nilai budaya, yang oleh orang dalam masyarakat tertentu
harus dijunjung tinggi, belum tentu dianggap penting oleh warga masyarakat lain. Nilainilai
budaya tercakup secara lebih konkrit dalam norma-norma sosial, yang diajarkan kepada setiap
warga masyarakat supaya dapat menjadi pedoman berlaku pada waktu melakukan berbagai
peranan dalam berbagai situasi sosial.

C. HUKUM SEBAGAI KAIDAH


Hukum sebagai kaidah atau norma sosial, tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat, bahwa dapat dikatakan bahwa hukum merupakan pencerminan dan konkretisasi
dari pada nilai-nilai yang pada suatu saat berlaku dalam masyarakat. Keberadaan hukum yang
hidup dalam masyarakat sehingga sangat dibutuhkan dalam mengatur kehidupan sehari-hari.
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan,
bahwa Indonesia adalah negara hukum dan sebagai konsekuensi dari negara hukum, apabila
terjadi pelanggaran hukum, hukum harus ditegakkan dengan menindak pelaku sesuai dengan
ketentuan, dan apabila terjadi sengketa, maka sengketa itu harus diselesaikan secara hukum
dimana di Indonesia ketentuan tersebut sudah diatur dalam hukum positif yaitu hukum
pidana.

D. HUKUM SEBAGAI NORMA


Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan
kelembagaan. hukum harus stabil(stable), tetapi dia tidak boleh diam (still) atau kaku (rigid).
facet hakiki dari hukum di mana di satu pihak hukum harus mengandung unsur kepastian, dan
prediktabilitas, sehingga dia harus stabil. Tetapi di lain pihak hukum haruslah dinamis,
sehingga selalu dapat mengikuti dinamika perkembangan kehidupan manusia. Hukum dan
norma-norma sosial lainnya dibedakan dari berbagai segiantara lain dari segi tujuan adanya
norma, hukum menitikberatkan kepada pengaturan aspek manusia sebagai makhluk sosial
dan aspek lahiriyah manusia. Norma hukum diadakan dalam rangka mempertahankan bentuk
kehidupan bermasyarakat sebagai modus survival. Norma hukum adalah sistem aturan yang
diciptakan oleh lembaga kenegaraan yang ditunjuk melalui mekanisme tertentu. Norma
hukum memuat sanksi yang tegas dan akan segera dijatuhkan apabila dilanggar

E. Law as a tool of sosial engineering merupakan teori yang dikemukakan oleh Roscoe Pound,
yang berarti hukum sebagai alat pembaharuan/merekayasa dalam masyarakat, dalam istilah
ini hukum diharapkan dapat berperan merubah nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Dengan
disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia, konsepsi “law as a tool of social
engineering” yang merupakan inti pemikiran dari aliran pragmatic legal realism itu, oleh
Mochtar Kusumaatmadja kemudian dikembangkan di Indonesia. Menurut pendapat Mochtar
Kusumaatmadja konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat Indonesia lebih
luas jangkauan dan ruang lingkupnya daripada di Amerika Serikat tempat kelahirannya,
alasannya oleh karena lebih menonjolnya perundangundangan dalam proses pembaharuan
hukum di Indonesia (walau yurisprudensi memegang peranan pula) dan ditolaknya aplikasi
mekanisme daripada konsepsi tersebut yang digambarkan akan mengakibatkan hasil yang
sama daripada penerapan faham legisme yang banyak ditentang di Indonesia.

F. HUKUM SEBAGAI ALAT UNTUK MENGAYOMI MASYAKARAT

Dalam perkembangannya penegakan hukum, dalam kemasyarakatan senantiasa terus


berkembang, sehingga perlu adanya suatu pemahaman yang baik dalam praktek kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Bimbingan dan peningkatan pelayanan advokasi di perlukan
dalam rangka penegakan hukum dan efektifitas hukum dalam masyarakat.

3. PENEGAKAN DALAM HUKUM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA

Undang-Undang Nomor. 14 Tahun 1970, berbunyi :

- Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dan oleh karena itu untuk
mewujudkan kekuasaan Kehakiman yang mandiri dan terlepas dari kekuasaan Pemerintah
dipandang perlu melaksanakan pemisahan yang tegas antar fungsi-fungsi dari eksekutif.
Pengorganisasian, pengadministrasian, dan pengaturan finansial Badan-badan Peradilan yang
berada di masing-masing Departemen sbagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1970 tenang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
perlu disesuaikan dengan tuntutan perkembangan keadaan. Ketentuan mengenai
penyelesaian perkara koneksitas yang ada di lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan
Militer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman perlu diatur kembali untuk disesuaikan.
Atas dasar pertimbangan sebagaimana dimaksud di atas, perlu membentuk Undang-undang
tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman.

- Dasar hukum undang-undang ini adalah Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 24, Pasal 25
Undang-Undang Dasar 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
No. X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam rangka Penyelamatan
dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara; dan Undang-undang Nomor 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
- Undang-Undang ini antara lain mengatur mengenai Perubahan atas Undang-undang Nomor
24 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman meliputi:
a. pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dari badan-badan peradilan yang semua
berada di bawah kekuasaan masing-masing departemen yang bersangkutan menjadi berada di
bawah kekuatan mahkamah agung
b. pengalihan kewenangan dari Menteri Pertahanan Keamanan dan Menteri Kehakimabn
kepada Ketua Mahkamah Agung dalam menentukan badan peradilan yang berwenang
memeriksa perkara koneksitas;
c. penambahan ketentuan mengenai : penegasan jangka waktu yang berkaitan dengan
pelaksanaan pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dari badan-badan peradilan
yang dilakukan secara bertahap dan dalam waktu paling lama 5 (lima) tahun, namun untuk
Peradilan Agama tidak ditentukan waktunya; dan penegasan mengenai peraturan perundang-
undangan yang masih tetap berlaku sebagai akibat perubahan Pasal 11 dan Pasal 22.

Apabila kita melihat kembali perkembangan perjalanan sistem peradilan di Indonesia sejak
berlakunya Undang – Undang Nomor. 14 Tahun 1970 tentang Pokok - Pokok Kekuasaan Kehakiman
Republik Indonesia, kita akan melihat perjalanan yang unik karena di dalam perjalannya terurai
dengan jelas suatu kontradiksi perilaku aparatur penegak hukum masa lalu dan masa kini, mulai
pejabat kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan serta para Advokat.

Kontradiksi perilaku tersebut jelas bukan di sebabkan semata- mata tingkat penghasilan
yang diperolehnya melainkan juga disebabkan cara pandang yang jauh berbeda dan persepsi yang
tidak sama tentang nilai – nilai keadilan. Cara pandang yang benar adalah bahwa kekuasaan
mencapai kesejahteraan sosial. Hal ini kemudian di perkuat lagi oleh Praktek hubungan antar
bangsa pasca perang dingin yang mengedepankan Prinsip “ Interdependency” dalam rangka
mewujudkan Kesejahteraan Global.

Pertaruhan yang penuh resiko (potetial Risk) yang harus dipikul oleh bangsa Indonesia di
tengah-tengah gelombang kuat liberalisasi perdagangan dan cita-cita kesejahteraan global ialah
semakin melunturnya wawasan dan jiwa kebangsaan yang saat ini mengalami krisis. Bahkan krisis
ini di rasakan telah semakin dalam terutama di bidang pembangun ekonomi dan perdagangan dan
juga dalam perbaharuan bidang hukum dan penegakan hukum. Krisis kebangsan dalam
pembaruaan hukum telah terjadi dalam bidang ekonomi dimana perlindungan terhadap kaum
pemilik modal khususnya orang asing saat ini sudah semakin dapat dirasakan.

Kita saat ini sudah dapat merasakan adanya ketidak pastian hukum dan terasa sangat jauh
dari rasa keadilan dalam hampir seluruh bidang kehidupan masyarakat. Dalam kontek penegakan
hukum sering kita berusaha mencari jawaban dari para ahli hukum yang sering memberikan solusi
yang berbeda-beda dan bahkan bertentangan satu dengan yang lainnya sehingga menambah keruh
wajah hukum dan penegakan Hukum saat ini. Disisi lain kita menyaksikan kinerja aparatur penegak
hukum ( termasuk Advokat) yang larut dalam praktek penegakan hukum yang sering Kontroversial
dengan sudut pandang yang berbeda tajam tentang masalah kepastian hukum dan keadilan dari
suatu perkara.

Pendapat ahli mengatakan, sesungguhnya kata kunci dari masalah ketikpastian hukum dan
ketidakadilan adalah “Legal Apparatus” atau “the men behind the court system”. Yang terlupakan
oleh Fredmann ketika mengkolaborasi apa yang dinamakannya “the legal system”, “Kinerja” ,“legal
apparatus” ini berkaitan erat dengan kode etik profesi penegak hukum dalam arti luas (termasuk
advokat). Penegakan kode etik profesi penegak hukum diharapkan merupakan faktor yang
signifikan dalam menjawab tantangan penegakan hukum dan sistem peradilan dimasa yang akan
datang.

4. KODE ETIK PROFESI

Untuk para Advokat penegakan hukum diperlukan kode etik sebagaimana di cantumkan
dalam Undang – Undang Nomor 18 tahun 2003, tentang Advokat, dalam Kode Etik Advokat
Indonesia (KEAI tahun 2002) yang disahkan pada tanggal 23 Mei 2002, ditegaskan bahwa
advokat adalah suatu profesi terhormat (officium mobile) yang mengandung arti adanya
kewajiban mulia atau terpandang dalam melaksanakan pekerjaannya dan bertanggung jawab
(responsible). Hal ini berarti bahwa seorang anggota profesi advokat, tidak saja harus berprilaku
jujur dan bermoral tinggi, tetapi juga harus mampu membangun dan mendapatkan kepercayaan
publik (trust). Kode etik Profesi didalam penegakan sistem peradilan dan penegakan hukum
merupakan titik sentral dalam menciptakan peradilan yang independen, bersih dan bebas KKN.
Penegasan sistem peradilan dan penegakan hukum yang sedemikian itu merupakan pilar yang
menentukan kokohnya negara hukum. Kode etik profesi merupakan dasar-dasar tuntunan
perilaku bagi setiap pemegang jabatan yang bersifat profesional termasuk jabatan penegak
hukum dalam arti luas.

5. KEWAJIBAN ADVOKAT DALAM MENYELESAIKAN DAN MEMENANGKAN PERKARA

Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang
menjadi tanggung jawab didalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang teguh kepada kode
etik profesi dan peraturan perundang-undangan. Advokat tidak dapat di tuntut baik secara
perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk
kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan. (Pasal 14,16. UU No.18/2003). Ada
perbedaan yang sangat signifikan antara meneyelesaikan masalah hukum dan memenangkan
permasalahan hukum, Menyelesaikan masalah hukum adalah tindakan seorang advokat untuk
menangani sebuah perkara hukum sesuai dengan prinsip keadilan, asas hukum, penegakan hak-
hak asasi manusia, serta tak lupa mengikuti prosedur yang telah ditentukan secara yuridis.

Ketika menyelesaikan permasalahan hukum, orientasi advokat saat mendampingi klien


adalah mengawal klien dalam menjalani proses penegakan hukum, sehingga hak-hak klien untuk
memperoleh keadilan, kesamaan di depan hukum (equaliti before the law), dan tidak dilanggarnya
hak-hak asasi manusia dapat di realisasikan sebagaimana mestinya terlepas dari menang atau
tidaknya perkara hukum yang sedang ditangani oleh advokat. Hal ini berbeda dengan tindakan
advokat yang berorientasi pada kemenangan dalam menyelesaikan setiap permasalahan
hukum. Pada saat menyelesaikan perkara hukum yang sedang ditangani, segala macam cara
dilakukan oleh advokat yang bersangkutan. Demi kemenangan klien yang didampingi, si advokat
tidak akan sungkan-sungkan untuk melanggar rasa keadilan, menghianati hati nurani, melakukan
aksi suap disana sini, melanggar hak asasi manusia, serta segala tindakan tidak etis lainnya, untuk
memenangkan perkara yang sedang ditangani.

Elemen-elemen penanganan perkara secara professional oleh advokat yaitu : Kejujuran,


keberanian, kecerdasan, kecerdikan, kegigihan dan kesabaran.

6. CONTOH KASUS PELANGGARAN KODE ETIK OLEH ADVOKAT

A. Contoh kasus Fredrich Yunadi


Dewan Kehormatan Daerah (DKD) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Jakarta
memutus Fredrich Yunadi diberhentikan tetap atau dipecat sebagai advokat. Dirinya dinyatakan
terbukti bersalah melanggar Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) karena menelantarkan klien
setelah menerima honorarium sebesar Rp450 juta. Putusan ini dibacakan dalam sidang
pembacaan putusan DKD Peradi Jakarta, di kantor Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Peradi
Grand Slipi Tower lantai 11. Fredrich diadukan oleh pemilik Apartemen Kemanggisan
Residence, Kebon Jeruk, Jakarta Barat yang menggunakan jasa Fredrich sebagai kuasa
hukumnya. Para klien yang merupakan konsumen unit di apartemen tersebut menggunakan
jasa Fredrich untuk mengurus upaya hukum praperadilan dan laporan pidana terhadap
pengembang apartemen. Saat itu, pengembang Apartemen Kemanggisan dinyatakan pailit
sehingga tidak bisa melanjutkan pembangunan. Para calon pemilik yang telah membayar lunas
maupun mencicil pembelian melakukan upaya hukum karena merasa dirugikan.
Setelah dijanjikan kemenangan dan membayar honorarium advokat, Fredrich ternyata
tidak memenuhi janji manisnya. Segala cara untuk membuka komunikasi dengan Fredrich atas
nasib mereka ternyata berujung buntu. Fredrich susah dihubungi apalagi ditemui. Akhirnya
mereka mengadu kepada Dewan Kehormatan Peradi dan dimulailah proses persidangan etik
terhadap Fredrich. Ketua DKD Peradi Jakarta, Jack Rudolf Sidabutar, menjelaskan soal putusan
yang dijatuhkan kepada Fredrich Yunadi “Karena mereka sudah sepakat menggunakan jasa
Fredrich, diberikan lawyer fee Rp250 juta, lalu diminta lagi untuk berbagai urusan sampai
totalnya Rp450 juta, dengan dijanjikan bahwa kasus itu pasti menang,”.
Persidangan ini setidaknya berlangsung selama dua bulan belakangan dengan kondisi
Fredrich tidak pernah muncul ataupun memberikan tanggapan atas panggilan DKD Jakarta. Isi
putusannya terbukti menelantarkan klien dan diberhentikan tetap. Hal ini karena Fredrich
terbukti melakukan pelanggaran berat. Melihat kasus Fredrch, ada 2 unsur pelanggaran
terhadap Kode Etik Advokat Indonesia yang disahkan pada tanggal 23 Mei 2002 sebagai berikut:
1. Menjamin kemenangan kepada klien, berdasarkan pasal 4 (C) : “ advokat tidak dibenarkan
menjamin kepada kliennya bahwa perkara yang ditanganinya akan menang
2. Melepaskan tugas terhadap klien, berdasarkan pasal 4 (i) : “ advokat tidak dibenarkan
melepaskan tuga yang dibebankan kepadanya pada saat yang tidak menguntungkan posisi
klien atau pada saat tugas itu akan dapat menimbulkan kerugian yang tidak dapat
diperbaiki lagi bagi klien yang bersangkuta, dengan tidak mengurangi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 (a)

B. Contoh Kasus OC Kaligis

Kasus dugaan suap yang dilakukan pengacara senior OC Kaligis kembali mencoreng pilar
penegakan hukum. Sejatinya advokat berperan dan bertanggungjawab sebagai penegak hukum
menjalankan tugas pokok dan fungsinya sesuai dengan amanah UU No.18 Tahun 2003 tentang
Advokat. Bukan sebaliknya melanggar hukum dan melanggar sumpah jabatannya. Advokat
merupakan bagian dari pondasi penegakan hukum. Karena itulah penegakan hukum tidak boleh
menabrak aturan demi memuaskan klien. Jika saja prinsip itu menjadi pegangan seluruh
advokat, niscaya keadilan dan penegakan hukum dapat optimal.
Pengacara OC Kaligis pada tahun 2015 ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus suap hakim
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Medan. Perkara ini berasal dari Operasi Tangkap
Tangan yang dilakukan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) pada Kamis 9 Juli 2015.
KPK awalnya menetapkan tersangka ada lima orang yait Irianto Putro , Amir Fauzi,
Dermawan Ginting (Hakim PTUN Medan Tripeni) dan, Syamsir Yusfan (Panitera penggantian
PTUN) , serta M Yagari Bhastara alias Gerry (pengacara dari kantor OC Kaligis). OC Kaligis
dinyatakan bersalah dan divonis 5 tahun penjara yang kemudian oleh Mahkamah Agun RI
diperberat menjadi 10 tahun penjara. Melihat kasus OC Kaligis, ada 2 unsur pelanggaran Kode
Etik Advokat Indonesia yaitu sebagai berikut:

1. Tidak jujur dan tidak bermoral, berdasarkan Pasal 2 : “ Advokat Indonesia adalah warga
negara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam
mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia dan
yang dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi hukum, Undang Undang Dasar,
Kode etik dan sumpah jabatannya.”
2. Menjatuhkan martabat advokat, berdasarkan Pasal 3 (g) : “ Advokat harus senantiasa
menjunjung tinggi profesi advokat sebagai profesi terhotmat (officium nobilie) “

C. Contoh Kasus Hotma VS Hotman


Kasus pelanggaran kodik etik ini berawal saat Hotman Paris di tunjuk menjadi kuasa
hukum Desiree (istri dari Hotma Sitompul). Hotma Sitompul menduga Hotman Paris telah
melanggar Kode Etik dimana disetiap jumpa pers dinilai selalu menjatuhkan martabatnya dan
juga dinilai tidak memiliki etika karena sering berfoto dengan Wanita-Wanita cantik. Namun
Dewan Kohormatan PERADI memutus Hotman Paris tidak melanggar kode etik selama menjadi
pengacara Desiree Tarigan (istri dari Hotma Sitompul).
Pada kesempatan yang sama Hotman Paris mengadukan Tim Pengacara Hotma Sitompul
yaitu Partahi Sihombing, Muara Karta dan Tommy atas penyataannya dimedia masa” bahwa
Hotman Paris telah mengeluarkan kata kata kasar disaat mendampingi Desiree Tarigan.” atas
tudingan itu Hotman Paris mengadukannya kepada Dewan Kehormatan PERADI. Dewan
Kehormatan Peradi memutuskan bahwa Tim Pengacara Hotma Sitompul bersalah telah
melanggar kode etik Advokat Indonesia. Partahi Sihombing dihukum diskors 3 bulan dan Muara
Karta diskors 6 bulan.
Melihat aduan Hotman Paris dan Hotma Sitompul bahwa ada perbedaan mencolok yaitu
dalam jumpa pers Hotman Paris menyampaikan Fakta-Fakta hukum bukan membuka aib yang
menjatukan martabat Hotma Sitompul. Dalam pasal 8 (f) advokat tidak dibenarkan melalui
media masa mencari publisitas bagi dirinya dan atau untuk menarik perhatian masyarakat
mengenai Tindakan-tindakannya sebagai advokat mengenai perkara yang sedang atau telah
ditanganinya, kecuali apabila keterangan keterangan yang ia berikan itu bertujuan untuk
menegakkan prisip-prinsip hukum yang wajib diperjuankan oleh setiap advokat.”
Sedangkan Tim Pengacara Hotma Sitompul pernyataannya menjatuhkan martabat rekan
sejawat yaitu Hotman Paris dengan tuduhan berkata-kata kasar, Pasal 5 (c): “ keberatan
keberatan terhadap Tindakan teman sejawat yang dianggap bertentangan dengan kode etik
advokat harus diajukan kepada Dewan Kehormatan untuk diperiksa dan tidak dibenarkan untuk
disiarkan melalui media masa atau cara lain.”
Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat Pasal 6 diatur alasan-
alasan seorang advokat dapat dikenai tindakan:
a. Mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya;
b. Berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan
seprofesinya;
c. Bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang
menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan,
atau pengadilan;
d. Berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan
martabat profesinya;
e. Melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dan atau perbuatan
tercela;
f. Melanggar sumpah/janji Advokat dan/atau kode etik profesi Advokat.

Anda mungkin juga menyukai